Anda di halaman 1dari 2

Bulan Ramadhan menjadi bulan tampilnya para dai.

Mulai di masjid-masjid hingga di


layar kaca televisi. Ajakan dan motivasi untuk berbuat baik di bulan Ramadhan, mulai
bersedekah, beribadah dan lain sebagainya juga tersebar di berbagai media dakwah. Tak
ayal, untuk mendukung dan melegitimasi ajakan dan motivasi tersebut, terkadang para dai
belum mampu menyaring hadits-hadits yang digunakan, bahkan masih ada yang
menggunakan hadits dhaif untuk memotivasi orang untuk beribadah.
Salah satu hadits yang sering digunakan oleh para dai adalah terkait pembagian
keutamaan bulan Ramadhan menjadi tiga, yaitu sepuluh hari pertama rahmat, sepuluh hari
kedua adalah ampunan, dan sepuluh hari ketiganya adalah terbebas dari api neraka.

‫ وآخره عتق من النار‬،‫ وأوسطه مغفرة‬،‫أوله رحمة‬

Artinya, “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan,


sedangkan akhirnya adalah terbebas dari neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuʽabul Iman dan juga diriwayatkan
oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih ibn Khuzaimah. Walaupun diriwayatkan oleh Ibn
Khuzaimah dalam Sahih-nya, menurut al-Suyuthi, hadits ini bermuara pada satu sumber
sanad (madar), yaitu Ali ibn Zaid ibn Jadʽan yang divonis oleh para ulama sebagai orang
yang dhaif. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits tersebut dari Ali ibn Zaid adalah
Yusuf bin Ziyad yang divonis dhaif parah (dhaif jiddan). Walaupun ada ulama lain yang juga
meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, yaitu Iyas ibn Abd al-Ghaffar. Sayangnya Iyas
sendiri juga orang yang majhul menurut Ibn Hajar al-Asqalani. (Lihat: al-Suyuthi, Jâmiʽ al-
Aḥâdîts, [Beirut: Dar Fikr, t.t], j. 23, h. 176.)

Lantas, apakah hadits tersebut bisa diamalkan?

Pada prinsipnya, hadits yang berkaitan dengan fadhail amal (keutamaan beramal) itu
boleh diriwayatkan atau dalam konteks pembahasan tulisan ini, boleh digunakan untuk
ceramah, walaupun dhaif.
Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa hadits dhaif bisa disampaikan atau
diriwayatkan, bahkan tanpa menyebutkan kedhaifannya, namun dengan dua syarat berikut:
Pertama, tidak berhubungan dengan akidah, seperti sifat Allah subhanahu wata’ala, dsb.
Kedua, tidak berhubungan dengan hukum syariat seperti halal dan haram. Mahmud al-
Thahhan menambahkan bahwa ada juga beberapa ulama yang menggunakan hadits dhaif
untuk semacam memberikan ceramah atau tausiyah, seperti Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman
bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.

‫ وممن روي عنه التساهل في روايتها سفيان الثوري‬.‫تجوز روايتها في مثل المواعظ والترغيب والترهيب والقصص وما أسبه ذالك‬
‫وعبد الرحمن بن المهدي وأحمد بن حنبل‬.

Artinya, “Boleh meriwayatkan hadits dalam hal ceramah, anjuran, ancaman, kisah, dan
semacamnya. Beberapa ulama yang toleran meriwayatkan hadits dhaif (terkait maidhah,
anjuran, ancaman, kisah, dsb) adalah Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan
Ahmad bin Hanbal). (Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taysîr Musṭalaḥ al-Hadîts, [Riyadh:
Maktabah al-Maarif, 2004], h. 80).

Namun, ketika seorang penceramah telah mengetahui bahwa hadits itu dhaif, jangan
meriwayatkan atau menyampaikan dengan sighat jazm (sighat yang meyakinkan bahwa itu
benar-benar dari Rasulullah), seperti dengan lafaz “Qâla Rasûlullah” dan semacamnya. Tapi
hendaknya meriwayatkan dengan sighat tamridh saja, seperti “qîla” atau “ruwiya”. Ini adalah
salah satu tindakan untuk berhati-hati, karena telah mengetahui status kedhaifan hadits
tersebut.
Alangkah lebih baiknya jika dikuatkan dengan hadits lain yang secara substansi
sama tapi lebih sahih sanadnya. Misalnya hadits riwayat al-Tirmidzi dan Ibn Majjah berikut
ini:

، ‫ َو َمَر َد ُة اْلِج ِّن‬، ‫ ُص ِّفَد ِت الَّش َياِط يُن‬، ‫ ِإَذ ا َك اَنْت َأَّو ُل َلْي َلٍة ِمْن َر َمَض اَن‬: ‫ َع ْن َر ُسوِل ِهللا َص َّلى هللا َع لْيِه وَس َّلَم َق اَل‬، ‫َع ْن َأِبي ُه َر ْي َر َة‬
‫ َو َي ا َباِغ َي‬، ‫ َي ا َباِغ َي اْلَخ ْي ِر َأْق ِبْل‬: ‫ َو َن اَدى ُم َن اٍد‬، ‫ َف َلْم ُيْغ َلْق ِم ْن َه ا َب اٌب‬، ‫ َو ُفِتَح ْت َأْب َو اُب اْلَج َّن ِة‬، ‫ َف َلْم ُيْف َت ْح ِم ْن َه ا َب اٌب‬، ‫َو ُغ ِّلَقْت َأْب َو اُب الَّن اِر‬
‫ َو َذ ِلَك ِفي ُك ِّل َلْي َلٍة‬، ‫ َو ِهَّلِل ُع َتَقاُء‬، ‫الَّش ِّر َأْق ِص ْر‬.

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketika tiba
awal malam bulan Ramadhan, para setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-
pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka. Pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang
ditutup, lalu ada penyeru yang berseru, ‘Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai
orang yang mencari keburukan, berhentilah. Sesungguhnya Allah membebaskan orang-
orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam’.” (Lihat: Ibn Majjah al-Qazwaini, Sunan
Ibn Majjah, [Beirut: Dar Fikr, T.t], j. 2, h. 26.)

Dalam hadits di atas disebutkan lebih umum, bahwa semua kebaikan dan
keutamaan ada dalam bulan Ramadhan. Namun, jika ingin lebih berhati-hati, usahakan
untuk tidak menggunakan hadits dhaif dan memilih hadits yang sahih saja.
Guru besar ilmu hadits Kiai Ali Mustafa Yaqub rahimahullah menyebutkan bahwa hadits
yang menjelaskan bahwa cukup menggunakan hadits sahih tentang orang yang puasa
Ramadhan akan mendapatkan keutamaan diampuni dosannya yang lalu, sebagaimana
riwayat al-Bukhari berikut:
‫من صام رمضاَن إيمانا واحتسابا ُغ ِفَر له ما تقَّدم من َذ ْن ِبِه‬

Artinya, “Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala
dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari) Atau juga bisa dengan
redaksi yang lebih umum, yaitu qâma ramadlâna, yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari
dan Muslim.
‫ ومن قام ليلَة الَقْد ِر إيمانا واحتسابا ُغ ِفَر له ما تقَّدم ِمْن َذ ْن ِبِه‬، ‫من قام رمضان إيمانا واحتسابا ُغ ِفَر له ما تقَّدم ِمْن َذ ْن ِبِه‬

Artinya, “Siapa yang menghidupkan bulan Ramadhan (dengan puasa atau ibadah) dengan
iman dan mengharap pahala dari Allah Swt. maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan
siapa yang menghidupkan (beribadah) malam lailatul qadar dengan iman dan mengharap
pahala dari Allah subhanahu wata’ala maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Kiai Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa hadits ini sudah cukup untuk menjelaskan
keutamaan beribadah pada bulan Ramadhan, tanpa harus menggunakan hadits-hadits dhaif
bahkan maudhu‘. Ini dilakukan dalam rangka berhati-hati agar kita tidak terjerumus untuk
berbohong atas nama Nabi Muhammad. Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai