Kusta 1
Kusta 1
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kusta
dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ
lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki
manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga
pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan),
lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain)
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Selain lepra, kusta juga dikenal dengan nama Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.Gerhard Armauer
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian
diduga dibawa oleh orang-orang India dan China yang datang keIndonesia untuk
mencapai <1 kasus per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan bagi
India, yaitu sebesar 127.326 kasus baru, ini merupakan 60% dari seluruh kasus
baru di dunia. Peringkat kedua diduduki oleh Brazil sebesar 26.395 kasus dan
diikuti Indonesia di peringkat ketiga dengan jumlah kasus 17.202. (WHO, 2016).
Diantara negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus kusta tipe MB
terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah
kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,1%. (WHO, 2015).
ditemukan kasus kusta baru sebanyak 84 kasus (9 kusta tipe pausibasiler dan 75
kusta tipe multibasiler) (Dinkes Bali, 2014). Hingga saat ini, tercatat 20 dari 34
provinsi yang sudah berhasil eliminasi kusta dan Bali termasuk provinsi yang
telah berhasil mengeliminasi kusta, dengan patokan jumlah prevalensi kurang dari
Penyakit kusta dapat mengenai semua usia antara usia 3 minggu hingga
lebih dari 70 tahun namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif.
dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang
Waktu inkubasi yang panjang merupakan salah satu faktor penting, hal ini
dapat bermigrasi ke negara lain tanpa terdeteksi, sehingga frekuensi kasus yang
2.1.3 Etiologi
merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur
pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali
ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. (Lee dkk., 2012;
Sekar, 2010).
mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. M.
leprae hidup dalam sel terutama jaringan bersuhu dingin dan membelah secara
suhu 270C hingga 300C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Kuman ini
mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwann cell) dan sel sistem
ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi) yang terletak intraseluler
respon imunitas seluler maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian
luar hingga ke membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama
Imunoglobulin (Ig) M ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL.
2.1.4 Patogenesis
respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th1, berupa IFN-γ, IL-2 dan TNFα
M. leprae. Hal ini ditandai dengan terbentuknya granuloma dan dominasi sel T
CD4+ dan gambaran klinis berupa gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah
basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan
dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2, berupa IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-
10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta
tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang
menunjukan pola sistem imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010;
protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk; 2010). Lipoglikan lipomanan
berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag
dan imunomodulasi respon pejamu. Selain itu, stimulasi makrofag oleh molekul
oleh makrofag, penurunan proliferasi dan aktivasi sel T. (Hart dan Tapping,
2012).
Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.
leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae
Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang
aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase
(Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Demielinisasi oleh M. leprae akan
memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak
bermielin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada
dengan menggunakan kapas dan jarum pentul. Monofilamen adalah suatu benang
nilon yang dapat melengkung elastis saat diberi tekanan tegak lurus.
(Shahiduzzaman, 2011; Chen, 2004). Menurut penelitian oleh Neto pada tahun
2015 di Brazil pada 400 pasien kusta, didapatkan 93% pasien sedikitnya memiliki
dialami 59% penderita, dan penebalan saraf dialami 50,25% penderita. Pada tipe
(Neto, 2015). Gejala awal infeksi saraf berupa penurunan sensibilitas raba, nyeri,
dan suhu, dapat disertai gejala awal neuritis yaitu kesemutan, nyeri neuropatik,
(ENG) yaitu suatu pemeriksaan untuk menilai kecepatan konduksi saraf sensorik
diagnosis neuropati dan mendeteksi saraf yang rusak secara dini sehingga risiko
kecacatan kusta bisa diminimalkan (Reni, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh
Tzourio dkk melaporkan bahwa tidak adanya korelasi anatara gejala neurologis
dan pemeriksaan ENG pada pasien kusta. Akan tetapi pada studi tersebut terdapat
(Skacel dkk., 2000). Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun
diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12,
IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang
menginduksi apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara
in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric
oxide yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan
saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada
saraf sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst,
2015). Selain sel Schwann, makrofag merupakan sel host yang paling banyak
tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah
bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram
jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah,
namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber
secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama
(Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Faktor risiko terjadinya kusta antara lain kontak
yang erat dan lama, lingkungan padat penduduk, usia, jenis kelamin, serta ras dan
2.1.6 Diagnosis
adanya 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila individu memiliki satu atau
gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu. (Kumar
Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus
komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih
sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan
atau kecil). (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus
(IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam menentukan tipe
kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan Ponnaiya, 2010).
ditemukan granuloma dengan proporsi sel epiteloid dan makrofag yang bervariasi
(Porichha dan Natrajan; 2010). Pemeriksaan lainnya berupa titer antibodi PGL-1
dan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan antibodi anti PGL-1 terutama
digunakan pada kusta tipe MB sedangkan pada kasus PB sensitivitas hanya 30-
60%. Pemeriksaan PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi namun
memerlukan biaya yang besar dan peralatan khusus sehingga tidak rutin dilakukan
(Eichelmann; 2013).
2.1.7 Klasifikasi
klasifikasi oleh Ridley dan Jopling (1962) berdasarkan pada kriteria klinis,
2010).
10
Tabel 2.1
Klasifikasi kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)
Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah Biasanya Sedikit (s/d Beberapa Banyak Tidak
tunggal (s/d 10) (10-30) asimetris terhitung,
3) (>30) simetris
Ukuran Bervariasi, Bervariasi, Bervariasi Kecil, Kecil
umumnya beberapa beberapa
besar besar dapat besar
Permukaan Kering, Kering, Kusam atau Mengkilap Mengkilap
dengan dengan sedikit
skuama skuama, mengkilap
terlihat cerah,
terdapat
infiltrat
Sensasi Hilang Menurun Menurun Sedikit Normal atau
dengan jelas sedang menurun menurun
minimal
Pertumbuhan Tidak ada Menurun Menurun Sedikit Normal pada
rambut dengan jelas sedang menurun tahap awal
BTA Negatif Negatif atau Jumlah Banyak Banyak
sedikit sedang sekali
termasuk
globi
Reaktivitas Positif kuat Positif lemah Negatif atau Negatif Negatif
lepromin (+++) (+ atau ++) positif lemah
kusta pada tahun 1988 berdasarkan atas jumlah lesi, yaitu kusta tipe PB dengan
lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan
jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar
2010).
11
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau kerokan kulit atau slit skin
smear merupakan pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan kecil pada
kulit yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae.
Pengambilan lokasi rutin yang disarankan adalah 2 atau 3 lokasi yaitu cuping
telinga kanan dan kiri serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012).
yaitu berkisar antara 10%-50%. Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena
pemeriksaan hapusan sayatan kulit dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain
kelengkapan alat dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan
metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam
diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang
masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau
terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan
12
dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih
hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan
a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu
lapangan pandang.
menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan
dorsal dari jari manis sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil
negatif. Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau
kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya,
terapi MDT sebesar +1 per tahun dan berlanjut meskipun MDT telah dihentikan.
13
(Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Maghanoy dkk pada tahun
2011 di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB yang tinggi (≥+4) masih
tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada pasien kusta dengan IB
yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB positif setelah 1 tahun
pengobatan.
penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan
2010; Yawalkar, 2009). Regimen PB dengan lesi kulit 2-5 terdiri atas rifampisin
dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600mg
sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan
lama pengobatan 12 bulan. Regimen PB dosis tunggal terdiri atas rifampisin 600
dimediasi oleh proses imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat
14
kronis, yang dapat mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar
sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama
sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma,
Gambar 2.2
Klasifikasi dan Reaksi Kusta
(Bhushan, 2010)
15
Sitokin adalah protein sistem imun yang mengatur interaksi antarsel dan
memacu reaktivitas imun, baik pada imunitas nonspesifik maupun spesifik. Sifat
umum sitokin, antara lain pleitropi (memiliki lebih dari 1 efek terhadap berbagai
jenis sel), fungsi autokrin (autoregulasi), dan fungsi parakrin (regulasi terhadap sel
yang letaknya tidak jauh). Sedangkan, efek tidak langsungnya berupa sinergisme
(menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama dengan
sitokin lain dalam merangsang sel), dan antagonisme (mencegah ekspresi reseptor
yang sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan
lain.
lain.
16
terhadap sitokin.
komunikasi antarsel yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat
kunci respon seluler. Jadi sitokin berperan dalam aktivasi sel T, sel B,
dan sel lainnya serta berperan dalam aktivitas metabolik seluler. Weissenbach
dkk. pertama kali mengidentifikasi IL-6 pada tahun 1980, pada mulanya peneliti
ini berusaha untuk mengkloning interferon β, seiring waktu para peneliti mulai
menamai temuan ini, sehingga oleh Poupart dkk. diberi nama IL-6. Interleukin-6
manusia memiliki berat molekul antara 21 hingga 28 kD, tergantung pada proses
yang sedang berlangsung, seperti glikosilasi dan fosforilasi. Melalui proses inilah
17
maka aktivitas biologi IL-6 dan kehadirannya di jaringan yang spesifik bisa
terjadi. Peptida IL-6 terdiri dari 212 asam amino dengan gen yang terletak pada
oleh berbagai protein heterogen dengan berat molekul 19-70 kD, dengan bentuk
isoform yang dominan berkisar 23-30 kD. Polipeptida IL-6 berikatan dengan
protein pembawa yang berbeda, contohnya albumin dan soluble IL-6 receptor
(May, 2002).
Reseptor IL-6 terdiri dari 2 molekul transmembran, yaitu IL-6R dan signal
transducing subunit (gp130). Peran pleiotropik IL-6 ini baik sebagai agen
terjadi, apabila sebagai agen antiinflamasi maka akan melalui jalur klasik, yaitu
IL-6R. Secara normal IL-6 diregulasi secara ketat dan diekspresikan dalam jumlah
yang sedikit, kecuali pada kondisi infeksi maupun trauma. Secara umum, peran
ganda ini dapat disederhanakan menjadi peran antiinflamasi IL-6 terjadi pada
proses inflamasi akut yang ditandai dengan peranan dari Th2. Hal sebaliknya
peran proinflamasi IL-6 terjadi pada proses inflamasi yang kronis, yang banyak
arthritis, lupus dan yang lainnya. Peningkatan kadar IL-6 terjadi pada kondisi
Sehingga kedua peran IL-6 tersebut menyebabkan peningkatan dari kadar IL-6
(Gabay, 2006).
agen antiinflamasi nonsteroid. Pada kondisi akut, misalnya infeksi ataupun paska
18
trauma, maka IL-6 akan meningkat kadarnya dalam waktu 1-3 jam dan terus
bertahan hingga 3-5 hari. Sedangkan pada kondisi kronis, didapatkan kadar IL-6
yang secara stabil meningkat. Interleukin-6 disintesis oleh makrofag, sel Th2, sel
B, osteoblas dan endotelium. Sitokin ini dihasilkan oleh tubuh bilamana terjadi
proses inflamasi baik akut maupun kronis, antara lain paska trauma, luka bakar,
kanker dan infeksi. Reseptor IL-6 terdapat pada sel limfosit T yang normal pada
fase istirahat, sel B yang teraktivasi, dan sel mieloid serta hepatik. Peranan IL-6
sebagai sitokin antiinflamasi dipicu dari adanya penurunan sistem imunitas seluler
pejamu dan peningkatan imunitas humoral yang tampak dalam kusta tipe
multibasiler. Hal ini juga tampak pada reaksi kusta terutama tipe 2, dengan
kronis seperti gagal ginjal kronik, penyakit jantung koroner, artritis reumatoid,
hepatis, infeksi HIV, penyakit peradangan kronis pada kulit seperti psoriasis dan
kortikosteroid.
alamiah, hepar akan mensekresi reaktan fase akut dan protein lainnya
seperti albumin dan transferin yang disekresi dalam jumlah yang lebih
19
sedikit. Protein fase akut yang utama yaitu C-reactive protein (CRP),
dan aktivasi sel T dan natural killer (NK). Sebagai tambahan, IL-6
dan IgG.
infeksius lainnya. Populasi sel imun utama adalah limfosit T, limfosit B, makrofag
dan Antigen Presenting Dendritic Cell. Sel-sel ini akan saling berinteraksi untuk
20
dan IFN merupakan faktor terlarut yang diproduksi oleh sel imun. IL-6
antara lain perkembangan saraf, sistem hematopoetik, respon fase akut, inflamasi
dan respon imun (Hirano, 2010). Pada penyakit kusta tipe multibasiler, akibat
adanya proses inflamasi akut maka terjadi disregulasi makrofag sehingga akan
IL-6. Sedangkan pada penyakit kusta tipe pausibasiler inflamasi akut yang terjadi
spesifik fungsi T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2) dalam hubungannya dengan
sekresi sitokin yang terjadi sehingga spektrum kusta yang terjadi pada setiap
menjadi grup Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi Interleukin-2 (IL-2), Interferon-γ
(IFN-γ) dan Tumor Necrosis Factor (TNF) sehingga mengaktifkan makrofag dan
memicu reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Hal yang kontras terjadi dimana sel
2007).
21
tipe sel seperti makrofag, fibroblas dan sel endotelial. Interleukin-6 memainkan
peranan yang sangat penting dalam berbagai proses, seperti contohnya respon
imun, reaksi fase akut dan hematopoiesis. Peranan utama IL-6 dalam penyakit
kusta terjadi melalui aktivasi Th2 yang akan memicu pembentukan antibodi,
menghambat fungsi makrofag dan menekan imunitas seluler. Pada spektrum kusta
sendiri, tipe tuberkuloid memiliki tingkat imunitas seluler yang tinggi dan
memiliki titer antibody yang rendah terhadap antigen M. leprae dan menyebabkan
gambaran granulomatosa lokal dan sangat jarang terdapat basil kuman pada lesi.
Hal sebaliknya pada tipe lepromatosa dengan tingkat imunitas seluler yang
rendah, memiliki kadar titer antibodi yang tinggi terhadap antigen M. leprae,
Imunitas seluler yang rendah pada tipe lepromatosa ini terjadi akibat
memproduksi sitokin IL-6. Sehingga kadar IL-6 akan meningkat pada kusta tipe
pertahanan tubuh host, yang didominasi oleh respon imun alamiah dan adaptif.
1β, TNF-α, IL-12 dan kemokin yang menginduksi migrasi dan aktivasi dari
22
terstimulasi atau terhambat yang diaktifkan sehingga akan memicu sel T yang
berbeda, antara lain sel CD4+ Th1, Th2, Th17 (Scheller, 2011; Tanaka, 2012).
(Jarduli, 2013)
protektif dari Th1 oleh sel CD4+ Th1 dan ditandai dengan adanya sekresi sitokin
Factor α (TNF- α), yang nantinya akan bersinergi untuk mengaktifkan mekanisme
efektor mikrobisida pada sel makrofag manusia. Pada pasien lepromatosa dan
antiinflamasi seperti contohnya IL-6 dan IL-10, sebagai akibat dari menurunnya
23
IFN- γ dan sitokin Th1 lainnya dan jumlah sel CD4+ pada lesi akan berkurang.
Sehingga mekanisme yang dominan adalah sel Th2 yang memproduksi IL-4,IL-5,
IL-6 yang kemudian memicu pembentukan antibodi. Sehingga hasil akhir dari
respon imun terhadap M.leprae bergantung terhadap kemokin dan sitokin yang
berperan sebagai sinyal molekuler dalam komunikasi antar sel di sistem imun,
maka kehadiran sitokin-sitokin ini bisa menjadi patokan efek proteksi maupun
(Scheller, 2011)
(HSL) yang memfasilitasi akumulasi dan terjaganya lingkungan yang kaya lipid
24
leprae dengan memodulasi ekspresi ADRP dan HSL. Selain itu juga, peningkatan
produksi IFN γ pada sel yang terinfeksi M. leprae. Sehingga dapat disimpulkan
2012).
25