Anda di halaman 1dari 3

�KAJIAN MUSTHALAH HADITS KE-7 �

*(Kajian Kitab Nukhbah al-Fikar fi Musthalahi Ahli al-Atsar)*

*Matan dan Terjemah*

ِ - ‫ أَحم ُد بن علِي ب ِن حج ٍر الإعس َق ََلنِ ُّي‬:‫ظ‬


: -‫رح َمهُ اللَّهُ تَ َعالَى‬ ِ ‫اْلمام ال‬
‫إحاف ُ إ َ إ ُ َ ِّ إ َ َ َ إ‬ َ ُ َ ِ‫ال إ‬َ َ‫ق‬

. ‫َم تَ َق إع ُمنَافِيَةً لِ َم إن ُه َو أ إَوثَ ُق‬


‫ادةُ َرا ِوي ِه َما َم إقبُولَةٌ َما ل إ‬
َ َ‫َوِزي‬
_Telah berkata al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani rahimahullahu
ta’ala:_

_Ziyadah atau tambahan rawi keduanya (yakni rawi hadits shahih dan hasan) adalah
maqbul (diterima) selama tidak ada hadits yang menafikan dari yang lebih tsiqah._

*Ziyadat al-Tsiqat*

Ziyadaat merupakan bentuk jamak dari kata ziyadah, sedangkan tsiqaat merupakan
jamak dari kata tsiqah. Tsiqah itu adalah orang yang adil lagi dhabith. Adapun yang
dimaksud dengan ziyadat ats-tsiqah adalah lafazh tambahan sebagian (rawi) tsiqah
yang kita lihat dalam riwayat hadits dari rawi tsiqah lainnya.

Tambahan-tambahan oleh sebagian rawi tsiqah yang ada pada sebagian hadits hampir
terlupakan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang mencermatinya,
mengumpulkan dan memahaminya, yang populer antara lain:
a. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad an-Naisaburi
b. Abu Nu‟aim al-Jurjani
c. Abu al-Walid Hasan bin Muhammad al-Qursyi

Tempat terjadinya bisa terjadi pada matan atau sanad


a. Pada matan: berupa tambahan kata atau kalimat
b. Pada sanad: berupa memarfu‟kan yang mauquf, atau menyambung yang mursal.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum tambahan pada matan:


a. Menerima secara mutlak
b. Menolak secara mutlak
c. Menolak tambahan dari rawi hadits yang meriwayatkannya dari rawi yang pertama
tanpa disertai tambahan; namun menerimanya jika dari yang selainnya.

Ibnu Shalah telah membagi ziyadah tsiqah sesuai dengan bisa diterima atau ditolaknya
menjadi tiga macam. Pembagiannya termasuk bagus, dan hal ini disepakati oleh an-
Nawawi maupun lainnya, yakni:
a. Tambahan yang tidak saling meniadakan dari para rawi tsiqah atau yang lebih
tsiqah. Hukumnya dapat diterima, sebab hal itu sama seperti hadits yang diriwayatkan
sejumlah rawi tsiqah dari rawi-rawi tsiqah. Contohnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim melalui jalur Ali bin Munshir dari al-A‟masiy dari Abu
Razin dan Abu Shalih, dari Abu Hurairah ra. berupa tambahan kata “falyuriqhu” pada
hadits mengenai jilatan anjing. Seluruh penghafal dari kawan-kawannya A‟masy tidak
menyebutkan hal itu. Mereka meriwayatkan: “idzaa walaghal kalbu fii ina-i ahadikum
falyaghlilhu sab‟a mirar (Apabila seekor anjing menjilat bejana kalian, maka basuhlah
sebanyak tujuh kali). Tambahan semacam ini seperti khabar yang menyendiri dari Ali
bin Munshir, sedangkan ia seorang tsiqah. Karena itu tambahan ini dapat diterima.

b. Tambahan yang saling meniadakan dari para rawi tsiqah atau yang lebih tsiqah.
Hukumnya ditolak, sama seperti hadits syadz. Contohnya tambahan “yaum „arafah”
pada hadits: “Hari Arafah, Hari Nahar, dan Hari-hari Tasyriq merupakan hari raya
kita para pemeluk Islam; itu merupakan hari-hari untuk makan dan minum.”
Hadits dari seluruh jalur tidak menyertakan tambahan kata tadi. Namun, kata tersebut
datang dari Musa bin Ali dari Rabah dari bapaknya dari „Uqbah bin Amir, dan
haditsnya dikeluarkan oleh Tirmidzi, Abu Daud dan lainnya.

c. Tambahan yang di dalamnya terdapat jenis yang saling meniadakan dari para rawi
tsiqah atau yang lebih tsiqah. Contohnya adalah: hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim melalui jalur Abi Malik al-Asyja‟i dari Rib‟i dari Hudzaifah, yang berkata:
“Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: „…dan telah dijadikan bagi kita,
bumi itu sebagai masjid, dan telah dijadikan bagi kita, debu itu suci.‟”
Riwayat Abu Malik yang disertai tambahan kata “turbatuha” menyendiri, dan hal itu
tidak pernah disebut-sebut oleh rawi lain. Mereka meriwayatkan hadits dengan
redaksi: “Dan telah dijadikan bagi kita, bumi itu sebagai masjid dan suci.”

Secara ringkas jenis yang saling meniadakan itu ada dua:


a. Taqyid dari yang mutlak
b. Takhshish dari yang umum

Terhadap pembagian ini Ibnu Shalah tidak berkomentar mengenai hukumnya; tetapi
an-Nawawi berkata: “Yang benar, bagian terakhir dapat diterima.” (at-Taqrib, I/247).
Syafi‟i dan Malik menerima tambahan jenis ini, sedangkan Hanafi menolaknya.

Mengenai tambahan pada sanad, dalam hal ini harus ditempatkan dalam dua hal
penting, yang banyak sekali terjadi. Keduanya saling bertentangan, baik antara yang
bersambung dengan yang mursal, ataupun antara yang marfu‟ dengan yang mauquf.
Sedangkan bentuk tambahan yang lainnya pada sanad, para ulama telah
mengkhususkan pengkajiannya, seperti dalam topik al-mazid fi al-muttashil al-asanid.

Para ulama berbeda pendapat mengenai diterima atau ditolaknya hukum tambahan
pada sanad menjadi empat kategori:
a. Hukum bagi riwayat yang bersambung (muttashil) atau marfu‟, maka tambahannya
dapat diterima. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha‟ dan ulama ushul.
b. Hukum bagi riwayat yang mursal dan mauquf, maka tambahannya ditolak. Ini
merupakan pendapat banyak ahli hadits.
c. Hukumnya berdasarkan pada jumlah (banyaknya). Ini merupakan pendapat
sebagian ahli hadits.
d. Hukumnya berdasarkan hafalan. Ini merupakan pendapat sebagian ahli hadits.

Contohnya adalah hadits: “Tidak ada nikah (melainkan) ada wali.” Diriwayatkan oleh
Yunus bin Abi Ishak al-Sabi‟i dan anaknya adalah (bangsa) Israil, dari Qais bin Rabi‟
dari Abi Ishak dengan status musnad muttashil. Dan riwayat Sufyan al-Tsauri dan
Syu‟bah bin al-Hajjaj dari Abi Ishak secara mursal.

Kajian Ke-7

Pelajaran: Musthalah al-Hadits
Kitab: Nukhbah al-Fikar fi Musthalahi Ahli al-Atsar
Penulis: al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani al-Syafi'i

Pengasuh: Ust. Yuana Ryan Tresna, M.Ag. (Mudir Ma‟had Khadimus Sunnah
Bandung)

Diterbitkan oleh: @khadimussunnahID

Anda mungkin juga menyukai