Anda di halaman 1dari 10

1

Kritik Metodologi Kaum Feminis dalam Studi Al-Qur’an


Oleh: Kholili Hasib, M.Ag

Pendahuluan

Sasaran utama dan pertama para pemikir feminis untuk


menyokong ide, rekayasan “ijtihad” dan hujjahnya adalah melakukan
perlakuan baru terhadap al-Qur’an dan penafsirannya. Posisi al-Quran
memang strategis, karena menjadi “jantung” dirasah Islamiyah (studi
Islam). Berdasarkan survey litelatur tulisan aktifis feminis, ada beberapa
perlakuan aneh terhadap al-Qur’an yang menjadi asumsi dasar untuk
membangun pemikiran. Antara lain dikatakan; setiap penafsir terhadap
teks al-Qur’an bersifat subjektif dan dibayangi oleh pre-understanding
(paham awal penafsir), melakukan pemutusan hubungan antar sumber-
sumber hukum. Antara al-Quran dengan hadis, menolak ijma’ dalam
penafsiran atau ijtihad kandungan hukum al-Quran sekaligus kritik
terhadap metode tafsir baku ulama. Selain itu, melakukan penyetaraan
antara al-Quran dengan teks lain dan melakukan historical criticism (kritik
sejarah).

Perlakuan demikian khususnya dilakukan para pemikir feminis


Muslim dalam rangkan mendudukkan al-Qur’an dalam perspektif gender
equality. Sebagaimana yang sudah ma’lum, bahwa gender equality atau
feminisme merupakan paham baru dan asing dalam tradisi Islam, tetapi
adopsi dari pengalaman masyarakaat Barat pada beberapa abad silam.
Kemudian, bagaimana tradisi Islam menilai perlakuan ini? Maka, tulisan
singkat ini mencoba menelusuri tradisi Islam tentang studi al-Quran
melalui pustaka-pustaka standard dalam turats ilmu al-Qur’an. Tujuannya,
membuktikan apakah perlakuan aktivis feminis Muslim terhadap al-Quran
dan penafsirannya ini ditemukan dalam turats ilmu al-Qur’an atau tidak.
Jika tidak, apakah dapat dianggap absah menurut standar ilmu-ilmu
keislaman?
2

Problem Metodologi

Upaya mendudukkan al-Qur’an dalam pemikiran gender equality


pertama-tama biasanya menggunakan ‘pisau’ kritik sejarah. Dalam buku
Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an ditulis: “Dalam kenyataan
sejarah, kondisi objektif sosial-budaya tempat kitab suci itu diturunkan
menjadi referensi penting di dalam memahami teks tersebut. Memahami
kondisi objektif Jazirah Arab tidak dapat ditinggalkan bagi siapa saja yang
ingin memahami lebih mendalam ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini (kajian
mendalam terhadap kondisi objektif di kawasan jazirah Arab) dinilai
penting karena al-Qur’an pertama kali dialamatkan di kawasan ini. Seperti
diketahui kawasan ini bukanlah suatu kawasan yang hampa budaya,
melainkan sudah sarat dengan berbagai nilai”1.

Dalam buku berjudul Perempuan Dalam Pasungan ; Bias Laki-laki


dalam Penafsiran, ditulis: “Bahkan sejumlah ayat dalam al-Qur’an, seperti
ayat-ayat tentang perempuan, dapat disalahpahami tanpa memahami latar
belakang sosial-budaya masyarakat Arab. Sebagaimana diketahui, berbagai
perlakuan terhadap perempuan yang berlaku pada masa pra-Islam yang
telah diperbarui, atau dilarang oleh revolusi Islam, kembali muncul di
dalam syari’at Islam melalui adat.2

Tulisan tersebut mengajarkan agar menjadikan latar belakang


budaya dan sejarah sebagai otoritas dalam penafsiran al-Qur’an. Sehingga
menepikan keahlian ulama mufassir. Pembacaan al-Quran dari perspektif
historis dengan model seperti ini sesungguhnya cara untuk membuka kran-
kran pemikiran feminisme secara deras ke dalamnya. Misalnya, al-Qur’an
lengket dengan budaya-budaya partiarkhi Arab dan nilai-nilai yang
mengedepankan lelaki dan menempatkan perempuan di belakang. Lebih
kasarnya lagi, lafadz al-Quran tidak murni lagi dari kalam Allah Swt. Tetapi

1
Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Quran, (Jakarta:
Paramadina, 2001), 306-307
2Nurjannah Islam, Perempuan Dalam Pasungan ; Bias Laki-laki dalam Penafsiran,

(Yogyakarta: LKiS, 2003), 33


3

telah menjadi campuran antara kalam ilahi, budaya, tradisi dan kebiasaan
orang Arab. Oleh Mohammed Arkoun al-Quran disebut nas tarikhiyyan (teks
historis)3. Arkoun berpendapat: “Kitab al-Qur’an diyakini sudah tidak
mengungkap seluruh kalam Allah, sebagaimana di Lauh Mahfudz4. Rupanya
sebagian penulis feminis Muslim mengadopsi pendapat-pendapat syadz
(aneh) seperti ini.

Kesimpulan demikian sesungguhnya juga dzan (dugaan) atau


spekulasi saja. Belum ada pembuktian yang pasti (qath’i). Para sarjana
feminis juga tidak mengetahui wahyu di Lauhul Mahfudz dan perbedaannya
apa saja dengan wahyu yang turun ke bumi. Bagaimana penjelasan
rasionalnya bahwa, jika wahyu yang turun ke bumi mengalami pereduksian
budaya. Alasan berkurangnya keaslian hanya karena dilafalkan dalam
bahasa manusia tentunya belum memenuhi pertanyaan. Apakah para
sarjana itu hendak mengatakan Allah “gagal” mewahyukan kepada
manusia, melihat kondisi wahyu yang sudah tercampur budaya manusia?
Ataukah mereka meyakini memang Allah tidak menurunkan wahyu yang
otentik? Tidak ada jawaban pasti dari para sarjana tersebut. Karena
memang pondasi pemikirannya adalah dugaan. Sedangkan dugaan atau pun
dzan dalam filsafat ilmu Islam itu tidak menghasilkan kepastian
pengetahuan (laa yufiidu al-ilma). Dalam hal ini Allah Swt menerangkan
tentang status prasangka:

‫وإِ َّن الظَّ َّن ال يُغين من احلق شيئا‬

“Sesungguhnya prasangka itu tidak berfaidah sedikitpun terhadap


kebenaran” (QS. An-Najm: 28). Syek Nawawi al-Jawi al-Banti menjelaskan
dalam tafsirnya Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid:

3
Muhammad bin Sa’id al-Sarhani,Atharu al-Istishraqifī Mawqif Muhammad Arkoun min
al-Qur’an al-Karīm, mengutip buku Hadlarah al-Islam,(Kairo: Hai’ah al-Misriyyah al-‘Amah
li al-Kitab, 1994), 108
4
Mohammed Arkoun,Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj.
Ruslani,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 105
4

sesungguhnya prasangka itu tidak menjadikan keyakinan yang pasti


(jazim). Sedangkan kebenaran (al-Haq) itu harus menjadi sesuatu yang
pasti. Ia mengatakan:

‫ وحيتمل أن املراد من احلق‬.‫ والظن ال يكون جازما‬،‫ففي احلق ينبغي أن يكون جازما‬

‫ فإن األوصاف اآلليهة ال يستخرج‬.‫ واملعىن وأن الظن ال يفيد شيئا من هللا‬.‫هو هللا تعاىل‬
5
.‫ابلظنون‬

Karena itu, ayat tersebut melarang mengikuti prasangka dalam perkara-


perkara penting, pokok dan fundamental.

Berbeda dengan pandangan para ulama yang meyakini kepastian


al-Qur’an sebagai kalam Allah Swt, tanpa ada campur budaya manusia.
Bahkan menjadi keyakinan dasar setiap orang Islam. Kepastian ini tentu
saja melalui jalur ilmiah. Melalu rantai isnad, al-Qur’an disepakati murni
kalam Allah.6 Dalam pandangan Islam -- semua ulama menyepakati --
bahwa al-Qur’an yang dibaca oleh umat Islam semuanya berasal dari Allah
Swt. Adapun al-Qur’an yang dilafadzkan dengan bahasa manusia dijelaskan
oleh Fakhruddin al-Razi bahwa Allah berkomunikasi menurut kadar
kemampuan manusia (‘ala qadri ‘uquli an-nas), dan tidak mengurangi isi

5 Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Maroh Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’anil

Majid,II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2006), 466


6
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Fiqih, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2010),
24, lihat juga halaman 32. Teks dalam kitab ini adalah:
‫ ونصوص القرآن مجيعها قطعية‬.‫أنه (اي القرآن) منقول ابلتواتر أي طريق النقل الذي يفيد العلم والقطع بصحة الرواية‬
.‫من جهة ورودها وثبوهتا ونقلها عن الرسول صلى هللا عليه وسلم الينا‬
5

wahyu7. Imam Zarkasyi mengatakan, Allah Swt berbicara dengan manusia


dengan apa yang dipahami oleh manusia itu.8 Ia menulis:

‫واعلم أن من املعلوم أن هللا تعاىل إمنا خاطب خلقه مبا يفهمونه ولذلك أرس كل رسول‬

.‫بلسان قومه وأنزل كتابه على لغتهم‬

Imam Zarqani, al-Razi dan lain-lain sepakat bahwa al-Qur'an awal


mulanya berada di Lauh Mahfudz. Ditempat ini, al-Qu'ran sudah dalam
bentuk yang utuh, yakni sudah terbentuk dalam lafazh-lafazh yang
sistematis seperti sekarang ini.9 Wahyu yang disebut al-Qur’an yakni yang
diturunkan adalah lafadz dan maknanya. Allah SWT mengatakan kepada
Jibril, bacalahkanlah al-Kitab ini kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian
Jibril turun tanpa mengubah redaksi lafadznya sedikitpun, seakan-akan
Allah SWT menulis sebuah tulisan yang kemudian diserahkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui Jibril10. Imam as-Suyuthi menulis:

ٍ
‫ كما‬،‫بكلمة من هللا من غري تغي ٍري‬ ‫ فنزل جربيل‬،‫ اقرأ على النيب هذا الكتاب‬:‫قال هللا جلربيل‬

‫ اقرأه على فالن فهو ال يغري من كلمة وال‬:‫ ويقول‬،‫بكتب امللِك كتااب ويسلمه إىل أمني‬
َ
.‫حرفا‬

Wahyu yang belum di-tanzil-kan dalam bentuk transenden di Lauh


Mahfudz tidak mengalami pengurangan ketika dilafadzkan oleh Nabi.

7
Komunikasi al-Qur’an seperti ini menjembatani manusia untuk memahami wahyu-Nya.
Dengan menggunakan bahasa manusia, Allah ‘menggambarkan’ diri seperti manusia tapi bukan
manusia. Baca Fakhruddin al-Razi, Khalqu al-Qur’an Byna al-Mu’tazilah wa Ahl al-
Sunnah,(Beirut: Dar al-Jil, 1992), 6.
8
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’a jilid 1, (Kairo:
Dar at-Turats, tanpa tahun), 14.
9
Muhammad 'Abd al-'Adzim al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Quran, juz I,
(Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1995), 39
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an,(Beirut: Muassasah ar Risalah
10

an-Nasyi’un, 2008), 102


6

Artinya tidak ada pengaruh kebudayaan. Sebab, Allah menjaganya sedari


awal. Pembedaan dikotomis itu meniadakan konsep sifat qudrah dan al-
hafidz (sifat menjaga) Allah SWT. Pemahaman terhadap konsep ini sangat
mendasar, sehingga mempengarui terhadap pemahaman konsep-konsep
teologis lainnya. Qudrah maupun sifat hafidz-Nya mengikat sejak zaman
azali hingga seterusnya. Seperti yang dijelaskan Fakhruddīn al-Razi,
penjagaan Allah tidak mengalami keterputusan yang disebabkan oleh
bergantinya tempat dan waktu11.

Keyakinan bahwa al-Qur’an dipengaruhi budaya itu


mengakibatkan desakralisasi terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an seperti teks
yang lainnya. Selanjutnya menolak otoritas dan kredibilitas ulama tafsir,
dengan spekulasi hampir sama dengan kritik sejarah al-Qur’an bahwa
penafsiran ulama tafsir dipengaruhi lingkungan, budaya dan pre-
understanding. Inilah konsekuensi-konsekuensi dari keyakinan wahyu
tercampur budaya Arab yang membuka gerbang pemikiran feminisme.

Sebagai contoh, dalam buku Perempuan Dalam Pasungan ; Bias


Laki-laki dalam Penafsiran, ditulis: “Meskipun al-Qur’an adalah kitab suci
yang kebenarannya abadi, penafsirannya tidak bisa dihindari sebagai suatu
yang relatif. Perkembangan historis berbagai madzhab kalam, fiqh, dan
tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan
keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi
dominan. Pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol.
Itulah sebabnya persepsi tentang perempuan di kalangan umat Islam,
khususnya dalam diri mufassir, juga berubah-ubah dari zaman ke zaman”12.

Jadi, menurut penulis buku ini, jenis kelamin itu mempengaruhi


corak tafsir. Dalam tradisi Islam, menumpukan jenis kelamin sebagai faktor
berpengaruh itu jelas aneh. Sebab, tradisi keilmuan Islam sepanjang sejarah

11
Fakhruddin al-Razi,Khalqu al-Qur’an Byna al-Mu’tazilah wa Ahl al-Sunnah,…, 71
12Nurjannah Islam, Perempuan Dalam Pasungan ; Bias Laki-laki dalam
Penafsiran,…2
7

tidak pernah bertumpu pada jenis kelamin. Maka tidak heran, sebagaian
orang menyebut pemikiran feminisme itu pemikiran yang “jenis kelamin
oriented”. Segala hal dilihat, ditimbang, dan dipikir dari sudut jenis kelamin.
Korupsi dilihat dari jenis kelamin. Pendidikan, bahkan pandemic covid -19
dilihat dari jenis kelamin. Seakan-akan ada yang salah dalam jenis kelamin
itu. Jenis kelamin dipersalahkan.

Bagaimana dengan karakteristik ilmu tafsir itu? Ilmu tafsir itu telah
terstandarisasi secara ilmiyah. Ilmu tafsir berdiri dan dikelilingi oleh
berbagai ilmu-ilmu untuk menyokong penafsiran. Mengetahui sejarah dan
bahasa Arab tidak cukup. Sangat kurang. Ilmu qira’ah, tarikh (sejarah al-
Qur’an), ilmu balaghah, ilmu nahwu sharaf, ilmu hadis, ilmu fiqih, dan ilmu
akidah.13 Apalagi ketika membahas ayat-ayat hukum, maka tafsir beririsan
langsung dengan ushul fiqih. Bahkan menurut imam Syafi’i, ada 15 cabang
ilmu yang harus dikuasai oleh mufassir, yaitu; ilmu bahasa, nahwu, tashrif,
isytiqaq lafadz, ilmu ma’ani, ilmu bayani, ilmu badi’, ilmu qira’at, ilmu
ushuluddin, ilmu ushul fiqih, ilmu sabab nuzul, nasikh-mansukh, ilmu hadis,
dan ilmu mauhubah yang diberi oleh Allah Swt secara langsung14.

Ternyata, syarat-syarat ilmiah dzahir menurut imam Syafi’i masih


perlu lagi disokong oleh petunjuk dari Allah Swt. Syarat-syarat keilmuan
secara rasional mungkin dirasa cukup. Tetapi bagi imam Syafi’i, hal itu
masih harus diperkuat dengan hidayah Allah. Ilmu mauhubah ini semacam
ilham dari Allah Swt yang diperoleh setelah seorang hamba melaksanakan
mujahadah (memerangi hawa nafsu). Jadi, tafsir para ulama dahulu
dipagari oleh ilmu-ilmu dzahir dan ilmu batin. Ia begitu kokoh dan kuat. Hal
ini untuk menghindari penafsiran dari hawa nafsu, akal semata. Tdiak boleh
ada celah rasio pribadi, atau pikiran murni manusia. Jadi tafsir-tafsir
standar seperti tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Abbas, tafsir Ibn Katsir, Tafsir
Qurtubi dan lain-lain telah memenuhi syarat tersebut. Karena itu tidak ada

13Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an, 13


14Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi al-Qur’an, (Beirut: Muassasah ar Risalah
an-Nasyi’un, 2008), hal. 771-772
8

generasa ulama yang menolak (ijma’), yang telah berabad-abad menjadi


otoritas keilmuan tafsir yang mapan.

Maka, isi kandungan al-Qur’an tidak bisa ditafsirkan semena-mena.


Para mufassir harus memiliki kredibilitas supaya tidak menyebabkan
penyimpangan penafsiran. Jika ayat-ayat al-Qur’an ditafsirkan sesuka hati
oleh siapa saja, maka akan terjadi banyak kebingungan dan kerancuan
penafsiran. Kredibilitas mufassir tersebut bertujuan membatasi
penyimpangan yang mungkin berlaku di dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sehingga tidak sembarangan orang boleh menafsirkan al-Qur’an semena-
mena. Selain itu, tafsiran juga telah dibatasi oleh berbagai perkara, supaya
penyimpangan penafsiran tidak dengan mudah berlaku.

Rumus yang dipegang oleh para ulama bahwa lafadz dan ma’na al-
Qur’an itu dari Allah Swt. Rasulullah Saw hanya sebagai ‘mediator’ dan
penyampai wahyu saja. Tidak mereduksinya 15. Makna dari Allah Swt
tersebut kemudian diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Maka, salah
satu fungsi hadis adalah penjelas (bayan) bagi ayat al-Qur’an. Dari
Rasulullah makna ditransmisikan (naql) kepada para sahabatnya. Pada
zaman para sahabat, ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan
Rasulullah saw dijadikan sandaran untuk menafsirkan al-Qur’an. Setelah
generasi Sahabat, para tabi’in menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an,
hadits Nabi dan pendapat para sahabat. Setelah itu baru mereka
mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad sesuai mekanisme
dan syarat-syarat di atas. Jadi, penafsiran al-Quran sangat berlandaskan
kepada Rasulullah Saw. Bahkan pada era tabi’in, sebelum pembukuan kitab
tafsir, ilmu tafsir masih bagian dari hadis. Hal ini menunjukkan kehati-
hatian. Baik sebelum maupun sesudah pembukuan kitab-kitab tafsir.

Bahkan, keyakinan bahwa al-Qur’an itu tidak murni dari Allah tapi
susunan redaksional lafadznya oleh lisan Nabi Saw jauh-jauh telah dibantah

15 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Fiqih, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,

2010), 23
9

oleh imam az-Zarqani. Imam al-Zarqani mengatakan: “Sungguh ada sebagian


orang berpendapat bahwa Jibril datang kepada Nabi SAW membawa makna al-
Qur’an, kemudian Rasulullah SAW sendiri yang menyusun redaksinya dengan
bahasa Arab. Ada pula yang berpendapat bahwa lafadz itu dari Jibril. Sedangkan
Jibril menerima dari Allah SWT hanya dalam bentuk makna saja. Dua pendapat
tersebut adalah salah, bertentangan dengan al-Qur’an, hadis dan ijma”16.

Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metode


kaum feminis Muslim dalam studi al-Qur’an dibangun diatas prasangka
(dzan) atau angan-angan tercampurnya al-Qur’an itu dengan budaya dan
bahasa Arab. Keyakinan demikian memproduksi prasangka-prasangka
yang lain, seperti tafsir yang relatif. Tafsir yang dipengaruhi zaman dan
jenis kelamin. Akibat berikutnya adalah menolak ijma’. Padahal, ijma itu
dalam epistemologi Islam salah satu sumber memperoleh kebenaran.
Memang konsep ijma’ tidak dikenal kecuali dalam tradisi Islam. Ilmu yang
sudah standar dan dispekati oleh ahli sarjana Islam itu jika dibongkar-
bongkar lagi, maka bukan kemajuan ilmu yang didapatkan. Tetapi
kerusakan demi kerusakan. Merusak lebih mudah daripada membangun
lagi. Karena itu, metode feminis Muslim dalam studi al-Qur’an tidak
ditemukan akarnya dalam tradisi turats Islam. Sehingga, produk-produk
pemikirannya tentang tafsir tidak memenuhi standar keilmuan tradisi
Islam. Berarti kajiannya dibawah standar ilmiah.

Al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt, dimana untuk


mempelajarinya ada ilmunya. Sudah terstandarisasi secara ilmiah. Berpijak
dari Nabi Muhammad yang ma’shum (dijaga dari kesalahan). Maka, jika
dipelajari dengan pendekatan yang bukan tafsir, maka menciptakan
kekeliruan. Merupakan sesuatu yang wajar dan alami, setiap ilmu ada

16
Muhammad ‘Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1995 M/1415 H Jilid I), 43
10

karakteristiknya yang berbeda dengan ilmu yang lainnya. Ilmu bahasa


Inggris dipelajari dengan ilmu yang bernama grammar. Bahasa Arab
dipelajari dengan alat bernama ilmu nahwu-sharaf. Ilmu membangun
rumah atau gedung dipelajari dengan ilmu teknik sipil dan arsitektur.
Begitupula al-Qur’an dipelajari dengan ilmu yang bernama tafsir dan
ulumul Qur’an. Tidak bisa didekati dengan pendekatan ilmu yang lainnya.
Maka, aneh misalnya ilmu al-Qur’an dipelajari dengan ilmu perbengkelan.
Ilmu ada tempatnya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai