Anda di halaman 1dari 16

Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

Ustadz mengajak kami bersyukur karena Mahad Khadimussunnah memakai kitab-kitab karya
salafus shalih. Kita akan belajar kalimat per kalimat (kata per kata) sama dengan metode belajar
para salafus shalih dahulu, untuk sampai kepada makna, kata beliau. Kenapa? Karena ilmu itu
sebagian ada dalam dada ulama; dalam hadits Abu Darda, dikatakan ulama warasatul anbiya,
maka Rasulullah SAW mewariskan kepada kita Al-Qur’an, Sunnah, dan yang paling mengerti
2 (dua) warisan ini adalah para ulama. Tidak bisa kita mengerti ilmu dan tidak bisa ilmunya
menjadikan takut kepada Allah; sementara ulama-lah yang paling takut kepada Allah SWT.
Maka belajarlah dengan ulama.

***

Kitab ini pada halaman 6 (enam), dimulai dengan bismillahirrahmanirrahim. Bismillah:


memulai (siapa? diriku=penulis) dengan menyebut nama Allah. Kenapa ini penting? Karena
wahyu pertama melalui Jibril ke Muhammad SAW: Iqra bi ismi rabbika (Allah SWT). Maka
memulai kitab dengan bismillah menjadikan kita meneladani Rasulullah SAW dalam
menerima/memulai Islam. Ar-rahmani: yang bersifat kasih sayang dalam dunia dan akhirat.
Ar-rahim: yang bersifat kasih sayang dalam akhirat (saja). Yang membedakan, ar-rahman itu
diberikan kepada hamba-hamba Allah mukmin yang shalih maupun thalih. Ar-rahim: spesial
diberikan kepada hamba Allah yang beriman. Wa bihi: (ikhtishas) dan hanya kepada Allah
SWT. Nastainu: kami meminta pertolongan Allah SWT. Badaan: didalam permulaannya,
khatman: dan akhirnya. Di awal dan akhir-nya meminta pertolongan kepada Allah SWT.

Menjadi orang Islam: mengawali apapun itu kepada Allah SWT, dalam Islam meminta kepada
Allah itu lewat shalat. Nggak punya uang ke ATM atau ke Allah SWT? Dhuha ya Santri.
Bingung pilihan? Ke Allah, istikharah. Dalam QS. Al-Baqarah: 208, diantara ayat-ayat tentang
keluarga/cerai, ada shalat. Untuk apa? Kalau orang baik shalatnya, pasti baik dengan istrinya.
Kalau orang cerai, maka terguncang hatinya, dan ia meminta ketenangan kepada Allah SWT,
lewat shalat.

Sebenarnya bismillah tidak perlu dituliskan, karena ada sebagian ulama yang tidak memulai
kitab dengan tulisan bismillah, tapi bentuk husnudzan, selalu memulai membaca kitab dengan
bismillah.

Alhamdu: adapun semua puji (al-nya istighrak), semua puji, apapun di dunia ini,
semuanya kembalinya kepada Allah. Al-ladzi assasa: yang mendasari, qawaidhal ahkam: atas
beberapa kaidah-kaidah hukum. Ala mashalihil anami: atas kebaikan/kemaslahatan manusia.
Karena semua syariat pasti adalah maslahat, apapun bentuknya, ketika itu hukum Allah, maka
maslahat. Nikah maslahat tidak? Maslahat. Kalau tahu caranya. Sampai yang paling pahit
sekalipun, cerai misalnya, tapi kenapa disyariatkan oleh Allah SWT? Karena ada maslahat.
Tidak ada satupun hukum Allah yang tidak mendatangkan maslahat, semua kaidah hukum yang
ada kebaikan untuk manusia, pujian dikembalikan semuanya ke Allah SWT.

Wasshalatu wassalamu ala rasulullah, sayyidina muhammad wa alihi wa ash-habuhul


kiram: Adapun bertambahnya rahmat dan tanzim, dan keselamatan semoga ditetapkan bagi
utusan yang membawa risalah Islam, sayyidina Muhammad SAW dan keluarga, sahabat Nabi
yang mulia. Kira-kira ketika orang bershalawat, kita kebagian nggak? Kita kebagian! Semua
orang mukmin masuk ke dalam keluarga Nabi SAW. Khususnya yang ada nasab ilmu ke
Rasulullah SAW, karena Rasul SAW tidak mewariskan dinar dan dirham. Ulama warasatul
anbiya.

1
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

Cerita sedikit tentang Nabi Ibrahim AS, beliau punya istri tiga. Sarah, Hajar dan Ummu
Madyan. Dari Sarah dilahirkan Nabi-nabi Bani Israil. Hanya Nabi Ayyub, yang terputus
nasabnya bukan dari siapa-siapa. Beliau adalah Nabi dari Eropa berwajah ganteng, banyak
harta, pinter bisnis, kelak menikah dengan Sayyidah Rahmah (cucu dari Nabi Yusuf AS) yang
melambangkan kesetiaan dunia. Dari Nabi Ismail (Ibunda Hajar), tidak ada yang muncul jadi
Nabi kecuali Rasulullah SAW di akhir nanti. Lalu siapa Nabi yang lahir dari Ummu Madyan?
Karena Allah SWT tidak menyia-nyiakan rusuk keturunan Nabi SAW. Dialah Nabi Syuaib AS.
Nabi Syuaib AS itu kaum Madyan, Nabi Syuaib itu Nabi-nya orang Kurdi.

Guru kami bilang, sampai kiamat gak akan ada negara Kurdi. Kenapa? Karena Nabi Syuaib
punya tongkat Nabi Adam AS yang dibawa dari surga. Tongkat itu tanda kepimpinan, makanya
Nabi Musa AS jadi kuat setelah bertemu Nabi Syuaib AS. Tapi ulama dari Kurdi itu barokah.
Maka ada nasehat, carilah guru yang ahlul bayt, karena menggabungkan warisan keluarga dan
ilmu; kalau tidak, cari yang dari Kurdi.

Amma badu: yakni setelah basmallah, hamdallah, shalawat dan salam. Ini bagian dari
mengikuti Rasulullah SAW, kalau akan khutbah menyebut amma badu. Fayakulu al faqir ilal
afwa Al-Bari’: Maka berkata al-faqir (orang yang sangat butuh) kepada ampunan Allah, Al-
Khaliq (yang menciptakan). Abdullah bin Said Muhammad ibadi al hajji al hadhrami asy
syahari: Inna fannal qawaidi: yaitu Abdullah bin Said Muhammad Ibadi Al Hajji Al-Hadhrami
Asy-Syahari beliau menegaskan begini: sesungguhnya fan (cabang ilmu tentang) beberapa
kaidah (al-nya li ahdzi dzikri) adzimun: sangat agung. Maksudnya permasalahan cabang ilmu
yang terkait dengan kaidah hukum (yang berisi kemaslahatan bagi manusia) ini sangat agung
sekali. Bihi tatadarabun nafsu fi maakhidil dhunun wa madarikil ahkam: Yang atas berlatih
jiwa di dalam mengambil beberapa prasangka (dhan) dan di dalam menemukan beberapa
hukum. Artinya, dengan kaidah hukum (yang isinya kebaikan untuk manusia), orang-
orang/jiwa dilatih dengan kaidah-kaidah tersebut untuk sampai pada tahapan dhan. Hukum fiqh
dibangun dengan dhan mukallaf.

Yang dianggap sah-tidak sahnya ibadah; (1) apa yang ada dalam prasangka orang melakukan
ibadah dan (2) hakikat ibadah tersebut. Artinya, Allah SWT melihat kepada dhan kita, tapi
kalau dhan-nya salah ya salah. Contoh, mau shalat, yakin celana tidak ada bolongnya (dibangun
oleh dhan), jadi sudah menutupi aurat. Setelah salam, ternyata pas pegang celana bolong. Sah
tidak shalatnya? Ya, kalau tahu sebelum kiamat, meski tadi sudah ada prasangka di awal,
shalatnya tetap tidak sah.

Wa huwal asasu lil fiqhi alladzi huwa ilmul halali wal harami: Adapun (fan qawaid) itu
landasan untuk fikih (makrifatul ahkam yang dibangun dengan dalil tafsiliyyah) yang adapun
fikih itu ilmu tentang kehalalan dan keharaman. Ilmu hitam putih; kalau tidak halal ya haram.
Karena jika syubhat dekatnya ke haram. Wa hatunnasi: adapun kebutuhan manusia, ilayhi:
kepada fikih, dharuriyatun: adalah keharusan, la farqa: tidak ada perbedaan, bayna
khawasihin: diantara orang alim ulama (khas, pandai). Orang-orang berilmu juga butuh dengan
itu, wal’am: dan antara orang-orang yang umum juga (siapapun dia, yang baru belajar
bagaimana ilmunya).

Wamasailati ghayru munhashiratin: adapun masalah-masalah fikih itu tidak terbatas. Fikih itu,
apaaapun itu (terkait) fikih, makanya orang yang mulia itu adalah orang yang paham fikih.
Makan, minum, tidur, itu bagian dari fikih semuanya.

2
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

Ada seorang wanita menemui seorang Syaikh, “Ya Syaikh, ajari aku bagaimana makan, minum
dan tidur.” Kalau engkau makan-minum, yang penting makanan dan minuman tersebut halal.
Kalau engkau akan tidur, bebaskan hati dari iri dengki segala penyakit hati, dll. Ini fikih. Hari
ini kebanyakan fikih pembahasan isinya berhenti pada ibadah; lantas kapan ngaji muamalah,
jinayah, hudud, syakhsiyyah, hubungan antar negara, hubungan dengan non muslim. Itu semua
fikih. Semuanyaaa itu fikih.

Wa furuuhu wasiatun muntasyiratun: adapun cabang-cabang fikih itu luas, tersebar (mencakup
berbagai sendi permasalahan, mesjid, kantor pemerintahan, pasar itu semuanya ada dalam
fikih). Seringnya kita belajar fikih hanya berhenti di ibadah saja, tidak ke sosial. Misal, jika
bahas bab air, hukumnya kan ada empat; kalau kyainya kreatif nanti akan muncul laundry
syar’i. Nanti santri gak perlu kerja, jadi punya uang deh. Gunting kuku, jadi menicure-pedicure
syariah; khitan; cukur rambut. Itu baru muqaddimah fikih. Bab aqiqah, jadi punya aqiqah
Khadimussunnah. Bab nikah, jadi WO Khadimussunnah. Nanti gak ada santri miskin. Bab
zakat apalagi, buat LAZIS. Praktekkan. Bab Shalat: buat aja mukena syar’i: untuk menutup
aurat. Sajadah, buat sajadah sutra, jadi pahala, jadi uang. Apalagi? Bab Puasa, jualan kurma
(berdasarkan hadits :D). Haji apalagi, bisnis travel, bisnis paling mudah! Khadimussunnah Haji
dan Umroh. Kira-kira kalau begitu, santri miskin nggak? Ndak ustadz :D. Sekarang semua-nya
buatan bukan orang Muslim. Coba dipikirkan.

Wa innama tudhbathu bil qawaid: Sesungguhnya masalah-masalah itu dibatasi dengan kaidah.
Jadi, ternyata, semua permasalahan fikih yang buaaanyak itu dibatasi dengan kaidah. Misal,
kaidah al-ashlu baqau ma kana alal ma kana. Wudhu terasa batal, suami ragu sudah menikahi
istri atau belum, dll. Atau kaidah yang lain semisal, Al-yakin la yudzalu bi syadz. Ragu rakaat
shalat ketiga atau keempat, ada syadz jadi sujud sahwi, beres kan. Andaikan menguasai ushul
fiqh dan kaidah fikih, tidak perlu sekolah kehakiman, bisa menyelesaikan segala sesuatu
(masalah fikih). Apalagi kalau ditambah ilmu mantiq. Walaupun buku ini kecil, tapi akan kita
bahas kaidah-kaidah yang membolehkan suatu perkara atau tidak dibolehkan. Ketika kita
faham kaidah fikih, insyaAllah bisa mengatasi semua permasalahan fikih.

Fakanat makrifatahu wal i’tinai biha min adhamil fawaid: Maka (ada) mengetahui qawaid
dan peduli (ngurus) atas al-qawaid itu bagian dari faidah terbesar. Artinya, kalau orang mau
mengetahui (kaidah), mengkaji (kaidah) sampai akhirnya faham (kaidah), maka dia
mendapatkan faidah yang luar biasa.

Li dzalika karena alasan-alasan tersebut (kebutuhan orang ‘am dan khas, masalah fikih yang
luas, sudah dirumuskan dalam kaidah-kaidah dll) isyarah fadhilatul mudir: memberikan
petunjuk (siapa? yang mulia), orang yang ngatur (mudir), maksudnya dengan alasan tersebut
penulis diminta menuliskan buku ini oleh mudir. Ala hadzal abdul faqiir: Kepercayaan atas
hamba ini yang sangat butuh terhadap rahmat Allah SWT Bi idhahi qawaid al-fiqh al-
maklumah: atas menjelaskan kaidah-kaidah fikih yang telah diketahui. Maklum itu berarti
sesuatu yang sesuai dengan realita, sudah menjadi ilmu yang digunakan dan dijadikan
pegangan oleh para ulam. Wa jaalaha natsran badalan an kauniha mandhumah: dan
(menjadikan) al-faqir atas qawaid fikih sebagai natsar sebagai ganti dari adanya qawaid
fiqhiyyah yang dinadzamkan (mudah dihafal dan mengunci ilmu, sudah ada nadzam
sebelumnya). Ma’a dhummi ziyadati: beserta mengumpulkan beberapa tambahan, diberikan
tambahan yang diambil dari kitab-kitab salaf Min kitabil ulama al-qadaat: dari beberapa kitab
para ulama yang menjadi panutan, tentu merujuk kitab ulama yang diakui dalam bidang qawaid
fiqhiyyah, Taqaru biha a’yunith thalibin: yang bisa membuat senang mata-mata para pelajar.
Artinya, kitab ini nanti ketika para pelajar melihat dengan mata mereka, mereka akan senang.

3
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

Mereka senang karena mereka paham. Senang karena kitab ini didalamnya ada ilmu.
Membahagiakan. Wa tartahu: dan menjadi nyaman/enak ilayha anfushus raghibin: atas
qawaid fikih jiwa-jiwanya orang-orang yang suka belajar salikan maslaka ikhtishari: sebagai
orang yang menapaki atas jalan/metodologi (yang paling) ringkas, khasyatal malali min
aktsarin: karena takut membosankan dari memperbanyak.

Faajabtu al-mathluba: maka meng-acc (menyetujui) (siapa? diriku) atas perkara yang diminta
wa as’aftu bil marghubi fa haitsu sharahtu bin nahwi qaala asy-syarih: dan memenuhi (siapa?
diriku) atas perkara yang disukai itu (membuat kitab qaidah yang menyenangkan pelajar), maka
sekiranya aku menjelaskan (kalau kamu nanti menemukan dalam penjelasan ku di kitab ini),
semisal kalimat qaala syarih falmuradu bihi syarahi al-manzumati al-ashli <<Al-faqiihu al-
allamatu waliyullahi taala Asyaikhu Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi >>: maka adapun yang
dikehendaki dengan itu (nahwi qala syarih) adalah orang yang mensyarahi kaidah nadzaman
yang asal, yakni orang yang sangat faqih, sangat alim, orang yang jadi kekasih Allah SWT,
yaitu Syaikh Abdullah ibnu Sulaiman Al-Jarhazi, dengan jim yang difathah dan ra yang
disukun dan kemudian yang dengan ha yang difathah maka dengan za yang dikasroh (Jarhazi)
yang adapun akhirnya dititik-i dua yang dibawah. Al yamani yang dari kebangsaan Yaman,
1201 H. Ulama keturunan Negeri Barokah: Yaman. Rahimahullahu taala.

Wa haitsu sharahtu qaala Suyuthi, fa huwa al-hafidz Jalaludin Suyuthi al-mahsyur


rahmatullahi taala wal muradu min dzalika ma katabahu fi Asybah wa Nadzair, wa naqlu dan
ghairihima bi wasathatihima illa qalila, fa min tatabu’i nadhari al kalili wa indat tamami
jaaltu al wisama: Dan sekiranya kamu menemukan aku menjelaskan, berkata Imam Suyuthi,
ialah Jalaludin Suyuthi yang terkenal, adapun rahmat Allah semoga senantiasa meliputi
Suyuthi. Adapun yang dimaksud dengan “qaala Suyuthi” keterangan yang telah menulis (As-
Suyuthi) dalam kitab ashbah dan an-nadhair. Adapun memindahkan dari selain keduanya
(Syaikh Abdullah dan Suyuthi) dengan perantara keduanya kecuali sedikit (itu pun gak banyak)
maka itu dari mengikuti penganalisaan (pemahaman) yang lemah (dhaif/tidak cerdas).

Dan ketika sudah selesai saya menulis kitab ini, maka menjadikan diriku atas mengenal
(disebut kitabnya): idhahah qawaid (penjelasan beberapa kaidah) fiqhiyyah (tentang fikih) li
thullabil madrasah ash-shalatiyyah. Wa yasytamilu ala muqaddimatin wa tsalatsati abwabin
wa khatimatin. Wa ana asalu ar-raufa ar-rahim, an yatanfaha biha kama nafaa bi ashliha an-
nadziimi wa an yajala jami laha kholison li wajhi al-karim: Dan memuat kitab ini atas beberapa
pendahuluan yang penting, 3 (tiga) bab dan khatimah. Dan adapun saya (pengarang) minta
kepada Allah SWT yang bersifat belas kasih, yang bersifat rahmat, supaya memberikan
manfaat dengan kitab ini, sebagaimana Allah SWT telah memberikan manfaat atas asalnya
kitab yang dinazamkan dan supaya Allah SWT menjadikan kitab ku ini sebagai orang yang
memurnikan mencari ilmunya Allah SWT. Wa sababa lil fawzi bijannatinnaim. Innahu walla
kullu khayrin wa matuliyahi wa huwa dzul fadhlil adzim, wa hadza aw an syuruua fi maqsuur,
bi aunillahil makbuud: Dan penyebab untuk mendapatkan kemenangan surga yang penuh
kenikmatan. Sesungguhnya Allah penguasa semua kebaikan dan yang menguasakan
semuanya. Dan Allah memiliki anugrah yang agung dan adapun kini waktunya memulai dalam
perkara yang dituju (menulis kitab ini), dengan pertolongan Allah yang kita sembah.

Al-Mukaddimah

Imam Jalaluddin As-Suyuthi rahimahullahu taala berkata: telah menceritakan Al-Qadhi Abu
Sa’id Al-Harawi: Bahwa sebagian aimmah Hanafiyyah menyampaikan bahwasannya Imam
Abu Thahir Ad-Dabbas (Imamnya Hanafiyyah) di wilayah Asia Tengah (Uzbekistan,

4
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

Kazahstan, Kirgizstan, dll.) menolak seluruh mazhab Abu Hanifah yang mengatakan ada
sampai 17 kaidah. Maka Abu Sa’id Al-Harawi menjumpai Abu Thahir yang kondisinya buta.
Abu Thahir konon selalu mengulang setiap malam kaidah (pendapatnya, yang lebih sedikit)
tersebut di masjid setelah semua orang keluar masjid. Maka Al-Harawi berselimut
(bersembunyi) menggunakan keset, sementara semua orang keluar dari masjid. Lalu Abu
Thahir menutup masjid, dan menyebut satu per satu kaidah. Sayang, baru sampai kaidah ke-
tujuh, Al-Harawi batuk. Karena Abu Thahir merasa ada Abu Sa’id, maka ia memukulnya dan
mengeluarkannya dari masjid. Setelah kejadian itu, Abu Thahir tidak pernah mengulang kaidah
lagi. Al-Harawi pulang dan menemui sahabat-sahabatnya, lalu membacakan tujuh kaidah
tersebut. Al-Qadhi Abu Sa’id: Maka ketika sampai tujuh kaidah itu, lalu dikaji lagi, kalangan
syafiiyyah menolak dan mengatakan cukup empat kaidah saja.

1. Al-yaqin la yuzalu bi syak : Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
2. Al-masyaqqatu tajlubu at-taysir : Kesusahan/repot menarik kemudahan.
3. Adh-dhararu yuzalu : Yang membahayakan itu dihilangkan.
4. Al-Adatu muhakamatun : Adat itu hukum.

Sebagian ulama mutaakhirin mengatakan tentang keberadaan empat kaidah ini sebagai
penopang seluruhnya (masalah fiqh), namun perlu dianalisa, maka mayoritas fuqaha tidak
setuju hanya ada empat kaidah, kecuali dengan cara yang dipaksakan. Jadi maksudnya kurang
tepat pendapat ini, gitu.

Sebagian ulama-ulama yang mulai menambahkan menjadi lima kaidah dengan kaidah (Al-
umuru bi maqashidiha: beberapa masalah itu memandang kepada niat/tujuan). Hal ini
berdasarkan kepada sabda Rasulullah SAW {Innamal a’malu binniyat} dan {Buniyal islam ala
khoms}, dan fikih juga atas yang lima. Al-Ala’iy berkata: “Sangatlah bagus perkataan Imam
Syafii”: “Masuk dalam hadits ini sepertiga ilmu”, maksudnya hadits tentang niat.

Syaikh Tajuddin As-Subki berkata: yang benar menurut ku, bahwasannya kondisi ketika
dikehendaki mengembalikan fikih kepada lima adalah sewenang-wenang, dan ini memperberat
diri/dipaksakan, dan ucapan global kaidah kelima ini masuk ke kaidah satu. Bahkan Syaikh
Izzudin bin Abdussalam mengembalikan bahwa fikih semuanya itu mengambil kemaslahatan
dan menolak/menutup mafsadat, atau bahkan mengembalikan semuanya kepada menganggap
mashalih/maslahat. Sebab menutup mafsadat adalah bagian dari mengambil kemaslahatan.
Maka dikatakan atas hal ini: Satu kaidah dari seluruh yang lima itu sudah cukup. Dengan
demikian, yang lebih mirip adalah bahwasannya tiga kaidah. Tajudin As-Subki melanjutkan
perkataannya, bahwasannya ia ingin merincikan tiga kaidah tersebut (dikembangkan) menjadi
50 atau bahkan ratusan kaidah.

Mas-alah

Sebagian mutaakhirin berkata: Ketahuilah bahwa bagi para ulama, menentukan kaidah itu ada
2 (dua) jalan/cara:

Pertama. Sekiranya meletakkan kaidah yang membantu mujtahid dalam istinbath hukum-
hukum dari sumber-sumbernya (Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), ini lah yang disebut
dengan Ushul Fiqh. Awal dari peletak khittah pembahasan ini adalah Imam-kita, Asy-Syafi’I
rahimahullahu taala alaihi wa ridhwanahu. Beliau menulis kitab Ar-Risalah dan kalangan
ulama amzhab yang lain mengikutinya dengan setiap apa yang datang setelahnya, tidaklah
meragukan hal tsb, kecuali mereka yang sombong dan mengingkari kebenaran.

5
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

Kedua. Mengeluarkan kaidah umum fikih terhadap setiap bab dari bab-bab fikih dan
mendiskusikannya dan menerapkan cabang atasnya. Maka dikeluarkan kaidah dalam jual-beli
umum misalnya, dan dijelaskan langkah-langkah mempraktekkannya.

Awal dari pembuka bab (qawaid fiqhiyyah) ini adalah Sulthan Ulama Izzuddin Abdul Aziz bin
Abdussalam, yakni (beliau punya ide) sekiranya hanya 1 (satu) kaidah yang digunakan yakni
mengambil kemaslahatan dan menutup mafsadat. Ia menulis dua kitab yakni Qawaid As-Sugra
dan Qawaid Al-Kubra. As-Suyuthi juga menulis dalam kitab Asybah wa nazhair an-
nahwiyyah, Al-allamah Badruddin Muhammad Az-Zarkasyi juga mengikuti (menulis tentang)
kaidah dan mengarang kitab. Kitab ini mencukupkan tentang kaidah fiqhiyyah, dan
sebelumnya ada Syaikh Shadruddin Muhammad bin Umar (Ibnul Wakiil) yang wafat padat
tahun 716 rahimahullahu taala pengarang kitab Asybah wa nazair, dan mengikuti di dalamnya
Ibnu Abdussalam, kemudian juga At-Taju Subki. Buku Ibnul Wakiil memurnikan qawaid
fiqhiyyah dengan isyarat dari bapaknya, yakni At-Taqi Subki. Imam Tajudin mengumpulkan
pembagian fikih dan jenis-jenisnya yang tidak dikumpulkan dalam kitab selainnya. Al-
Allamah Sirojuddin Umar bin Ali bin Al-Mulqan Asy-Syafii yang wafat tahun 804 menulis
juga kitab Asybah wa nazair. Ia mengumpulkan dengan samar buku At-Taji As-Subki
rahimahullahu taala. Imam Al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi memurnikan
sejumlah kaidah dalam bukunya perkara asing dalam faidah-faidah dalam Dhawabit wal
Qawaid. Kemudian melanjutkan kepada kitab yang lebih luas mengumpulkan ilmu-ilmu fikih
dalam Asybah wa nazair, dengan petikkan/nukilan.

Mas-alah

Ketahuilah bahwasannya seharusnya thalib dalam ilmunya mampu menggambarkan sampai


pengetahuannya tentang pencarian thalib itu sempurna. Hal itu dapat dilakukan dengan
mengetahui 10 dasar yang dinazamkan Al-Allamah As-Subban dapat perkataannya:

Inna mubaadiyan kulli fanin ‘asyaratun | (1) Al-Haddu wal (2) Maudhu-u, tsumma (3) Ats-Tsamratu

Wa (4) Fadhluhu, wa (5) nisbatu, wal (6) wadhi-u | Wal (7) ismul (8) istimdadu (9) hukmussyari-u

(10) Masaa ilu wal ba’dha bil ba’dhi iktafa | wa min daral jami-I hadzaa asy-syaraafa

Terjemah:

Sungguh, dalam memulai (mempelajari)fan ilmu itu ada sepuluh aspek (yang perlu diketahui)
: (1) pengertian, (2) sasaran/tujuan, (3) hasil/buah, (4) keutamaan, (5) model/jenis/kelompok,
(6) peletak, (7) nama, (8) pengambilannya, (9) hukum syara dalam mempelajarinya, (10)
permasalahan sebagian dari sebagiannya. Hal ini cukup untuk orang berilmu untuk meraih
semua kemuliaan/kemantapan.

(Sasaran/tujuan) Kaidah-kaidah (kalimat pendek, rumus) dan fikih, dari sisi mengeluarkan
fikih dalam bentuk kaidah-kaidah.

(Hasil/buah) Kemudahan dalam mengetahui hukum yang terjadi pada suatu kejadian yang
tidak ada nash di dalamnya dan memungkinkan mencakup/melingkupi dengan cabang-cabang
masalah yang tersebar dalam waktu yang cepat. Jalan termudah atas caranya adalah diberikan
jaminan keamanan bersama ini ketidaktenangan/gangguan-gangguan dan kegoncangan (?
entahlah apa maksudnya hehe).

6
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

(Keutamaan) Ilmu-ilmu yang paling mulia setelah ilmu tauhid sebagaimana apa yang kita
saksikan atas kemuliaan ilmu ini, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang Allah
inginkan kebaikan padanya, maka Allah akan memahamkan dia tentang perkara agama”.
Makna dari hal tersebut adalah mengerti dalam berbagai cabang masalah dibutuhkan kaidah-
kaidah, sebab pemahaman terhadap cabang, seluruhnya itu dari sisi pembahasan oleh Nabi-kita
Rasulullah SAW pada masa akhir zaman yang sulit sekali, karena tersu muncul fakta baru
sebab zaman terus berubah sebagaimana tidak samar, maka dikehendaki, jika demikian
pemahaman sebagian cabang-cabang yang mencakup beberapa kaidah.

(Nisbat/model/jenis) Bahwasanya merupakan satu macam dari macam-macam ilmu fiqh, dan
terhadap ilmu tauhid adalah cabang darinya (dari ilmu tauhid), dan terhadap sisa ilmu yang lain
(menjelaskan fiqh).

(Peletak) Ulama rasikh dalam dalam cabang ini tersebar dalam berbagai kitab (belum jadi fan
qawaid), selain itu juga terucap dari lisan-lisan para ulama, sehingga datang Al-Imam Abu
Thahir Ad-Dabbas dan Al-Qadhi Husayn serta Ibnu Abdussalam.

(Nama Ilmu) Ilmu Al-qawaid Al-fiqhiyyah dan ilmu asybah wa nazair

(Pengambilannya) Dari Al-Quran, Hadits/Sunnah, dan Atsar sahabat serta perkataan para
mujahidin.

(Hukum syara mempelajarinya) Wajib kifayah atas seluruh penduduk di suatu negeri, dan
wajib ain bagi yang diangkat sebagai qadhi.

(Permasalahannya) permasalahannya yaitu pembahasan kaidah-kaidah dari cabang-cabang


(masalah furu) dalam penerapan dan pengembangan.

Mas-alah (ini teh kayaknya kelewat, ga dijelasin ustadz)

Tajudin As-Subki mengatakan terkait dengan kaidah-kaidah: Kaidah adalah perintah (Amr)
yang menyeluruh yang berlaku atasnya bagian-bagian yang banyak untuk memahami hukum-
hukum tentangnya. Di dalam kaidah juga ada yang tidak dikhususkan dengan bab seperti
perkataan kami: Al-yaqiin la yuzaalu bi syakk, kullu kafaarah sababuha ma’shiyyah secara
langsung. Dan ada juga yang memenangkahn/mengalahkan atas kaidah ini dengan babb khusus
dan ujuan didalamnya, seperti nadzam gambaran mutasyabihat yang juga disebut sebagai
patokan dan kamu menghendaki aku berkata apa-apa yang umum penggambarannya, maka
maksudnya adalah mengingatkan kadar yang umum (disepakati) oleh orang-orang yang
bersepakat ttg hukum gambaran ini. Inilah konsep dan tujuan patokan yang, gambaran satu
jenis dari jenis-jenis patokan dari sudut pandang yang lain yang diambilnya jadilah patokan,
inilah kaidah.

Bab I
dalam kaidah yang 5 (lima) yang bersinar, akan kembali pada lima kaidah ini,
seluruh masalah fikih yang ada.
Jadi akan kembali kepada 5 kaidah yang akan kita bahas nih, semuaaaa masalah yang terkait
dengan fikih. Kita akan mengunci masalah fikih yang ada dengan 5 kaidah/rumus ini.
Kaidah 1: ‫االمور بمقاصدها‬

7
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

Teks al-umuru bi maqaa shidiha itu bukan teks hadits, tapi kandungan hadits terdapat dalam
teks ini. Kaidah-kaidah yang akan kita pelajari itu adalah hasil dari ijtihad para ulama. Kaidah
1 ini mengatakan bahwa berbagai perkara itu terkait dengan niatnya. dan dalil asal terhadap
kaidah ini adalah sabda Nabi SAW: Sesungguhnya (sampainya) amal itu dengan niat. Ini
merupakan hadits shahih yang masyhur yang dikeluarkan oleh imam hadits yang enam; B, M,
AD, T, N, IM dan juga selain dari mereka. Yakni hadits yang disampaikan oleh Umar bin
Khattab ra. Dengan demikian, karena bersandar pada dalil, kaidah ini bukanlah kaidah yang
mengada-ada.
Ketahuilah: telah sambung-menyambung pemindahan kabar tentang kaidah ini dari para imam,
yakni tentang pengagungan kadar hadits tentang niat. Abu Ubaidah (Al-Qasim bin Salam)
berkata: Tidak ada di dalam hadits Nabi SAW sesuatu yang lebih menggabungkan, lebih
mencukupkan, dan lebih berfaidah daripada hadits niat ini. Imam Syafii, Imam Ahmad bin
Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Ali ibnul Madini, Abu Dawud, Ad-Daruquthni dan yang
lainnya telah sepakat bahwa: niat adalah sepertiga ilmu. Sebagian dari para ulama ada yang
berkata bahwa niat adalah seperempat ilmu. Al-Baihaqi memandang bahwa niat adalah
sepertiga ilmu ditinjau dari: bahwasannya pekerjaan seorang hamba terjadi dengan (1) hati, (2)
lisan, (3) anggota tubuh; dengan demikian, niat adalah 1 dari pembagian yang tiga itu. Perkara
niat ini lebih menonjol sebab terkadang menjadi ibadah yang dapat berdiri sendiri, sedangkan
(aspek selain niat) itu membutuhkan niat. Imam Syafii ra berkata: hadits tentang niat ini masuk
ke dalam 70 bab-bab fikih. 70 bab fikih ini kemudian diteliti oleh Imam Suyuthi. Imam Suyuthi
berkata: ini jika kita lihat dari bab-bab yang terperinci (sampai 70 bab totalnya). Dari bab
ibadah misalnya, niat dalam:
1. Wudhu
2. Ghusl fardhu/sunnah
3. Membasuh khuf/khuf yang tinggi
4. Tayamum
5. Menghilangkan najis menurut sebagian pendapat
6. Memandikan jenazah menurut sebagian pendapat
7. Menambal wadah; karena bocor atu untuk menghias
8. Shalat dengan segala jenisnya; qasr, jamak,
9. Menjadi imam
10. Menjadi makmum
11. Sujud tilawah
12. Sujud syukur
13. Khutbah shalat jumat menurut sebagian pendapat
14. Adzan menurut sebagian pendapat
15. Membayar zakat
16. Menggunakan perhiasan;atau menyimpannya
17. Shadaqah sunnah
18. Shaum
19. Itikaf
20. Haji
21. Umrah
22. Berkorban
23. Nadzar

8
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

24. Kafarah
25. Jihad
26. Memerdekaan hamba sahaya
27. Tadbir (memerdekakan hamba sahaya setelah tuan-nya meninggal)
28. Cicilan
29. Wasiat
30. Nikah
31. Wakaf
Segala macam yang mendekatkan diri kepada Allah, dengan makna melakukan pencapaian
untuk pahala atas maksud mendekat kepada Allah dengan niat. Imam Suyuthi juga berkata:
Bahwasannya jika dia ingin pahala yang sempurna, jika tidak juga tidak mengapa (dirajihkan
oleh Imam Zakaria). Kemudian ada beberapa kelompok dari bab: (1) baiat, (2) talak, (3) zihar
dan selainnya. Dengan demikian, inilah tujuh puluh bab atau lebih yang masuk dalam
pembahasan niat. Maka ketahuilah yang demikian itu (70 bab), dan rusaklah pendapat orang
yang menyatakan bahwa Imam Syafii melebih-lebihkan.
Ketahuilah bahwasannya kalam ulama dalam perkara niat ini dibagi ke dalam 7 (tujuh)
bagian/sudut pandang. Bisa kita kumpulkan dalam sebuah syair:
Haqiqatun hukmun mahalun wa zaman
Kaifiyatun syarthun wa maqshudun hasan
Adapun (maksud niat) adalah hk syariat (wajib/sunnat) yang disyariatkan:
(1) Untuk membedakan antara ibadah adan kebiasaan/pembiasaan
(2) Untuk membedakan tingkatan ibadah (sebagian dari sebagian yang lain). Misalnya,
wudhu dan mandi, meragukan antara bersih atau agar dingin (dalam niat wudhu) dan
ibadah. Menahan dari segala hal yang membatalkan puasa dan apakah untuk diet
(menjaga diri), dan berobat, atau meniadakan keinginan makan (lagi gak mood makan
gt kali ya). Duduk di masjid untuk istirahat atau itikaf. Maka niat disyariatkan untuk
membedakan kekerabatan dari yang sebenarnya tidak sama.

Masing-masing perkara tadi, yakni wudhu, mandi, shaum, dan sejenisnya, terkadang
hukumnya fardhu, nadzar atau sunnah. Masalah lain seperti tayamum untuk
membersihkan hadats atau jinabah dan itu satu gambaran (bentuknya satu/sama aja)
maka syariat membedakan tingkatan ibadah itu sebagian dari sebagian lainnya.
Dari sana, kemudian dihasilkan urutan perkara sebagai berikut:
1. Tidak disyaratkan niat dalam ibadah yang tidak ada perbandingannya
(kesamaannya) dengan kebiasaan (adat), atau tidak samar/tercampur dengan
selainnya. Contoh: Iman kepada Allah Ta’ala, rasa takut dan pengharapan, niat
membaca Al-Qur’an, dzikir. Sebab tanpa niat pun dapat dibedakan dengan gambaran
aktivitas yang dilakukannya. Dalam perkara yang dilarang seperti zina dan selainnya,
juga tidak membutuhkan niat untuk melakukannya. Menjauhi perkara yang dilarang
tidaklah membutuhkan niat. Betul bahwa: agar dapat pahala maka niat untuk
meninggalkan (maksudnya, meninggalkan perkara haram itu adalah suatu hal

9
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

berpahala, maka niatlah demikian agar dapat pahala. Sah tidak berniat, tapi kalau mau
dapat pahala, niatkan.)
2. Disyaratkan untuk menyatakan niat karena tidak jelas perkara satu dengan yang
lainnya. An-Nawawi mengatakan dalam syarah Al-Mazhab, bahwa yang demikian itu
dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW: “Bagi setiap perkara, apa yang diniatkan”.
Hadits ini adalah perkara yang jelas dalam pensyariatan untuk menentukan niat. Sebab
asal niat dipahami dari hadits pertama; “Amal itu tergantung niatnya”. Dengan
demikian, seperti shalat maka disyariatkan untuk dibedakan, sebab ada shalat fardhu
yang hampir sama (rakaat misalnya), shalat dhuhur dan shalat ashar. Pekerjaan dalam
shalat dhuhur dan ashar itu tidak ada bedanya, kecuali ada ta’yin (penentuan,
pembedaan dengan niat). Sebagaimana shalat rawatib maka disyaratkan untuk dita’yin
dengan menyandarkannya kepada shalat dhuhur misalnya atau sejenisnya, apakah juga
qabliyah atau ba’diyah. Imam Suyuthi mengatakan sebagaimana telah memantapkan
syarah Al-Mazhab.

Imam Syafiyuddin memantapkan pula di dalam kitab bahwa tidak disyaratkan khusus
untuk sebagian shalat (adanya niat). Jika ditakhirkan, tidaklah disyaratkan bagi
keduanya dalam kondisi itu, contohnya shalat idul fitri dan shalat dhuha, dan seperti
shalat tasbih. Menurut perkataan yang rajih, disyaratkan niat atasnya, akan tetapi
pendapat Syaikh Ibnu Hajar dalam faktwanya meniadakan ta’yin dalam shalat tasbih.
(Dhabit/Patokan) Abu Ishaq berkata dalam Al-Mazhab: Setiap tempat butuh kepada niat,
menyebut lafadz “fardhiyyah” untuk menjelaskannya, kecuali tayamum, menurut pendapat
yang shahih. Tidak disyaratkan dalam tayamum niat fardhu untuk tayamum, bahkan tidak sah
untuk memutlakkan apa-apa yang tidak datang dengan kalimat fardhu, sebab tayamum itu
adalah badal/ganti dari wudhu. Maka niat orang untuk melakukan sebagai ibadah (tayamum),
boleh saja.
(Qaidah) Perkara yang tidak disyaratkan menyebutkan secara global dan terperinci kemudian
di ta’yin dan salah maka tidak bahaya. Sebagaimana perkara tempat shalat dan waktunya, jika
imam tidak menyebutkan makmum yang ada di belakangnya. Atau shalat ketika hari mendung,
atau puasa ketika ditawan (kan zaman dulu kalau mendung ga tau jam berapa, dan kalau
ditawan ga tau udah masuk bulan apa), dan niatnya kemudian salah (karena ternyata blm masuk
waktu shalat atau belum masuk bulan ramadhan), maka hal ini tidaklah membahayakan. Dan
apa-apa yang disyaratkan didalamnya ta’yin maka bahaya didalamnya, bisa menyebabkan
batil/batal. Sebagaimana bahaya salah niat shalat malah niat shaum dan sebaliknya, atau niat
shalat dhuhur jadi niat shalat ashar, kalau begini, batal shalatnya.
Juga perkara yang wajib disebutkan jumlahnya, dan tidak disyaratkan ta’yin yang terpisah jika
ditentukannya dan salahlah dan bahaya, di dalamnya ad pencabangan perkara. Niat mengikuti
Zaid maka terpisah dari Umar, dan tidak buruk dan tidak sah. Menjelaskan zakat mal, yang
mal-nya itu ghaib, maka hilang/rusak lah tidak membaginya (tidak termasuk) dari mal yang
memang ada. Niat kafarat dhihar, maka kafarat bunuh bukan termasuk didalamnya.
Dikecualikan dari ketentuan/kaidah gambaran sebagai berikut:
Seandainya seseorang mau menghilangkan hadats karena tidur misalnya, dan juga hadats yang
lainnya. Atau dia mandi karena jimak dan mandi karena mimpi basah atau sebaliknya. Atau
dia ingin menghilangkan hadats haidh dan hadats karena mimpi basah atau sebaliknya. Kalau

10
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

niatnya salah (bingung dia antara alasan pertama atau kedua) maka tidaklah mengapa. Sah
wudhunya dan mandinya menurut pandangan yang shahih.
Dan mengemukakan alasan dari dikeluarkannya kasus tersebut dalam kaidah ini sebab: niat
dalam wudhu dan mandi tidaklah untuk mendekat tapi untuk membedakan saja. Dengan
pembedaan ta’yin imam dan mayit saat memandikan dan hadats yang banyak sebabnya maka
maksudnya ya hanya satu yakni mencegah/menjaga dari shalat dan tidak ada pengaruhnya
dengan sebab-sebab apa dari satu jenis atau yang lainnya. Andai niat membersihkan hadats itu
membasuh 4 anggota badan dari junub (tapi masih dikira-kira) maka sah wudhunya sebagai
Imam Nawawi mensyarah dalam kitabnya dan ini adalah pendapat yang mu’tamad.
3. Disyaratkan untuk menyebutkan lafadz fardhiyyah dalam: (1) Kafarat (2) Mandi
(3) Shalat (4) Zakat. Tidak perlu dalam wudhu, shaum, haji/umrah, ssedekah,
sebagaimana tidak diwajibkan untuk menyebutkan ibadah yang dilakukan pada
waktunya dan ibadah qadla.
(Peringatan) Apakah diperbolehkan meminta ganti/diwakilkan niat? Ibnu Al-Qash dan yang
lainnya mengatakan: Tidak boleh mewakilkan di dalam perkara niat kecuali didalamnya
berbarengan dengan pekerjaan/ibadah seperti membagi zakat, memotong qurban, shaum dan
haji untuk mayit. Ibnu Al-Qash mengikuti atas Imam As-Suyuthi: Akan tetapi yang rajah
adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Atsqolani dalam bab Al-Wakalah,
bahwa boleh diwakilkan dalam perkara niat saja. Adapun ucapan sebagian ulama mengatakan
tidak sah andaikan mewakilkan dengan yang lain, hal ini ditolak.
4. Bagaimana dibedakan ikhlas dalam niat, menyendirikan amal lillahi taala, dan
memurnikan campuran-campuran dan menonjolkan diri. Maka tidak sah
dicabangkan diantara niat lillahi taala dengan kebiasaan atau selainnya. Sebagian
mutaakhirin mengatakan bahwa ikhlas adalah perkara yang melebihi niat. Tidaklah bisa
dihasilkan (ikhlas) tanpa niat, dan terkadang (ikhlas) bisa dihasilkan dengan niat.
Pendapat para fuqaha terbatas pada niat dan hukum-hukum yang dijalankan. Adapun
ikhlas, itu perkara Allah taala (bukan perkara niat), dan dari arah itulah ucapan “lillahi
taala” mensahkan, tidak wajib menyandarkan kepada Allah taala dalam seluruh ibadah
(maksudnya, tidak perlu sebenernya ucapan lillahi taala, tapi untuk mendukung ikhlas,
disebutkan).
Dan mencabangkan di dalam perkara niat beberapa jenis:
1. Bahwa niat bersama 2 ibadah terkadang batal semuanya sebagaimana contohnya
adalah mengorbankan hewan kepada Allah dan kepada berhala. Maka penambahan
kepada berhala ini menjadikan haram memakan hewan tersebut.

Dan terkadang tidak membatalkan ibadah, yang akan digambarkan. Andaikan


seseorang niat ingin berwudhu atau mandi dan niat juga ingin mendinginkan badan,
maka wudhu dan mandinya sah. Atau seandainya seseorang niat puasa dan sekalian
juga niatnya untuk diet atau berobat, maka sah puasanya. Contoh lain jika ada seseorang
yang berniat shalat sekaligus berniat menghindar tidak ingin ditagih hutang oleh yang
menghutanginya, maka shalatnya sah. Atau juga orang yang niat thawaf/sai sekaligus
niat ingin mengikuti penghutang, maka sah juga thawaf/sai-nya, jika mengkhususkan
dengan niat. Tidaklah terhapuskan hukum niat dalam asal ibadah karena ada perkara

11
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

yang melencengkannya, yakni menagih hutang. Contoh lain, jika seseorang membaca
di dalam shalatnya sebuah ayat dengan niat memahamkan (makmum) maka niatnya itu
tidak membatalkan bacaan dalam shalatnya. Diceritakan bahwa An-Nawawi dari
jamaah sahabat-sahabatnya, mereka berkata kepadanya, bagaimana jika ada
sekelompok manusia yang shalat dhuhur dengan iming-iming dinar, maka shalatnya
dengan niat (ingin dapat dinar ini) cukup/sah.

(Peringatan) Apa yang disebutkan ulama dari sahnya dalam contoh-contoh ini adalah
cukupnya perkara tersebut (secara fikih), dan adapun pahala, maka Ibnu Ash-Shabag
menyatakan tidak dihasilkan pahala dalam masalah niat yang bercabang. Kami menukil
dari kitab Al-Khadim dan tidaklah diragukan bahwa masalah shalat dan thawaf lebih
berhak untuk tidak mendapatkan pahala, jika niatnya bercabang.
2. Hukum dicampurkan (tasyrik) niat ibadah fardhu dengan ibadah mandub, maka: (a)
2-2nya tidak batil, dapat dicapai secara bersamaan, (b) Hanya ibadah fardhu yang
diterima, (c) Hanya ibadah sunnah yang diterima, (d) Keduanya batil. Berikut lebih
jelasnya:
(a) Mentasyrik takbiratul ihram pada shalat shubuh dengan niat untuk shalat wajib
subuh dan shalat sunnah tahiyatul masjid, maka hal ini dapat dihasilkan keduanya
(sah). Dikatakan dalam syarah Al-Mazhab: Kalangan syafii sepakat atas sahnya,
dan tidak melihat dalam perkara pentasyrikan ini perbedaan setelah pembahasan
beberapa tahun. Asy-Syamsu Ar-Ramli berkata: Kesunnahan-kesunnahan yang
masuk bersamanya adalah: shalat tahiyatul masjid, 2 rakaat setelah wudhu (syikrul
wudhu), dan thawaf dan takbiratul ihram, sunnah ghaflah (Abdullah bin Masud
setelah maghrib awabin (shalat)), istikharah, shalat hajat, shalat safar, shalat khuruj.
Contoh lain adalah seseorang berniat untuk mandi jinabah dan mandi sunnah di hari
jumat, maka fardhu dan sunnah tersebut dapat dihasilkan, menurut pandangan yang
shahih. Contoh lain, niat salah terakhir dalam shalat dan salam kepada orang lain
yang hadir ke masjid, kedua salam ini mendapatkan fardhu dan sunnahnya. Juga
niat berhaji fardhu dibarengkan dengan umrah tatawu, dihasilkan pula fardhu dan
sunnahnya. Niat shalat fardhu dan untuk mengajarkan manusia (dengan shalat
tersebut) juga dibolehkan oleh hadits.
(b) Niat haji wajib dan haji sunnah, diterima yang fardhu saja, sebab seandainya tatawu,
pada faktanya kembali/larinya pada fardhu.
(c) Mengeluarkan 5 dirham dan berniat untuk zakat dan sedekah tatawu maka tidak
jatuh zakatnya dan yang terjadi adalah sedekah tatawu, tidak ada perbedaan atas hal
ini. Contoh lain adalah bahwa misalkan seseorang tidak mampu membaca surat al-
fatihah (dzikir yang sifatnya wajib dalam shalat), kemudian dipindahkan kepada
dzikir dengan cara ia memulai shalat dengan membaca taawudz dan doa iftitah
(sunnah), yang diterima hanya sunnah saja. Sebab qiraat itu tidak bisa
menggantikan qiraah yang farhu, hal ini dipastikan oleh Ar-Rofii. Contoh lain lagi,
khutbah jum’at (wajib) sekaligus khutbah kusuf (sunnah) maka tidak sah khutbah
jumatnya sebab menggabungkan diantara fardhu dan nafilah, hal ini dipastikan pula
oleh Ar-Rofii.
(d) Takbir seorang masbuk, sementara Imam sedang ruku, takbir yang dilakukan hanya
sekali saja, dia berniat untuk takbiratul ihram sekaligus takbir sebelum rukuk, maka
shalatnya tidak sah secara asal (definisi shalat tu dimulai dengan takbiratul ihram

12
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

yang wajib, ga bisa disatuin sama takbir sebelum rukuk) dengan pentasyrikan ini.
Niat shalat fardhu dan rawatib juga tidak bisa terima keduanya, secara asalnya.
3. Bahwasannya niat ibadah fardhu + ibadah fardhu lain, menurut Ibnu As-Subki:
Tidak dihasilkan dari yang demikian itu kecuali perkara haji dan umrah. As-Suyuthi
mengatakan, akan tetapi hal ini menunjukkan contoh perbandingan yang lain seperti
niat mandi dan wudhu bersamaan, maka bisa dihasilkan keduanya, menurut perkataan
yang shahih.
4. Bahwasannya niat ibadah sunnah + ibadah sunnah yang lain maka dihasilkanlah
keduanya. Andaikan seseorang niat untuk mandi untuk shalat jumat dan niat mandi
untuk shalat ied, maka sah kedua niatnya. Seandainya pula seseorang niat puasa hari
arafah dan puasa senin-kamis juga sah-lah kedua amalan sunnah ini.
5. Bahwasannya niat ibadah + niat selain ibadah ada perbedaan didalam hukum dan
dari pencabangannya. Misal seorang suami yang mengatakan pada istrinya “Kamu
haram atas ku”, dengan niat talak dan dhihar, maka sah saja dia mau memilih yang
mana. Sebagian kecil ulama mengatakan yang sah adalah dhiharnya, mereka
mengatakan sebabnya adalah hukum asalnya tetapnya nikah, wallahu alam.
Adapun (hakikat – maksudnya hakikat niat- maka secara bahasa adalah apapun yang dituju,
dan secara syara memberikan pengertian). Al-Mawardi mengatakan menyengaja sesuatu itu
mengada-adakan perbuatan. Adapun (hukum niat) adalah wajib pada umumnya.
Adapun (tempat niat) adalah di hati dalam setiap tempat dan dihasilkan dari tempat niat itu, 2
pendapat. Pertama, bahwasannya tidak cukup meletakkan dengan lisan tanpa di hati. Kedua,
tidak disyaratkan bersamaan meletakkan di hati dengan melafadzkan (maksudnya, hati itu
sudah niat, jadi tidak perlu dilafadzkan). Menurut mazhab syafii, niat itu sunnah.
Untuk kasus pertama, seandainya antara lisan dan hati itu berbeda, maka niat yang dianggap
itu adalah yang di dalam hati. Maka seandainya seseorang niat didalam hatinya untuk shalat
dhuhur, tetapi di lisannya dia menyebut shalat ashar. Atau seseorang niat dalam hati untuk
berhaji, akan tetapi lisannya menyebut niat umrah atau sebaliknya, maka yang sah adalah niat
di dalam hatinya. Bahwa, jika lisannya keceplosan/salah/terpeleset kepada lafadz yang lain
tanpa sengaja, maka tidak terjadi, dan tidak diberi kafarah atas hal tersebut.
Untuk kasus kedua. Permasalahan ibadah seluruhnya. Diantaranya adalah jika seseorang
menghidupkan tanah yang mati dengan niat untuk menjadikan bumi/tanah tersebuut sebagai
masjid, maka tanah itu akan menjadi masjid (bahkan) dengan niat saja. Contoh lain adalah
seseorang niat tidak akan salam kepada Zaid. Lalu dia mengucapkan salam kepada suatu kaum
yang ada Zaid di dalamnya, dan seseorang telah mengecualikan Zaid dengan niat tersebut,
maka niat dia (niat tidak akan salah kepada Zaid) tidak batal.
Hal ini dikecualikan dari asal beberapa gambaran yang disyariatkan didalamnya harus
dilafadzkan niat:
1. Talak. Niat talak itu asalnya menghitung (menghitung berapa kali nalak), dan jika niat
saja, tapi tidak dilafadzkan, tidak jatuh talak.
2. Nadzar. Seandainya seseorang niat dalam hatinya dan tidak dilafadzkan niat tersebut,
maka nadzar tersebut tidaklah terjadi.
3. Niat kurban kambing atau sembelian untuk yang ihram, maka tidak akan terjadi kurban
tersebut dan tidaklah sah sampai ia melafadzkan niat tersebut.

13
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

4. Jika seseorang menjual barang dengan harga 1000, sementara mata uang resmi tidak
ada (nggak ada pecahan seribu), maka tidak akan sah niatnya selama tidak dilafadzkan.
5. Seandainya ada yang berkata: “Kamu ku talak”, kemudian ia berkata: “Aku
menginginkan insyaAllah taala”, maka tidak diterima sampai dia melafadzkannya. Ar-
Rofii mengatakan: yang masyhur adalah bahwasannya ia tidak akan dituntut
(diakhirat).
6. Siapa yang menghujat di dalam hati (tidak melafadzkan) maka tidaklah berdosa, adapun
jika ia mengeluarkan nya dengan lafadz maka dosa (maksiyat) menurut ulama ahli
tahqiq.
Adapun (zaman, waktu niat) yakni pada waktunya, di awal ibadah dan sekitarnya. Dalam
wudhu, maka ketika mengusap wajah juga niat. Dalam shalat, ketika memulai huruf hamzah
dalam takbiratul ihram sampai takbiratul ihram tersebut berlangsung sempurna. Dalam kitab
majmu dan tanqiih: Perkataan yang dipilih oleh Imam Haramain dan Al-Ghazali adalah cukup
berbarengan dengan tradisi sekiranya ditemukan niat (baik semuanya atau sebagiannya) di awal
takbir atau diakhirnya, sudah dianggap sebagai niat orang yang shalat. Imam Taqiyuddin As-
Subki membenarkan, dan Imam Rofii mengatakan: Ini benar. Al-Adzra’i mengatakan: ini
shahih. As-Subki berkata: Barangsiapa yang tidak mengatakan dengannya, jatuh dalam was-
was yang tercela. Al-Khatib Asy-Syarbini mengatakan aku menerima keduanya (menggunakan
kedua pendapat).
Dikecualikan dari pembahasan zaman niat ini, pada perkara yang tidak wajib membarengkan
niat di awal ibadah. Maka sah-lah niat sebelum melakukan ibadah.
Dan dari hal tersebut: Pada shaum (ramadhan), maka boleh mendahulukan niat sebelum fajar
karena susahnya mengawasi kapan fajar datang. Kemudian memberlakukan melakukannya
(mendahulukan niat puasa) kepada wajib, hal ini, seandainya niatnya bersamaan dengan fajar,
maka tidak sah niatnya, sampai Az-Zarkasyi berkata: Tidaklah bagi kita hukum yang mencegah
membarengkan yang wajib untuk didahulukan kecuali perkara puasa. Benar, bahwa niat
keinginan itu menempati tempat niat: sama seperti perkara zakat, maka sah niatnya sebelum
melakukannya, yakni menyerahkannya kepada fakir menurut pendapat yang shahih karena
dianalogikan kepada shaum, maka demikian pula zakat. Namun berbeda antara zakat dan puasa
dan antara shalat. ----------------maaf hilang fokus hingga akhir paragraf ini-----------------------
(Dua peringatan) Pertama, awal ibadah zikir (mengingat Allah), maka wajib
membarengkannya dengan setiap lafadz. Sebagian kecil ulama mengatakan cukup di awal saja
niatnya.
Dalam hal ini adalah perkara shalat. Dan makna menggabungkannya dengan semua takbir
bahwa ditemukan bahwa seluruh niat yang dianggap disisi seluruh hurudn-huruf darinya
(maksudnya niat itu udah digabungin mulai kita bilang hamzah di lafadz takbiratul ihram). Dan
makna setiap lafad takbir iru cukup di awal saja, bahwa tidak wajib memberlangsungkan niat
sampai akhir takbir. Imam Haramain dan Al-Ghazali memilih untuk diawal saja niatnya.
Perumpamaan niat sebagai sindiran talak maka tidak disyaratkan dibandingkan niat untuk
seluruh lafadz menurut kitab Ar-Raudhah dan lainnya. Sunnah di dalam wudhu dan mandi
untuk membarengkan niat di dalam keduanya dengan basmallah. Ihram haji maka seharusnya
niatnya diucapkan bersama talbiyah dengan dhahir, menurut As-Suyuthi. Juga dari yang
demikian, thawaf dan menggabungkan niat dengan perkataan: “Bismilllahi wa Allahu Akbar”.
Dan juga dari yang demikian itu, khutbah jumat; dan jelas bahwa wajib menggabungkannya

14
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

(maksudnya niat khutbahnya pas ngucap Alhamdulillah) dengan perkataan “Alhamdulillah”,


sebab ini adalah rukun awal.
Peringatan kedua. Terkadang ada ibadah permulaan yang hakiki dan permulaan yang
relative/nisbi, maka wajib membarengkan niat dengannya. Contohnya adalah tayamum, maka
wajib membarengkan niat sebab awalnya nisbi dari rukunnya yakni mengusap wajah sebab
awal hakikinya yang dituju adalah wasilah tayamum. Contoh lain wudhu dan mandi maka
wajib untuk keabsahan membarengkan niat bagi keduanya di awal yang dibasuh yakni wajah
dan badan yang wajib. Agar berpahala membarengkan di awal niat, maka seandainya tidak
melakukan hal tersebut maka tidak dapat pahala, menurut pendapat yang shahih, karena tidak
niat. Dalam melakukan shaum nafil. Seandainya niatnya baru ditengah hari, maka baginya
pahala sejak awal shaum (meski ga niat).
Adapun (tatacara niat) maka berbeda sesuai bab-bab dalam ibadah. Yang demikian itu
sebagaimana niat wudhu maka: mengangkat keharaman yang timbul akibat hadats. Dalam
syarat untuk melakukan niat juga berbeda: Syaikh Ibnu Hajar dan Haasyiah ala Fath Al-Jawad
mengunggulkan disyaratkannya dan membingungkan (perlu dikoreksi karena banyak
masalah), kemudian aku melihat dalam sebagian kitab-kitab aimmah ashab Syafii (ulama
syafiiyyah) tidak ada syarat untuk melakukan niat di dalam thaharah. Dan perkara yang
dipindahan Ibnu Hajar berbeda dengan yang dibahas. Niat shalat adalah menyengaja secara
ucapan dan tindakan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam,
menurut syarat tertentu. Niat haji adalah masuk ke dalam ibadah yang bersifat maknawi
mempengaruhi tujuan ke dalam masuk di dalamnya diharamkan sesuatu yang halal sebelum
niat haji. Inilah pengertian yang muncul/jelas dari berbagai takrif yang saling melengkapi
perkataannya As-Syaarih. Niat shaum adalah menyengaja menahan hal tertentu. Niat zakat
adalah mengeluarkan sesuatu tertentu dari harta tertentu atas cara yang tertentu.
Adapun (syarat niat) ada empat:
1. Islam. Tidak sah ibadah yang dilakukan oleh orang kafir asli atau orang yang murtad
menurut pendapat yang rajah. Bahkan juga mandi yang dilakukan oleh mereka, menurut
pendapat yang rajih juga. Pengecualiannya adalah sebagai berikut:
(a) Kafir dzimmi yang dinikahi oleh seorang muslim, maka mandi nya mereka setelah
haid sah dan halal bagi suaminya untuk melakukan hubungan biologis tanpa ada
perbedaan darurat, dan disyaratkan niat mandi bagi dia sebagaimana memastikan
dengannya Al-Matuuli dan Ar-Rofii dan mensahihkan hal ini dalam At-Tahqiq. Ia
berkata dalam Ar-Raudhah: maka mencegah halil/sayyid memaksa dzimmiyah dan
membolehkannya, jika tidak niat maka itu darurat, sebagaimana seorang muslimah
yang gila dipaksa.
(b) Kafarat seorang yang kafir sah dan disyaratkan baginya niat kafarah sebab
diunggulkan didalamnya sudut pandang denda-denda dan niat didalamnya untuk
membedakan tidak dengan taqarub.
(c) Zakat yang dikeluarkan oleh orang murtad di waktu dia murtad, maka sah apa yang
telah dia keluarkan.
(d) Musafir kafir yang niat berpergian/safar, maka jika dia masuk islam di tengah
perjalanan, ia boleh mengqasar shalatnya, menurut pandangan yang rajih.

15
Catatan Idhah Qawaid Al-Fiqhiyyah – Kyai Rofiqul A’la (NFS)

(e) Jika seorang kafir beriman bersamaan dengan munculnya fajar bertepatan dengan
syahadat/keislamannya maka sah baginya shaum sunnah; adapun shaum fardhu
tidak sah.
2. Tamyiz. Bisa membedakan (usia 7 tahun). Tidak sah ibadah anak kecil yang belum
bisa membedakan, demikian pula tidak sah ibadah orang gila.
3. Mengerti perkara yang diniatkan sesuai realita. Jika seseorang yakin bahwa wudhu
atau shalat sunnahnya tidak sah, jika seseorang menyakini didalam keduanya ada
perkara fardhu dan sunnah. Tidak bisa membedakan sah sampai ada ilmu, menurut Ibnu
Hajar, dan ini berbeda dengan Al-Baghawi. Ia berkata bahwa jika datang beberapa
pekerjaan dan tidak menyakini sesuatu dan samar atasnya misalnya, maka diqiyaskan
boleh menurut perkataannya. Tidak boleh melakukan amal perbuatan sampai
mengetahui hukum Allah SWT dalam perkara yang mempengaruhi, berbeda dengan
perkataannya dalam As-Syaarah.
4. Tidak adanya perkara yang membatalkan niat. Sebab tidak datang penafiannya
secara terus menerus dari awal dan ditengah-tengah ibadah (tidak boleh bergeser
maksudnya), misal seseorang shalat, ditengah shalat dia murtad, maka shalatnya tidak
sah. Demikian pula dengan murtad di tengah puasa atau haji atau tayamum semuanya
itu batil juga. Adapun ditengah wudhu, atau mandi, maka tidak batil sebab amal-amal
ini tidak bersambung atas sebagian yang lain, akan tetapi tidak dianggap mandi itu di
waktu dia murtad dan butuh mengawali niatnya (ngulang dr awal). Jika seseorang
murtad setelah selesai wudhu maka tidak sah wudhunya. Tidak batil wudhu dan mandi,
tapi batil tayamum (krn kelemahan tayamum). Jika seseorang murtad setelah selesai
shalat atau shaum atau haji atau membayar zakat tidak wajib mengulanginya lagi.
Adapun perkara pahala, seandainya ia tidak kembali pada Islam, maka tidak ada pahala
baginya. Sebab murtad itu menghapus amal dan jika dia kembali kepada Islam maka
dhahir nash bahwasannya mrtad menghapuskan amal, yang bersepakat atas hal ini
adalah Ar-Rofii dan lainnya. Bahwasannya murtad itu menghapuskan amal jika
murtadnya terus bersambung hingga ia mati. Berdasarkan firman Allah SWT: Maka
jika seorang mati sedangkan ia dalam keadaan kafir, terhapuslah amal-amalnya. Ini
adalah mendapat muktamad. Perkara yang menafikan/membatalkan niat, dalam
percabangannya sebagiannya mempengaruhi niat, sebagiannya tidak.
(a) Berpengaruh/membatalkan niat (dan ibadah/pekerjaannya). Orang niat
memotong keimanan dan perlindungan kepada Allah taala, maka yang demikian itu
menjadikan dia murtad; niat memutus shalat ditengah karena batal tidak ada
perbedaan didalamnya sebab menyerupai perkara iman; niat memotong jamaah, ada
dua pendapat, bisa tidak batil; niat memotong al-fatihah, ada dua pendapat juga;
niat bermukim memutus safar; niat shalat sempurna (bukan qasar) ditengah shalat
qasar; niat harta perdagangan yang disimpan untuk diri sendiri memutus haul harta
perdagangan; niat perhiasan yang diharamkan.
(b) Tidak berpengaruh. Niat memotong thaharah di tengah-tengah tidaklah batil
setelah selesai, tapi wajib diperbarui niatnya ketika masih tersisa; niat memotong
shaum; ----ga sadar nulis apa---- ; niat makan dan jimak saat puasa tidak berbahaya;

16

Anda mungkin juga menyukai