Anda di halaman 1dari 23

ISRA’ DAN MI’RAJ

Peristiwa Isrâ ’ [1] dan Mi’râ j [2] merupakan salah satu di antara mukjizat
yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai wujud penghormatan
dan pelipur lara setelah paman dan istri beliau meninggal dunia. Peristiwa
ini juga sebagai penghibur setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapatkan perlakuan tidak bersahabat dari penduduk Thâ if.

Peristiwa Isrâ dan Mi’râ j terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Namun
para ulama berselisih tentang waktu kejadiannya. Yang tidak ada
perseselisihan yaitu tentang kebenaran peristiwa ini, karena kejadian ini
diabadikan dalam Al-Qur`â n dan Al-Hadits. Allah Azza wa Jalla
menyebutkan peristiwa ini di dua tempat dalam Al- Qur`â n, yaitu al-
Isrâ ’/17 ayat 1 dan an-Najm/53 ayat 13-18.

Peristiwa ini terjadi di Makkah sebagaimana diriwayatkan dalam banyak


hadits. Imam al-Bukhâ ri memiliki 20 riwayat dari enam sahabat
Radhiyallahu ‘anhum. Imam Muslim rahimahullah memiliki 18 riwayat
dari tujuh sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Di antara hadits-hadits ini, tidak
ada satupun yang menjelaskan secara lengkap semua kejadian Isrâ ` dan
Mi’râ j ini dari awal sampai akhir, tetapi masing-masing menceritakan
bagian per bagian.

Berdasarkan kandungan hadits dari riwayat-riwayat yang ada, maka dapat


diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Adanya Pembelahan Dada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa


Sallam.
Usai melaksanakan shalat ‘Isyâ ` pada malam penuh barakah itu, Malaikat
Jibril Alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
membedah dada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mencucinya
menggunakan air Zam-am. Kemudian dibawakan bejana emas penuh
dengan hikmah dan iman lalu dituangkan ke dada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Setelah itu Malaikat Jibril menutup kembali dada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibawanya naik ke langit [3].
1
2. Isrâ `.

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda: “Aku diberi Buraq, yaitu seekor hewan putih yang lebih besar
dari himar dan lebih kecil dari keledai. Aku mengendarainya. Dia
membawaku hingga sampai ke Baitul-Maqdis. Lalu aku mengikatnya di
tempat para nabi menambatkan. Aku masuk ke Baitul-Maqdis dan shalat
dua raka’at. Setelah itu aku keluar. Malaikat Jibril menghampiriku dengan
membawa satu wadah berisi khamr dan satu wadah berisi susu. Aku
memilih susu. Malaikat Jibril Alaihissalam berkata: ‘Engkau telah
(memilih) sesuai dengan fithrah,’ setelah itu, ia membawaku naik ke
langit”[4]. Dan dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat bersama para nabi sebelum naik ke langit [5].

3. Mi’râ j.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa naik melewati beberapa langit.


Pada setiap langit, Malaikat Jibril minta agar dibukakan pintu langit lalu ia
ditanya: “Siapakah yang bersamamu?” Jibril Alaihissallam
menjawab,”Muhammad,” penghuni langit itupun menyambutnya.

Di langit dunia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa


dengan Nabi Adam Alaihissallam, di langit kedua berjumpa dengan Nabi
Isâ Alaihissallam dan Nabi Yahya Alaihissallam, di langit ketiga berjumpa
dengan Nabi Yû suf Alaihissallam, di langit keempat dengan Nabi Idris
Alaihissallam, di langit kelima dengan Nabi Hâ rû n Alaihissallam, di langit
keenam dengan Nabi Musâ Alaihissallam, dan di langit ketujuh berjumpa
dengan Nabi Ibrâ hîm Alaihissallam yang sedang bersandar pada Baitul-
Ma’mû r. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan
perjalanan sampai ke Shidratul-Muntahâ (langit tertinggi). Di sinilah, Allah
Azza wa Jalla mewajibkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan umatnya untuk menegakkan shalat 50 kali sehari semalam.

Akan tetapi dalam perjalanan kembali dari mi’râ j ini, ketika sampai di
tempat Nabi Musâ Alaihissallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya: “Apa yang telah diwajibkan Rabbmu atas umatmu?” Rasulullah
2
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan ini, sehingga Musâ
Alaihissallam meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk kembali menghadap Allah dan minta keringanan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan saran itu, dan Allah Azza wa
Jalla pun berkenan memberi keringanan. Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam hendak kembali dan berjumpa dengan Nabi Musâ
Alaihissallam, beliau Alaihissallam meminta Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar meminta keringanan lagi, dan saran itu
pun dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Allah
Azza wa Jalla berkenan memberi keringanan. Hingga akhirnya, kewajiban
shalat itu hanya lima kali sehari semalam. Setelah itu, ketika Nabi Musâ
Alaihissallam meminta Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memohon keringanan lagi, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Aku sudah memohon kepada Rabbku sehingga aku merasa
malu,” lalu terdengar suara: “Aku telah menetapkan yang Aku fardhukan,
dan Aku telah memberikan keringanan kepada para hamba-Ku” [6].

4. Perjalanan Kembali Dari Mi’râ j.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa perjalanan


kembali Rasulullah menempuh rute dari langit tertinggi menuju Baitul-
Maqdis lalu ke Makkah [7]. Adapun sarana yang dipakai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Isrâ ’ ialah Buraq.

Dari riwayat-riwayat tentang Mi’raj ini juga diketahui, bahwa riwayat yang
menceritakan peristiwa ini menggunakan fi’il majhul (kata kerja pasif),
sehingga sarana yang digunakan tidak diketahui dengan jelas. Dalam
sebagian riwayat disebutkan: “Aku dipasangkan mi’râ j”. Sehingga Ibnu
Katsîr rahimahullah mengatakan perihal itu dengan perkataannya [8]:
“Mi’râ j, ialah tangga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik menuju langit
melalui tangga itu, bukan dengan Burâ q sebagaimana persangkaan
sebagian orang”.

SIKAP ORANG-ORANG QURAISY MENANGGAPI PERISTIWA ISRÂ ’ DAN


MI’RÂ J
Pada pagi hari setelah peristiwa ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
3
sallam nampak merasa susah karena khawatir dianggap berdusta oleh
kaumnya. Dalam keadaan seperti ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dihampiri oleh Abu Jahl yang menanyakan keadaannya. Rasulullah pun
memberitahukan tentang Isrâ `.

Mendengar penuturan Rasulullah itu, maka spontan Abu Jahl meyakini jika
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdusta. Namun
penolakan Abu Jahl ini tidak ia ucapkan saat itu. Abu Jahl hanya berkata:
“Bagaimana pendapatmu jika aku memanggil kaummu? Apakah engkau
akan memberitahukan kepada mereka peristiwa yang baru engkau
sampaikan kepadaku?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya,” maka Abu Jahl


bergegas memanggil kaum Quraisy. Setelah mereka datang, Abu Jahl
meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
menceritakan yang telah ia alami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakannya.

Orang-orang Quraisy pun terheran mendengar cerita beliau Shallallahu


‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ada yang pernah melihat Masjid al-
Aqshâ , maka orang-orang ini pun meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menceritakan sifat Masjidil-Aqshâ . Lalu Allah Azza wa Jalla
mengangkat masjid itu, sehingga seolah bisa dilihat oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan sifat-sifatnya. Mendengar penjelasan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka pun berseru:”Demi Allah, keterangannya benar”.
[9]

Dalam sebuah riwayat diceritakan, orang-orang Quraisy mengingkari


kepergian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Syam lalu kembali
lagi ke Makkah yang hanya dalam waktu satu malam saja. Karena
perjalanan itu biasa ditempuh jarak waktu dua bulan. Sehingga ada
sebagian orang yang kemudian murtad saat itu.[10]

Berbeda dengan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Begitu diberitahu


peristiwa itu, beliau Radhiyallahu ‘anhu langsung mempercayainya tanpa
4
ragu sedikit pun, seraya berkata: “Demi Allah, jika benar ia
mengatakannya, maka ia benar. Apa yang membuat kalian heran? Demi
Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa wahyu telah
turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini lebih
besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!”

Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu pun kemudian mendatangi Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam menanyakan peristiwa yang telah didengarnya. Dan
demikianlah keadaan Sahabat Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu, setiap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan sesuatu, maka beliau
Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Engkau benar, aku bersaksi bahwa engkau
adalah Rasulullah…,” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Abu Bakr, engkau adalah shiddiq,” dan mulai saat itulah beliau
Radhiyallahu ‘anhu dinamai ash-Shiddiq. Artinya orang yang selalu
percaya.[11]

ISRÂ ’ DAN MI’RÂ J DENGAN RUH DAN JASAD


Masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagaimana
dikatakan oleh al-Qâ dhi ‘Iyâ dh, bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang Isrâ ’ dan Mi’râ j Rasulullah. Ada yang mengatakan, semua itu hanya
terjadi dalam mimpi. Adapun pendapat yang benar yang dipegangi oleh
umat dan sebagian besar ulama salaf serta mayoritas muta’akhhirîn baik
ahli fiqih, ahli hadits maupun ahli ilmu kalam, bahwa Isrâ ’ yang dialami
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah dengan jasadnya.

Ibnu Hajar[12] berkata: “Sesungguhnya Isrâ ’ dan Mi’râ j terjadi dalam


waktu satu malam dengan jasad dan fisik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan beliau tersadar, terjadi setelah diangkat menjadi
nabi. Pendapat inilah yang dipegangi mayoritas ulama ahli hadits, ahli fiqih
dan ahli ilmu kalam. Zhahir hadist yang shahih menunjukkan hal itu. Dan
tidak sepatutnya kita berpaling darinya, karena akal tidak memiliki alasan
untuk mengatakan persitiwa itu mustahil sehingga perlu dita’wil ….”

Jika peristiwa Isrâ ’ dan Mi’râ j itu terjadi hanya dalam mimpi, maka sudah
tentu orang-orang kafir Quraisy tidak akan mengingkarinya. Begitu pula,
tentu sebagian orang yang sudah beriman tidak akan murtad. Jika hanya
5
dengan mimpi, maka peristiwa Isrâ ’ dan Mi’râ j itu, sama sekali tidak
memiliki nilai mu’jizat. Pendapat yang mengatakan peristiwa Isrâ ’ dan
Mi’râ j hanya dalam mimpi, juga menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla :
yang artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil-Aqshâ yang telah
Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (al Isrâ `/17 ayat 1).

Permulaan ayat dengan tasbih menunjukkan adanya perhatikan kepada


sesuatu yang penting. Begitu juga kalimat “bi ‘abdihi”, memiliki makna
gabungan antara ruh dan jasad, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Urjû n [13],
dan yang lainnya.

PELAJARAN DARI KISAH ISRÂ ’ DAN MI’RÂ J


1. Riwayat Isrâ ’ dan Mi’râ j telah disepakati keshahihannya oleh ulama ahli
hadits dan sirah. Juga telah ditetapkan sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur`aan, hadits-hadits shahih, dan Ijma’ kaum muslimin. Peristiwa ini
termasuk salah satu mu’jizat yang diterima Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Barang siapa mengingkari peristiwa ini, berarti ia telah
mengingkari sesuatu yang ma’lû m bid-dharû rah (diketahui secara pasti).

2. Peristiwa yang terjadi setelah beberapa ujian menimpa Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, bertujuan untuk memperteguh semangat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga sebagai isyarat bahwa
penderitaan yang beliau n alami bukan karena Allah Azza wa Jalla
meninggalkannya, akan tetapi sebagai sunnatullah bagi orang-orang yang
dicintai-Nya.

3. Penyebutan antara Masjidil-Harâ m, Masjidil-Aqshâ dan Mi’raj secara


berurutan merupakan bukti yang menunjukkan tingginya kedudukan
Masjidil-Aqshâ .

4. Ketika dibawakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


berupa khamr dan susu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih susu.
Ini menunjukkan bahwa Islam itu din (agama) yang sesuai fithrah.
6
5. Allah Azza wa Jalla mengumpulkan para rasul pembawa risalah untuk
menyambut kedatangan pembawa risalah terakhir. Ini menunjukkan
bahwa para nabi itu saling membenarkan, dan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rasul terakhir, serta menunjukkan
tingginya kedudukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi
Rabbnya.

6. Menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang besar di langit dan


bumi memberikan pengaruh dan motivasi yang kuat, sehingga tidak
khawatir terhadap tipu daya kaum kuffar yang hakikatnya sangat lemah.

7. Diwajibkan shalat fardhu pada malam Mi’raj merupakan bukti betapa


penting rukun Islam ini. Oleh karena itu, semestinya shalat bisa
membebaskan manusia dari godaan nafsu syahwat dan tujuan-tujuan
dunia.

Ahlus Sunnah mengimani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


telah di-isra’-kan oleh Allah dari Makkah ke Baitul Maqdis lalu di-mi’raj-
kan (naik) ke langit dengan ruh dan jasadnya dalam keadaan sadar [1]
sampai ke langit yang ke tujuh, ke Sidratul Muntaha. Kemudian (beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memasuki Surga, melihat Neraka, melihat
para Malaikat, mendengar pembicaraan Allah, bertemu dengan para Nabi,
dan beliau mendapat perintah shalat yang lima waktu sehari semalam.
Dan beliau kembali ke Makkah pada malam itu juga.[2]

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam telah bersabda: “(Jibril) telah datang kepadaku bersama
Buraq, yaitu hewan putih yang tinggi, lebih tinggi dari keledai dan lebih
pendek dari kuda, yang dapat meletakkan kakinya (melangkah) sejauh
pandangannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka aku
menaikinya hingga sampailah aku di Baitul Maqdis, lalu aku turun dan
mengikatnya dengan tali yang biasa dipakai oleh para Nabi.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kemudian aku masuk ke masjid al-
Aqsha dan aku shalat dua raka’at di sana, lalu aku keluar. Kemudian Jibril
Alaihissallam membawakan kepadaku satu wadah khamr dan satu gelas

7
susu, maka aku memilih susu, lalu Jibril berkata kepadaku: ‘Engkau telah
memilih fitrah (kesucian).’”

Lanjut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kemudian Buraq tersebut naik


bersamaku ke langit, maka Jibril meminta agar dibukakan pintu langit, lalu
ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Jibril menjawab: ‘Jibril.’ Jibril ditanya lagi:
‘Siapakah yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Jibril ditanya
lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Ia menjawab: ‘Dia telah diutus.’ Kami pun
dibukakan pintu lalu aku bertemu (Nabi) Adam Alaihissallam. Beliau
menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Kemudian Buraq
tersebut naik bersama kami ke langit kedua, maka Jibril Alaihissallam
mohon dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Ia menjawab:
‘Jibril.’ Ia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab:
‘Muhammad.’ Ia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-Nya?’ Jibril
menjawab: ‘Dia telah diutus.’” Kata Nabi: “Maka kami dibukakan pintu lalu
aku bertemu dengan dua orang sepupuku, yaitu ‘Isa bin Maryam dan
Yahya bin Zakaria Alaihimussallam, maka keduanya menyambutku dan
mendo’akan kebaikan untukku.”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq


tersebut naik bersama kami ke langit ketiga, maka Jibril Alaihissallam
minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab:
‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’” Dia menjawab:
‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-Nya?’ Dia
menjawab: ‘Dia telah diutus kepada-Nya.’” Kata Nabi: “Maka kami
dibukakan pintu, lalu aku bertemu Nabi Yusuf Alaihissallam yang telah
dianugerahi setengah dari ketampanan manusia sejagat.” Kata Nabi: “Maka
Yusuf menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq


tersebut naik bersama kami ke langit yang keempat, maka Jibril
Alaihissallam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia
menjawab: ‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia
menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-
Nya?’ Dia menjawab: ‘Dia telah diutus kepada-Nya.’” Kata Nabi: “Maka
kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu Idris Alaihissallam, ia

8
menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman (untuknya): ‘Dan kami telah mengangkatnya ke
tempat yang tinggi.’”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq


tersebut naik bersama kami ke langit yang kelima, maka Jibril
Alaihissallam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia
menjawab: ‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia
menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-
Nya?’ Dia menjawab: ‘Dia telah diutus kepada-Nya.’” Kata Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam “Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu dengan
Nabi Harun Alaihissallam, ia menyambutku dan mendo’akan kebaikan
untukku.”

(Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq


tersebut naik bersama kami ke langit yang keenam, maka Jibril
Alaihissallam mohon dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia
menjawab: ‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia
menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-
Nya?’ Dia menjawab: ‘Dia telah diutus kepada-Nya.’” Kata Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu dengan
Musa Alaihissallam, lalu ia menyambutku dan mendo’akan kebaikan
untukku.”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq


tersebut naik bersama kami ke langit yang ketujuh, maka Jibril
Alaihissallam minta dibukakan pintu, lalu ia ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia
menjawab: ‘Jibril.’ Dia ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia
menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus kepada-
Nya?’ Dia menjawab: ‘Dia telah diutus kepada-Nya.’” Kata Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Maka kami dibukakan pintu, lalu aku bertemu dengan
Ibrahim Alaihissallam, yang sedang menyandarkan punggungnya di Baitul
Makmur, di mana tempat itu setiap harinya dimasuki oleh 70.000 Malaikat
dan mereka tidak kembali lagi sesudahnya.”

9
(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian Buraq
tersebut pergi bersamaku ke Sidratul Muntaha yang (lebar) dedaunnya
seperti telinga gajah dan (besar) buah-buahnya seperti tempayan besar.”
Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tatkala perintah Allah memenuhi
Sidratul Muntaha, maka Sidratul Muntaha berubah dan tidak ada seorang
pun dari makhluk Allah yang bisa menjelaskan sifat-sifat Sidratul Muntaha
karena keindahannya. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberiku
wahyu dan mewajibkan kepadaku shalat lima puluh kali dalam sehari
semalam.”

(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan): “Kemudian aku turun


dan bertemu Musa Alaihissallam, lalu ia bertanya: ‘Apa yang diwajibkan
Rabb-mu terhadap ummatmu?’ Aku menjawab: ‘Shalat lima puluh kali.’ Dia
berkata: ‘Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan, karena
sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu melakukan hal itu.
Sesungguhnya aku telah menguji bani Israil dan aku telah mengetahui
bagaimana kenyataan mereka.’”

Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku akan kembali kepada Rabb-
ku.” Lalu aku memohon: “Ya Rabb, berilah keringanan kepada ummatku.”
Maka aku diberi keringanan lima shalat. Lalu aku kembali kepada Musa
Alaihissallam kemudian aku berkata padanya: “Allah telah memberiku
keringanan (dengan hanya) lima kali.” Musa mengatakan: “Sesungguhnya
ummatmu tidak akan mampu melakukan hal itu, maka kembalilah kepada
Rabb-mu dan minta-lah keringanan.”

Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam berkata: “Aku terus bolak-balik


antara Rabb-ku dengan Musa Alaihissallam sehingga Rabb-ku
mengatakan:

‫ َو َمنْ َه َّم ِب َح َس َن ٍة َفلَ ْم‬،‫ص الَ ًة‬


َ ‫ك َخ ْمس ُْو َن‬ َ ِ‫صالَ ٍة َع ْش ٌر َف َذل‬ َ ‫ لِ ُك ِّل‬،ٍ‫ت ُك َّل َي ْو ٍم َولَ ْيلَة‬ ٍ ‫صلَ َوا‬
َ ُ‫ إِ َّنهُنَّ َخمْ س‬،‫َيا م َُح َّم ُد‬
‫ َف إِنْ َع ِملَ َه ا‬،‫ َو َمنْ َه َّم ِب َس ِّي َئ ٍة َفلَ ْم َيعْ َم ْل َه ا لَ ْم ُت ْك َتبْ َش ْي ًئا‬،‫ت َل ُه َع ْشرً ا‬ ْ ‫ َفإِنْ َع ِملَ َها ُك ِت َب‬،‫ت لَ ُه َح َس َن ًة‬
ْ ‫َيعْ َم ْل َها ُك ِت َب‬
‫ت َس ِّي َئ ًة َوا ِح َد ًة‬ ْ ‫ ُك ِت َب‬.

‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kewajiban shalat itu lima kali dalam


sehari semalam, setiap shalat mendapat pahala sepuluh kali lipat, maka
10
lima kali shalat sama dengan lima puluh kali shalat. Barangsiapa berniat
melakukan satu kebaikan, lalu ia tidak melaksanakannya, maka dicatat
untuknya satu kebaikan, dan jika ia melaksanakannya, maka dicatat
untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa berniat melakukan satu
kejelekan namun ia tidak melaksanakannya, maka kejelekan tersebut tidak
dicatat sama sekali, dan jika ia melakukannya maka hanya dicatat sebagai
satu kejelekan.’”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Kemudian aku turun


hingga bertemu Musa Alaihissallam, lalu aku beritahukan kepadanya,
maka ia mengatakan: ‘Kembalilah kepada Rabb-mu dan mintalah
keringanan lagi.’” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Lalu
aku menjawab: ‘Aku telah berulang kali kembali kepada Rabb-ku hingga
aku merasa malu kepada-Nya.’”[3]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang mi’raj


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke langit adalah mutawatir.” [4]

Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa yang agung dalam
perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian
orang meyakini kisah yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab.
Benarkah demikian? Bagaimanakah cerita kisah ini? Kapan sebenarnya 
terjadinya kisah ini? Bagaimana pula hukum merayakan perayaan Isra’
Mi’raj? Simak  pembahasannya dalam tulisan yang ringkas ini.
Pengertian Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di
malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis
(Palestina), berdasarkan firman Allah :
‫صى‬ َ ‫ان الَّذِي أَسْ َرى ِب َع ْب ِد ِه لَ ْيالً م َِّن ْال َمسْ ِج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َمسْ ِج ِد األَ ْق‬
َ ‫ ُسب َْح‬ 
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik.
Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas
langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18.[1]
Kisah Isra’ Mi’raj
Secara umum, kisah yang menakjubkan ini  disebutkan oleh Allah
‘Azza wa Jalla dalam Al-Qur`an dalam firman-Nya:
َ ‫صى الَّذِي َب‬
‫ار ْك َنا َح ْولَ ُه لِ ُن ِر َي ُه‬ َ ‫ان الَّذِي أَسْ َرى ِب َع ْب ِد ِه َل ْياًل م َِن ْال َمسْ ِج ِد ْال َح َر ِام إِلَى ْال َمسْ ِج ِد اأْل َ ْق‬
َ ‫ُسب َْح‬
‫مِنْ َءا َيا ِت َنا إِ َّنه ه َُو ال َّسمِي ُع ْالبَصِ ير‬
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari

11
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Juga dalam firman-Nya:
.‫وحى‬َ ‫ إِنْ ُه َو إِاَّل َوحْ ٌي ُي‬.‫ َو َما َي ْنطِ ُق َع ِن ْال َه َوى‬.‫غَوى‬ َ ‫صا ِح ُب ُك ْم َو َما‬
َ ‫ض َّل‬ َ ‫ َما‬.‫َوال َّنجْ ِم إِ َذا َه َوى‬
َ َ َ
‫ َف أ ْو َحى‬.‫ْن أ ْو أ ْد َنى‬ َ ُ
َ ‫ َف َك‬.‫ ث َّم َد َنا َف َت َدلى‬.‫ َوه َُو ِبا فُ ِق ا عْ لَى‬.‫ ُذو مِرَّ ٍة َفاسْ َت َوى‬.‫َعلَّ َم ُه َشدِي ُد ْالقُ َوى‬
َّ ُ ‫أْل‬ ‫أْل‬
ِ ‫اب َق ْو َس ي‬
َ ‫ان َق‬
ُ
‫ عِ ْن َد ِس ْد َر ِة‬.‫ َولَ َق ْد َرآهُ َن ْزلَ ة أ ْخ َرى‬.‫ أَ َف ُت َمارُو َن ُه َعلَى َم ا َي َرى‬.‫ب ْالفُ َؤا ُد َما َرأَى‬
ً َ ‫ َما َك َذ‬.‫إِلَى َع ْب ِد ِه َما أَ ْو َحى‬
‫ت‬ ِ ‫ لَ َق ْد َرأَى مِنْ َءا َي ا‬.‫ص ُر َو َم ا َط َغى‬ َ ‫اغ ْال َب‬َ ‫ َم ا َز‬.‫ إِ ْذ َي ْغ َشى الس ِّْد َر َة َما َي ْغ َش ى‬.‫ عِ ْندَ َها َج َّن ُة ْال َمأْ َوى‬.‫ْال ُم ْن َت َهى‬
‫َر ِّب ِه ْال ُكب َْرى‬
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat
dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang
sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu)
menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang
tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia
dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat
(lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang
telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa
yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu
(dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.
Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
Adapun rincian dan urutan kejadiannya banyak terdapat dalam
hadits yang shahih dengan berbagai riwayat. Syaikh Al Albani rahimahullah
dalam kitab beliau yang berjudul Al Isra` wal Mi’raj menyebutkan 16
shahabat yang meriwayatkan kisah ini. Mereka adalah: Anas bin Malik, Abu
Dzar, Malik bin Sha’sha’ah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab,
Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslamy, Hudzaifah ibnul Yaman, Syaddad bin
Aus, Shuhaib, Abdurrahman bin Qurath, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Ali, dan
‘Umar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Di antara hadits shahih yang menyebutkan kisah ini adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya , dari sahabat Anas
bin Malik :Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Didatangkan kepadaku Buraaq – yaitu yaitu hewan putih yang
panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal, dia meletakkan
telapak kakinya di ujung pandangannya (maksudnya langkahnya sejauh
pandangannya). Maka sayapun menungganginya sampai tiba di Baitul
Maqdis, lalu saya mengikatnya di tempat yang digunakan untuk mengikat
tunggangan para Nabi. Kemudian saya masuk ke masjid dan shalat 2 rakaat
kemudian keluar . Kemudian datang kepadaku Jibril  ‘alaihis salaam dengan
membawa bejana berisi  khamar dan bejana berisi air susu. Aku memilih
bejana yang berisi air susu. Jibril kemudian berkata : “ Engkau telah memilih
(yang sesuai) fitrah”.
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit (pertama) dan Jibril
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan
saya bertemu dengan Adam. Beliau menyambutku dan mendoakan

12
kebaikan untukku. Kemudian kami naik ke langit kedua, lalu Jibril ‘alaihis
salaam  meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa
engkau?” Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi:“Siapa yang bersamamu?”
Dia menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
kedua) dan saya bertemu dengan Nabi ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin
Zakariya shallawatullahi ‘alaihimaa, Beliau berdua menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketiga dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
ketiga) dan saya bertemu dengan Yusuf ‘alaihis salaam yang beliau telah
diberi separuh dari kebagusan(wajah). Beliau menyambutku dan
mendoakan kebaikan untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit
keempat dan Jibril meminta dibukakan pintu, maka dikatakan
(kepadanya):“Siapa engkau?” Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa
yang bersamamu?” Dia menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia
telah diutus?” Dia menjawab: “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami
(pintu langit keempat) dan saya bertemu dengan  Idris alaihis salaam.
Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku. Allah berfirman
yang artinya : “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”
(Maryam:57).
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit kelima dan Jibril meminta
dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya):“Siapa engkau?” Dia
menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab:“Muhammad” Dikatakan:“Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
kelima) dan saya bertemu dengan  Harun ‘alaihis salaam. Beliau
menyambutku dan mendoakan kebaikan untukku.
Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit keenam dan Jibril
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”
Dia menjawab:“Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab: “Muhammad” Dikatakan: “Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab:“Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit) dan
saya bertemu dengan Musa. Beliau menyambutku dan mendoakan kebaikan
untukku. Kemudian Jibril naik bersamaku  ke langit ketujuh dan Jibril
meminta dibukakan pintu, maka dikatakan (kepadanya): “Siapa engkau?”
Dia menjawab: “Jibril”. Dikatakan lagi: “Siapa yang bersamamu?” Dia
menjawab, “Muhammad” Dikatakan, “Apakah dia telah diutus?” Dia
menjawab, “Dia telah diutus”. Maka dibukakan bagi kami (pintu langit
ketujuh) dan saya bertemu dengan Ibrahim. Beliau sedang menyandarkan
punggunya ke Baitul Ma’muur. Setiap hari masuk ke Baitul Ma’muur tujuh
puluh ribu malaikat yang tidak kembali lagi. Kemudian Ibrahim pergi
bersamaku ke Sidratul Muntaha. Ternyata daun-daunnya seperti telinga-
telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Tatkala dia diliputi oleh
perintah Allah, diapun berubah sehingga tidak ada seorangpun dari
makhluk Allah yang sanggup mengambarkan keindahannya
 Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia wahyukan. Allah
mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam. Kemudian saya turun
menemui Musa ’alaihis salam.  Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan
Tuhanmu atas ummatmu?”. Saya menjawab: “50 shalat”. Dia berkata:
“Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena

13
sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu mengerjakannya.
Sesungguhnya saya telah menguji dan mencoba Bani Isra`il”. Beliau
bersabda :“Maka sayapun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai
Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku”. Maka dikurangi dariku 5 shalat.
Kemudian saya kembali kepada Musa dan berkata:“Allah mengurangi
untukku 5 shalat”. Dia berkata:“Sesungguhnya ummatmu tidak akan mampu
mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah
keringanan”. Maka terus menerus saya pulang balik antara Tuhanku
Tabaraka wa Ta’ala dan Musa ‘alaihis salaam, sampai pada akhirnya Allah
berfirman:“Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 shalat sehari
semalam, setiap shalat (pahalanya) 10, maka semuanya 50 shalat.
Barangsiapa yang meniatkan kejelekan lalu dia tidak mengerjakannya, maka
tidak ditulis (dosa baginya) sedikitpun. Jika dia mengerjakannya, maka
ditulis(baginya) satu kejelekan”. Kemudian saya turun sampai saya bertemu
dengan Musa’alaihis salaam seraya aku ceritakan hal ini kepadanya. Dia
berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka
sayapun berkata: “Sungguh saya telah kembali kepada Tuhanku sampai
sayapun malu kepada-Nya”. (H.R Muslim 162)
Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk ke kitab Shahih Bukhari
hadits nomor 2968 dan 3598 dan Shahih Muslim nomor 162-168 dan juga
kitab-kitab hadits lainnya yang menyebutkan kisah ini. Terdapat pula
tambahan riwayat tentang kisah ini yang tidak disebutkan dalam hadits di
atas.
Kapankah Isra` dan Mi’raj?
Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal
27 Rajab. Padahal, para ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang
tanggal kejadian kisah ini. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
penetapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj , yaitu[2] :
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun tatkala Allah memuliakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nubuwah (kenabian). Ini adalah
pendapat Imam Ath Thabari rahimahullah.
Perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah diutus sebagai rasul.
Ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Imam An Nawawi dan Al Qurthubi
rahimahumallah.
Peristiwa tersebut terjadi pada malam tanggal dua puluh tujuh
Bulan Rajab tahun kesepuluh kenabian. Ini adalah pendapat Al Allamah Al
Manshurfuri rahimahullah.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi enam bulan
sebelum hijrah, atau pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah
kenabian.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun dua bulan
sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah
kenabian.
Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun sebelum
hijrah, atau pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas setelah kenabian.
Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri hafidzahullah menjelaskan :
“Tiga pendapat pertama tertolak. Alasannya karena Khadijah radhiyallahu
‘anha meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh setelah
kenabian, sementara ketika beliau meninggal belum ada kewajiban shalat
lima waktu. Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa diwajibkannya
shalat lima waktu adalah pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangakan tiga
pendapat lainnya, aku  tidak mengetahui mana yang lebih rajih. Namun jika
dilihat dari kandungan surat Al Isra’ menunjukkan bahwa peristiwa Isra’
Mi’raj terjadi pada masa-masa akhir sebelum hijrah.”

14
Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa Isra` dan Mi’raj
tidak diketahui secara pasti pada kapan waktu terjadinya. Ini menunjukkan
bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj bukanlah suatu hal
yang penting. Lagipula, tidak terdapat  sedikitpun faedah keagamaan
dengan mengetahuinya. Seandainya ada faidahnya maka pasti Allah akan
menjelaskannya kepada kita. Maka memastikan kejadian Isra’ Mi’raj terjadi
pada Bulan Rajab adalah suatu kekeliruan. Wallahu ‘alam..
Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj
Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti sampainya
beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi dan shalat
mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam hadits-
hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal
jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
Menerima berita tersebut.
Mengimani tentang kebenaran berita tersebut.
Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai
dengan kenyataannya.
Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang
terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada
kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt radhiyallahu ‘anhum
terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat
bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang
menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.  Mereka mengatakan :
“Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-
orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke
Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut
hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau
yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau
ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang
musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab:
“Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian
kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau,
bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke
Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al
Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha).[4]
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terhadap
berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam. Beliau langsung
membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak
bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi
pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap
setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.
Hikmah Terjadinya Isra`
Apakah hikmah terjadinya Isra`, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut
memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya
peristiwa  Isra`, yaitu:
Perjalanan  Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih
memperkuat hujjah bagi orang-orang musyrik. Jika beliau langsung Mi’raj ke
langit,  seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak
mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami. 
Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada
beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama

15
perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik
bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah
apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis
yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para
nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul
Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan
beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam.
Untuk menampakkan keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di
Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.[5]
Faedah Kisah
Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya :
Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan
Allah ‘Azza wa Jalla.
Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu
wa salaam
Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat
radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini,
tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan
terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan
fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus
sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)
Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad secara
bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim
dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan
terjaga.
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’atul I’tiqad
“… Contohnya hadits Isra` dan Mi’raj, beliau mengalaminya dalam keadaan
terjaga, bukan dalam keadaan tidur, karena (kafir) Quraisy mengingkari dan
sombong terhadapnya (peristiwa itu), padahal mereka tidak mengingkari
mimpi”[6]
Imam Ath Thahawi rahimahullah berkata : “Mi’raj adalah benar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salaam telah melakukan Isra` dan Mi’raj dengan
tubuh beliau dalam keadaan terjaga ke atas langit…”[7]
Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya
dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah tinggi
berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum
muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.
Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di
atas, seperti: Buraaq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-
pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga,
dan selainnya.
Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di kubur-
kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti
kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang
membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta syafa’at

16
kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu
Syaikh rahimahullah menjelaskan  bahwa Nabi Muhammad shalallahu
‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa
‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa  karena jasad dan ruh beliau
dibawa ke langit dan beliau belum wafat.[8]
Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui
jumlah mereka kecuali Allah.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah kalimur
Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan
yang sebenar-benarnya.
Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah
langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat
Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
diringankan kewajiban shalat.
Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat
Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum sempat
dikerjakan sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima
puluh rakaat menjadi lima rakaat.
Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.
Para ulama berbeda pendapat apakah Nabi melihat Allah pada saat
Mi’raj. Ada tiga pendapat yang populer : Nabi melihat Allah dengan
penglihatan, Nabi melihat Allah dengan hati, dan Nabi tidak melihat Allah
namun hanya mendengar kalam Allah.
Pendapat yang benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj hanya
berlangusng satu kali saja dan tidak berulang.
Barangsiapa yang mengingkari Isra`, maka dia telah kafir, karena dia
berarti menganggap Allah berdusta. Barangsiapa yang mengingkari Mi’raj
maka tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan padanya hujjah serta
dijelaskan padanya kebenaran.
Hukum Mengadakan Perayaan Isra` Mi’raj
Bagaimana hukum mengadakan perayaan Isra’ Mi’raj? Berdasarkan
dari penjelasan di atas, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan Isra` Mi’raj
tidak boleh dikerjakan, bahkan merupakan perkara bid’ah, karena dua
alasan :
Malam Isra` Mi’raj tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya.
Banyaknya perselisihan di kalangan para ulama, bahkan para sahabat dalam
penentuan kapan terjadinya Isra` dan Mi’raj, merupakan dalil yang sangat
jelas menunjukkan bahwa mereka tidaklah menaruh perhatian yang besar
tentang waktu terjadinya. Jika waktu terjadinya saja tidak disepakati,
bagaimana mungkin bisa dilakukan perayaan Isra’ Mi’raj?
Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan.
Seandainya perayaan tersebut adalah bagian dari syariat Allah, maka pasti
akan dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,
atau minimal beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau dan
para sahabat  mengerjakannya atau menyampaikannya, maka ajaran
tersebut akan sampai kepada kita.
Jadi, tatkala tidak ada sedikitpun dalil tentang hal tersebut,  maka
perayaan Isra’ Mi’raj  bukan bagian dari ajaran Islam. Jika dia bukan bagian
dari agama Islam, maka tidak boleh bagi kita untuk beribadah dan
bertaqarrub kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan tersebut. Bahkan
merayakannya termasuk perbuatan bid’ah yang tercela.

17
Berikut di antara  fatwa ulama dalam masalah ini. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
”Pertanyaan ini tentang perayaan malam Isra’ Mi’raj yang terjadi di Sudan.
Kami merayakan malam Isra’ Mi’raj rutin setiap tahun,  Apakah perayaan
tersebut memiliki sumber dari Al Qur’an dan As Sunnah atau pernah terjadi
di masa Khulafaur Rasyidin atau pada zaman tabi’in? Berilah petunjuk
kepadaku karena saya bingung dalam masalah ini. Terimakasih atas
jawaban Anda.”
Jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Perayaan seperti itu
tidak memiliki dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak pula pada
zaman Khulafaur Rasyidin . Petunjuk yang ada dalam Al Qur’an  dan sunnah
rasul-Nya justru menolak perbuatn bid’ah tersebut karena Allah Ta’ala
mengingkari orang-orang  yang menjadikan syariat bagi mereka selain
syariat Allah termasuk perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah :
‫ين َما لَ ْم َيأْ َذن ِب ِه هَّللا‬ ُ ‫أَ ْم لَ ُه ْم‬
ِ ‫ش َر َكاء َش َرعُوا َلهُم م َِّن ال ِّد‬
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy
Syuura:21)
Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫من عمل عمالً ليس عليه أمرنا فهو رد‬
“ Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada
perintahnya dari Allah dan rasul-Nya maka amalan tersebut tertolak “.
Perayaan malam Isra’ Mi’raj bukan merupakan perintah Allah dan
rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan ummatnya dalam setiap khutbah Jum’at melalui sabda
beliau :
‫أما بعد فإن خير الحديث كتاب هللا وخير الهدي هدي محمد وشر األم ور مح دثاتها وك ل بدع ة‬
‫ضاللة‬
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman
Allah  dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara baru dalam agama,
dan setiap bid’ah adalah sesat.”[9]
Semoga paparan ringkas ini dapat menambah ilmu dan wawsan kita,
serta dapat menambah keimanan kita. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad
 
Seorang mukmin, saat menemukan kebenaran yang sebelumnya belum
pernah ia ketahui, seperti seorang yang menemukan sebuah barang
berharga yang hilang, yang ia cari sepanjang siang dan malam.
Bagaimana gerangan perasaannya, manakala berhasil menemukan
barang tersebut? Tentu senang dan bahagia. Demikian perumpamaan
seorang mukmin, manakala ia menemukan kebenaran, yang sebelumnya
belum ia ketahui. Sebelumnya ia tidak sadar kalau ternyata selama ini
berada pada jalan yang keliru. Lalu ia menemukan kebenaran yang
menyadarkannya dari kekeliruan tersebut. Tentu ia akan merasa bahagia
dan berlapang dada untuk menerima kebenaran tersebut.

18
Sebagai seorang mukmin yang telah berikrar bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah utusan Allah,  tentu ia akan lebih
selektif dalam dalam hal amalan ibadah. Bila ada tuntunannya dari
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka akan lakukan sebagai
bentuk ittiba‘ (mengikuti sunah) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, bila tidak maka ia akan tinggalkan karena Allah. Karena diantara
konsekuensi dari syahadat Muhammadur Rasulullah, adalah ittaba’, atau
mencontoh beliau dalam beribadah kepada Allah. Allah ta’ala berfirman,

‫ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َو َي ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم ۗ َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َرحِي ٌم‬
َ ‫حب‬ ِ ‫قُ ْل إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت‬

“Katakanlah wahai Muhammad: “Jika kamu (benar-benar) mencintai


Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imron :
31).

Imam Syafi’i mengatakan,

‫ح َّل لَ ُه أَنْ َي َد َع َها لِ َق ْو ِل أَ َح ٍد‬ َ ‫لى أَنَّ َم ِن اسْ َت َب‬


ِ ‫ان لَ ُه ُس َّن ٌة َعنْ َرس‬
ِ ‫ لَ ْم َي‬ ِ‫ُول هللا‬ َ ‫أَجْ َم َع ْالمُسْ لِم‬
َ ‫ُون َع‬

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya
sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak
halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat
siapa pun.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 2: 282).

Pembaca yang dirahmati Allah, terkait perayaan Isra Mi’raj, ada nasehat
indah dari salah seorang ulama di kota Madinah An-Nabawiyyah; Syaikh
Sulaiman ar Ruhaili hafizhahullah. Dimana dalam salah satu majelis di
masjid Nabawi beliau ditanya terkait masalah ini. Mari simak pemaparan
beliau berikut.

Pertanyaan:

Apakah benar peristiwa Isra dan Mi’raj itu terjadi bulan rajab? Lalu
bolehkah kita merayakan peristiwa tersebut? Dan menjadikan hari
19
terjadinya sebagai ‘id (perayaan yang dirayakan secara periodik) setiap
tahunnya? Dimana pada hari perayaan tersebut, kita saling memberi
ucapan selamat dan saling bertukar hadiah?

Jawab:

Tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj
terjadi di bulan Rojab. Benar kita tidak meragukan, bahwa peristiwa Isra
dan Mi’raj benar-benar terjadi. Bahkan ini bagian dari perkara agama
yang qot’i, tidak boleh seorang muslim meragukannya. Namun kapan
peristiwa ini terjadi? Bulan apakah?

Para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak ada keterangan riwayat yang
menerangkan bulan terjadinya peristiwa Isra Mi’raj. Tidak pula
zamannya. Yakni tidak diketahui peristiwa tersebut terjadi pada bulan
apa. Tidak pula di sepulah hari dari suatu pulan apapun. Oleh karenanya,
para ulama berselisih pendapat dalam masalah penentuan bulan
terjadinya Isra dan Mi’raj. Karena disebabkan tidak adanya riwayat
shahih yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini.

Maka berangkat dari alasan di atas, tidak boleh kita menjadikan hari ke


27 dari bulan Rojab, sebagai hari Isra dan mi’raj. Dan menetapkan bahwa
pada hari itulah terjadi peristiwa Isra Mi’raj. Hari dimana saling memberi
ucapan selamat, demi memeriahkan perayaan tersebut. Terkadang pula
saling bertukar hadiah.

Pertama, karena memang tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa


27 Rojab adalah hari Isra dan Mi’raj.

Kedua, karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam; dimana beliaulah yang


diberi Allah nikmat untuk mengalami peristiwa agung ini, dan beliau
adalah hambaNya yang paling banyak bersyukur, yang mendirikan shalat
sampai pecah-pecahlah telapak kaki beliau; semoga shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan untuk beliau, beliau bersabda:

20
‫أَ َفاَل أَ ُك ْونُ َع ْب ًدا َش ُك ْورً ا‬

“Tidakkah aku menginginkan untuk menjadi hambaNya yang bersyukur?!”

Semoga shalawat dan salam tercurahkan untuk beliau, namun beliau


tidak pernah merayakan malam Isra dan mi’raj tersebut. Beliau juga tidak
mengkhususkan malam tersebut dengan shalat tertentu atau
mengkhususkan siangnya dengan puasa tertentu. Sementara dalam
perkara ini (juga seluruh seluk beluk kehidupan) umat ini dituntut untuk
meneladani Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Demikian pula tidak ada keterangan dari para sahabat -semoga Allah
meridhoi mereka-, bahwa mereka merayakan peristiwa Isra dan mi’raj.
Tidak pula dari generasi tabi’in, tidak pula dari Imam mazhab yang
empat; yang dijadikan rujukan -semoga Allah meridhoi para ulama
pendahulu kita, seluruhnya-. Tidak ada keterangan dari mereka semua,
bahwa mereka merayakan peristiwa ini. Bahkan meski satu patah
katapun tentang perayaan ini.

Selanjutnya, wahai hamba Allah, saat Anda mengetahui, bahwa ternyata


tidak ada riwayat tentang hari terjadinya peristiwa ini, tidak pula
berkaitan dengan perayaannya pada malam maupun siang harinya, ini
menunjukkan bahwa para salafus shalih tidak terlalu perhatian dengan
waktu terjadinya peristiwa ini. Ini juga menjadi bukti, bahwa mereka
tidak pernah merayakan peristiwa Isra dan Mi’raj  (yang diklaim terjadi)
pada 27 Rojab ini. Karena andai mereka merayakannya, tentu akan ada
riwayat yang menjelaskan mengenai waktu kejadian Isra mi’raj. Dan
tentu akan ada penjelasan dari mereka perihal perayaan ini.

Kemudian, sesungguhnya kaidah syariat yang kita sepakati bersama,


bahwa agama ini dibangun di atas ittiba‘ (mencontoh Nabi
shallallahu’alaihi wasallam). Dan bahwa ibadah itu dibangun di atas dalil
(tawqif). Oleh karenanya, tidak selayaknya bagi seorang muslim, untuk
melakukan suatu ibadah, kecuali bila ia memiliki cahaya petunjuk dan

21
bimbingan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, yang menerangkan
kepada mereka tata cara ibadahnya.

Haknya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam atas kita, adalah


kita tidak menyembah Allah kecuali dengan petunjuk yang datang dari
beliau shallallahu’alaihi wasallam. Dan setiap amalan ibadah yang
dikerjakan, yang tidak ada perintahnya dari Nabi yang mulia ini
shallallahu alaihi wa sallam,  maka ibadah tersebut tidak diterima di sisi
Allâ h. Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita
dan membimbing kita melalui sabdanya

َ ‫ث فِى أَ ْم ِر َنا َه َذا َما لَي‬


‫ْس ِم ْن ُه َفه َُو َر ٌّد‬ َ ‫َمنْ أَحْ َد‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini


(urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”

Dan beliau senantiasa mengulang-ulang nasehatnya dalam setiap


khutbah beliau;

ُ ُ ‫ َوأَحْ َس َن ْال َه ْديِ َه ْد‬، ِ ‫ث ِك َت ابُ هَّللا‬ َ َ‫إِنَّ أ‬


ِ ‫ َو َش رَّ األ ُم‬، ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم‬
‫ور‬ َ ‫ي م َُح َّم ٍد‬ ِ ‫ص َد َق ْال َح دِي‬
َ ‫ َو ُك َّل‬، ‫ضاللَ ٌة‬
ِ ‫ضاللَ ٍة فِي ال َّن‬
‫ار‬ َ ‫ َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬، ‫ َو ُك َّل مُحْ َد َث ٍة بِ ْد َع ٌة‬، ‫مُحْ َد َثا ُت َها‬

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-


baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap
(perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah
adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”

Maka alangkah indahnya bila umat ini menyibukkan diri dengan ibadah-
ibadah yang ada tuntutannya. Karena sungguh andai mereka
menyibukkan hari-hari mereka dengan ibadah yang ada sunahnya dari
Nabi shallallahu’alaihiwasallam, maka sungguh dalam hal tersebut ada
pengaruh yang besar di hati kaum mukminin; dalam hal kasih sayang
diantara mereka, saling mencintai,  persatuan,  kemuliaan mereka,

22
pertolongan untuk mereka atas musuh-musuh mereka, dan akan
tampaklah  wibawa umat di hadapan musuh-musuh mereka.

Namun amat disayangkan, banyak dari hamba-hamba Allah, lebih


condong kepada amalan-amalan ibadah yang baru, lalu meninggalkan
banyak dari amalan yang ada tuntunannya. Dan kekurangan ini kembali
pada kekurangan ulama, dan penuntut ilmu, di negeri-negeri mereka,
dalam menjelaskan sunah kepada masyarakat, mengajarkan kebaikan
kepada mereka,  dan mengajak mereka untuk komitmen terhadap sunnah
Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Wasiatku untuk seluruh kaum muslimin, untuk bersama bertakwa


kepada Allah ‘azza wa jalla, mengikuti tuntunan Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam, melakukan amalan ibadah yang disyariatkan
oleh Allah ta’ala,  dan kita mendekatkan kepada Allah ‘azza wa jalla
dengan ibadah-ibadah yang dituntukan tersebut.”

23

Anda mungkin juga menyukai