Anda di halaman 1dari 10

FENOMENA GHULUW (MELAMPAUI BATAS) DALAM AGAMA

Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Atsari

Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap
yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan
bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan.
Terlebih lagi dalam urusan agama. Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’ân dan Sunnah yang
memperingatkan dan mengharamkan ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ َ‫ضلُّوا مِنْ َق ْب ُل َوأ‬


‫ضلُّوا‬ َ ‫ب اَل َت ْغلُوا فِي دِي ِن ُك ْم َغي َْر ْال َح ِّق َواَل َت َّت ِبعُوا أَهْ َوا َء َق ْو ٍم َق ْد‬
ِ ‫قُ ْل َيا أَهْ َل ْال ِك َتا‬

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas)


dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka
telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”.
[al-Mâ`idah/5:77]

Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, dia
berkata: “Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah
batu untukku!” Maka aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan
digunakan melontar jumrah. Kemudian beliau berkata:

ِ ‫ان َق ْبلَ ُك ُم ْال ُغلُوُّ فِي ال ِّد‬


‫ين‬ َ َ‫ين َفإِ َّن ُه أَهْ ل‬
َ ‫ك َمنْ َك‬ ِ ‫“ أَ ْم َثا َل َهؤُ الَ ِء َفارْ م ُْوا ُث َّم َقا َل َيا أَ ُّي َها ال َّناسُ إِيَّا ُك ْم َو ْال ُغلُ َّو فِي ال ِّد‬

Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan: “Wahai sekalian
manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya
perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam
agama.”[1] Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-
lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun
perbuatan.[2]

BEBERAPA ISTILAH UNTUK SIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM AGAMA.


Ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh syariat selain ghuluw ini, di
antaranya:

1. Tanaththu’ (Sikap Ekstrem).

`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

‫ك ال ُم َت َن ِّطع ُْو َن‬


َ َ‫َهل‬

“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”[3]

2. Tasyaddud (Memberat-Beratkan Diri).

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

َ ‫َّد اهللُ َعلَْي ِه ْم فَتِْل‬


‫ك‬ ِ
ُ ‫ِّد اهللُ َعلَْي ُك ْم فَ ِإ َّن َق ْو ًم ا َش د‬
َ ‫َّد ْوا َعلَى أَْن ُفس ِه ْم فَ َش د‬
ِ
ُ ‫ِّد ْوا َعلَى أَْن ُفس ُك ْم َفيُ َش د‬
ُ ‫الَ تُ َش د‬
“ ‫اها َعلَْي ِه ْم‬ ِ ِ َّ ‫ب َقاياُهم يِف‬
َ َ‫الص َوام ِع َوالدِّيَا ِر َو َر ْهبَانيَّةً ْابتَ َدعُ ْو َها َما َكتَْبن‬ َْ َ

Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan
memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu
Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu
saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan
rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas
mereka.”[4]

Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

‫ َولَنْ ُي َشا َّد ال ِّدي َْن إِالَّ َغلَ َب ُه‬،ٌ‫“ إِنَّ ال ِّدي َْن يُسْ ر‬

Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri
dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal).”[5]

3. I’tidâ’ (Melampaui Ketentuan Syariat).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


{َ ‫ِين ُي َقا ِتلُو َن ُك ْم َواَل َتعْ َت ُدوا{ ۚ إِنَّ هَّللا َ اَل ُيحِبُّ ْالمُعْ َتد‬
‫ِين‬ َ ‫يل هَّللا ِ الَّذ‬
ِ ‫“ َو َقا ِتلُوا فِي َس ِب‬

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” [al-Baqarah/2:190].

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

‫ك ُح ُدو ُد هَّللا ِ َفاَل َت ْق َربُو َها‬


َ ‫“ ت ِْل‬

Itulah batasan-batasan hukum Allah, maka janganlah kalian melampauinya.” [al-


Baqarah/2:187]

4. Takalluf (Memaksa-Maksa Diri).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

َ ‫“ قُ ْل َما أَسْ أَلُ ُك ْم َعلَ ْي ِه مِنْ أَجْ ٍر َو َما أَ َنا م َِن ْال ُم َت َكلِّف‬
‫ِين‬

Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas
da’wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.”
[Shâd/38:86] Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ia berkata,
“Kami dilarang bersikap takalluf (memaksa-maksa diri).”[6]

SEBAB MUNCULNYA SIKAP GHULUW.

Sebab-sebab munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:

1. Kebodohan dalam agama.

Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta
kebodohan dalam memahami nash-nash al-Qur’ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat
sebagian pemuda yang memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan
ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.

2. Taqlîd (ikut-ikutan).
Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti secara
membabi-buta adat istiadat manusia yang bertentangan dengan syariat Islam serta
mengikuti tokoh-tokoh adat yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam
agama yang berlaku di tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.

3. Mengikuti hawa nafsu.

Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan
tanpa bimbingan wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.

4. Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan palsu.

Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada
umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah
semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.

BENTUK-BENTUK GHULUW.

Secara garis besar, ghuluw ada tiga macam: dalam keyakinan, perkataan dan amal
perbuatan.

1. Ghuluw dalam bentuk keyakinan misalnya sikap berlebih-lebihan terhadap para


malaikat, Nabi dan orang-orang shalih dengan meyakini mereka sebagai tuhan.
Atau meyakini para wali dan orang-orang shalih sebagai orang-orang yang
ma’shûm (bersih dari dosa). Contohnya adalah keyakinan orang-orang Syi’ah
Rafidhah terhadap ahli bait dan keyakinan orang-orang sufi terhadap orang-
orang yang mereka anggap wali.
2. Ghuluw dalam bentuk ucapan misalnya, puji-pujian yang berlebih-lebihan
terhadap seseorang, doa-doa dan dzikir-dzikir bid’ah, misalnya puji-pujian kaum
sufi terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan wali-wali mereka; demikian
pula dzikir-dzikir mereka yang keluar dari ketentuan syariat. Contoh lainnya
adalah menambah-nambahi doa dan dzikir, misalnya menambah kata sayyidina
dalam salawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Ghuluw dalam bentuk amal perbuatan misalnya mengikuti was-was dalam
bersuci atau ketika hendak bertakbîratulihrâm; sehingga kita dapati seseorang
berulang-ulang berwudhu’ karena mengikuti waswas. Demikian seseorang yang
berulang-ulang bertakbîratul ihrâm karena anggapan belum sesuai dengan
niatnya. Sebenarnya, ada satu jenis ghuluw lagi yang perlu diwaspadai yaitu
ghuluw dalam semangat. Jenis ini biasanya merasuki para pemuda yang
memiliki semangat keagamaan yang berlebih-lebihan akan tetapi dangkal
pemahaman agamanya. Sehingga mereka jatuh dalam sikap sembrono dalam
menjatuhkan vonis kafir, fasiq dan bid’ah.

VIRUS GHULUW

Virus ghuluw ini biasanya diawali dengan sesuatu yang sepele namun dalam waktu
singkat akan digandrungi sehingga kemudian meluas. Orang-orang yang bersikap
ghuluw dalam agama akan berbicara tentang Allah Azza wa Jalla tanpa haq, tentang
agama tanpa ilmu, sehingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan orang lain dari
jalan yang lurus. Sikap ghuluw inilah yang merupakan penyebab munculnya seluruh
penyimpangan dalam agama, demikian juga penyimpangan dalam sikap dan
perbuatan. Islam telah menentang semua perkara yang mengarah kepada sikap
ghuluw.

Semoga Allah Azza wa Jalla merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
yang berkata: “Agama Allah Azza wa Jalla adalah agama pertengahan, antara sikap
ekstrim (berlebih-lebihan) dan sikap moderat (terlalu longgar).”

Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Ibnul Munîr sebagai berikut:“Hadits ini
termasuk salah satu mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua sama-
sama menyaksikan bahwa setiap orang yang melewati batas dalam agama pasti akan
terputus. Maksudnya bukanlah tidak boleh mengejar ibadah yang lebih sempurna,
sebab hal itu termasuk perkara yang terpuji.

Perkara yang dilarang di sini adalah berlebih-lebihan yang membuat jemu atau
melewati batas dalam mengerjakan amalan sunat hingga berakibat terbengkalainya
perkara yang lebih afdhal. Atau mengulur kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya
orang yang shalat tahajjud semalam suntuk lalu tertidur sampai akhir malam, sehingga
terluput shalat Subuh berjama’ah, atau sampai keluar dari waktu yang afdhal atau
sampai terbit matahari sehingga keluar dari batasan waktunya.”

Dalam hadits Mihzan bin al-Adra’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan: ‫إِ َّن ُك ْم‬

ُ‫ َو َخي َْر ِد ْي ِن ُك ْم اليُسْ َرة‬،ِ‫َلنْ َت َنالُ ْوا َه َذا األَ ْم َر ِبالم َُغالَ َبة‬

Kalian tidak akan dapat melaksanakan agama ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik
urusan agamamu adalah yang mudah.”

Pernah ada tiga orang yang ingin mengetahui aktifitas ibadah n Nabi di rumah. Mereka
tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka bertanya
kepada ‘Aisyah z tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa ibadah
beliau n itu hanya sedikit. Mereka berkata: “Dimanakah kedudukan kami dibanding
dengan Nabi!? Padahal telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan
datang.” Maka salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat malam terus
menerus tidak akan tidur.” Yang lain berkata: “Aku akan puasa terus menerus tanpa
berbuka.” Dan yang lain berkata: “Aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan:

ِ ِ ِ ِ ِ
‫ُص لِّي‬
َ ‫ َوأ‬،‫َص ْو ُم َوأُفْط ُر‬ ْ ‫أَْنتُ ُم الَّذيْ َن ُق ْلتُ ْم َك َذا َو َك َذا؟ أ ََم ا َواهلل إِيِّن أل‬
ُ ‫ لَكيِّن أ‬،ُ‫َخ َش ا ُك ْم هلل َوأَْت َق ا ُك ْم لَ ه‬
“ ‫س ِميِّن‬ ‫يِت‬
َ ‫ب َع ْن ُسنَّ َفلَْي‬
ِ
َ ‫ َوأََتَز َّو ُج الن‬،‫َوأ َْرقُ ُد‬
َ ‫ِّساءَ؛ فَ َم ْن َرغ‬
Kaliankah yang mengatakan begini dan begini?! Adapun diriku, demi Allah Azza wa
Jalla , aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya, tetapi aku
berpuasa aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur serta aku menikahi wanita!
Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku.”[7] Dalam
kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫هللا إِ ِّني ألَعْ لَ ُم ُه ْم ِبا‬


‫هلل َوأَ َش ُّد ُه ْم لَ ُه َخ ْش َي ًة‬ ِ ‫َما َبا ُل أَ ْق َو ٍام َي َت َن َّزه ُْو َن َعنْ ال َّشي ِء أَصْ َن ُع ُه َف َو‬
Bagaimana halnya kaum-kaum yang menjauhkan diri dari sesuatu yang kulakukan?
Demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah Azza wa
Jalla dan yang paling takut kepada-Nya.”[8] Dalam menjelaskan hadits ini ad-Dawudi
berkata: “Menjauhkan diri (dengan anggapan hal itu lebih baik-pent) dari dispensasi
yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dosa besar. Sebab
ia memandang dirinya lebih bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla daripada rasul-Nya.
Ini jelas sebuah penyimpangan.” Ibnu Hajar t menambahkanm, “Tidak diragukan lagi
kesesatan orang yang meyakini demikian (meyakini bahwa hal itu lebih baik).”[9]

MENJAUHI GHULUW BUKAN BERARTI JATUH DALAM TAQSHIR (MELONGGAR-


LONGGARKAN DIRI).

Akan tetapi perlu juga kita waspadai, bahwa dalam menjauhi sikap ghuluw ini kita juga
jangan sampai terjebak ke dalam sikap taqshîr (melalai-lalaikan dan melonggar-
longgarkan diri). Ini merupakan tipu daya setan yang luar biasa. Setan selalu mencari
titik lemah seorang insan. Apabila titik lemahnya pada sikap ghuluw maka setanpun
masuk melalui pintu ghuluw dan apabila titik lemahnya pada sikap taqshîr maka
setanpun masuk melalui pintu taqshîr.

Memang, mempertahankan diri di tengah-tengah antara sikap ghuluw dan sikap taqshîr
merupaka suatu perkara yang sulit. Kesuksesan, kebahagiaan dan keberhasilan dalam
urusan akhirat maupun dunia tergantung dengan cara kita menempatkan segala
sesuatu secara proporsional menurut pandangan syariat yang hanîf dan fitrah ini.
Karena setiap ketidakseimbangan akan menyebabkan ketimpangan dan keberatan
yang akan menghalangi tercapainya tujuan. Dalam hal ini setan akan melihat dari pintu
manakah ia mungkin masuk.

Jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang adalah potensi
rendah diri dan gampang menyerah, maka setanpun menanamkan rasa malas dalam
dirinya, mengendorkan semangatnya, menggambarkan berat amal-amal ketaatan dan
mendorongnya untuk mudah mengabaikan kewajiban, sampai akhirnya ia
meninggalkan kewajiban itu sama sekali. Namun jika setan melihat bahwa yang lebih
dominan pada diri seseorang adalah semangatnya yang menggebu-gebu, mulailah
setan menanamkan anggapan bahwa apa yang diperintahkan itu baru sedikit dan
belum cukup untuk mengimbangi semangatnya, sehingga ia serasa membutuhkan
sesuatu yang baru sebagai tambahannya.[10]

JANGAN SALAH MENILAI GHULUW

Sebagaimana halnya kita tidak boleh terjebak dalam sikap taqshîr karena menghindari
ghuluw, demikian pula kita jangan salah menilai ‘ghuluw’. Sebagian orang menilai
keteguhan memegang syariat dan istiqamah di atasnya merupakan sikap ghuluw.
Sebagai dampaknya, mereka menganggap pengamalan sebagian sunnah Nabi sebagai
sikap ghuluw. Ini jelas salah besar.

Memang kita membenci sikap ghuluw, namun hendaknya kita jangan salah menilai.
Sebagian orang beranggapan memelihara jenggot, memakai cadar, mengenakan
pakaian sampai setengah betis, memakai gamis bahkan shalat lima waktu berjama’ah
di masjid pun dianggap ghuluw. Ini tentu penilaian yang salah. Sebab, seluruh perkara-
perkara tersebut adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang dianjurkan
bahkan ada yang wajib.

Penilaian yang salah ini bisa berakibat fatal, yaitu perkara-perkara sunnah dianggap
sebagai perkara bid’ah, dan sebaliknya perkara bid’ah dianggap sunnah. Hakikat
ghuluw adalah sesuatu yang melangkahi ketentuan syariat. Penilaian tersebut didasari
atas kebodohan dalam memahami apa itu ghuluw dan juga kejahilan terhadap sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak boleh menilai sesuatu tanpa ilmu. Dan
berbicara tentang agama Allah Azza wa Jalla tanpa ilmu merupakan salah satu langkah
setan, bahkan tergolong dosa besar.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ْ‫{ز ْل ِب{ ِه ُس{ ْل َطا ًنا َوأَن‬


ِّ {‫{ر ْال َح{ ِّق َوأَنْ ُت ْش{ ِر ُكوا ِباهَّلل ِ َم{{ا لَ ْم ُي َن‬ ْ
ِ {‫ِش َما َظ َه َر ِم ْن َها َو َم{{ا َب َط َن َواإْل ِث َم َو ْال َب ْغ َي ِب َغ ْي‬
َ ‫قُ ْل إِ َّن َما َحرَّ َم َرب َِّي ْال َف َواح‬
َ ‫َتقُولُوا َعلَى هَّللا ِ َما اَل َتعْ لَم‬
‫ُون‬
Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.”[al-A’râf/7:33]

Apalagi terkadang tuduhan ghuluw terhadap perkara-perkara sunnah ini mengandung


ejekan dan olokan terhadap para pengamalnya. Ini jelas kesalahan di atas kesalahan.
Takutlah kepada Allah Azza wa Jalla pada hari seluruh kesalahan akan ditampakkan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫ِين آ َم ُنوا اَل َيسْ َخرْ َق ْو ٌم مِنْ َق ْو ٍم َع َس ٰى أَنْ َي ُكو ُنوا َخيْرً ا ِم ْن ُه ْم َواَل ِن َسا ٌء مِنْ ِن َسا ٍء َع َس ٰى أَنْ َي ُكنَّ َخيْرً ا ِم ْنهُنَّ ۖ َواَل َت ْل ِم{ ُزوا‬
َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
‫ُون‬ َّ ‫ك ُه ُم‬
َ ‫الظالِم‬ َ ‫ان ۚ َو َمنْ لَ ْم َي ُتبْ َفأُو ٰلَ ِئ‬
ِ ‫ُوق َبعْ َد اإْل ِي َم‬
ُ ‫س ااِل سْ ُم ْالفُس‬َ ‫ب ۖ ِب ْئ‬ِ ‫أَ ْنفُ َس ُك ْم َواَل َت َنا َب ُزوا ِباأْل َ ْل َقا‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan


kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan
pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang
direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan
memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.[al-Hujurat/49:11]

KIAT-KIAT MENGHINDARI GHULUW.

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menghindari fenomena ghuluw
dalam agama, diantaranya:

1. Menuntut ilmu syar’i. Ilmu adalah lentera yang menerangi langkah kita di dunia dan
menjadi asset yang amat bernilai di akhirat. Apabila lentera ini padam, maka setan akan
leluasa menyesatkan anak Adam. Maka dari itu janganlah absen dari majelis-majelis
ilmu. Banyak sekali faidah yang dapat kita petik dari majelis ilmu. Di antaranya adalah
kita dapat bertatap muka secara langsung dengan ahli ilmu.
2. Jangan malu dan segan bertanya kepada ahli ilmu (Ulama). Malu bertanya sesat di
jalan, begitulah kata pepatah kita. Terlebih lagi dalam urusan agama. Janganlah kita
malu bertanya kepada ulama dalam perkara-perkara agama yang belum kita ketahui,
baik dalam perkara aqidah, ibadah, mu’amalah dan lainnya. Terlebih lagi perkara yang
berkaitan dengan perincian dalam agama, misalnya prosedur pelaksanaan sebuah
ibadah, perincian dalam hal aqidah dan lain sebagainya. Kesimpulannya, kita harus
menjauhi segala macam bentuk ghuluw dalam agama, baik berupa keyakinan, ucapan
maupun perbuatan yang diatas-namakan agama. Dan hendaknya kita juga harus
waspada jangan sampai tergelincir dalam sikap taqshîr. Di samping itu, janganlah
sembrono dan serampangan dalam menilai ‘ghuluw’ tanpa ilmu.

Anda mungkin juga menyukai