Pendahuluan
Problem Metodologi
1
Nazaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Quran, (Jakarta:
Paramadina, 2001), 306-307
2Nurjannah Islam, Perempuan Dalam Pasungan ; Bias Laki-laki dalam Penafsiran,
telah menjadi campuran antara kalam ilahi, budaya, tradisi dan kebiasaan
orang Arab. Oleh Mohammed Arkoun al-Quran disebut nas tarikhiyyan (teks
historis)3. Arkoun berpendapat: “Kitab al-Qur’an diyakini sudah tidak
mengungkap seluruh kalam Allah, sebagaimana di Lauh Mahfudz4. Rupanya
sebagian penulis feminis Muslim mengadopsi pendapat-pendapat syadz
(aneh) seperti ini.
3
Muhammad bin Sa’id al-Sarhani,Atharu al-Istishraqifī Mawqif Muhammad Arkoun min
al-Qur’an al-Karīm, mengutip buku Hadlarah al-Islam,(Kairo: Hai’ah al-Misriyyah al-‘Amah
li al-Kitab, 1994), 108
4
Mohammed Arkoun,Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj.
Ruslani,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 105
4
وحيتمل أن املراد من احلق. والظن ال يكون جازما،ففي احلق ينبغي أن يكون جازما
فإن األوصاف اآلليهة ال يستخرج. واملعىن وأن الظن ال يفيد شيئا من هللا.هو هللا تعاىل
5
.ابلظنون
5 Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Maroh Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’anil
واعلم أن من املعلوم أن هللا تعاىل إمنا خاطب خلقه مبا يفهمونه ولذلك أرس كل رسول
ٍ
كما،بكلمة من هللا من غري تغي ٍري فنزل جربيل، اقرأ على النيب هذا الكتاب:قال هللا جلربيل
اقرأه على فالن فهو ال يغري من كلمة وال: ويقول،بكتب امللِك كتااب ويسلمه إىل أمني
َ
.حرفا
7
Komunikasi al-Qur’an seperti ini menjembatani manusia untuk memahami wahyu-Nya.
Dengan menggunakan bahasa manusia, Allah ‘menggambarkan’ diri seperti manusia tapi bukan
manusia. Baca Fakhruddin al-Razi, Khalqu al-Qur’an Byna al-Mu’tazilah wa Ahl al-
Sunnah,(Beirut: Dar al-Jil, 1992), 6.
8
Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Qur’a jilid 1, (Kairo:
Dar at-Turats, tanpa tahun), 14.
9
Muhammad 'Abd al-'Adzim al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Quran, juz I,
(Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1995), 39
Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an,(Beirut: Muassasah ar Risalah
10
11
Fakhruddin al-Razi,Khalqu al-Qur’an Byna al-Mu’tazilah wa Ahl al-Sunnah,…, 71
12Nurjannah Islam, Perempuan Dalam Pasungan ; Bias Laki-laki dalam
Penafsiran,…2
7
tidak pernah bertumpu pada jenis kelamin. Maka tidak heran, sebagaian
orang menyebut pemikiran feminisme itu pemikiran yang “jenis kelamin
oriented”. Segala hal dilihat, ditimbang, dan dipikir dari sudut jenis kelamin.
Korupsi dilihat dari jenis kelamin. Pendidikan, bahkan pandemic covid -19
dilihat dari jenis kelamin. Seakan-akan ada yang salah dalam jenis kelamin
itu. Jenis kelamin dipersalahkan.
Bagaimana dengan karakteristik ilmu tafsir itu? Ilmu tafsir itu telah
terstandarisasi secara ilmiyah. Ilmu tafsir berdiri dan dikelilingi oleh
berbagai ilmu-ilmu untuk menyokong penafsiran. Mengetahui sejarah dan
bahasa Arab tidak cukup. Sangat kurang. Ilmu qira’ah, tarikh (sejarah al-
Qur’an), ilmu balaghah, ilmu nahwu sharaf, ilmu hadis, ilmu fiqih, dan ilmu
akidah.13 Apalagi ketika membahas ayat-ayat hukum, maka tafsir beririsan
langsung dengan ushul fiqih. Bahkan menurut imam Syafi’i, ada 15 cabang
ilmu yang harus dikuasai oleh mufassir, yaitu; ilmu bahasa, nahwu, tashrif,
isytiqaq lafadz, ilmu ma’ani, ilmu bayani, ilmu badi’, ilmu qira’at, ilmu
ushuluddin, ilmu ushul fiqih, ilmu sabab nuzul, nasikh-mansukh, ilmu hadis,
dan ilmu mauhubah yang diberi oleh Allah Swt secara langsung14.
Rumus yang dipegang oleh para ulama bahwa lafadz dan ma’na al-
Qur’an itu dari Allah Swt. Rasulullah Saw hanya sebagai ‘mediator’ dan
penyampai wahyu saja. Tidak mereduksinya 15. Makna dari Allah Swt
tersebut kemudian diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Maka, salah
satu fungsi hadis adalah penjelas (bayan) bagi ayat al-Qur’an. Dari
Rasulullah makna ditransmisikan (naql) kepada para sahabatnya. Pada
zaman para sahabat, ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan
Rasulullah saw dijadikan sandaran untuk menafsirkan al-Qur’an. Setelah
generasi Sahabat, para tabi’in menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an,
hadits Nabi dan pendapat para sahabat. Setelah itu baru mereka
mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad sesuai mekanisme
dan syarat-syarat di atas. Jadi, penafsiran al-Quran sangat berlandaskan
kepada Rasulullah Saw. Bahkan pada era tabi’in, sebelum pembukuan kitab
tafsir, ilmu tafsir masih bagian dari hadis. Hal ini menunjukkan kehati-
hatian. Baik sebelum maupun sesudah pembukuan kitab-kitab tafsir.
Bahkan, keyakinan bahwa al-Qur’an itu tidak murni dari Allah tapi
susunan redaksional lafadznya oleh lisan Nabi Saw jauh-jauh telah dibantah
15 Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Fiqih, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
2010), 23
9
Penutup
16
Muhammad ‘Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1995 M/1415 H Jilid I), 43
10