Anda di halaman 1dari 20

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Pembentukan Self Concept Anak

Riansyah1 R Nunung Nurwati2

Email : riansyah21.syh@gmail.com1, nngnurwati@yahoo.co.id2

ABSTRACT

Early marriages often occur with the times. This often happens to cause some negative
impacts. Not only in early marriages negative impact often arises from the process of marriage
and running a family process that does not have a family concept. divorce, child neglect or acts
of violence often occur. Then necessary preventive action in overcoming it. So parents become
the main door in providing character education in the formation of self-concept.

The application of self-concept in child care is very influential in the continuity of


children's marriages and families. Children will get a picture of how to make a family and set
goals. The result is that many children are successful because of parents' upbringing and have a
clear self-concept. Can determine the target and achievements to be achieved, to determine the
concept of marriage or family in the future. This study is intended to provide an illustration of
how parents are very influential for children and the importance of having a clear self-concept.

Keywords : marriage, children, family

ABSTRAK

Pernikahan dini sering terjadi seiring perkembangan zaman. Hal ini sering terjadi
menyebabkan beberapa dampak yang negative. Tidak hanya dalam pernikahan dini dampat
negative sering muncul dari proses pernikahan dan menjalankan proses berkeluarga yang tidak
mempunyai konsep keluarga. peceraian, penelantaran anak atau tindakan kekerangan sering
sering terjadi. Maka diperlukan tinddakan preventif dalam menanggulanginya. Maka orang tua
menjadi pintu utama dalam memberikan pendidikan karakter dalam pembentukan konsep diri.

Penerapan self-concept dalam pola asuh anak sangat berpengaruh dalam keberlangsungan
pernikahan dan keluarga anak kelak. Anak akan mendapatkan gambaraan bagaimana berkeluarga
dan menentukan tujuan. Hasilnya banyak anak sukses karena didikan orang tua dan mempunyai
self-concept yang jelas. Bisa menentukan targer dan capaian yang akan dicapai, sampai
menentukan konsep pernikahan atau berkeluarga kelak. Penuliasan ini ditujukan untuk
memberikan gambaran bagaimana orang tua sangat berpengaruh bagi anak dan pentingnya
mempunyai self-concept yang jelas.

Kata Kunci : pernikahan, anak, keluarga

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan suatu perubahan status dari perkawinan lain menjadi status
“kawin”. Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadian manusia lainnya.
Dalam proses perkembangan untuk melanjutkan keturunan membutuhkan pasangan hidup yang
dapat memberikan keturunan dengan apa yang diinginkan. Maka perkawinan sebagai
perwujudan terbentuknya keluarga atau rumah tangga yang hendaknya berlangsung seumur
hidup dan tidak berakhir begitu saja. Maka peran keluarga untuk mempersiapkan anggota
keluarga baru sangat berpengaruh, dalam hal ini adalah keluarga inti sendiri sebelum anak-
anaknya menikah.

BKKBN : 375 remaja menikah dini setiap harinya. Data ini diambil dari surat kabar news
Republika 27 Mei 2019. Data ini menunjukan bahwa tingkat pernikahan dini sangat tinggi. Umur
pernikahan dini berkisar dari 18 tahun ke bawah. Pada masa umur ini merupakan masa
perkembangan dan pencarian jati diri, sebagian remaja bahkan sedang menempuh pendidikan.
Masa dimana potensi-potensi dari setiap remaja bisa muncul dan dikembangkan lebih baik lagi.
Direktur Analisis Dampak Kependudukan Badan Kependudukan dan keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) Hitima Wardhani terdapat 46 juta remaja dan anak perempuan di Indonesia
berusia 10 sampai 19 tahun dari jumlah total 255 juta jiwa di Indonesia. Sebanyak 1 dari 9 anak
perempuan menikah dibawah usia 18 tahun sesuai hasil Susenas 2016.

Banyak sekali faktor yang akan mempengaruhi fenomena ini. Faktor keluarga yang
merupakan pagar pertama dalam proses penyaluran wawasan dan nilai-nilai sosial yang berlaku
dimasyarakat. Konsep berkeluarga akan menentukan generasi-generasi keluarga selanjutnya.
“pernikahan di usia dini dipengaruhi dipengaruhi oleh budaya, seperti kalo tidak menikah jadi
perawan tua. Lebih baik cerai dari pada tidak pernah menikah” kata Wardhani. Secara prinsip
pernikahan bukan tentang menikah dengan cepat namun tentang membangun keluarga dan
menciptakan generasi selanjutnya, bukan pernah menikah namun berakhir dengan cerai.
Sedangkan dalam fenomena cerai akan menimbulkan feedback yang kurang baik bagi keluarga
yang bercerai.

Maka keluarga menjadi menjadi figure utama dalam menentukan anggota keluarga.
Banyak keluarga yang mempunyai pola asuh yang baik memikirkan untuk keberlanjutan anak-
anaknya. Dilihat dari tingkat pendidikan keluarga jika kepala keluarga telah menempuh
pendidikan sampai universitas mempunyai kemungkinan 3 kali lebih rendah melakukan
pernikahan dini, disbanding keluarga yang pendidikannya rendah. Namun banyak keluarga yang
pendidikan rendah mengahasilkan anggota keluarga yang berkualitas karena pola asuh terhadap
anak-anaknya. Maka dalam menghadapi pola asuh anak, keluarga harus mempunyai arah untuk
menentukan arah anak-anaknya.

Perceraian merupakan efek dari proses pernikahan yamg tidak berjalan dengan harmonis.
Pernikahan merupakan salah satu tujuan dalam menjalankan kehidupan, maka jika dalam proses
pernikahan tidak didasari dengan tujuan akan kemungkinan mengjadapi perceaian. Dalam
laporan tahunan Makhamah Agung 2019 yang dilansir dalam koran detik.com 2 Februari 2020
data Pengadilan Negeri sebanyak 16.947 pasangan dan 347.234 dari pengadilan agama. Angka
yang sangat besar untuk perceraian.

Self Concept muncul sebagai panduan dalam memahami dari diri manusia berdasarkan
pemahan sendiri, pandangan orang lain dan pandangan mengenai targetan yang ingin dicapai
dimasa yang akan datang. Konsep ini muncul tahun 1990 dari Calhoun dan Acocella yang
menjelaskan bahwa konsep diri ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor
orang tua, teman sebaya dan masyarakat. Orang tuan atau keluarga menjadi faktor utama dalam
pembentukan diri. Begitu pula dalam proses pernikahan dan menjalani proses berkeluarga orang
tua atau keluarga utama akan menjadi faktor penentu atau menjadi referensi dalam menjalankan
proses pernikahan atau berkeluarga.

Pembentukan karakter sejak dini dalam ruang lingkup keluarga sangat memberikan
pengaruh terhadap keberlangsungan anggota keluarga. Keluarga merupakan tempat penanaman
etika, noral, nilai dan norma. Selain itu keluarga memberikan pengaruh terhadap pembentukan
konsep diri atau self concept. Penerapan konsep diri salah satunya dipengaruhi oleh keluarga.
Topik ini dipilih berdasarkan pengamatan bahwa orang tua mempunyai peran penting
dalam menentukan keberlangsungan anak-anaknya. Pembentukan karakter anak terdapat pada
masa usia emas. Pada tahap pubertasi dan remaja awal orang tua mempunyai peran dalam
keberlangsungan anak-anaknya. Dalam beberapa kasus mengenai anak, orang tua selaku
pendidik utama akan selalu terbawa-bawa. Ketika anak menghadapi permasalahan atau
pencapaian yang baik orang tua akan dibawa. Oleh karena itu orang tua akan lebih terbantu
ketika memahami penerapan konsep diri (self Concept). Topik ini dipilih untuk menjawab
seberapa besar pola asuh keluarga dalam menentukan pencapaian anak-anaknya.

Hal ini menjadi penting untuk menentukan pandangan terhadap diri dan target yang akan
dicapai. Seringkali pada beberapa keluarga yang rendah akan wawasan atau pendidikan dalam
memandang pernikahan anak menitik beratkan kepada jodoh yang datang. Namun alangkah lebih
baik ketika orang tua dan anak menentuk waktu yang cepat untuk melakukan pernikahan. Jika
memilih pernikahan dini maka hal apa yang akan dipersiapkan. Maka pemahaman mengenai
konsep diri harus dipahami oleh kelurga.

Pemahana ini penting memberikan perubahan secara sosial, minimal dari ruang lingkup
keluarga. Memberikan pembekalan kepada anak tentang dunia pernikahan. Membuat anak lebih
terbuka terhadap realita. Berbicara soal pencapaian maka harus dipersiapkan dan ditentukan.
Begitu juga dengan diri manusia, harus memahami secara sendiri, menerima pandangan dari
orang lain dan menentukan dimasa yang akan datang menjadi apa.

Tujuan penulisan ini adalah memberikan gambaran dalam pembentukan konsep diri.
Menentukan karakter diri dan beberapa hal yang ingin dicapai. Menjadi referensi untuk setiap
orang bahwa penting menerapkan self concept di dalam ruang lingkup keluarga. Selain itu dalam
pembahasan penulisan ini adalah untuk mengurangi perceraian dan penelantaran anak yang
diakibatkan permasalahan yang muncul dalam berkeluarga karena tidak jelasnya tujuan dalam
pernikahan.

PEMBAHASAN

Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menjelaskan kaitan


fenomena yang terjadi. Penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran mengenai setting
penerapan Self Concept atau konsep diri dalam pola asuh keluarga terhadap keberlangsungan
pernikahan anak. Jika keluarga yang memilih anaknya menikah pada usia dini maka harus
mempunyai pemahaman bagi anak-anaknya tentang menjalankan keberlangsungan keluarga. Hal
ini juga untuk mengurangi penceraian dan terjadi anak telantar akibat perceraian.

Perkawinan

Klasifikasi pola umur perkawinan menurut Bogue : 1969 ; 316 ada empat

1. Perkawinan belia atau anak-anak (child marriage) ; perkawinan dibawah umur 18 tahun
2. Perkawinan umur muda (early marriage ); perkawinan umur 18-19 tahun
3. Perkawinan umur dewasa (marriage at maturity); perkawinan umur 20-21 tahun
4. Perkawinan yang terlambat (late marriage); perkawinan umur 22 tahun keatas.

Dari klasifikasi jenis perkawinan menurut Bogue : 1969 ; 316 menjelasakan bahwa jenis
perkawinan bisa terlihat dari umur yang menikah. Klasifikasi ini akan membantu melihat potensi
dari pernikahana. Beberapa potensi dari pernikahan adalah perceraian, berkaitan dengan
kesehatan reproduksi dan pola asuh anak dalam berkeluarga dimasa yang akan datang. salah satu
jenis pernikahan yang berpotensi menimbulkan permasalahan adalah pernikahan usia belia atau
anak-anak. Hal ini didukung melalui data dari BKKBN bahwa 1 dari 9 anak perempuan menikah
dibawah usia 18 tahun sesuai hasil Susenas 2016. Faktor ekonomi dan pendidikan menjadi
penyebab rawan terjadinya pernikahan usia berlia atau anak-anak. dengan gambaran anak putus
sekolah, tidak bekerja dan menjadi beban keluarga maka dengan menikah berharap menjadi jalan
keluar untuk menyelesaikan masalah.

Dalam kontek pemahaman akan permasalahan terdapat kesahan dalam memahami


masalah. terdapat kesalahan kognitif dalam individu dalam keluarga. Mental anak dan orang tua
yang tidak siap menghadapi perubahan atau kejadian pada keluarga. Hal ini alangkah lebih
baiknya jika keluarga memahami potensi-potensi yang akan terjadi pada anaknya dimasa yang
akan datang.

Pemahaman Kognitif atau Kognisi

Istilah kognitif (cognitive) berasal dari kata cognition mempunyai padanan kata knowing
yang berarti mengetahui. Arti cognitive secara luas mempunyai arti penggunaan pengetahuan,
penataan dan penggunaan pengetahuan. Maka konsep kognitif dan selft concept akan saling
mengisi diantara keduanya.

Istilah kognitif erat kaitannya dengan psikologi manusia. Sisi psikologi ini meliputi
prilaku mental manusia yang berhubungan dengan pemahanan, pemecahan masalah, cara
mengelola informasi, mempertimbangkan dan keyakinan. Oleh karena itu perkembangan kognisi
atau kognitif akan melalui proses perubahan yang terjadi secara bertahap yang menyebabkan
proses mental akan menjadi rumit dan canggih namun terjadi secara teratur.

Konsep kognitif ini dipopulerkan oleh tokoh Jean Piaget. Beliau mempelajari
kemampuan mental berubah secara waktu relative lama. Piaget berpendapat bahwa suatu
perkembangan akan bergantung sebagian besar pada proses manipulasi sesuatu pada interaksi
yang aktif dengan lingkunan. Berikut tahap perkembangan kognisi menurut Piaget

Tahap Perkiraan Usia Pencapaian Utama


Sensorimotor Lahir hingga 2 tahun Pembentukan konsep, kemajuan bertahap dari
perilaku refleks ke prilaku yang diarahkan oleh
tujuan.
Praoperasi 2 -7 Perkembangan kemampuan menggunakan
symbol-simbol, pemikiran bersifat egosentris dan
terpusat
Operasi Konkret 7-11 Perbaikan berpikir logis, kemampuan baru
bermunculan dalam pengoperasian yang dapat
dibalik, pemikiran tidak terpusat, pemikiran
abstrak tidak mungkin
Operasi Formal 11- Dewasa Pemikiran abstrak, masalah dapat dipecahkan
melalui ekperimental sistematik

1. Tahap Sensorimotor
Tahapan ini merupakan tahapan pertama dimulai sejak lahir sampai usia 2 tahun.
Tahapan ini anak membangun segala pemahaman mengenai apa yang dilihat dan
dirasakan berdasarkan apa yang didapatkan melalui sensor (melihat dan mendengar)
terhadap tindakan-tindakan fisik. Pada tahapan ini orang tua sebagai pembentuk karakter
awal sangat berperangatuh. Segala apa yang diucapkan akan berpengaruh bagi anak,
karena anak pada usia 2 tahun kebawah menggunakan indra sensorik untuk
perkembangan kognisi anak.
2. Tahap Pra-Operasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dimulai umur 2 -7 tahun. Tahapan ini anak
menggunakan symbol-simbol untuk mengekspresikan apa yang dirasakan. Simbol ini
bisa kata-kata, gambar, atau symbol tersendiri dari anak. pada tahap pra-operasional ini
sangat dipengaruhi terhadap input yang masuk. Proses input ini didapatkan melalui tahap
pertama yaitu melalui sensor, khususnya pendengaran dan penglihatan.
3. Tahap Operasi Konkret
Tahap ini tahapan ketiga berada pada usia 7-11 tahun. Tahapan ini merupakan tahap
berkembangkan pemikiran yang didasarkan pada pemikiran aturan dan bersifat logis.
Untuk berpikir logis atau konkret melalui beberapa tahapan diantaranya :
1. Pengurutan
Proses ini merupakan kemampunan untuk mengurutkan segala objek yang dilihat.
Bisa berdasarkan bentuk, ukuran, ciri khas lainnya.
2. Klasifikasi
Proses ini merupakan proses lanjutan setelah mengurutkan. Kemampuan untuk
mengidentifikasi objek berdasarkan bentuk, tampilan, ukuran. Pada tahapan ini anak
bisa memberikan arti sendiri karena berpikir logis sudah mulai aktif.
3. Decentering
Proses decentering merupakan proses untuk membanding suatu objek berdasarkan
beberapa aspek yang dipahaminya. Ketika masalah mulai muncul maka akan
berusaha untuk memecahkannya.
4. Reversibility
Proses ini adalah proses anak mulai memahami objek yang berkaitan dengan jumlah
atau segala objek yang dapat diubah.
5. Konsevasi
Proses ketika anak bisa memahami segala sesuatu bisa atau tidaknya berhubungan
dengan pengaturan atau tampilan dari suatu objek.
6. Penghilangan sifat egosentrisme
Kemampuan untuk memberikan suatu pandangan dari pendapat orang lain.
4. Tahap Operasi Formasl
Tahadap berada pada usia 11- dewasa. Tahapan ini merupakan tahapan terkahir dari
perkembangan kognisi atau kognitif dari Piagets. Tahapan ini mempunyai karakter
kemampuan berpikir logis, abstrak, dan bisa mengambil suatu kesimpulan. Pada tahapan
ini seseorang dapat memahami suatu hal seperti cinta, nilai atau bukti logis.

Pemahaman kognisi ini dapat memberikan gambaran bagaimana pola asuh bisa
diterapkan berdasarkan umur anak. setiap tahapan akan mempunyai proses adaptasi bagaimana
pola asuh diterapkan. Misalnya pada tahapan awal atau bisa disebut sensorimotor orang tua harus
memperhatikan segala apapun yang keluar melalui ucapan atau tindakan. Jika prilaku orang tua
memberikan hal yang positif, maka akan memberikan dampak yang positif bagi anak. secara
tidak langsung anak pada usia awal itu menerima segala implus dari luar. Maka orang tua harus
secara sepenuhnya memberikan kesayangan terhadap anak.

Self Concept

1. Pengerian konsep diri


Mengamati diri sendiri, memberikan gambaran, penilaian terhadap diri sendiri
merupakah proses membentuk konsep diri. Diri merupakan suatu proses memusatkan diri
dari dunia secara sosial dari setiap orang. Sebagaian besar proses konsep diri merupakan
hasil interaksi sacara internal diri dan eksternal. Keluarga merupakan bagian internal
yang berinteraksi secara langsung masuk ke dalam pembentukan konsep diri kemudian di
luar keluarga.
Menurut Wililiam D.Brooks konsep diri adalah “those psychical, social, and
psychological pereptions of our selves that we have derived from experiences and our
interaction whit other”. Konsep diri adalah subuah pandangan dan perasaan terhadap diri
sendiri, persepsi mengenai diri secara psikologis, sosial atau fisik. Konsep diri bisa
menjadi gambaran secara descriptif, penilaian tentang diri. Dua hal tentang konsep diri,
apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan.
Pandangan lain mengenai konsep diri disampaikan Hourlock, menurut beliau
konsep diri adalah konsep seseorang dari siapa dan pandangan tentang apa di aitu.
Konsep ini merupakan suatu bayang dalam cermin yang ditentukan sebagian besar
melalui peran dan interaksi atau hubungan dengan orang lain. konsep diri mengambarkan
mengenai suatu penampilan dan kepribadain yang diinginkan.
Pondasi konsep diri setiap individu tumbuh ketika usia dini. Kehidupan anak akan
menjadi dasar yang memberikan pengaruh terhadap prilaku, pemikiran dan apa yang
diingikan di masa yang akan datang. Hal ini didukung melalui pernyataan Agustiani
(2009), konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang
dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari hasil interaksi dengan
lingkungan. Konsep diri merupakan suatu proses yang berkembang dari pengalaman
yang akan terus menerus berkemabang.
Konsep diri merupakan suatu kepedulian terhadap kesadaran diri sendiri secara
batin mengenai pengalaman yang berhubungan secara langsung dan tidak langsung. Kita
mencintai diri kita bila kita telah dicintai orang lain dan kita percaya diri kita telah
dipercaya orang lain (Dedy, 2001)
Dalam kamus besar psikologi dari Kartini Kartono menyatakan bahwa konsep diri
merupakan sesuatu yang dirasa dan diyakini benar secara menyeluruh mengenai dirinya
sendiri. Pernyataan ini di dukung oleh pendapat Brehmn dan Kassin tahun 1993,
menyatakan bahwa konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki setiap individu tentang
atribut atau cita-cita yang dimilikinya. Konsep diri diartikan sebagai pengetahuan dan
keyakinan yang dimiliki setiap individu mengenai karakter atau ciri-ciri pribadinyan
( Worchel dkk, 2004).
Dari beberapa pengertian dan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep
diri merupakan suatu pandangan mengenai siapa diri kita dan apa diri kita. Pandangan ini
bisa berupa indentitas, cita-cita, gambaran, keyakinan diri kita. Pandangan ini diperoleh
melalui proses interaksi dengan lingkungan.
2. Aspek Konsep Diri
Aspek konsep diri terdiri dari beberapa aspek, bersifat multi aspek. Menurut Agoes
Dariyono (2007) aspek konsep diri meliputi :
1. Fisiologis
Aspek ini berkaitan dengan bentuk fisik manusia. Aspeks fisiologis berkaitan dengan
unsur warna kulit, berat atau tinggi badan, bentuk wajah dan lainnya sebagainya.
Aspek Fisiologis ini belum tentu sering digunakan untuk penilaian sebagai respon
perilaku.
2. Psikologis
Aspek psikologis berkaitan dengan pemahaman. Ada tiga poin penting dalam aspek
psikologis ini, diantaranya :
1. Kognitif
Kognitif atau kognis mempunyai arti kecerdasan, pemahaman, minatm
bakat atau kreatifitas. Dalam arti luas kognitif adalag suatu kemampuan seseorang
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pengertian lain kognitif adalah suatu
kemampuan berfikir secara abstrak.
Kognitif ini berorientasi pada kemampuan seseorang dalam berfikir
(kemampuan intelektual). Bentuk intelektual ini berupa mengingat, memecahkan
masalah, menghubungkan atau menggambarkan ide atau gagasan. Aspek kognitif
ini merupakan proses kemampuan mental yang dipengaruhi pengetahuan atau
wawasan terhadap lingkungan.
2. Afeksi

Afeksi atau afektif mempunyai arti ketahanan, motivasi, berprestasi, atau


keuletan kerja. Afeksi ini sering berkaitan dengan sikap, nilai atau norma.
Seringkali mencakup perasaan, minat, emosi, sikap. Ranah afeksi terbagi dalam
beberapa bagian, diantaranya :

1. Receiving atau attending


2. Responding
3. Valuing
4. Organization
5. Characterization by evalue or clue complex
3. Konasi

Konasi mempunyai arti kecepatan,mengelola stress, ketelitian dan resilliensi.


Secara umum arti konasi merupakan bagian fungsi dalam kejiwaan manusia, aktivitas
secara psikis yang mempunyai usaha untuk menghubungkan suatu pelaksanaan untuk
mencapai tujuan. Konasei juga akan berkaitan dengan suatu kehendak atau Hasrat.
Hasrat mempunyai arti keinginan tertentu yang sering berulang-ulang. Hasrat
mempunyai ciri-ciri diantaranya :

1. Hasrat merupakan penggerak perbuatan atau perilaku


2. Berkatian dengan tujuan. Tujuan yang positif ataupun negative. Arti positif
mempunyai pengertian suatu yang berharga dan memberikan dampak bagi
dirinya. Sedangkan negative mempunyai arti sesuatu yang harus dihindari dan
tidak berharga
3. Hasrat akan selalu berhubungan dengan kognisi dan emosi
4. Hasrat ditujukan kepada pencapaian tujuan
3. Psiko-sosiologis
Aspeks psiko-sosiologis akan mempunyai keterkaitan dengan lingkungan
sosial.kemammpuan yang mendukung melalukan hubungan dengan lingkungan
sosial seperti kemampuan berinteraksi, adaptasi (menyesuaikan diri), komunikasi
akan mempermukah memahami aspek psiko-sosiologis.
4. Psiko-Spiritual

Aspek yang berkaitan dengan kemampuan ataupun pengalaman seorang


individu berkaitan dengan nilai dan ajaran agama. Aspek psiko-spiritual bersifat
transcendental. Sering kali aktivitas berkaitan dengan kegiatan keagamaan atau
beribadah seperti berdoa, berpuasa atau kegiatan spiritual agama lainnya.

5. Psikoetika dan Moral

Aspek yang berkaitan dengan kemampuan berdasarkan nilai, etika dan


moralitas. Pemahaman konsep diri secara sosial akan berkaitan dengan persepsi,
pikiran, atau perasaan.

Konsep diri akan bersifat positif dan negative.

1. Positive, konsep diri yang mampu mengarahkan dirinya ke arah kepercayaan


diri dan memegang teguh pada nilai dan moral. Nilai dan moral ini yang
berlaku pada tatanan sosial dan agama.
2. Negative, konsep diri yang menyimpang terhadap nilai, moral, etika yang
berlaku pada tatanan sosial dan agama yang berlaku dan dipatuhi.
Proses perpespi menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk
memproses informasi untuk memperoleh, mendeteksi segala stimulus yang
diterima melalui alat indra. Secara sederhana persepsi merupakan proses
mentafsirkan informasi

Menurut Hurlock konsep diri bagain psiko-sosialisis ada dua aspek yang
mempengaruhi, diantaranya :

1. Aspek fisik
Aspek ini berkaitan dengan konsep yang dipandang melalui
penampilannya dimata orang lain berkaitan dengan fisiknya.
2. Aspek psikologis
Aspek ini berkaitang dengan konsep pemahaman mengenai
kemampuan, harga diri terhadap orang lain.

Terbentuknya Konsep diri

Menurut Hardy dan Heyes (Sobur, 2003) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk dalam
waktu yang cukup lama. Prosesnya tersusun dalam beberapa tahapan. Tahapan dasar adalah
konsep diri secara primer, konsep yang terbentuk dari pengalaman dan lingkungan terdekat yaitu
keluarga. Kemudia ada konsep diri sekunder, konsep diri yang merupakan respon terhadap
lingkuungan luar

Pola Asuh Orang tua

Kata pola asuh tediri dari dua kata, pola dan asuh. Menurut KBBI (2008: 1088) pola
adalah model, sistem, cara kerja. Sedangkan asuh mempunyai arti menjada, merawat,
membimbing, melatih. Sedangkan pengertian orang tua menurut Nasution dan Nurhalijah
(1986:1) menyatakan bahwa orang tua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam
keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak atau
ibu.

Thoha (1996:110) memberikan pengertian bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara
yang ditembuh orang tua secara terbaik dalam mendidik, membimbing, sebagai bentuk tanggung
jawab kepada anak. pengertian lain bahwa pola asuh orang tua adalah suaru proses interaksi
orang tua dengan anak melalui kegiatan untuk mencapai proses pendewasaan secara langsung
dan tidak langsung.

Jenis-jenis pola asuh orang tua

Menurut Hurlock (dalam Thoha, 1996 : 111-112) menyebutkan tipe atau jenis pola asuh ornag
tua terhadap anak, diantaranya :

1. Pola asuh Otoriter


Secara sederhana pola asuh yang otoriter sering kali berkaitan dengan aturan yang
ketat, kebebasan anak dibatasi, anak dipaksa mematuhi atau bertindak atas arahan
orang tua.
2. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis berkaitan dengan pola asuh yang berkaitan dengan kemampuan,
kesempatan anak. anak diberikan kebebasan untuk menentukan namun tetap dalam
pengawasan orang tua sebagai controlling. Pemilihan arah dilakukan secara dua arah
antara orang tua dan anak.
3. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif berkaitan dengan cara orang tua memberikan pendidikan kepada
anak yang cenderung memberikan kebebasan. Sikap ini memandang kepada anak
bahwa dia telah dewasa.

Sedangkan menurut Baumrind (dalam Dariyono, 2004 :98) menyebutkan pola asuh orang
tua menjadi empat, diantaranya :

1. Pola asuh otoriter


Pola asuh ini menekankan kepada aturan. Segala aturan yang berasal dari orang tua
harus dilaksanakana atau ditaati. Anak sulit untuk memberikan bantahan terhadap
aturan yang dibuat orang tua.
2. Pola asuh demokratis
Pola asuh ini memberikan kesempatan kepada anak dan orang tua untuk menentukan
aturan atau targe secara bersama-sama. keputusan diambil berdasarkan secara
bersama-sama melalui pertimbangan anak dan orang tua.
3. Pola asuh permisif
Pola asuh ini merupakan kebalikan dari otoriter, aturan berasal dari anak. orang tua
cenderung menuruti anak. pola asuh ini memberikan kebebasan kepada anak
berdasarkan pandangan bahwa anak sudah dewasa.
4. Pola asuh situasional
Pola asuh ini merupakan pola asuh menyesuaikan dengan kondisi yang berlangsung
atau dihadapi oleh anak dan orang tua. Jadi bisa menyesuaikan.

Dalam menjalankan pola asuh sering kali dipengaruhi faktor, Santrock (1995: 240 )
menyebutkan ada dua poin yang mempengaruhi pola asuh, diantaranya :

1. Penurunan metode pola asuh


Penurun metode pola asuh ini merupakan bagian yang berhubungan langsung dengan
orang tua. Kadang kali pola asuh yang diterapkan orang tua merupakan apa yang
didapatkan mereka sebelumnya.
2. Perubahan budaya
Perubahan budaya sesuatu yang berkaitan denan nilai, norma, etika atau adat istiadat.
Perubahan ini berasal dari masa kini dan masa sebelumnya.

Dalam melihat proses pengaruh ini memerlukan kemampuan adaptasi yang cukup tinggi,
dari masa kemasa perubahan akan selalu ada, maka orang tua dan anak harus tepat dalam
menentukan pola asuh dan capaian yang ingin dicapai.

Soekanto (2004:43) menyatakan faktor yang mempengaruhi pola asuh berasal dari faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan sosial, lingkungan fisik dari
anak dan orang tua. Sedangkan faktor internal berkaitan dengan model pengasuhan yang
didapatkan orang tua.

Pola Asuh dan Self Concept

Cahlhoun dan Acocella (1990) memberikan penjelasan bahwa self concept terdiri dari tiga
dimensi pembentuk. Diantaranya :

1. Pengetahuan terhadap diri sendiri ( real-self atau self schema)


Pembentuk konsep diri yang berdasarkan pandangan terhadap dirinya sendiri sendiri,
bagaimana dia menggambarkan dirinya.
2. Penghargaan terhadap dirinya sendiri ( social-self atau self references)
Pembentuj konsep diri yang didasarkan pada pandangan orang lain kepada dirinya. Jadi
seseorang menggambarkan dan memahami dirinya berdasarkan pendapat dan
penghargaan orang lain.
3. Pengharapan mengenai dirirnya (ideal-self atau self future)
Pembentuk konsep diri didasarkan pada pandangan terhadap dirinya akan kondisi
kehidupan di masa yang akan datang.

Pemahaman akan konsep diri ini akan membantu seseorang dalam menjalankan dan
mencapai suatu tujuan. Orang tua melalui pola asuh merupakan bagian yang sangat berpengaruh.
Hal ini didukung oleh pernyataan Calhoun & Acocela (1990), bahawa orang tua merupakan
faktor terbesar yang mempengaruhi self concept dari anak. pengaruh ini diberikan melalui pola
asuh dari orang tua. Pola asuh ini mempunyai tujuan untuk membentuk karakter anak sesuai
nilai, norma dan etika yang berlalaku dengan lingkungan sosial atau agama.

Maka dalam menjalankan pola asuh terhadap anak harus disesuaikan dengan umur anak.
sejak dari kandungan sampai melahirkan memelurkan perhatian lebih terhdap anak. maka
penerapan pola asuh ini bisa berjalan dengan baik ketika orang tua memperhatikan seberapa
penting self-concept bagi anak. orang tua harus mempunyai program pola asuh. Namun dalam
penerapan pola asuh ini kembali kepada tipe pola asuh dari anak. jenis pola asuh yang diterapkan
akan berpengaruh terhadap self-concept yang terbentuk bagi anak. Keterkaitan yang dapat dilihat
dari pola asuh orang tua dan self-concept diantaranya :

1. Pola asuh otoriter


Pola asuh ini merupakan pola asuh yang menekannya pada aturan atau ketentuan yang
berada pada orang tua. Kesempatan anak untuk mengeksplor dirinya sangat sedikit.
Biasanya segala ketentuan atau kebutuhan anak ditentukan oleh orang tua. Namun seperti
yang kita ketahui bahwa setiap anak mempunyai keunikan kelebihan dan kekurangn
masing-masing.
2. Pola asuh demokratis
Pola asuh ini merupakan pola asuh yang memberikan kesempatan bagi anak dan orang
tua bisa memberikan gagasan atau ide. Dalam penerapan pola asuh ini memerlukan
wawasan atau pengetahuan dari kedua belah pihak. Pola asuh demokratis ini bisa
diterapkan pada usia anak mulai bisa memahami lingkungan dan tujuan akan hidup. Pola
asuh yang bisa diterakan ketika anak sudah mempunyai kemampuan kognisi dan kognitif
yang cukup. Dalam skala umur bisa diterapkan pada umur 7 tahun keatas. Karena pada
tahapan umur ini anak sudah bisa berpikir logis. Penerapan Self concept pada pola asuh
ini orang tua berposisi tidak hanya sebagai orang tua namun sebagai fasilitator
perkembangan anak.
3. Pola asuh permisif
Pola asuh ini merupakan pola asuh yang mengedepankan kebebasan kepada anak. orang
tua menganggap bahwa anak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengurus diri
sendiri. Penerapan self concept pada pola asuh ini sangat memperhatikan pola asuh anak
sebelumnya. Pola asuh ini tidak bisa diterapkan pada semua umur, diperlukan pemahan
terhadap anak tentang perkembangan secara kognisi, afeksi dan konasinya. jika pada
umur perkembangan anak ini orang tua menerapkan pola asuh ini anak akan mencari
referensi dari lingkungan luar keluarga. Pada akhirnya self concept yang terbentuk akan
berdasarkan refensi dari luar.
Penerapan pola asuh permisif dalam pembentukan self concept ini tepat diterapkan ketika
anak sudah dalam tahap dewasa, dimana anak sudah bisa memecahkan masalah secara
mandiri. Namun pola asuh permisif ini akan memberikan dampak yang sedikit kurang
baik anak. anak akan berpotensi acuh kepada orang tuanya.
4. Pola asuh situasional
Pola asuh ini menitikberatkan kepada respon fenomena yang terjadi dilingkungan. Pola
asuh ini sangat dipengaruhi terhadap wawasam, pemahaman tentang anak dan fenomena
yang terjadi. Penerapan self – concept akan menitik beratkan kepada ketiga komponen
pembentuk konsep diri. Orang tua secara pribadi harus mengetahui kapan menerapkan
jenis pola asuh tertentu. Ketika fenomena yang terjadi di luar adalah dalam ranah
keburukan dan berpotensi merusak masa depan anak, maka penerapan pola asuh tidak
mungkin menerapkan pola asuh yang permisif, namun tidak terlalu otoriter juga.

Dalam penerapan pola asuh untuk membentuk self-concept orang tua akan berpengaruh
besar. Pola asuh tidak sekedar memberikan pembentukan karakter namun mengarahkan anak
kepada apa yang ingin dicapai atau dituju. Orang tua memberikan pemahaman sejak dini agar
akan lebih memahami mengenai menjalankan kehidupan dan memahami diri sendiri akan tujuan
yang ingin sendiri.

Orang tua melalui pola asuh merupakan role model bagi anak dalam menjalankan
kehidupan. Orang tua merupakan sekolah pertama bagi anak. maka orang tua memberikan versi
terbaik dalam menjalankan proses pola asuh. Begitu juga dalam menjalankan kehidupan
selanjutnya bagi anak, yaitu ketika nanti menjadi orang tua. Maka proses pertama adalah melalui
proses menuju pernikahan.

Menurut pandangan terhadap pemahaman kognitif atau kognisi pada usia 5 tahun anak
mempunyai tingkat sensomorik yang tinggi. Sering kali anak akan merekam sedikit atau
banyaknya informasi yang didapat. Informasi ini bisa berupa ucapan, Gerakan atau symbol
tertentu. Maka proses pola asuh anak harus memperhatikan segala input dan output yang
diterima oleh anak.

Proses pembentukan self-concept anak akan dipengaruhi oleh karakter bawaan dari orang
tua sendiri. Seperti yang kita ketahui para orang tua pasti mendapatkan pola asuh sebelumnya
dari orang tua mereka. Pada beberapa keluarga seringkali menurunkan pola asuh yang
berdasarkan apa yang diterima mereka kepada anak-anaknya. Namun pada masa kini proses pola
asuh harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, banyak informasi yang tersebar.
Kebutuhan dan keadaan akan berbeda seperti zaman dulu dan sekarang. Seringkali orang tua
zaman dulu menghadapi keadaan yang berbeda dengan zaman sekarang.

Self-Concept dan Pernikahan

Pernikahan atau perkawinan merupakan proses awal dalam membentuk sebuah keluarga.
pribahasa zaman dulu dalam menentukan pernikahan atau perkawinan harus memperhatikan
babat, bibit dan bobotnya. Penanaman istilah tersebut secara tidak langsung merupakan proses
pembentukan konsep diri atau self-concept bagi anak mereka. Hal ini ditujukan agar pernikahan
atau perkawinan memberikan kebahagiaan dan kebaikan bagi anak mereka . namun pada masa
kini apakah masih relevan kebutuhan dan perkembangan zaman. Seperti yang kita ketahui bahwa
pernikahan dan perkawinan merupakan proses mempersatukan dua keluarga. dimana nama baik
keluarga masing-masing akan dibawa. Maka orang tua dengan sepenuhnya mendidik anak
mereka agar bisa membawa nama baik kedua orang tua mereka. Namun pada faktanya sesuai
data yang dikeluarkan dari BKKBN : 375 remaja menikah dini setiap harinya. Data ini diambil
dari surat kabar news Republika 27 Mei 2019. Data ini menunjukan bahwa tingkat pernikahan
dini sangat tinggi. Umur pernikahan dini berkisar dari 18 tahun ke bawah.

Melihat fenomena yang terjadi, pada usia 18 tahun tersebut merupakan proses
berkembangnya anak dan mencari jati diri. Orang tua melalui pola asuh untuk membentuk self
concept bagi anak untuk menentukan kapan pernikahan atau berkeluarga akan dicapai. pada usia
dibawah 18 tahun bagi perempuan mungkin banyak terjadi dan memungkin itu baik baik bagi
keluarga mereka. Baik dengan catatan ketika orang tua sejak dari jauh-jauh hari sudah
memberikan pola asuh yang baik kepada anak mereka, khususnya anak perempuan agar lebih
siap. Maka orang tua membentuk self concept bagi anak perempuannya agar lebih siap, jika
menikah umur 18 tahun.

Hal ini tidak hanya berlaku bagi anak-anak berusia dibawah 18 tahun. Namun proses
pembentukan konsep diri berkaitan dengan perkawinan sangant penting. Hal ini untuk
menanggulangi pernikahan dini, pernikahan yang menyebabkan percerainan bahkan proses
pembentukan self concept bagi keluarganya kelak. Proses pola asuh yang baik sering kali akan
memberikan out put yang baik bagi keluarga mereka. Pola asuh yang baik itu tentunya pola asuh
yang sesuai dengan nilai, norma, etika yang berlaku di masyarakat dan agama. Maka penting
sekali penerapan self concept bagi anak. hal ini untuk menentuka prioritas yang akan dicapai.

Penerapan self concept dalam pola asuh terhadap pernikahan sangat memberikan
pengaruh yang sangat besar bagi keberlangasungan pernikahan atau perkawinan anak,
diantaranya :

1. Berdampak positif
Penerapan self concept dalam pola asuh ketika orang tua menyadari pentingnya
merencanakan menjadi apa anak-anaknya di masa yang akan datang. anak akan
mempunyai sebuah referensi bagaimana menjalankan roda kehidupan setelah pernikahan.
Mereka dapat melihat contoh secara langsung dari orang tua mereka.
Dalam merencanakan kehidupan berkaitan dengan proses berkeluarga dihasilkan melalui
pembentukan self-concept yang mengarahkan kepada pencapaian dimasa yang akan
datang. contohnya dalam mengejar karier, ketika kariernya bagus dan paham akan ilmu
berkeluarga, kemungkinan pernikahan atau keluarga yang akan dicapai sangat baik. Baik
mempunyai arti kelurga yang harmonis secara kasih sayang atau finansial. Maka hal ini
akan mengurangi dampat negative seperti perceraian atau menelantarkan anak.
2. Berdampak negative
Penerapan self-concept dalam pola asuh yang tidak baik maka akan memberikan dampak
yang sangat merugikan bagi anak dan keluarga. misalnya anaka yang melakukan
pernikahan dini karena pergaulan yang bebas, maka akan menyebabkan perceraian atau
penerlantaran anak. hal ini karena anak tidam mempunyai role model dalam menempuh
kehidupan dan menjalankan proses berkeluarga. Perceraian sering kali timbuh karena
beberapa faktor seperti finansial, gaya hidup atau hal lainnya. Dalam hal ini penyebab ini
merupakan hasil dari anak yang tidak memahami konsep diri dan terkesan terbawa oleh
hawa nafsu semata.

Kesimpulan

Penerapan Self-concept dalam pola asuh anak terhadap keberlangsungan pernikahan atau
perkawinan anak sangat penting untuk dilakukan. Hal ini didukung secara aspek kognitif, dimana
aspek ini akan membantu akan dalam memahami segala fenomena berdasarkan afeksi atau
konasinya. penerapan self-concept harus disuaikan dengan masa pola asuh anak. penyesuaian-
penyesuaian akan selalu muncul dalam menghadapi fenomena yang terjadi.

Orang tua sebagai pilar pembentuk karakter utama anak sangat berperngaruh terhadap
kehidupan anak. orang tua lebih dulu harus mempunyai konsep pola asuh untuk anak-anaknya.
Anak tidak selamnya anak-anak, Dia akan beranjak menjadi dewa dan berkeluarga. Maka orang
tua mempunyai arti dalam membimbing mereka menjadi calon orang tua yang baik untuk anak-
anak mereka kelak. Penerapan self concept ini untuk membantu anak agar sukses menjalani
prose pernikahan dan menjadi keluarga yang harmonis. Menghindari dampak yang negative
dalam berkeluarga.
Daftar Pustaka

Christiyaningsih. (2019, Mei 27). BKKBN : 375 Remaja Menikah Dini Setiap Harinya. Retrieved from
REPUBLIKA.CO.ID: https://republika.co.id/berita/ps4am9459/bkkbn-375-remaja-menikah-dini-
setiap-harinya
Dariyono, Agus, (2007). Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama (Psikologi Atitama).
Bandung: Refika Aditama.
Hurlock, B. (2005). Psikologi Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Rahmat, J. (Bandung). Psikologi Komunikasi. 2007: Pemaja Rosdakarya.
Slavin Robert E., (2011). Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks.
Syah, M. (2012). Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai