Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FARMAKOLOGI

5 Tanaman Obat Herbal sebagai Antelmintik

Disusun Oleh:

Ronald Hartanto (151610483004)


Ramsiah Akbar tukan (151610483010)
Mitha Virgiana alda (151610483011)
Umaymmah (151610483013)
Susanti Nur anggraini (151610483017)

D4 PENGOBAT TRADISIONAL
FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan pembelajaran.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada


pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah yang berjudul
Antelmintik ini.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 24 Nopember 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
BAB II 5
2.1 Pengertian Antelmintik 6
2.2 Tanaman Herbal Antelmintik 7
2.2.1 Biji Pinang 7
2.2.2 Temu Giring 9
2.2.3 Aloevera 11
2.2.4 Pare 13
2.2.5 Petai Cina 15
BAB III 15
3.1 Kesimpulan 17
3.2 Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Askariasis merupakan salah satu penyakit infeksi cacing yang masih menjadi masalah
kesehatan di dunia. Askariasis ditularkan melalui tanah yang disebabkan oleh parasit Ascaris
lumbricoides (cacing gelang) yang merupakan parasit kosmopolit yaitu tersebar di seluruh dunia
terutama daerah tropik (Behrman, 2004). Di dunia mencapai 1 miliar penderita terinfeksi cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), 795 juta orang untuk infeksi cacing cambuk (Trichuris trichura),
dan 740 juta penderita terinfeksi cacing tambang (hookworm) (WHO, 2006). Di Indonesia
prevalensi askariasis cukup tinggi, dengan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak (Tan &
Kirana, 2008). Tingginya prevalensi disebabkan higine dan sanitasi pribadi dan lingkungan yang
rendah sehingga mudah terjadi infeksi telur melalui makanan atau minuman (Matroni, 2005;
Moerfiah, Muztabadiharza, Yuda, 2012).

Manifestasi askariasis relatif ringan, sering tidak tampak gejala klinis sampai penderita
mengeluarkan cacing bersama-sama dengan feses (Rampengan, 2008). Gejala yang dapat timbul
antara lain berkurangnya nafsu makan, diare, konstipasi. Bila terjadi infeksi berat maka terjadi
penggumpalan cacing-cacing di usus sehingga terjadi obstruksi usus, dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, dan pada keadaan tertentu cacing dewasa dapat
bermigrasi hingga ke saluran empedu, apendiks atau bronkus sampai menimbulkan keadaan
gawat darurat sehingga memerlukan pengobatan (Herdiman, 2006).

Pengobatan askariasis dapat diberikan obat antelmintik sintesis seperti pirantel pamoat,
piperazin, mebendazol, niklosamid, dan praziquantel. Harga obat sintesis yang sulit dijangkau
masyarakat serta banyaknya masalah resistensi akibat pemakaian terus menerus dari obat sintesis
tersebut, mendorong masyarakat kembali ke alam untuk penggunaan obat alternatif dengan
memanfaatkan tanaman berkhasiat obat. Saat ini telah diketahui banyak tanaman berkhasiat obat
yang pernah dan masih digunakan secara tradisional sebagai obat antelmintik, isu semaraknya
pemakaian obat tradisional didukung Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Anonimus,
1989a; Satrija, Retnani, Ridwan, & Tiuria, 2001; Husein & Beriajaya, 2006). Obat tradisional
yang secara empiris digunakan sebagai antelmintik diantaranya: biji pinang, temu giring, temu
ireng, biji pepaya, pare (Tiwow, Bodhi, & Kojong, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
1.) Apa yang dimaksud dengan Antelmintik?

4
2.) Apa saja 5 Tanaman Obat Herbal sebagai Antelmintik?
1.3 Tujuan
1.) Mengetahui yang dimaksud dengan Antelmintik.
2.) Mengetahui apa saja 5 Tanaman Obat Herbal sebagai Antelmintik.

5
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Antelmintik


Antelmintik atau obat cacing ialah obat yang digunakan untuk memberantas atau
mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Kebanyakan obat cacing
efektif terhadap satu macam cacing, sehingga diperlukan diagnosa tepat sebelum
menggunakan obat tertentu. Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat
makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar.
Obat cacing baru umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif
untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak
memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Syarif dan
Elysabeth, 2011).

Antelmintik atau obat cacing ialah obat yang digunakan untuk memberantas atau
mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Kebanyakan obat cacing
efektif terhadap satu macam cacing, sehingga diperlukan diagnosa tepat sebelum
menggunakan obat tertentu. Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat
makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar.
Obat cacing baru umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif
untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak
memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Syarif dan
Elysabeth, 2011).
Pengobatan askariasis dapat diberikan obat antelmintik sintesis seperti pirantel
pamoat, piperazin, mebendazol, niklosamid, dan praziquantel. Harga obat sintesis yang
sulit dijangkau masyarakat serta banyaknya masalah resistensi akibat pemakaian terus
menerus dari obat sintesis tersebut, mendorong masyarakat kembali ke alam untuk
penggunaan obat alternatif dengan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat. Saat ini telah
diketahui banyak tanaman berkhasiat obat yang pernah dan masih digunakan secara
tradisional sebagai obat antelmintik, isu semaraknya pemakaian obat tradisional didukung
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Anonimus, 1989a; Satrija, Retnani, Ridwan,
& Tiuria, 2001; Husein & Beriajaya, 2006). Obat tradisional yang secara empiris
digunakan sebagai antelmintik diantaranya: biji pinang, temu giring, lidah buaya, pare,
petai cina (Tiwow, Bodhi, & Kojong, 2013).
2.2 Tanaman Herbal Antelmintik
2.2.1 Biji Pinang
Areca catechu L.

6
Nama Daerah : pineung (Aceh), pining (Batak Toba), penang (Md.),
jambe (Sunda, Jawa), bua, ua, wua, pua, fua, hua (aneka
bahasa di Nusa Tenggara dan Maluku)
Familia : Arecaceae
Khasiat : Sebagai antelmintik, antiinflamasi, antidepresi,
Penggunan  secara tradisional : Untuk mengobati cacingan, sakit disentri, diare berdarah,
luka bakar, sembelit, beri-beri, malaria dan kudisan
Bagian yg digunakan      : Biji
Dosis : Rebus biji pinang muda hingga mendidih, biarkan airnya
dingin lalu disaring dan diminum
Taksonomi tanaman Pinang
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu

7
Morfologi

Batang lurus langsing, dapat mencapai ketinggian 25 m dengan diameter lk 15 cm, meski
ada pula yang lebih besar. Tajuk tidak rimbun.

Pelepah daun berbentuk tabung dengan panjang 80 cm, tangkai daun pendek; helaian daun
panjangnya sampai 80 cm, anak daun 85 x 5 cm, dengan ujung sobek dan bergerigi.

Tongkol bunga dengan seludang (spatha) yang panjang dan mudah rontok, muncul di
bawah daun, panjang lebih kurang 75 cm, dengan tangkai pendek bercabang rangkap, sumbu
ujung sampai panjang 35 cm, dengan 1 bunga betina pada pangkal, di atasnya dengan banyak
bunga jantan tersusun dalam 2 baris yang tertancap dalam alur. Bunga jantan panjang 4 mm,
putih kuning; benang sari 6. Bunga betina panjang lebih kurang 1,5 cm, hijau; bakal buah
beruang 1.

Buah buni bulat telur terbalik memanjang, merah oranye, panjang 3,5 – 7 cm, dengan
dinding buah yang berserabut. Biji 1 berbentuk telur, dan memiliki gambaran seperti jala.

Di Jawa, pinang tumbuh hingga ketinggian 1.400 m dpl.

Kandungan kimia
Biji pinang mengandung senyawa tanin yang mampu menghambat enzim dan merusak membran
sel, alkaloida seperti misalnya arekaina (arecaine) dan arekolina (arecoline), saponin, guvacine,
guvacoline, tanin dan flavonoid.

Kontra indikasi

Toksisitas
Sedikit banyak bersifat racun dan adiktif, dapat merangsang otak.

8
2.2.2 Temu Giring
Curcuma heyneana Val

Nama Daerah : Temu giring (Jawa), temu poh (Bali)


Familia : Zingiberaceae
Khasiat : Antelmintik, antiinflamasi, imunomodulator, antireumatik
Penggunan  secara tradisional : Sebagai obat luka (Ditjen POM, 1989), obat cacing, obat
sakit perut, obat pelangsing, memperbaiki warna kulit
(Mursito, 2003), menambah imun, obat untuk mengatasi
perasaan tidak tenang atau cemas, jantung berdebar-debar,
haid tidak teratur, obat rematik, menambah nafsu makan,
meningkatkan stamina, menghaluskan kulit, obat jerawat,
obat cacar air dan obat batuk (Wijayakusuma, 2006).
Bagian yg digunakan    :  Rimpang
Dosis : Rimpang dari temugiring diparut dan ditambahkan air,
selanjutnya diperas hingga diperoleh air temugiring untuk
diminum, ditambahkan madu/gula merah bila diperlukan

Taksonomi tanaman temu giring


Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
9
Sub divisi : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma heyneana Val
Morfologi
Temu giring merupakan suatu tumbuhan tahunan. Tumbuhan temu giring memiliki
ketinggian mencapai 2 meter (Wijayakusuma, 2006).
Batang temu giring berwarna hijau pucat dan tumbuh tegak yang tersusun atas banyak
pelepah daun. Daunnya berbentuk lanset yang melebar. Helaian daunnya tipis, uratnya kelihatan
dan berwarna hijau muda. Bunga temu giring muncul dari bagian samping batang semu.
Pinggiran mahkota bunga berwarna merah. Bunga ini memiliki daun-daun pelindung yang
berujung lancip. Musim bunga berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan Mei tahun
berikutnya, namun paling banyak dijumpai pada bulan September sampai Desember (Muhlis)
Rimpang temu giring tumbuh menyebar di sebelah kiri dan kanan batang secara
memanjang sehingga terlihat kurus atau membengkok ke bawah. Secara kesuluruhan, rimpang
temu giring umumnya tumbuh mengarah ke bawah dengan percabangan berbentuk persegi.
Apabila rimpang dibelah, akan terlihat daging rimpang berwarna kuning, berbau khas temu
giring. Rimpang bagian samping umumnya memiliki rasa lebih pahit (Muhlisah, 1999).
Tanaman ini tumbuh pada daerah hingga ketinggian 750 m di atas permukaan laut. Temu
giring dijumpai sebagai tanaman liar di hutan jati atau di halaman rumah, terutama di tempat
yang teduh. Perbanyakan dilakukan dengan stek rimpang induk atau rimpang cabang yang
bertunas (Mursito, 2003).ah,1999).

Kandungan kimia
Kandungan kimia rimpang temu giring antara lain minyak atsiri dengan komponen utama
8(17),12-labdadiene-15,16-dial, tanin dan kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, desmetoksi-
kurkumin dan bis-desmetoksi-kurkumin, pati, saponin, dan flavonoid (Ditjen POM, 1989).
Kontra indikasi
dosis tinggi secara terus-menerus dalam jangka panjang sampai 24 bulan bisa menimbulkan efek
samping berupa adenoma dan lymphoma.

10
2.2.3 Lidah Buaya
Aloevera

Nama Daerah : Lidah buaya; Jawa:Letah buaya (Sunda)


Familia : Liliaceae
Khasiat : Anthelmintik, hipoglikemik
Penggunan  secara tradisional : penguat dan penumbuh rambut, penghalus kulit, obat luka
bakar, pembersih gigi, anthelmintik, dan ekspektoran.
Bagian yg digunakan      : batang
Dosis : setengah batang daun lidah buaya ukuran sedang dan 2
sendok makan madu. Duri-duri lidah buaya dibuang lalu batangnya dicuci dan diparut. Hasil
parutan dicampur dengan setengah cangkir air masak dan madu. Campuran ini diperas dan
disaring. Ini diminum 3X sehari,hasil perasannya untuk satu kali minum. ( untuk ambeien).
Taksonomi tanaman
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Liliflorae
Suku : Liliaceae
Marga : Aloe
Jenis : Aloe barbadensis Miller

11
Morfologi
a. Batang
Batang tanaman lidah buaya berserat atau berkayu. Pada umumnya sangat pendek dan
hampir tidak terlihat karena tertutup oleh daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam
tanah Namun, ada juga beberapa species yang berbentuk pohon dengan ketinggian 3-5m.
Species ini dapat dijumpai di gurun Afrika Utara dan Amerika. Melalui batang iniakan
tumbuh tunas yang akan menjadi anakan.
b. Daun
Seperti halnya tanaman berkeping satu lainya, daun lidah buaya berbentuk tombak dengan
helaian memanjang. Daunnya berdaging tebal tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan
dan mempunyai lapisan lilin dipermukaan; serta bersifat sukulen, yakni mengandung air,
getah, atau lendir yang mendominasi daun. Bagian atas daun rata dan bagian bawahnya
membulat (cembung). Di daun lidah buaya muda dan anak (sucker) terdapat bercak
berwarna hijau pucat sampai putih. Bercak ini akan hilang saat lidah buaya dewasa. Namun
tidak demikian halnya dengan tanaman lidah buaya jenis kecil atau lokal. Hal ini
kemungkinan disebabkan faktor genetiknya. Sepanjang tepi daun berjajar gerigi atau duri
yang tumpul dan tidak berwarna.
c. Bunga
Bunga lidah buaya berbentuk terompet atau tabung kecil sepanjang 2-3cm, berwarna kuning
sampai orange, tersusun sedikit berjungkai melingkari ujung tangkai yang menjulang keatas
sepanjang sekitar 50-100cm.
d. Akar
Lidah buaya mempunyai sistem perakaran yang sangat pendek dengan akar serabut yang
panjangnya bisa mencapai 30-40cm.

Kandungan kimia
Kandungan utama adalah air dan polisakarida (pektin, hemiselulosa, glukomanan,
asemanan dan derivat manosa). Selain itu juga mengandung asam amino, lipida, sterol (lupeol,
kamposterol danbeta-sitosterol), tanin dan enzim. Manosa 6-fosfat merupakan kandungan gula
utama. Lima senyawa fitosterol dilaporkan terdapat dalam Aloe vera gel yang aktif sebagai
antidiabetes. Getah daun mengandung asam glutamiat, asam aspartit, serin dan asparagin
Kontra indikasi
Aloe tidak disarankan untuk dipakai pada penderita yang mengalami gangguan usus atau
stenosis, pasien karena dehidrasi atau kekurangan elektrolit atau pasien yang mempunyai
penyakit sembelit kronik. Aloe sebaiknya juga tidak diberikan untuk pasien yang mempunyai
abdominal yang tidak terdiagnosa seperti mual, nyeri atau muntah. 1J Aloe vera gel
dikontraindikasikan pada pasien yang telah diketahui memiliki alergi pada tanaman Liliaceae

12
Toksisitas
Pada penggunaan jangka panjang akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan
elektrolit dalam tubuh, sehingga terjadi defisiensi ion kalium dan natrium, sangat berbahaya
terutama dalam kondisi bersama menggunakan glikosida jantung. Dari hasil uji toksisitas akut
ekstrak etanol dengan dosis 25; 37,5 dan 50 mg/kg BB diberikan pada mencit putih betina
selama 10 hari, menunjukkan terjadinya penurunan jumlah fetus, terlihat kelainan pada tulang
bagian ekor dan terdapat tulang pada jari kaki depan dan turunnya fertilitas.

2.2.4 Pare
Momordica charantia L

Nama Daerah : Paria, pare, pare pahit, pepareh (Jawa). Prieu, peria,
foria,; Pepare, kambeh, paria (Sumatera). Paya, paria,
truwuk, ; Paita, paliak, pariak, pania, pepule (Nusa
tenggara). Poya, ; Pudu, pentu, paria belenggede, palia
(Sulawesi). Papariane,; Pariane, papari, kakariano,
taparipong, papariano, popare, pepare
Familia : Cucurbitaceae
Khasiat : Antiinflamasi
Penggunan  secara tradisional : Peluruh dahak, pembersih darah, menambah napsu
makan, penurun panas, penyegar badan, penyakit cacingan,
kusta, batuk, nyeri hati, mual, susah BAB, dan darah kotor.

13
Bagian yg digunakan      : buah, biji dan daun
Dosis : buah pare segar secukupnya diblender dan ditambah air
panas secukupnya. Ini untuk mengatasi disentri, jus diminum sampai disentri sembuh.
Taksonomi tanaman
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Cucurbitales
Famili : Cucurbitaceae
Genus : Momordica
Spesies : Momordica charantia L.

Morfologi
a.) Batang
Tanaman pare memiliki batang berusuk lima, panjang kurang lebih 2-5 m, dan pada
batang tanaman yang masih muda berambut rapat.
b.) Daun
Tanaman pare berdaun tunggal, bertangkai panjang mulai dari 1,5-5,3 cm, kedudukannya
berseling, bentuk bulat panjang, helai daun berbagi 5-7, pangkal daun berbentuk jantung
dengan panjang kurang lebih 3,5-8,5 cm, lebar 2,5-6 cm, berwarna hijau tua.
c.) Bunga
Bunga tanaman pare bertipe tunggal, memiliki 2 kelamin dalam satu pohon, tangkai
bunga panjang dan mahkota bunga berwarna kuning.
d.) Buah
Buah pare berwarna hijau (muda) sampai jingga (tua), bentuk bulat memanjang dengan
8-10 rusuk, permukaan buah berbintil-bintil tidak beraturan, panjang 8-30 cm, bila
dikonsumsi rasanya pahit.
e.) Biji
Dalam satu buah pare memiliki banyak biji, berwarna coklat kekuningan, bentuk pipih
memanjang, dan keras.

Kandungan kimia
Momordisin, momordin, karantin, asam trikosanik, resin, asam resinat, saponin, vitamin A dan C
serta minyak lemak terdiri dari asam oleat, asam linoleat, asam stearat dan L.oleostearat. Buah:
Karantin, hydroxytryptamine, vitamin A,B dan C. Biji: Momordisin

14
Kontra indikasi
Dikarenakan dapat menyebabkan kontraksi rahim dan pendarahan, buah pare tidak boleh
digunakan pada masa kehamilan dan menyusui serta penderita hipersensitifitas terhadap buah
pare. Tidak boleh digunakan pada anak-anak dan penderita hipoglikemia.
Toksisitas
1. Toksisitas akut ekstrak air buah pare segar yang diberikan secara intraperitonial dan
subkutan pada mencit diperoleh LDso masing-masing sebesar 16 dan 27 mg/mL.
2. Toksisitas subakut ekstrak air buah pare dosis 200 mg/kg BB yang diberikan secara oral
pada tikus setiap hari selama 2 bulan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
pada sel darah putih, sel darah merah, haemoglobin (Hb), volume korpuskular,
haematokrit, dan volume haemoglobin korpuskular dibanding dengan kelompok kontrol.
3. Toksisitas subkronik ekstrak alkohol jus buah pare dosis 9,2 mg/100 g BB/hari selama 3
bulan pada tikus putih jantan galur Sprague-Dawley, tidak mempengaruhi fungsi hati
(ALT dan AST) dan fungsi ginjal (urea dan kreatinin) dan secara signifikan
meningkatkan berat badan tikus.

2.2.5 Petai Cina


Leucaena glauca Benth

Nama Daerah : Kemladingan (Sunda), kemladingan (Jawa Tengah),


kalandingan (Madura) pete cina (Melayu)

Familia : Fabaceae

15
Khasiat : Anthelmintik, hipoglikemik
Penggunan  secara tradisional : sebagai obat cacing, menurunkan kadar glukosa darah
Dosis : 3 x 5 g biji /hari. Cara pembuatan yaitu bahan direbus
dalam 2 gelas air sampai menjadi 1 gelas, dinginkan,
saring, diminum sekaligus.
Bagian yg digunakan      : Biji segar
Taksonomi tanaman petai cina
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Leucaena
Species : Leucaena leucocephala

Morfologi
Tanaman petai cina memiliki ciri morfologi sebagai berikut, perdu atau pohon, tinggi 2-10
m. Ranting bulat silindris, pada ujungnya berambut rapat. Daun menyirip rangkap. Tangkai
kebanyakan dengan kelenjar di bawah pasangan sirip yang terbawah. Sirip 3-10 pasang.
Anak daun tiap sirip 5-10 pasang, bentuk garis lanset, runcing atau dengan bagian ujung
yang runcing, dengan pangkal yang tidak sama sisi, berumbai, sisi bawah hijau biru, 6-21
kali 2-5 mm. Poros utama berambut rapat. Bunga berbilangan lima. Bongkol bertangkai
panjang. Tabung kelopak berbentuk lonceng, dengan gigi-gigi pendek, tinggi kelopak 3
mm. Daun mahkota lepas, bentuk solet, panjang kelopak 5 mm. Benang sari 10, panjang
kelopak 1 cm. Polongan di atas tanda bekas mahkota bertangkai pendek, bentuk pita, pipih
dan tipis, 10-18 kali kelopak 2 cm, diantara biji-biji dengan sekat (van Steenis, 1947).

Kandungan kimia : Galaktomanan, lektin glukomanan,


Kontra indikasi pada petai cina : kehamilan, menyusui dan batu empedu

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Askariasis merupakan salah satu penyakit infeksi cacing yang masih menjadi
masalah kesehatan di dunia. Askariasis ditularkan melalui tanah yang disebabkan oleh
parasit Ascaris lumbricoides (cacing gelang) yang merupakan parasit kosmopolit yaitu
tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropik (Behrman, 2004). Di Indonesia
prevalensi askariasis cukup tinggi, dengan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak
(Tan & Kirana, 2008). Tingginya prevalensi disebabkan higine dan sanitasi pribadi dan
lingkungan yang rendah sehingga mudah terjadi infeksi telur melalui makanan atau
minuman (Matroni, 2005; Moerfiah, Muztabadiharza, Yuda, 2012). Pengobatan
askariasis dapat diberikan obat antelmintik sintesis seperti pirantel pamoat, piperazin,
mebendazol, niklosamid, dan praziquantel. Harga obat sintesis yang sulit dijangkau
masyarakat serta banyaknya masalah resistensi akibat pemakaian terus menerus dari obat
sintesis tersebut, mendorong masyarakat kembali ke alam untuk penggunaan obat
alternatif dengan memanfaatkan tanaman berkhasiat obat. Saat ini telah diketahui banyak
tanaman berkhasiat obat yang pernah dan masih digunakan secara tradisional sebagai
obat antelmintik, isu semaraknya pemakaian obat tradisional didukung Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Anonimus, 1989a; Satrija, Retnani, Ridwan, & Tiuria,
2001; Husein & Beriajaya, 2006). Obat tradisional yang secara empiris digunakan
sebagai antelmintik diantaranya: biji pinang, temu giring, lidah buaya, pare, petai cina
(Tiwow, Bodhi, & Kojong, 2013).

3.2 Saran
Penyusun menyarankan pada para pembaca sekalian untuk semakin
menggalakkan penggunaan tanaman obat karena melihat bahwa tanaman obat memiliki
fungsi dan khasiat yang lebih ampuh dibandingkan dengan obat-obatan kimia. Selain itu
juga tanaman obat lebih mudah didapat dan diolah dengan teknologi yang lebih
sederhana serta pembudidayaannya juga tidak membutuhkan banyak biaya.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. http://repository.maranatha.edu/8794/3/1010070_Chapter1.pdf
2. http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/4601/05bab1_riayaturrobby_1
0060310101_skr_2014.pdf?sequence=6&isAllowed=y
3. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/26027/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y
4. https://p4ndhit.files.wordpress.com/2010/03/bab-ii-b-1-morfologi-tanaman-lidah-
buaya.pdf
5. https://books.google.co.id/books?
id=bJDx3Cs60O8C&pg=PT12&lpg=PT12&dq=taksonomi+pare&source=bl&ots=tMaXt
_iemM&sig=PEHpsABAJJgXxNdsirAySRdbiLA&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiU0Ly
9tN7XAhWBf7wKHbFTBwcQ6AEIcDAL#v=onepage&q=taksonomi%20pare&f=false
6. https://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://erepo.unud.ac.id/11029/3/4c0605891f847d5e195e47
1a7d941d00.pdf&ved=0ahUKEwinh-
jJtt7XAhUGw7wKHfG4CnwQFggnMAM&usg=AOvVaw10_zf15OTbTBJ_MnVmpiJn
7. https://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.ums.ac.id/2322/1/K100040172.pdf&ved=0ah
UKEwii463XuN7XAhXGv7wKHWjMCDwQFggsMAE&usg=AOvVaw2k1EV7KyDYJ
vgu52t3cMLc
8. https://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://snkpk.fkip.uns.ac.id/wp-
content/uploads/2015/03/KOMPOSISI-KIMIAWI-PENYUSUN-MINYAK-BIJI-PETAI-
CINA-Leucaena-leucocephala-Lam.-de-Wit-DAN-PENGARUH-LAMA-WAKTU-
EKSTRAKSI-TERHADAP-SIFAT-FISIKA-
KIMIAWINYA.pdf&ved=0ahUKEwii463XuN7XAhXGv7wKHWjMCDwQFgg1MAI&
usg=AOvVaw2ZIiJSoA_FSiwVL_xE5t6t
9. https://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repo.unand.ac.id/2052/1/syamsudin_-_Jurnal-
2.doc&ved=0ahUKEwii463XuN7XAhXGv7wKHWjMCDwQFghGMAg&usg=AOvVa
w1jB-OdD65FGWn3rbU0Ovh6
10. https://www.google.co.id/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/58
781/ChapterII.pdf%3Fsequence
%3D4&ved=0ahUKEwjm5I3zvt7XAhVHW7wKHadkDnoQFggoMAQ&usg=AOvVaw
3agnL4fzVUMlPzdDkNYx7i

18
11. Syarif, Pudjiati , dkk. DISKRIPSI DAN MANFAAT TANAMAN OBAT DI PEDESAAN
SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN APOTIK HIDUP (STUDI KASUS DI
KECAMATAN WONOKERTO). Universitas Pekalongan.
12. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. 2017. FORMULARIUM
RAMUAN OBAT TRADISIONAL INDONESIA. Jakarta: KEPUTUSAN MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
13. Santoso, Edi. 2003. Pengaruh jenis pupuk organik terhadap pertumbuhan tanaman lidah
buaya. Bul.Agron.(31) (3) 120 – 125.
14. Redaksi Agro media. 273 ramuan tradisional untuk mengatasi aneka penyakit.
15. MC Setiawan. 2012. Deskripsi dan Taksonomi Lidah Buaya. (e-
journal.uajy.ac.id/380/3/2BL01059.pdf)
16. Acuan Sediaan Herbal Volume 4 Edisi Pertama. BPOM RI.2008
17. Acuan Sediaan Herbal Volume 6 Edisi Pertama. BPOM RI.2008
18. Subahar, Tati. Tim Lenters. 2004. Khasiat dan Manfaat Pare. PT. Agro Media Pustaka.
Depok.

19

Anda mungkin juga menyukai