Peristiwa Isrâ ’ [1] dan Mi’râ j [2] merupakan salah satu di antara mukjizat
yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai wujud penghormatan
dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Peristiwa
ini juga sebagai penghibur setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thâ if.
Peristiwa Isrâ dan Mi’râ j terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Namun
para ulama berselisih tentang waktu kejadiannya. Yang tidak ada
perseselisihan yaitu tentang kebenaran peristiwa ini, karena kejadian ini
diabadikan dalam Al-Qur`â n dan Al-Hadits. Allah Azza wa Jalla
menyebutkan peristiwa ini di dua tempat dalam Al- Qur`â n, yaitu al-
Isrâ ’/17 ayat 1 dan an-Najm/53 ayat 13-18.
3. Mi’râ j.
Akan tetapi dalam perjalanan kembali dari mi’râ j ini, ketika sampai di
tempat Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya: “Apa yang telah diwajibkan Rabbmu atas umatmu?” Rasulullah
2
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan ini, sehingga Musâ
Alaihissallam meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk kembali menghadap Allah dan minta keringanan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan saran itu, dan Allah Azza wa
Jalla pun berkenan memberi keringanan. Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak kembali dan berjumpa dengan Nabi Musâ
Alaihissallam, beliau Alaihissallam meminta Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar meminta keringanan lagi, dan saran itu
pun dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Allah
Azza wa Jalla berkenan memberi keringanan. Hingga akhirnya, kewajiban
shalat itu hanya lima kali sehari semalam. Setelah itu, ketika Nabi Musâ
Alaihissallam meminta Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memohon keringanan lagi, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Aku sudah memohon kepada Rabbku sehingga aku merasa
malu,” lalu terdengar suara: “Aku telah menetapkan yang Aku fardhukan,
dan Aku telah memberikan keringanan kepada para hamba-Ku” [6].
Dari riwayat-riwayat tentang Mi’raj ini juga diketahui, bahwa riwayat yang
menceritakan peristiwa ini menggunakan fi’il majhul (kata kerja pasif),
sehingga sarana yang digunakan tidak diketahui dengan jelas. Dalam
sebagian riwayat disebutkan: “Aku dipasangkan mi’râ j”. Sehingga Ibnu
Katsîr rahimahullah mengatakan perihal itu dengan perkataannya [8]:
“Mi’râ j, ialah tangga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik menuju langit
melalui tangga itu, bukan dengan Burâ q sebagaimana persangkaan
sebagian orang”.
Mendengar penuturan Rasulullah itu, maka spontan Abu Jahl meyakini jika
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdusta. Namun
penolakan Abu Jahl ini tidak ia ucapkan saat itu. Abu Jahl hanya berkata:
“Bagaimana pendapatmu jika aku memanggil kaummu? Apakah engkau
akan memberitahukan kepada mereka peristiwa yang baru engkau
sampaikan kepadaku?”
Jika peristiwa Isrâ ’ dan Mi’râ j itu terjadi hanya dalam mimpi, maka sudah
tentu orang-orang kafir Quraisy tidak akan mengingkarinya. Begitu pula,
tentu sebagian orang yang sudah beriman tidak akan murtad. Jika hanya
5
dengan mimpi, maka peristiwa Isrâ ’ dan Mi’râ j itu, sama sekali tidak
memiliki nilai mu’jizat. Pendapat yang mengatakan peristiwa Isrâ ’ dan
Mi’râ j hanya dalam mimpi, juga menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla :
yang artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil-Aqshâ yang telah
Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (al Isrâ `/17 ayat 1).
7
susu, maka aku memilih susu, lalu Jibril berkata kepadaku: ‘Engkau telah
memilih fitrah (kesucian).’”
8
menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman (untuknya): ‘Dan kami telah mengangkatnya ke
tempat yang tinggi.’”
9
(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq
tersebut pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha yang (lebar) dedaunnya
seperti telinga gajah dan (besar) buah-buahnya seperti tempayan besar.”
Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tatkala perintah Allah memenuhi
Sidratul Muntaha, maka Sidratul Muntaha berubah dan tidak ada seorang
pun dari makhluk Allah yang bisa menjelaskan sifat-sifat Sidratul Muntaha
karena keindahannya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku
wahyu dan mewajibkan kepadaku shalat lima puluh kali dalam sehari
semalam.”
Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku akan kembali kepada Rabb-
ku.” Lalu aku memohon: “Ya Rabb, berilah keringanan kepada ummatku.”
Maka aku diberi keringanan lima shalat. Lalu aku kembali kepada Musa
Alaihissallam kemudian aku berkata padanya: “Allah telah memberiku
keringanan (dengan hanya) lima kali.” Musa mengatakan: “Sesungguhnya
ummatmu tidak akan mampu melakukan hal itu, maka kembalilah kepada
Rabb-mu dan minta-lah keringanan.”
Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam
perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian
orang meyakini kisah yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab.
Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan sebenarnya
terjadinya kisah ini? Bagaimana pula hukum merayakan perayaan Isra’
Mi’raj? Simak pembahasannya dalam tulisan yang ringkas ini.
Pengertian Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di
malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis
(Palestina), berdasarkan firman Allah :
صى َ ان الَّذِي أَسْ َرى ِب َع ْب ِد ِه لَ ْيالً م َِّن ْال َمسْ ِج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َمسْ ِج ِد األَ ْق
َ ُسب َْح
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik.
Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas
langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18.[1]
Kisah Isra’ Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini disebutkan oleh Allah
‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur`an dalam firman-Nya:
َ صى الَّذِي َب
ار ْك َنا َح ْولَ ُه لِ ُن ِر َي ُه َ ان الَّذِي أَسْ َرى ِب َع ْب ِد ِه َل ْياًل م َِن ْال َمسْ ِج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َمسْ ِج ِد اأْل َ ْق
َ ُسب َْح
مِنْ َءا َيا ِت َنا إِ َّنه ه َُو ال َّسمِي ُع ْالبَصِ ير
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
11
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
.وحىَ إِنْ ُه َو إِاَّل َوحْ ٌي ُي. َو َما َي ْنطِ ُق َع ِن ْال َه َوى.غَوى َ صا ِح ُب ُك ْم َو َما
َ ض َّل َ َما.َوال َّنجْ ِم إِ َذا َه َوى
َ َ َ
َف أ ْو َحى.ْن أ ْو أ ْد َنى َ ُ
َ َف َك. ث َّم َد َنا َف َت َدلى. َوه َُو ِبا فُ ِق ا عْ لَى. ُذو مِرَّ ٍة َفاسْ َت َوى.َعلَّ َم ُه َشدِي ُد ْالقُ َوى
َّ ُ أْل أْل
ِ اب َق ْو َس ي
َ ان َق
ُ
عِ ْن َد ِس ْد َر ِة. َولَ َق ْد َرآهُ َن ْزلَ ة أ ْخ َرى. أَ َف ُت َمارُو َن ُه َعلَى َم ا َي َرى.ب ْالفُ َؤا ُد َما َرأَى
ً َ َما َك َذ.إِلَى َع ْب ِد ِه َما أَ ْو َحى
ت ِ لَ َق ْد َرأَى مِنْ َءا َي ا.ص ُر َو َم ا َط َغى َ اغ ْال َبَ َم ا َز. إِ ْذ َي ْغ َشى الس ِّْد َر َة َما َي ْغ َش ى. عِ ْندَ َها َج َّن ُة ْال َمأْ َوى.ْال ُم ْن َت َهى
َر ِّب ِه ْال ُكب َْرى
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat
dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang
sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu)
menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang
tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia
dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat
(lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang
telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa
yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu
(dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.
Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat dalam
hadits yang shahih dengan berbagai riwayat. Syaikh Al Albani rahimahullah
dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal Mi’raj menyebutkan 16
shahabat yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu
Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab,
Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin
Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan
‘Umar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya , dari sahabat Anas
bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang
panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan
telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh
pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul
Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat
tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat
kemudian keluar . Kemudian datang kepadaku Jibril ‘alaihis salaam dengan
membawa bejana berisi khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih
bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih
(yang sesuai) fitrah”.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit (pertama) dan Jibril
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan
saya bertemu dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan
12
kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis
salaam meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa
engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
kedua) dan saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin
Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau berdua menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketiga dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah
diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit
keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan
(kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa
yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia
telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami
(pintu langit keempat) dan saya bertemu dengan Idris alaihis salaam.
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman
yang artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”
(Maryam:57).
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit kelima dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
kelima) dan saya bertemu dengan Harun ‘alaihis salaam. Beliau
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit keenam dan Jibril
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan
saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan
untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku ke langit ketujuh dan Jibril
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”
Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim. Beliau sedang menyandarkan
punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’muur tujuh
puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian Ibrahim pergi
bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-
telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh
perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari
makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya
Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah
mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam. Kemudian saya turun
menemui Musa ’alaihis salam. Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan
Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata:
“Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena
13
sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya.
Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”. Beliau
bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai
Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat.
Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi
untukku 5 shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu
mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah
keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku
Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah
berfirman:“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari
semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat.
Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka
tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka
ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu
dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia
berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka
sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai
sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke kitab Shahih Bukhari
hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga
kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini. Terdapat pula
tambahan riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di
atas.
Kapankah Isra` dan Mi’raj?
Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal
27 Rajab. Padahal, para ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang
tanggal kejadian kisah ini. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
penetapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj , yaitu[2] :
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun tatkala Allah memuliakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nubuwah (kenabian). Ini adalah
pendapat Imam Ath Thabari rahimahullah.
Perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah diutus sebagai rasul.
Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Imam An Nawawi dan Al Qurthubi
rahimahumallah.
Peristiwa tersebut terjadi pada malam tanggal dua puluh tujuh
Bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian. Ini adalah pendapat Al Allamah Al
Manshurfuri rahimahullah.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi enam bulan
sebelum hijrah, atau pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah
kenabian.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun dua bulan
sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah
kenabian.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun sebelum
hijrah, atau pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas setelah kenabian.
Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri hafidzahullah menjelaskan :
“Tiga pendapat pertama tertolak. Alasannya karena Khadijah radhiyallahu
‘anha meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh setelah
kenabian, sementara ketika beliau meninggal belum ada kewajiban shalat
lima waktu. Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa diwajibkannya
shalat lima waktu adalah pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangakan tiga
pendapat lainnya, aku tidak mengetahui mana yang lebih rajih. Namun jika
dilihat dari kandungan surat Al Isra’ menunjukkan bahwa peristiwa Isra’
Mi’raj terjadi pada masa-masa akhir sebelum hijrah.”
14
Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa Isra` dan Mi’raj
tidak diketahui secara pasti pada kapan waktu terjadinya. Ini menunjukkan
bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj bukanlah suatu hal
yang penting. Lagipula, tidak terdapat sedikitpun faedah keagamaan
dengan mengetahuinya. Seandainya ada faidahnya maka pasti Allah akan
menjelaskannya kepada kita. Maka memastikan kejadian Isra’ Mi’raj terjadi
pada Bulan Rajab adalah suatu kekeliruan. Wallahu ‘alam..
Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti sampainya
beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi dan shalat
mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam hadits-
hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal
jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
Menerima berita tersebut.
Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai
dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang
terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada
kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt radhiyallahu ‘anhum
terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat
bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang
menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka mengatakan :
“Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-
orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke
Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut
hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau
yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau
ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang
musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab:
“Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian
kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau,
bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke
Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al
Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha).[4]
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terhadap
berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau langsung
membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak
bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi
pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap
setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.
Hikmah Terjadinya Isra`
Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut
memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya
peristiwa Isra`, yaitu:
Perjalanan Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih
memperkuat hujjah bagi orang-orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke
langit, seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak
mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami.
Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada
beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama
15
perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik
bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah
apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis
yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para
nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul
Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan
beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam.
Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di
Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.[5]
Faedah Kisah
Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya :
Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan
Allah ‘Azza wa Jalla.
Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu
wa salaam
Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat
radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini,
tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan
terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan
fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus
sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad secara
bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim
dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan
terjaga.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’atul I’tiqad
“… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj, beliau mengalaminya dalam keadaan
terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir) Quraisy mengingkari dan
sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka tidak mengingkari
mimpi”[6]
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata : “Mi’raj adalah benar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam telah melakukan Isra` dan Mi’raj dengan
tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit…”[7]
Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya
dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah tinggi
berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum
muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di
atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-
pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga,
dan selainnya.
Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di kubur-
kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti
kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang
membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta syafa’at
16
kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu
Syaikh rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa
‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa karena jasad dan ruh beliau
dibawa ke langit dan beliau belum wafat.[8]
Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui
jumlah mereka kecuali Allah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah kalimur
Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan
yang sebenar-benarnya.
Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah
langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat
Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
diringankan kewajiban shalat.
Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat
Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum sempat
dikerjakan sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima
puluh rakaat menjadi lima rakaat.
Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah pada saat
Mi’raj. Ada tiga pendapat yang populer : Nabi melihat Allah dengan
penglihatan, Nabi melihat Allah dengan hati, dan Nabi tidak melihat Allah
namun hanya mendengar kalam Allah.
Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya
berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir, karena dia
berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’raj
maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah serta
dijelaskan padanya kebenaran.
Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj
Bagaimana hukum mengadakan perayaan Isra’ Mi’raj? Berdasarkan
dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra` Mi’raj
tidak boleh dikerjakan, bahkan merupakan perkara bid’ah, karena dua
alasan :
Malam Isra` Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya.
Banyaknya perselisihan di kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam
penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj, merupakan dalil yang sangat
jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian yang besar
tentang waktu terjadinya. Jika waktu terjadinya saja tidak disepakati,
bagaimana mungkin bisa dilakukan perayaan Isra’ Mi’raj?
Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan.
Seandainya perayaan tersebut adalah bagian dari syariat Allah, maka pasti
akan dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,
atau minimal beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau dan
para sahabat mengerjakannya atau menyampaikannya, maka ajaran
tersebut akan sampai kepada kita.
Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun dalil tentang hal tersebut, maka
perayaan Isra’ Mi’raj bukan bagian dari ajaran Islam. Jika dia bukan bagian
dari agama Islam, maka tidak boleh bagi kita untuk beribadah dan
bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan tersebut. Bahkan
merayakannya termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.
17
Berikut di antara fatwa ulama dalam masalah ini. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
”Pertanyaan ini tentang perayaan malam Isra’ Mi’raj yang terjadi di Sudan.
Kami merayakan malam Isra’ Mi’raj rutin setiap tahun, Apakah perayaan
tersebut memiliki sumber dari Al Qur’an dan As Sunnah atau pernah terjadi
di masa Khulafaur Rasyidin atau pada zaman tabi’in? Berilah petunjuk
kepadaku karena saya bingung dalam masalah ini. Terimakasih atas
jawaban Anda.”
Jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Perayaan seperti itu
tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak pula pada
zaman Khulafaur Rasyidin . Petunjuk yang ada dalam Al Qur’an dan sunnah
rasul-Nya justru menolak perbuatn bid’ah tersebut karena Allah Ta’ala
mengingkari orang-orang yang menjadikan syariat bagi mereka selain
syariat Allah termasuk perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah :
ين َما لَ ْم َيأْ َذن ِب ِه هَّللا ُ أَ ْم لَ ُه ْم
ِ ش َر َكاء َش َرعُوا َلهُم م َِّن ال ِّد
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy
Syuura:21)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من عمل عمالً ليس عليه أمرنا فهو رد
“ Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari Allah dan rasul-Nya maka amalan tersebut tertolak “.
Perayaan malam Isra’ Mi’raj bukan merupakan perintah Allah dan
rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan ummatnya dalam setiap khutbah Jum’at melalui sabda
beliau :
أما بعد فإن خير الحديث كتاب هللا وخير الهدي هدي محمد وشر األم ور مح دثاتها وك ل بدع ة
ضاللة
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman
Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara baru dalam agama,
dan setiap bid’ah adalah sesat.”[9]
Semoga paparan ringkas ini dapat menambah ilmu dan wawsan kita,
serta dapat menambah keimanan kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad
Seorang mukmin, saat menemukan kebenaran yang sebelumnya belum
pernah ia ketahui, seperti seorang yang menemukan sebuah barang
berharga yang hilang, yang ia cari sepanjang siang dan malam.
Bagaimana gerangan perasaannya, manakala berhasil menemukan
barang tersebut? Tentu senang dan bahagia. Demikian perumpamaan
seorang mukmin, manakala ia menemukan kebenaran, yang sebelumnya
belum ia ketahui. Sebelumnya ia tidak sadar kalau ternyata selama ini
berada pada jalan yang keliru. Lalu ia menemukan kebenaran yang
menyadarkannya dari kekeliruan tersebut. Tentu ia akan merasa bahagia
dan berlapang dada untuk menerima kebenaran tersebut.
18
Sebagai seorang mukmin yang telah berikrar bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah utusan Allah, tentu ia akan lebih
selektif dalam dalam hal amalan ibadah. Bila ada tuntunannya dari
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka akan lakukan sebagai
bentuk ittiba‘ (mengikuti sunah) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, bila tidak maka ia akan tinggalkan karena Allah. Karena diantara
konsekuensi dari syahadat Muhammadur Rasulullah, adalah ittaba’, atau
mencontoh beliau dalam beribadah kepada Allah. Allah ta’ala berfirman,
ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َو َي ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم ۗ َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َرحِي ٌم
َ حب ِ قُ ْل إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya
sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak
halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat
siapa pun.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 2: 282).
Pembaca yang dirahmati Allah, terkait perayaan Isra Mi’raj, ada nasehat
indah dari salah seorang ulama di kota Madinah An-Nabawiyyah; Syaikh
Sulaiman ar Ruhaili hafizhahullah. Dimana dalam salah satu majelis di
masjid Nabawi beliau ditanya terkait masalah ini. Mari simak pemaparan
beliau berikut.
Pertanyaan:
Apakah benar peristiwa Isra dan Mi’raj itu terjadi bulan rajab? Lalu
bolehkah kita merayakan peristiwa tersebut? Dan menjadikan hari
19
terjadinya sebagai ‘id (perayaan yang dirayakan secara periodik) setiap
tahunnya? Dimana pada hari perayaan tersebut, kita saling memberi
ucapan selamat dan saling bertukar hadiah?
Jawab:
Tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj
terjadi di bulan Rojab. Benar kita tidak meragukan, bahwa peristiwa Isra
dan Mi’raj benar-benar terjadi. Bahkan ini bagian dari perkara agama
yang qot’i, tidak boleh seorang muslim meragukannya. Namun kapan
peristiwa ini terjadi? Bulan apakah?
Para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak ada keterangan riwayat yang
menerangkan bulan terjadinya peristiwa Isra Mi’raj. Tidak pula
zamannya. Yakni tidak diketahui peristiwa tersebut terjadi pada bulan
apa. Tidak pula di sepulah hari dari suatu pulan apapun. Oleh karenanya,
para ulama berselisih pendapat dalam masalah penentuan bulan
terjadinya Isra dan Mi’raj. Karena disebabkan tidak adanya riwayat
shahih yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini.
20
أَ َفاَل أَ ُك ْونُ َع ْب ًدا َش ُك ْورً ا
Demikian pula tidak ada keterangan dari para sahabat -semoga Allah
meridhoi mereka-, bahwa mereka merayakan peristiwa Isra dan mi’raj.
Tidak pula dari generasi tabi’in, tidak pula dari Imam mazhab yang
empat; yang dijadikan rujukan -semoga Allah meridhoi para ulama
pendahulu kita, seluruhnya-. Tidak ada keterangan dari mereka semua,
bahwa mereka merayakan peristiwa ini. Bahkan meski satu patah
katapun tentang perayaan ini.
21
bimbingan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, yang menerangkan
kepada mereka tata cara ibadahnya.
Maka alangkah indahnya bila umat ini menyibukkan diri dengan ibadah-
ibadah yang ada tuntutannya. Karena sungguh andai mereka
menyibukkan hari-hari mereka dengan ibadah yang ada sunahnya dari
Nabi shallallahu’alaihiwasallam, maka sungguh dalam hal tersebut ada
pengaruh yang besar di hati kaum mukminin; dalam hal kasih sayang
diantara mereka, saling mencintai, persatuan, kemuliaan mereka,
22
pertolongan untuk mereka atas musuh-musuh mereka, dan akan
tampaklah wibawa umat di hadapan musuh-musuh mereka.
23