Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kusta

2.1.1 Definisi dan Sejarah

Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit

dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ

lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki

manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga

pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan),

lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain)

dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013;

Thorat dan Sharma, 2010).

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India

kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan gejala-

gejala kulit secara umum. Selain lepra, kusta juga dikenal dengan nama Morbus

Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.Gerhard Armauer

Hansen pada tahun 1874.(Sandle, 2013).

2.1.2 Epidemiologi

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian

menyebar ke seluruh dunia lewat perpindahan penduduk yang disebabkan karena

perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Masuknya kusta ke

pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan pada abad ke IV-V yang

diduga dibawa oleh orang-orang India dan China yang datang keIndonesia untuk

menyebarkan agamanya dan berdagang. Distribusi penyakit di tiap-tiap negara

maupun dalam negara sendiri berbeda-beda. (Mochtar, 2007).

Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya multi drug therapy

(MDT) prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga

WHO kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai

permasalahan kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi

penyakit kusta didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga

mencapai <1 kasus per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan bagi

negara-negara dengan endemis kusta. (WHO, 2014).

Berdasarkan data WHO tahun 2015, angka kejadian kusta terbanyak di

India, yaitu sebesar 127.326 kasus baru, ini merupakan 60% dari seluruh kasus

baru di dunia. Peringkat kedua diduduki oleh Brazil sebesar 26.395 kasus dan

diikuti Indonesia di peringkat ketiga dengan jumlah kasus 17.202. (WHO, 2016).

Diantara negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus kusta tipe MB

terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah

kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,1%. (WHO, 2015).

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Bali tahun 2013,

ditemukan kasus kusta baru sebanyak 84 kasus (9 kusta tipe pausibasiler dan 75

kusta tipe multibasiler) (Dinkes Bali, 2014). Hingga saat ini, tercatat 20 dari 34

provinsi yang sudah berhasil eliminasi kusta dan Bali termasuk provinsi yang

telah berhasil mengeliminasi kusta, dengan patokan jumlah prevalensi kurang dari

1/10.000 penduduk (Kemenkes RI., 2015).

Penyakit kusta dapat mengenai semua usia antara usia 3 minggu hingga

lebih dari 70 tahun namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif.

Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan

perempuan, namun berdasarkan laporan di beberapa negara laki-laki lebih sering

dibanding perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi,

dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang

tinggi (Kemenkes RI., 2012).

Waktu inkubasi yang panjang merupakan salah satu faktor penting, hal ini

dikarenakan pasien yang sebenarnya telah terinfeksi namun masih asimptomatik,

dapat bermigrasi ke negara lain tanpa terdeteksi, sehingga frekuensi kasus yang

dilaporkan sering kali lebih rendah dibandingkan yang sebelumnya diprediksi.

(Massone dkk., 2012)

2.1.3 Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang

merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur

pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali

ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. (Lee dkk., 2012;

Sekar, 2010).

Mycobacterium leprae merupakan bakteri nonmotil dengan panjang 1-8

mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. M.

leprae hidup dalam sel terutama jaringan bersuhu dingin dan membelah secara

biner. Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 21 hari, tumbuh maksimal pada

suhu 270C hingga 300C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Kuman ini

mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwann cell) dan sel sistem

retikuloendotelial. Secara mikroskopis, tampak basil yang bergerombol seperti

ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi) yang terletak intraseluler

dan ekstraseluler. Pada pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) akan tampak berwarna

merah yang merupakan basil tahan asam. (Rao dkk., 2012)

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan

arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan

respon imunitas seluler maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian

luar hingga ke membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama

yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang

merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis.

Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu imunoglobulin.

Imunoglobulin (Ig) M ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL.

(Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013).

2.1.4 Patogenesis

Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas berdasarkan respon

imunitas seluler pejamu. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya

respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th1, berupa IFN-γ, IL-2 dan TNFα

yang menunjukkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen

M. leprae. Hal ini ditandai dengan terbentuknya granuloma dan dominasi sel T

CD4+ dan gambaran klinis berupa gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah

basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan

dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2, berupa IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-

10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta

tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang

menunjukan pola sistem imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010;

Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).

Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas

alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor2 membentuk

heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti

protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk; 2010). Lipoglikan lipomanan

(LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan

AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium

berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag

dan imunomodulasi respon pejamu. Selain itu, stimulasi makrofag oleh molekul

LAM M. leprae yang telah dimurnikan, menunjukkan penurunan pelepasan IFN γ

oleh makrofag, penurunan proliferasi dan aktivasi sel T. (Hart dan Tapping,

2012).

Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.

leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae

maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel

Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang

terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)

berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel schwann,

selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demielinisasi saraf perifer

diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin,

aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase

(Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Demielinisasi oleh M. leprae akan

memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak

bermielin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada

kusta tipe multibasiler (Renault dan Ernst, 2015).

Diagnosis dini dan monitoring fungsi saraf dapat dibantu dengan

pemeriksaan sensibilitas menggunakan monofilamen yang lebih sensitif dibanding

dengan menggunakan kapas dan jarum pentul. Monofilamen adalah suatu benang

nilon yang dapat melengkung elastis saat diberi tekanan tegak lurus.

(Shahiduzzaman, 2011; Chen, 2004). Menurut penelitian oleh Neto pada tahun

2015 di Brazil pada 400 pasien kusta, didapatkan 93% pasien sedikitnya memiliki

1 gejala sensoris, dan hipoestesia merupakan gejala tersering. Gejala motoris

dialami 59% penderita, dan penebalan saraf dialami 50,25% penderita. Pada tipe

lepromatosa kerusakan saraf ditandai dengan hilangnya sensibilitas minimal

(Neto, 2015). Gejala awal infeksi saraf berupa penurunan sensibilitas raba, nyeri,

dan suhu, dapat disertai gejala awal neuritis yaitu kesemutan, nyeri neuropatik,

dan penebalan saraf (Rao, 2010).

Salah satu kekurangan pemeriksaan monofilamen adalah tingginya angka

subjektivitas, untuk itu mulai dikembangkan pemeriksaan elektroneurografi

(ENG) yaitu suatu pemeriksaan untuk menilai kecepatan konduksi saraf sensorik

dan motorik. Pemeriksaan ini berguna dalam mengidentifikasi dan membedakan

gangguan mono atau polineuropati, neuropati aksonal ataupun neuropati

demyelinating. Neuropati awal pada kusta ditandai dengan kerusakan

demyelinating, sehingga dengan pemeriksaan ENG dapat mengkonfirmasi

diagnosis neuropati dan mendeteksi saraf yang rusak secara dini sehingga risiko

kecacatan kusta bisa diminimalkan (Reni, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh

Tzourio dkk melaporkan bahwa tidak adanya korelasi anatara gejala neurologis

dan pemeriksaan ENG pada pasien kusta. Akan tetapi pada studi tersebut terdapat

kelemahan karena pemeriksaan ENG hanya dilakukan pada beberapa pasien.

(Skacel dkk., 2000). Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun

diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12,

IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang

dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan

menginduksi apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara

in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric

oxide yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan

saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada

saraf sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst,

2015). Selain sel Schwann, makrofag merupakan sel host yang paling banyak

berinteraksi pada M. leprae. Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh

reseptor komplemen CR1(CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18)

dan diregulasi oleh protein kinase (Bath dan Prakash, 2012).

Gambar 2.1 Mekanisme Kerusakan Saraf


(Scollard, 2010)

2.1.5 Cara Penularan

Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae. Kusta

tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah

bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram

jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah,

namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber

infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao, 2012; Thorat, 2010).

Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui

secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama

M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan metode transmisi utama

(Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Faktor risiko terjadinya kusta antara lain kontak

yang erat dan lama, lingkungan padat penduduk, usia, jenis kelamin, serta ras dan

etnis tertentu. (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010).

2.1.6 Diagnosis

Berdasarkan WHO tahun 1997, penyakit kusta didiagnosis berdasarkan

adanya 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila individu memiliki satu atau

lebih tanda kardinal berikut (Kumar dan Dogra, 2010):

1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan gangguan

atau hilangnya sensasi.

Makula atau plak hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa atau

berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau kasar karena

hilangnya fungsi kelenjar keringat, dapat pula mengkilap. Anestesi

merupakan hal yang spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan adanya

gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu. (Kumar

dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).

2. Keterlibatan saraf tepi berupa penebalan saraf.

Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus

komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih

sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan

pemeriksaan palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau

dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras) dan ukuran (membesar, normal

atau kecil). (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).

3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus

telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.

Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit dapat ditentukan indeks bakteri

(IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam menentukan tipe

kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan Ponnaiya, 2010).

Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Pemeriksaan histopatologis menunjukkan gambaran granuloma yang khas disertai

keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya ditemukan granuloma

epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan pada kusta tipe lepromatosa

ditemukan gambaran granuloma makrofag. Pada kusta tipe borderline akan

ditemukan granuloma dengan proporsi sel epiteloid dan makrofag yang bervariasi

(Porichha dan Natrajan; 2010). Pemeriksaan lainnya berupa titer antibodi PGL-1

dan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan antibodi anti PGL-1 terutama

digunakan pada kusta tipe MB sedangkan pada kasus PB sensitivitas hanya 30-

60%. Pemeriksaan PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi namun

memerlukan biaya yang besar dan peralatan khusus sehingga tidak rutin dilakukan

(Eichelmann; 2013).

2.1.7 Klasifikasi

Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen

pengobatan, prognosis dan komplikasi. Klasifikasi yang sering digunakan adalah

klasifikasi oleh Ridley dan Jopling (1962) berdasarkan pada kriteria klinis,

bakteriologis, imunologis dan histopatologis, yaitu kusta tipe Tuberculoid

Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline

Lepromatous (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL) (Mishra dan Kumar

2010).

10


Tabel 2.1
Klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)

Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah Biasanya Sedikit (s/d Beberapa Banyak Tidak
tunggal (s/d 10) (10-30) asimetris terhitung,
3) (>30) simetris
Ukuran Bervariasi, Bervariasi, Bervariasi Kecil, Kecil
umumnya beberapa beberapa
besar besar dapat besar
Permukaan Kering, Kering, Kusam atau Mengkilap Mengkilap
dengan dengan sedikit
skuama skuama, mengkilap
terlihat cerah,
terdapat
infiltrat
Sensasi Hilang Menurun Menurun Sedikit Normal atau
dengan jelas sedang menurun menurun
minimal
Pertumbuhan Tidak ada Menurun Menurun Sedikit Normal pada
rambut dengan jelas sedang menurun tahap awal
BTA Negatif Negatif atau Jumlah Banyak Banyak
sedikit sedang sekali
termasuk
globi
Reaktivitas Positif kuat Positif lemah Negatif atau Negatif Negatif
lepromin (+++) (+ atau ++) positif lemah

Untuk kepentingan program kusta, WHO mengeluarkan klasifikasi

kusta pada tahun 1988 berdasarkan atas jumlah lesi, yaitu kusta tipe PB dengan

lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan

jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar

2010).

11


2.1.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau kerokan kulit atau slit skin

smear merupakan pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan kecil pada

kulit yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae.

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling sederhana. Tujuannya

adalah untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi penyakit, untuk mengetahui

derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan pemantauan pengobatan.

Pengambilan lokasi rutin yang disarankan adalah 2 atau 3 lokasi yaitu cuping

telinga kanan dan kiri serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012).

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena

secara langsung menunjukkan gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah

yaitu berkisar antara 10%-50%. Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena

pemeriksaan hapusan sayatan kulit dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain

keterampilan petugas, teknik pengambilan seperti kedalaman insisi dan

kelengkapan alat dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan

baik (Desikan dkk., 2006; Bhushan dkk., 2008).

Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan

metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam

setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi masing-masing basil

diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang

masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau

terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan

12


jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi bakteri dilakukan penghitungan IB

dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA

dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih

hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan

dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:

a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu

lapangan pandang.

b. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang.

c. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang.

d. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang.

e. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang.

f. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang

(Bryceson, 1990; Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga

menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan

dorsal dari jari manis sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil

negatif. Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau

solid terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui

kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya,

2010; Noto dan Schreuder, 2010).

Indeks bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan

terapi MDT sebesar +1 per tahun dan berlanjut meskipun MDT telah dihentikan.

13


Penurunan umumnya ditemukan lebih lambat pada kasus MB dibanding PB

(Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Maghanoy dkk pada tahun

2011 di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB yang tinggi (≥+4) masih

tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada pasien kusta dengan IB

yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB positif setelah 1 tahun

pengobatan.

2.1.9 Terapi Kusta

World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan

penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan

klofazimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk

menurunkan insiden relaps paska pengobatan, menurunkan efek samping serta

menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya pengobatan (Pai dkk.,

2010; Yawalkar, 2009). Regimen PB dengan lesi kulit 2-5 terdiri atas rifampisin

600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB

dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600mg

sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan

lama pengobatan 12 bulan. Regimen PB dosis tunggal terdiri atas rifampisin 600

mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis

tunggal (Yawalkar, 2009).

2.1.10 Reaksi Kusta

Reaksi kusta merupakan episode inflamasi akut atau subakut yang

dimediasi oleh proses imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat

14


kronis, yang dapat mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar

dan Sharma, 2010).

Reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline. Reaksi

tipe 1 dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) apabila terjadi peningkatan

imunitas seluler sehingga menyebabkan pergeseran spektrum ke arah tuberkuloid

atau downgrading apabila terjadi penurunan imunitas seluler sehingga

menyebabkan pergeseran spektrum ke arah lepromatosa. (Lee dkk., 2012).

Reaksi kusta tipe 2 atau ENL merupakan reaksi kusta yang

dihubungkan dengan pembentukan kompleks imun antigen-antibodi pada jaringan

sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama

sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma,

2010; Lee dkk., 2012).

Gambar 2.2
Klasifikasi dan Reaksi Kusta
(Bhushan, 2010)

2.2 Peranan sitokin

15


Sitokin adalah protein sistem imun yang mengatur interaksi antarsel dan

memacu reaktivitas imun, baik pada imunitas nonspesifik maupun spesifik. Sifat

umum sitokin, antara lain pleitropi (memiliki lebih dari 1 efek terhadap berbagai

jenis sel), fungsi autokrin (autoregulasi), dan fungsi parakrin (regulasi terhadap sel

yang letaknya tidak jauh). Sedangkan, efek tidak langsungnya berupa sinergisme

(menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama dengan

sitokin lain dalam merangsang sel), dan antagonisme (mencegah ekspresi reseptor

atau produksi sitokin). (Baratawidjaja, 2014; Broide, 2006)

Sitokin mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

• Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon

terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan

sebagai mediator pada reaksi imun dan inflamasi.

• Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar, tidak disimpan

sebagai molekul preformed. Kerjanya sering pleiotropik (satu

sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan

berbagai efek) dan redundan (berbagai sitokin menunjukkan efek

yang sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan

menunjukkan hasil nyata, karena ada kompensasi dari sitokin yang

lain.

• Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang

lain.

• Efek sitokin dapat lokal atau sistemik.

16


• Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor sitokin atau respon sel

terhadap sitokin.

• Efek sitokin terjadi melalui ikatan dengan reseptornya pada

membran sel sasaran.

• Respon seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan

ekspresi gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi

fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran.

Sitokin merupakan protein pembawa pesan kimiawi, atau perantara dalam

komunikasi antarsel yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat

rendah. Reseptor yang diekspresikan dan afinitasnya merupakan faktor

kunci respon seluler. Jadi sitokin berperan dalam aktivasi sel T, sel B,

monosit, makrofag, inflamasi dan induksi sitotoksisitas. (Baratawidjaja

dan Rengganis, 2014; Castellani, 2006).

2.2.1 Interleukin-6 (IL-6)

Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleiotropik yang berperan

memodulasi proses proliferasi, diferensiasi dan maturasi progenitor hematopoetik

dan sel lainnya serta berperan dalam aktivitas metabolik seluler. Weissenbach

dkk. pertama kali mengidentifikasi IL-6 pada tahun 1980, pada mulanya peneliti

ini berusaha untuk mengkloning interferon β, seiring waktu para peneliti mulai

menamai temuan ini, sehingga oleh Poupart dkk. diberi nama IL-6. Interleukin-6

manusia memiliki berat molekul antara 21 hingga 28 kD, tergantung pada proses

yang sedang berlangsung, seperti glikosilasi dan fosforilasi. Melalui proses inilah

17


maka aktivitas biologi IL-6 dan kehadirannya di jaringan yang spesifik bisa

terjadi. Peptida IL-6 terdiri dari 212 asam amino dengan gen yang terletak pada

kromosom 7p21 dengan jumlah 5 ekson dan 4 intron. Interleukin-6 disekresikan

oleh berbagai protein heterogen dengan berat molekul 19-70 kD, dengan bentuk

isoform yang dominan berkisar 23-30 kD. Polipeptida IL-6 berikatan dengan

protein pembawa yang berbeda, contohnya albumin dan soluble IL-6 receptor

(May, 2002).

Reseptor IL-6 terdiri dari 2 molekul transmembran, yaitu IL-6R dan signal

transducing subunit (gp130). Peran pleiotropik IL-6 ini baik sebagai agen

proinflamasi dan antiinflamasi berkaitan dengan jalur reseptor transmembran yang

terjadi, apabila sebagai agen antiinflamasi maka akan melalui jalur klasik, yaitu

IL-6R. Secara normal IL-6 diregulasi secara ketat dan diekspresikan dalam jumlah

yang sedikit, kecuali pada kondisi infeksi maupun trauma. Secara umum, peran

ganda ini dapat disederhanakan menjadi peran antiinflamasi IL-6 terjadi pada

proses inflamasi akut yang ditandai dengan peranan dari Th2. Hal sebaliknya

peran proinflamasi IL-6 terjadi pada proses inflamasi yang kronis, yang banyak

tampak pada penyakit-penyakit autoimun, contohnya psoriasis, rheumatoid

arthritis, lupus dan yang lainnya. Peningkatan kadar IL-6 terjadi pada kondisi

peradangan kronis, infeksi akut bakterial maupun viral, kondisi bakteremia.

Sehingga kedua peran IL-6 tersebut menyebabkan peningkatan dari kadar IL-6

(Gabay, 2006).

Faktor yang menurunkan ekspresi IL-6, yaitu konsumsi kortikosteroid dan

agen antiinflamasi nonsteroid. Pada kondisi akut, misalnya infeksi ataupun paska

18


trauma, maka IL-6 akan meningkat kadarnya dalam waktu 1-3 jam dan terus

bertahan hingga 3-5 hari. Sedangkan pada kondisi kronis, didapatkan kadar IL-6

yang secara stabil meningkat. Interleukin-6 disintesis oleh makrofag, sel Th2, sel

B, osteoblas dan endotelium. Sitokin ini dihasilkan oleh tubuh bilamana terjadi

proses inflamasi baik akut maupun kronis, antara lain paska trauma, luka bakar,

kanker dan infeksi. Reseptor IL-6 terdapat pada sel limfosit T yang normal pada

fase istirahat, sel B yang teraktivasi, dan sel mieloid serta hepatik. Peranan IL-6

sebagai sitokin antiinflamasi dipicu dari adanya penurunan sistem imunitas seluler

pejamu dan peningkatan imunitas humoral yang tampak dalam kusta tipe

multibasiler. Hal ini juga tampak pada reaksi kusta terutama tipe 2, dengan

dominasi imunitas humoral dibandingkan imunitas seluler (Biffi, 1996; Neurath

dan Finotto, 2011)

Kadar IL-6 dipengaruhi oleh merokok, kehamilan, penyakit sistemik

kronis seperti gagal ginjal kronik, penyakit jantung koroner, artritis reumatoid,

sistemik lupus eritematosus, diabetes melitus, asma bronkial, keganasan, sirosis

hepatis, infeksi HIV, penyakit peradangan kronis pada kulit seperti psoriasis dan

dermatitis atopik, penggunaan obat antiinflamasi non steroid (AINS), pengunaan

kortikosteroid.

Interleukin-6 merupakan molekul dengan berbagai bentuk dan fungsi,

tergantung lokasi disekresikan, antara lain: (Naka, 2002)

• Stimulasi reaksi fase akut. Hal ini merangsang aktivasi imunitas

alamiah, hepar akan mensekresi reaktan fase akut dan protein lainnya

seperti albumin dan transferin yang disekresi dalam jumlah yang lebih

19


sedikit. Protein fase akut yang utama yaitu C-reactive protein (CRP),

dan serum amyloid A (SAA). Saat CRP menstimulasi fagositosis, IL-6

meningkatkan produksi dari faktor pembekuan fibrinogen.

• Interleukin-6 juga membantu sel T untuk berdiferensiasi dini pada

perkembangannya. Hal ini penting untuk perkembangan sel progenitor

dan aktivasi sel T dan natural killer (NK). Sebagai tambahan, IL-6

juga dapat membantu proses terjadinya lisis patogen di dalam sel.

• Interleukin-6 juga membantu proliferasi dan diferensiasi sel B,

merangsang pembentukan sel plasma dari sel B. Sebagai tambahan,

IL-6 juga dapat meningkatkan pelepasan antibodi dalam bentuk IgA

dan IgG.

• Interleukin-6 juga berperan penting dalam perkembangan sel darah,

baik leukosit, eritrosit maupun trombosit.

• Interleukin-6 juga menyebabkan aktivasi dari osteoklas. Selain itu juga

menginduksi sekresi vascular endothelium growth factor (VEGF),

sehingga memicu peningkatan pertumbuhan pembuluh darah dan

permeabilitas vaskuler selama inflamasi. (Csernok dan Gross, 2002).

2.3 Peranan Interleukin-6 pada sistem imun

Sistem imun sangatlah penting untuk kelangsungan hidup manusia, karena

perannya dalam mengenali dan menghancurkan virus, bakteri dan patogen

infeksius lainnya. Populasi sel imun utama adalah limfosit T, limfosit B, makrofag

dan Antigen Presenting Dendritic Cell. Sel-sel ini akan saling berinteraksi untuk

20


merangsang respon imun dalam melawan patogen. Sitokin, contohnya interleukin

dan IFN merupakan faktor terlarut yang diproduksi oleh sel imun. IL-6

merupakan sitokin pleiotropik yang dapat meregulasi berbagai proses biologis,

antara lain perkembangan saraf, sistem hematopoetik, respon fase akut, inflamasi

dan respon imun (Hirano, 2010). Pada penyakit kusta tipe multibasiler, akibat

adanya proses inflamasi akut maka terjadi disregulasi makrofag sehingga akan

menginduksi jalur Transforming Growth Factor β, yang akan memicu pelepasan

IL-6. Sedangkan pada penyakit kusta tipe pausibasiler inflamasi akut yang terjadi

menyebabkan terpicunya jalur Tumor Necrosis Factor α. (Tanaka, 2014)

2.4 Peranan Interleukin-6 pada Penyakit Kusta

Peranan imunitas seluler pada kusta sangatlah penting, secara lebih

spesifik fungsi T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2) dalam hubungannya dengan

sekresi sitokin yang terjadi sehingga spektrum kusta yang terjadi pada setiap

individu bisa berbeda. Pada stimulasi antigenik, sel Th naïve berdiferensiasi

menjadi grup Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi Interleukin-2 (IL-2), Interferon-γ

(IFN-γ) dan Tumor Necrosis Factor (TNF) sehingga mengaktifkan makrofag dan

memicu reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Hal yang kontras terjadi dimana sel

Th2 mensekresi Interleukin-4 (IL-4), Interleukin-5 (IL-5), Interleukin-6 (IL-6),

dan Interleukin-10 (IL-10) sehingga bertanggung jawab untuk produksi antibodi,

menginhibisi fungsi makrofag dan menekan imunitas seluler. (Belgaumkar dkk,

2007).

21


Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh berbagai

tipe sel seperti makrofag, fibroblas dan sel endotelial. Interleukin-6 memainkan

peranan yang sangat penting dalam berbagai proses, seperti contohnya respon

imun, reaksi fase akut dan hematopoiesis. Peranan utama IL-6 dalam penyakit

kusta terjadi melalui aktivasi Th2 yang akan memicu pembentukan antibodi,

menghambat fungsi makrofag dan menekan imunitas seluler. Pada spektrum kusta

sendiri, tipe tuberkuloid memiliki tingkat imunitas seluler yang tinggi dan

memiliki titer antibody yang rendah terhadap antigen M. leprae dan menyebabkan

gambaran granulomatosa lokal dan sangat jarang terdapat basil kuman pada lesi.

Hal sebaliknya pada tipe lepromatosa dengan tingkat imunitas seluler yang

rendah, memiliki kadar titer antibodi yang tinggi terhadap antigen M. leprae,

sehingga mengakibatkan perjalanan infeksi yang lebih menyeluruh dan progresif.

Imunitas seluler yang rendah pada tipe lepromatosa ini terjadi akibat

teraktivasinya imunitas humoral yang diperantarai Th2 yang kemudian

memproduksi sitokin IL-6. Sehingga kadar IL-6 akan meningkat pada kusta tipe

lepromatosa (Jarduli, 2013).

Perbedaan spektrum pada penyakit kusta terjadi akibat mekanisme

pertahanan tubuh host, yang didominasi oleh respon imun alamiah dan adaptif.

Setelah pengenalan bakteri oleh Toll-like receptors (TLRs), NF-κB teraktivasi

sehingga menyebabkan upregulasi sitokin proinflamasi, antara lain GM-CSF, IL-

1β, TNF-α, IL-12 dan kemokin yang menginduksi migrasi dan aktivasi dari

Antigen Presenting Cells (APCs) contohnya makrofag. Kemudian APCs akan

bermigrasi ke organ limfoid dengan tujuan memperkenalkan antigen

22


mikobakterial ke sel T naïve. Selanjutnya tergantung dari jalur sitokin yang

terstimulasi atau terhambat yang diaktifkan sehingga akan memicu sel T yang

berbeda, antara lain sel CD4+ Th1, Th2, Th17 (Scheller, 2011; Tanaka, 2012).

Gambar 2.3 Pengenalan M.leprae ke sistem imun

(Jarduli, 2013)

Pertahanan pejamu terhadap M.leprae berhubungan dengan adanya respon

protektif dari Th1 oleh sel CD4+ Th1 dan ditandai dengan adanya sekresi sitokin

proinflamasi. Sel Th1 menghasilkan Interferon γ (IFN- γ) dan Tumor Necrosis

Factor α (TNF- α), yang nantinya akan bersinergi untuk mengaktifkan mekanisme

efektor mikrobisida pada sel makrofag manusia. Pada pasien lepromatosa dan

tuberkuloid terjadi ketidakseimbangan homeostasis sitokin terhadap respon

M.leprae. Pada tipe lepromatosa akan mensekresi secara dominan mediator

antiinflamasi seperti contohnya IL-6 dan IL-10, sebagai akibat dari menurunnya

23


IFN- γ dan sitokin Th1 lainnya dan jumlah sel CD4+ pada lesi akan berkurang.

Sehingga mekanisme yang dominan adalah sel Th2 yang memproduksi IL-4,IL-5,

IL-6 yang kemudian memicu pembentukan antibodi. Sehingga hasil akhir dari

respon imun terhadap M.leprae bergantung terhadap kemokin dan sitokin yang

berperan sebagai sinyal molekuler dalam komunikasi antar sel di sistem imun,

maka kehadiran sitokin-sitokin ini bisa menjadi patokan efek proteksi maupun

progresif dari penyakit kusta. (Suzuki, 2003; Scheller, 2011)

Gambar 2.4 Perbedaan sekresi sitokin pada T helper

(Scheller, 2011)

Pada infeksi kusta terjadi peningkatan ekspresi Adipophilin/Adipose

Differentiation Related Protein (ADRP) dan penurunan Hormon Sensitive Lipase

(HSL) yang memfasilitasi akumulasi dan terjaganya lingkungan yang kaya lipid

sehingga cocok untuk kelangsungan hidup M. leprae. Jumlah lipid secara

signifikan menurun 48 jam paska pengobatan dengan klofazimin dan terjadi

24


penurunan ADRP dan peningkatan HSL. Hasil ini menyimpulkan bahwa

klofazimin memodulasi metabolisme lipid pada makrofag yang telah terinfeksi M.

leprae dengan memodulasi ekspresi ADRP dan HSL. Selain itu juga, peningkatan

produksi IFN γ pada sel yang terinfeksi M. leprae. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa mekanisme kerja klofazimin berupa penurunan akumulasi lipid,

meningkatkan lipolisis dan mengaktivasi imunitas alamiah pasien (Degang, dkk.

2012).

25

Anda mungkin juga menyukai