Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap
yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan
bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan.
Terlebih lagi dalam urusan agama. Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’ân dan Sunnah yang
memperingatkan dan mengharamkan ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, dia
berkata: “Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah
batu untukku!” Maka aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan
digunakan melontar jumrah. Kemudian beliau berkata:
Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan: “Wahai sekalian
manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya
perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam
agama.”[1] Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-
lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun
perbuatan.[2]
Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan
memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu
Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu
saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan
rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas
mereka.”[4]
َولَنْ ُي َشا َّد ال ِّدي َْن إِالَّ َغلَ َب ُه،ٌ“ إِنَّ ال ِّدي َْن يُسْ ر
Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri
dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal).”[5]
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” [al-Baqarah/2:190].
َ “ قُ ْل َما أَسْ أَلُ ُك ْم َعلَ ْي ِه مِنْ أَجْ ٍر َو َما أَ َنا م َِن ْال ُم َت َكلِّف
ِين
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas
da’wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.”
[Shâd/38:86] Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ia berkata,
“Kami dilarang bersikap takalluf (memaksa-maksa diri).”[6]
Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta
kebodohan dalam memahami nash-nash al-Qur’ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat
sebagian pemuda yang memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan
ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.
2. Taqlîd (ikut-ikutan).
Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti secara
membabi-buta adat istiadat manusia yang bertentangan dengan syariat Islam serta
mengikuti tokoh-tokoh adat yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam
agama yang berlaku di tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.
Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan
tanpa bimbingan wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.
Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada
umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah
semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.
BENTUK-BENTUK GHULUW.
Secara garis besar, ghuluw ada tiga macam: dalam keyakinan, perkataan dan amal
perbuatan.
VIRUS GHULUW
Virus ghuluw ini biasanya diawali dengan sesuatu yang sepele namun dalam waktu
singkat akan digandrungi sehingga kemudian meluas. Orang-orang yang bersikap
ghuluw dalam agama akan berbicara tentang Allah Azza wa Jalla tanpa haq, tentang
agama tanpa ilmu, sehingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan orang lain dari
jalan yang lurus. Sikap ghuluw inilah yang merupakan penyebab munculnya seluruh
penyimpangan dalam agama, demikian juga penyimpangan dalam sikap dan
perbuatan. Islam telah menentang semua perkara yang mengarah kepada sikap
ghuluw.
Semoga Allah Azza wa Jalla merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
yang berkata: “Agama Allah Azza wa Jalla adalah agama pertengahan, antara sikap
ekstrim (berlebih-lebihan) dan sikap moderat (terlalu longgar).”
Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Ibnul Munîr sebagai berikut:“Hadits ini
termasuk salah satu mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua sama-
sama menyaksikan bahwa setiap orang yang melewati batas dalam agama pasti akan
terputus. Maksudnya bukanlah tidak boleh mengejar ibadah yang lebih sempurna,
sebab hal itu termasuk perkara yang terpuji.
Perkara yang dilarang di sini adalah berlebih-lebihan yang membuat jemu atau
melewati batas dalam mengerjakan amalan sunat hingga berakibat terbengkalainya
perkara yang lebih afdhal. Atau mengulur kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya
orang yang shalat tahajjud semalam suntuk lalu tertidur sampai akhir malam, sehingga
terluput shalat Subuh berjama’ah, atau sampai keluar dari waktu yang afdhal atau
sampai terbit matahari sehingga keluar dari batasan waktunya.”
Dalam hadits Mihzan bin al-Adra’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan: إِ َّن ُك ْم
ُ َو َخي َْر ِد ْي ِن ُك ْم اليُسْ َرة،َِلنْ َت َنالُ ْوا َه َذا األَ ْم َر ِبالم َُغالَ َبة
Kalian tidak akan dapat melaksanakan agama ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik
urusan agamamu adalah yang mudah.”
Pernah ada tiga orang yang ingin mengetahui aktifitas ibadah n Nabi di rumah. Mereka
tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka bertanya
kepada ‘Aisyah z tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa ibadah
beliau n itu hanya sedikit. Mereka berkata: “Dimanakah kedudukan kami dibanding
dengan Nabi!? Padahal telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan
datang.” Maka salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat malam terus
menerus tidak akan tidur.” Yang lain berkata: “Aku akan puasa terus menerus tanpa
berbuka.” Dan yang lain berkata: “Aku tidak akan menikah selama-lamanya.” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan:
ِ ِ ِ ِ ِ
ُص لِّي
َ َوأ،َص ْو ُم َوأُفْط ُر ْ أَْنتُ ُم الَّذيْ َن ُق ْلتُ ْم َك َذا َو َك َذا؟ أ ََم ا َواهلل إِيِّن أل
ُ لَكيِّن أ،َُخ َش ا ُك ْم هلل َوأَْت َق ا ُك ْم لَ ه
“ س ِميِّن يِت
َ ب َع ْن ُسنَّ َفلَْي
ِ
َ َوأََتَز َّو ُج الن،َوأ َْرقُ ُد
َ ِّساءَ؛ فَ َم ْن َرغ
Kaliankah yang mengatakan begini dan begini?! Adapun diriku, demi Allah Azza wa
Jalla , aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya, tetapi aku
berpuasa aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur serta aku menikahi wanita!
Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku.”[7] Dalam
kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Akan tetapi perlu juga kita waspadai, bahwa dalam menjauhi sikap ghuluw ini kita juga
jangan sampai terjebak ke dalam sikap taqshîr (melalai-lalaikan dan melonggar-
longgarkan diri). Ini merupakan tipu daya setan yang luar biasa. Setan selalu mencari
titik lemah seorang insan. Apabila titik lemahnya pada sikap ghuluw maka setanpun
masuk melalui pintu ghuluw dan apabila titik lemahnya pada sikap taqshîr maka
setanpun masuk melalui pintu taqshîr.
Memang, mempertahankan diri di tengah-tengah antara sikap ghuluw dan sikap taqshîr
merupaka suatu perkara yang sulit. Kesuksesan, kebahagiaan dan keberhasilan dalam
urusan akhirat maupun dunia tergantung dengan cara kita menempatkan segala
sesuatu secara proporsional menurut pandangan syariat yang hanîf dan fitrah ini.
Karena setiap ketidakseimbangan akan menyebabkan ketimpangan dan keberatan
yang akan menghalangi tercapainya tujuan. Dalam hal ini setan akan melihat dari pintu
manakah ia mungkin masuk.
Jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang adalah potensi
rendah diri dan gampang menyerah, maka setanpun menanamkan rasa malas dalam
dirinya, mengendorkan semangatnya, menggambarkan berat amal-amal ketaatan dan
mendorongnya untuk mudah mengabaikan kewajiban, sampai akhirnya ia
meninggalkan kewajiban itu sama sekali. Namun jika setan melihat bahwa yang lebih
dominan pada diri seseorang adalah semangatnya yang menggebu-gebu, mulailah
setan menanamkan anggapan bahwa apa yang diperintahkan itu baru sedikit dan
belum cukup untuk mengimbangi semangatnya, sehingga ia serasa membutuhkan
sesuatu yang baru sebagai tambahannya.[10]
Sebagaimana halnya kita tidak boleh terjebak dalam sikap taqshîr karena menghindari
ghuluw, demikian pula kita jangan salah menilai ‘ghuluw’. Sebagian orang menilai
keteguhan memegang syariat dan istiqamah di atasnya merupakan sikap ghuluw.
Sebagai dampaknya, mereka menganggap pengamalan sebagian sunnah Nabi sebagai
sikap ghuluw. Ini jelas salah besar.
Memang kita membenci sikap ghuluw, namun hendaknya kita jangan salah menilai.
Sebagian orang beranggapan memelihara jenggot, memakai cadar, mengenakan
pakaian sampai setengah betis, memakai gamis bahkan shalat lima waktu berjama’ah
di masjid pun dianggap ghuluw. Ini tentu penilaian yang salah. Sebab, seluruh perkara-
perkara tersebut adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang dianjurkan
bahkan ada yang wajib.
Penilaian yang salah ini bisa berakibat fatal, yaitu perkara-perkara sunnah dianggap
sebagai perkara bid’ah, dan sebaliknya perkara bid’ah dianggap sunnah. Hakikat
ghuluw adalah sesuatu yang melangkahi ketentuan syariat. Penilaian tersebut didasari
atas kebodohan dalam memahami apa itu ghuluw dan juga kejahilan terhadap sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak boleh menilai sesuatu tanpa ilmu. Dan
berbicara tentang agama Allah Azza wa Jalla tanpa ilmu merupakan salah satu langkah
setan, bahkan tergolong dosa besar.
ِين آ َم ُنوا اَل َيسْ َخرْ َق ْو ٌم مِنْ َق ْو ٍم َع َس ٰى أَنْ َي ُكو ُنوا َخيْرً ا ِم ْن ُه ْم َواَل ِن َسا ٌء مِنْ ِن َسا ٍء َع َس ٰى أَنْ َي ُكنَّ َخيْرً ا ِم ْنهُنَّ ۖ َواَل َت ْل ِم{ ُزوا
َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
ُون َّ ك ُه ُم
َ الظالِم َ ان ۚ َو َمنْ لَ ْم َي ُتبْ َفأُو ٰلَ ِئ
ِ ُوق َبعْ َد اإْل ِي َم
ُ س ااِل سْ ُم ْالفُسَ ب ۖ ِب ْئِ أَ ْنفُ َس ُك ْم َواَل َت َنا َب ُزوا ِباأْل َ ْل َقا
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menghindari fenomena ghuluw
dalam agama, diantaranya:
1. Menuntut ilmu syar’i. Ilmu adalah lentera yang menerangi langkah kita di dunia dan
menjadi asset yang amat bernilai di akhirat. Apabila lentera ini padam, maka setan akan
leluasa menyesatkan anak Adam. Maka dari itu janganlah absen dari majelis-majelis
ilmu. Banyak sekali faidah yang dapat kita petik dari majelis ilmu. Di antaranya adalah
kita dapat bertatap muka secara langsung dengan ahli ilmu.
2. Jangan malu dan segan bertanya kepada ahli ilmu (Ulama). Malu bertanya sesat di
jalan, begitulah kata pepatah kita. Terlebih lagi dalam urusan agama. Janganlah kita
malu bertanya kepada ulama dalam perkara-perkara agama yang belum kita ketahui,
baik dalam perkara aqidah, ibadah, mu’amalah dan lainnya. Terlebih lagi perkara yang
berkaitan dengan perincian dalam agama, misalnya prosedur pelaksanaan sebuah
ibadah, perincian dalam hal aqidah dan lain sebagainya. Kesimpulannya, kita harus
menjauhi segala macam bentuk ghuluw dalam agama, baik berupa keyakinan, ucapan
maupun perbuatan yang diatas-namakan agama. Dan hendaknya kita juga harus
waspada jangan sampai tergelincir dalam sikap taqshîr. Di samping itu, janganlah
sembrono dan serampangan dalam menilai ‘ghuluw’ tanpa ilmu.