Tulisan ini secara ringkas membawakan 7 hadith dha’if yang popular dan sering digunapakai
dalam tazkirah, kuliah dan ceramah berkaitan ramadhan,khususnya di Malaysia.
Tujuannya adalah supaya kita lebih berhati-hati didalam menaqalkan hadith dan berwaspada
dengan ancaman Nabi:
: سلَّ َم
َ صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو ُ عَنْ َأبِي ه َُر ْي َرة قَا َل قَا َل َر
َ سول هَّللا
(( )) َمنْ َك َذ َب َعلَ َّي ُمتَ َع ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّوْأ َم ْق َعده ِمنْ النَّار
((Barangsiapa yang berdusta keatasku degan sengaja maka persiapkan tempat duduknya
dalam Neraka))
Maka diharapkan kita dapat mencari dan membongkar,lebih banyak lagi hadith-hadith yang
bertaraf sahih ataupun sekurang-kurangnya hasan untuk kita gunakan,agar lebih
selamat.Wallahu ‘Alam.
2.(( صوموا تصحوا ))
3. (( من أفطر يوما من رمضان من غير عذر والمرض لم يقضه صوم الدهر وإن صامه ))
((Barangsiapa yang berbuka sehari pada Ramadhan tanpa ‘udzur mahupun sakit,tidak akan
diterima qadha’nya walaupun dia berpuasa penuh selama setahun(untuk mengganti puasa
tersebut) ))
Status hadith:Dha’if. Rujuk:Fathul Bari Syarh Sahih Al-Bukhari,oleh Al-Hafiz Ibn Hajar,jilid 4,m/s
161
5.:حديث أن النبي صلى هللا عليه و سلم كان يقول عند اإلفطار
Hadith bahawa Nabi صلى هللا عليه وسلم ketika berbuka membaca do’a((Ya Allah,kerana-Mu aku
berpuasa,dan dengan rezeki-Mu aku berbuka))
((Ya Allah berkahi kami pada rejab dan sya’ban serta sampaikan kepada kami ramadhan.))
7.(( …))لو يعلم العباد مافي رمضان لتمنت أمتي أن يكون رمضان السنة كلها.
((Kalaulah seseorang itu mengetahui apa yang ada pada bulan Ramadhan itu nescaya mereka
akan mengharap bahawa sepanjang tahun itu seluruhnya ialah Ramadhan sahaja…”sehingga
akhir hadith ))
Jarir bin Ayub adalah seorang rawi pendusta yang sangat masyhur, bahkan Abu Nu’aim
berkata tentangnya, “Pemalsu hadits.”.
Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana
pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu
Mas’ud al-Ghifari. Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya
ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan
kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan
dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan)
haditsnya“. Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah
berkata serta meriwayatkannya, “Andaikan khabar ini shahih, karena dalam hatiku ada
keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”.
Wahai manusia! Sesungguhnya bulan Ramadhan ini telah menaungi kalian semua. Bulan
penuh berkah, bulan yang mempunyai suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan,
bulan yang Alloh menjadikan puasa pada bulan tersebut suatu kewajiban dan shalat
malamnya sebagai sunnah. Barangsiapa berbuat suatu kebaikan pada bulan itu, maka sama
halnya dia telah melakukan suatu kewajiban pada bulan lainnya …. Bulan yang awalnya
berupa rahmat, pertengahannya berupa ampunan, dan akhirnya berupa pembebasan dari
neraka …. (hadits panjang)
LEMAH. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Khuzaimah 1887, al-Mahamili dalam al-Amali 50 dari jalan
Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyib dari Salman al-Farisi.
Hadits ini lemah, sebab, Ali bin Zaid adalah seorang rawi yang lemah. Imam Ahmad
berkata tentangnya, “Dia tidak kuat.”. [2]
Faedah: Syaikh Ali Hasan al-Halabi memiliki risalah khusus tentang kelemahan hadits ini
berjudul “Tanqihul Andhor…”, cet Darul Masir.
Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan yang paling sering
disampaikan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293)
dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari
Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, Di dalamnya ada
kelemahan dan jangan berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal: Tidak
kuat, berkata Ibnu Ma’in: Dha’if berkata Ibnu Abi Khaitsamah: Lemah di segala penjuru, dan
berkata Ibnu Khuzaimah: Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek
hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].
___________________
★. Didalam beberapa referensi tidak disebutkan kata in (andaikan), seperti misalnya pada
kitab at-Targhiib wat Tarhib 2/95 dan lain-lain. Sehingga ketiadaan kata in menyebabkan
rusaknya makna. Karenanya pula banyak sebagian pelajar yang tertipu.
Hadist Lemah Awal Ramadhan Adalah Rahmat Tengahnya Ampuan Terakhirnya Bebas Dari
Neraka
و من تقرب، و قيام ليله تطوعا، جعل هللا صيامه فريضة، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر، يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم
و هو شهر، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه، فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه
و، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن، و شهر المواساة، الصبر و الصبر ثوابه الجنة
، يا رسول هللا ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم: و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا، عتق رقبته من النار
و من أشبع صائما سقاه هللا من الحوض، أو شربة من ماء، أو تمرة، يعطي هللا هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن: قال
و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار، شربة اليظمأ حتى يدخل الجنة،
“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu
malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai
sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah).
Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia
seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan
satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain.
Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia
(juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa
pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-
dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang
yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun”
Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan
untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan
berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah
bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya
pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293),
Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat
Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110),
bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah
Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat
ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas
dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-
dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan
Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah
bersabda:
َ ُت َأ ْب َواب
،الجنَّ ِة ِ َّت َأب َْوابُ الن
ْ َوفُتِّ َح، ٌ فَلَ ْم يُ ْفتَحْ ِم ْنهَا بَاب،ار ْ َ َو ُغلِّق، ِّ َو َم َر َدةُ ال ِجن، ُت ال َّشيَا ِطين
ِ صفِّ َد َ ِإ َذا َكانَ َأ َّو ُل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َشه ِْر َر َم
ُ َضان
ك ُكلُّ لَ ْيلَ ٍة ِ اغ َي ال َّشرِّ َأ ْق
ِ َّ َوهَّلِل ِ ُعتَقَا ُء ِمنَ الن، ْصر
َ َو َذل،ار ِ َ َويَا ب، ْ يَا بَا ِغ َي الخَ ي ِْر َأ ْقبِل: َويُنَا ِدي ُمنَا ٍد، ٌفَلَ ْم يُ ْغلَ ْق ِم ْنهَا بَاب
“Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka
ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun
yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak
mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan
pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah
kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib
diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini
tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar,
sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda
banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.
َصحُّ وْ ا
ِ صُوْ ُموْ ا ت
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan Ibnu Adi dalam al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari
Dhahak dari Ibnu Abbas h/. Nahsyal adalah rawi yang matruk dan suka berdusta. Ishaq bin
Rahawaih berkata tentangnya, “Kadzdzab (pendusta).”.[3]
Makna hadits ini shahih, sebab telah terbukti bahwa puasa merupakan faktor kesehatan dan
dapat mengusir beberapa penyakit yang berbahaya bagi manusia.[4] Syaikh al-Albani memiliki
pengalaman menarik tentang hal ini, beliau bercerita: “Pada akhir tahun 1379 H, aku pernah
melaparkan diriku selama empat puluh hari berturut-turut, saya tidak merasakan makanan
sedikitpun, saya hanya minum air saja! Semua itu saya lakukan untuk pengobatan dari
sebagian penyakit, akhirnya saya diberi kesembuhan dari sebagian penyakit, padahal
sebelumnya saya telah berobat kepada sebagian dokter selama sepuluh tahun lamanya,
tanpa ada hasil yang nampak jelas”.[5]
Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521)
dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Ad-Dhahak dari Ibu Abbas.
Nashsyal (termasuk) yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad-Dhahhak tidak mendengar
dari Ibnu Abbas.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/q 69/Al-Majma’ul Bahrain) dan Abu
Nu’aim di dalam At-Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari
Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abu Hurairah. Dan sanad hadits ini
lemah.
Berkata Abu Bakar Al-Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan
riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan
darinya (Zuhair,-pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam, -pent) yang dhoif itu”.
Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar
daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia”. Al-Ajalaiy berkata.
“Hadits ini tidak membuatku kagum“, demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal
(9/417).
Aku katakan: Dan Muhammad bin Sulaiman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh
Damasqus (15/q 386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaimana di naskhan oleh
para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.
Apabila Nabi berbuka puasa, beliau berdo’a, “Dengan nama Alloh. Wahai Alloh, untuk-Mu aku
berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Hadits ini lemah sekali, sebab Abdul Malik seorang rawi yang lemah sekali. Ibnul Qayyim
berkata tentang hadits ini: “Tidak shahih.”. Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya lemah.” Al-Haitsami
berkata: “Dalam hadits ini, terdapat Abdul Malik, dia seorang rawi yang lemah.”.[6]
Adapun do’a berbuka puasa yang shahih dari Nabi sebagai berikut:
ُق َوثَبَتَ اَْألجْ ُر ِإ ْن َشا َء هللا ِ ََّب الظَّ َمُأ َوا ْبتَل
ُ ْت ْال ُعرُو َ َذه
Telah hilang rasa dahaga dan telah basah tenggorokan dan telah tetap pahalanya, Insya
Alloh.[7]
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم: كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا أفطر قال
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al
Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul
Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan
sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar
(4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua
berkisar antara hadits lemah dan munkar.
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku
memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits
palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh
Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika
aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
terdapat dalam hadits:
كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت األجر إن شاء هللا
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh
Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi
Daud.
Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada udzur atau sakit, maka dia tak
dapat ditebus dengan puasa setahun sekalipun dia berpuasa.
LEMAH. Diriwayatkan al-Bukhari dalam Shahihnya 4/160 (al-Fath) secara mu’allaq, tanpa sanad.
Dan diriwayatkan secara bersambung sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987,
Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, dari jalan Abu Muthawwis dari bapaknya dari
Abu Hurairah.
Ibnu Hajar berkata: “Dan diperselisihkan pada diri Habib bin Abu Tsabit perselisihan yang
banyak sekali. Kesimpulannya, hadits ini mempunyai tiga kecacatan: idhtirab (kegoncangan),
tidak diketahuinya keadaan Abu Muthawwis tersebut, dan diragukan apakah bapaknya
mendengar dari Abu Hurairah.”[8]
Ibnu Khuzaimah juga berkata setelah membawakan riwayat ini: “Kalau memang hadits ini
shahih, maka aku tidak mengetahui keadaan Abu Muthawwis maupun bapaknya.” Abu Isa at-
Tirmidzi berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Ismail (Bukhari) berkata: “Abu Muthawwis
namanya Yazid bin Muthawwis, saya tidak mengetahui haditsnya selain hadits ini.’” [9]
Hadits Lemah Berbuka Tanpa Udzur
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan
orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa
terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di
Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad
Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al
Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi
(723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun,
memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal
(2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329)
dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat
mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi
Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa
udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah
ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Date: 29 April 2018Author: zainudinayyubi1 Komentar
َ َو َع َملُهُ ُم, ٌ َو ُد َعاُؤ هُ ُم ْست ََجاب, ٌ َونَوْ ُمهُ ِعبَا َدة,ت الصَّاِئ ِم تَ ْسبِ ْي ٌح
ٌ ضاع
َف ُ ص ْم
َ
Diamnya orang yang puasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doa’nya mustajab dan
amalnya dilipatgandakan. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
LEMAH SEKALI. Diriwayatkan ad-Dailami 2/253 dari Rabi’ bin Badr dari Auf al-A’rabi dari Abul
Mughirah al-Qawwas dari Abdullah bin Umar secara marfu’.
Sanad ini lemah sekali, sebab Rabi’ bin Badr adalah seorang rawi yang ditinggalkan
haditsnya.[10]
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani
juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas
ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan
oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana
perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang
ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum
waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena
malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah,
bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan
ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-
malasan.
Diantara dampak negatif hadits ini adalah menjadikan sebagian orang malas dan banyak tidur di
bulan puasa dengan alasan hadits ini.
[11]
Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang seorang yang ketika bulan puasa, dia tidur
sepanjang hari, bagaimana hukumnya? Dan bagaimana juga kalau dia bangun untuk
melakukan kewajiban lalu tidur lagi?!
Pertama: Seorang yang tidur seharian dan tidak bangun sama sekali, tidak ragu lagi bahwa
dia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan sholat, maka hendaknya dia
bertaubat kepada Allah dan menjalankan shalat tepat pada waktunya.
Kedua: Seorang yang tidur tetapi bangun menjalan shalat secara berjama’ah kemudian tidur
lagi dan seterusnya, hukum orang ini tidak berdosa (dan tidak batal puasanya -pent) hanya
saja luput darinya kebaikan yang banyak, sebab orang yang berpuasa hendaknya
menyibukkan dirinya dengan shalat, dzikir, doa, membaca Al-Qur’an dan sebagainya sehingga
mengumpulkan beraneka macam ibabah pada dirinya. Maka nasehatku kepada orang ini agar
tidak menghabiskan waktu puasanya dengan banyak tidur, tetapi hendaknya bersemangat
dalam ibadah.[12]
Namun, jangan difahami dari penjelasan di atas, bahwa orang yang sedang berpuasa tidak
boleh tidur, itu pemahaman yang keliru, bahkan kalau seorang tidur sekedarnya dan
meniatkan dengan tidurnya untuk istirahat, mengembalikan stamina tubuh, menyegarkan
semangat ibadah, dan agar tidak ngantuk dalam sholat malam/tarawih maka dia telah
melakukan ibadah dan diberi pahala atas niatnya, sebagaimana ucapan salah seorang sahabat
Nabi:
َوَأرْ جُوْ فِ ْي نَوْ َمتِ ْي َما َأرْ جُوْ فِ ْي قَوْ َمتِ ْي,َأ َّما َأنَا فََأنَا ُم َوَأقُوْ ُم
Adapun saya, maka saya tidur dan bangun. Dan saya berharap dalam tidur saya (karena niat
tidurnya adalah untuk semangat ibadah berikutnya) apa yang saya harapkan dalam bangun
(shalat) saya. (HR. Bukhari 4086 Muslim 1733)
Bulan Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, dan dia tidak diangkat kepada Allah
kecuali dengan zakat fithr.
LEMAH. Dikeluarkan oleh Ibnu Syahin dalam at-Targhib dan adh-Dhiya’ dari Jarir. Hadits ini
dha’if (lemah). Ibnul Jauzi membawakannya dalam al-Wahiyat seraya mengatakan: “Tidak
shahih, di dalamnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri, dia seorang yang majhul (tak
dikenal)”.
Makna hadits inipun tidak benar, sebab dia menunjukkan bahwa diterima tidaknya puasa
Ramadhan seorang itu tergantung pada zakat fithr, dan barangsiapa yang tidak
mengeluarkannya maka puasanya tidak diterima. Saya tidak mengetahui seorangpun dari ahli
ilmu yang berpendapat seperti ini[13].
Hadits Lemah Ramadhan Bergantung Pada Zakat Fithr
أن شهر رمضان متعلق بين السماء واألرض ال يرفع إال بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat
mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
LEMAH. Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani
mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak
diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat
fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia
mendapat dosa tersendiri.
ال تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء هللا تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun
sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.’”
LEMAH. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam
Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya
(1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41)
bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil
Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam
Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur
ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
PALSU. Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir
di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di
Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama
seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72),
Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
من فطر صائما على طعام وشراب من حالل صلت عليه المالئكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal,
para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat
kepadanya di malam lailatul qadar.”
LEMAH. Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di
Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib
Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam
Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala
puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
غير أنه ال ينقص من أجر الصائم شيئا، من فطر صائما كان له مثل أجره
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia
akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At
Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)
11. Jihad Melawan Hawa Nafsu di Bulan Ramadhan Lebih utama Dari Jihad Berperang di
Jalan Allah
جهاد القلب: وما الجهاد األكبر ؟ قال: قالوا. رجعنا من الجهاد األصغر إلى الجهاد األكبر
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya:
“Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
PALSU. Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al
Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan
hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu
Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani
dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk
mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad
berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya.
Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun
perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling
mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.”
(Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad
berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun
berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk
meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
نعم تقبل هللا منا ومنك: قال، تقبل هللا منا ومنك: لقيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يوم عيد فقلت: قال وائلة
“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied,
lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu
minna wa minka.”
LEMAH. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam
Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani
dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat
berdasarkan sebuah riwayat:
تقبل هللا منا ومنك: كان أصحاب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض
Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari
Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal
ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani
dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak
diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
واليمين الفاجرة، والنظر بالشهوة، والنميمة، والغيبة، الكذب: وتنقض الوضوء، خمس تفطر الصائم
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah,
namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
PALSU. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al
Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at
(1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala
puasa. Sebagaimana hadits:
فليس هلل حاجة أن يدع طعامه وشرابه، من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل
“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu
orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
Demikian, semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran
Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita
di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah pahala di sisi Rabbuna
Jalla Sya’nuhu.
***
Inilah Beberapa hadits Palsu(Maudhu) dan yang didhaifkan oleh para ulama dan di lemahkan
oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada
hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada
umumnya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang
benar, yang sesuai dengan syari’at kita yang lurus baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah, akan
tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah صلي هللا عليه
وسلم, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan
sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad dapat diketahui mana
hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari
yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang
menamainya: “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar”.
==
Referensi: https://almanhaj.or.id/3950-hadits-hadits-dhaif-maudhu-yang-
banyak-beredar-pada-bulan-ramadhan.html