A. Latar belakang
Keluarga merupakan suatu unit terkecil dari masyarakat yang terdiri
atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantungan. Keluarga
memiliki pengaruh yang penting tehadap pembentukan identitas individu,
status kesehatan dan perasaan harga diri individu. Sistem pendukung yang vital
bagi individu adalah keluarga, dimana keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga dengan menjalankan fungsi biologi,
fungsi pendidikan, fungsi psikis, fungsi sosiokultural, serta fungsi kesehatan.
Aktivitas-aktivitas keluarga dalam menjalankan fungsi kesehatan dan
kesimbangan antara anggota keluarga tidak terlepas dari lima tugas dalam
perawatan kesehatan keluarga yaitu; mampu mengenal masalah kesehatannya,
mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi kesehatannya,
mampu melakukan tindakan keperawatan untuk anggota keluarga yang
memerlukan bantuan keperawatan, mampu memodifikasi lingkungan sehingga
menunjang upaya peningkatan kesehatan, mampu memanfaatkan sarana
pelayanan kesehatan yang ada.
Salah satu masalah kesehatan di Indonesia adalah penyakit
hipertensi. Penyakit ini merupakan peningkatan tekanan darah yang
memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk
otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk
otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan
masyarakat yang ada di Indonesia maupun dibeberapa negara berkembang
tahun 2005 dari jumlah 639 juta kasus di tahun 2000. Diperkirakan
jumlahnya menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Di Indonesia jumlah
penderita hipertensi di perkirakan 15 juta orang. Jumlah 15 juta orang hanya
4% yang merupakan hipertensi terkontrol (Amirudin, 2007).
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mampu menerapkan asuhan keperawatan keluarga dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang komprehensif pada
keluarga Tn. M dengan Hipertensi, Diabetes Melitus dan Stroke pada Ny. R di
RT.01 RW.12 Kelurahan Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian keluarga Tn. M dengan Hipertensi,
Diabetes Melitus dan Stroke pada Ny. R di RT.01 RW.12 Kelurahan
Kelurahan Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan keluarga Tn. M dengan
Hipertensi, Diabetes Melitus dan Stroke pada Ny. R di RT.01 RW.12
Kelurahan Kelurahan Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang.
c. Mampu menyusun rencana keperawatan keluarga Tn. M dengan
Hipertensi, Diabetes Melitus dan Stroke pada Ny. R di RT.01 RW.12
Kelurahan Kelurahan Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang.
d. Mampu melakukan implementasi keperawatan keluarga Tn. M dengan
Hipertensi, Diabetes Melitus dan Stroke pada Ny. R di RT.01 RW.12
Kelurahan Kelurahan Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang.
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan keluarga Tn. M dengan
Hipertensi, Diabetes Melitus dan Stroke pada Ny. R di RT.01 RW.12
Kelurahan Kelurahan Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang.
C. Manfaat
1. Dapat digunakan sebagai sarana dalam menerapkan ilmu asuhan keperawatan
keluarga sehingga dapat menambah dan mengembangkan wawasan.
2. Menambah pengetahuan dan ketrampilan keluarga dalam upaya pencegahan,
perawatan serta pemanfaatan fasilitas kesehatan bagi klien.
BAB II
KONSEP DASAR
I. Konsep Keluarga
A. Definisi Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh
hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga
selalu berinteraksi satu sama lain (Harmoko, 2012).
B. Struktur Keluarga
Struktur keluarga terdiri atas:
1. Patrilineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan ini disusun
melalui garis keturunan ayah.
2. Matrilineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan ini disusun
melalui garis keturunan ibu.
3. Matrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama
keluarga sedarah dari istri.
4. Patrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama
keluarga sedarah dari suami.
5. Keluarga kawinan, adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi
pembinaan keluarga dan beberapa sanak saudara yang menjadi
bagian dari keluarga karena adanya hubungan dengan suami istri.
B. Etiologi
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2
golongan
besar yaitu : ( Lany Gunawan, 2001 )
1. Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak
diketahui penyebabnya,
2. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit
lain.
Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90 % penderita hipertensi,
sedangkan 10 % sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder.
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti
penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa yang
sering menyebabkan terjadinya hipertensi.
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau
peningkatan tekanan perifer.
Namun ada beberapa yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:
a. Genetik: Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau
transport Na.
b. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang
mengakibatkantekanan darah meningkat.
c. Stress Lingkungan.
d. Hilangnya Elastisitas jaringan and arterisklerosis pada orang tua
sertapelabaran pembuluh darah.
C. Penyebab hipertensi
1. Elastisitas dinding aorta menurun
2. Katub jantung menebal dan menjadi kaku
3. Kemampuan jantung memompa darah menurun. 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah
menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
4. Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena
kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
5. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. Meskipun
hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-
data penelitian telah menemukan beberapa akibat yang sering
menyebabkan terjadinya hipertensi.
Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor keturunan. Dari data terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang
tuanya adalah penderita hipertensi. Ciri perseorangan. Ciri
perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
Umur (jika umur bertambah maka TD meningkat), Jenis kelamin
(laki-laki lebih tinggi dari perempuan), Ras (ras kulit hitam lebih
banyak dari kulit putih).
2. Kebiasaan hidup
D. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor
ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda
spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai akibat seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana system
saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor
pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran
ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang
pembentukan a angiotens in I yang kemudian diubah menjadi a angiotens
in II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi angiotens in oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan
retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan
volume intra vaskuler. Semua angiot ini cenderung mencetuskan keadaan
hipertensi untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan
fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan
tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh
darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya
dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
E. Manifestasi Klinis
F. Penatalaksanaan
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan
pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi:
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua
jenis penatalaksanaan:
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis:
1. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat
menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas
rennin dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
2. Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan
dengan batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti
berjalan, jogging, bersepeda atau berenang.
b. Penatalaksanaan Farmakologis.
Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulkan intoleransi.
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Golongan obat – obatan yang diberikan pada klien dengan
hipertensi seperti golongan diuretic, golongan betabloker,
golongan antagonis kalsium, golongan penghambat konversi
rennin.
G. Komplikasi
Dalam perjalannya penyakit ini termasuk penyakit kronis yang dapat
menyebabkan berbagai macam komplikasi antara lain:
1. Stroke
2. Gagal jantung
3. Gagal Ginjal
2. DIABETES MELITUS
A.Definisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang
bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan
individu yang mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar
glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang
ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative
insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).
B.Klasifikasi
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes
Association’s Expert Committee on the Diagnosis and Classification of
Diabetes Melitus, menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu:
(Corwin, 2009)
1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes
Melitus tergantung insulin (DMTI)
b. Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon
autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas,
sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau
toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat
menimbulkan destuksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor
genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Diabetes Melitus tak tergantung insulin
(DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat.
DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun
dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari
sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat
dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport
glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI
terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal
ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor
yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi
penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan
system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan
sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price,
1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga
Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non
Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang
merupakan suatu kelompok heterogen bentuk- bentuk Diabetes
yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi
terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak. Faktor risiko
yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II,
diantaranya adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di
atas 65 tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik
D. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi
glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial
(sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika
glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih
(poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan
kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam
keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa
baru dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada
penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan
lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan
terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi
badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam
basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang
diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri
abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila
tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan
kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut
dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan
disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan
komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus
pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di
dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan
penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang
tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang
berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa
yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka
awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya
dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit
yang lama sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur
(jika kadra glukosanya sangat tinggi).
E. Manifestasi Klinis
1. Diabetes Tipe I
a. Hiperglikemia berpuasa
b. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c. Keletihan dan kelemahan
d. Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah,
hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran,
koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
a. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah
tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang
sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
c. Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit
vaskular perifer)
F. Penatalaksanaan
1. Medis
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya
komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap
tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadi
hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada
lima komponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu :
a. Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat :
1) Memperbaiki kesehatan umum penderita
2) Mengarahkan pada berat badan normal
3) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati
diabetic
4) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita
5) Menarik dan mudah diberikan
Prinsip diet DM, adalah :
1) Jumlah sesuai kebutuhan
2) Jadwal diet ketat
3) Jenis : boleh dimakan / tidak
b. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM,
adalah :
1) Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan
setiap 1 1/2 jam sesudah makan, berarti pula mengurangi
insulin resisten pada penderita dengan kegemukan atau
menambah jumlah reseptor insulin dan
meningkatkan sensivitas insulin dengan reseptornya
2) Mencegah kegemukan bila ditambah latihan pagi dan sore
3) Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen
4) Meningkatkan kadar kolesterol – high density lipoprotein
5) Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan
akan dirangsang pembentukan glikogen baru.
6) Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah
karena pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
c. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan
kepada penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau media
misalnya: leaflet, poster, TV, kaset video, diskusi kelompok, dan
sebagainya.
3. STROKE
1. DEFINISI
Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan
harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi
otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan
peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja
(Muttaqin, 2008).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler.
Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran
darah otak (Corwin, 2009). Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah
kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke
bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama
beberapa tahun (Smeltzer et al, 2002)
2. ETIOLOGI
Penyebab stroke menurut Arif Muttaqin (2008):
1. Thrombosis Cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami
oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat
menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Thrombosis
biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis
dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral. Tanda dan gejala neurologis memburuk pada 48 jam
setelah trombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan
thrombosis otak:
a. Aterosklerosi
Aterosklerosis merupakan suatu proses dimana terdapat suatu
penebalan dan pengerasan arteri besar dan menengah seperti
koronaria, basilar, aorta dan arteri iliaka (Ruhyanudin, 2007).
Aterosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta
berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan
dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
1) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran
darah.
2) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi trombosis.
3) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan
kepingan thrombus (embolus).
4) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian
robek dan terjadi perdarahan.
3. PATOFISIOLOGI
Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap
area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah
ke otak dapat berubah (makin lmbat atau cepat) pada gangguan lokal
(thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena
gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung).
Atherosklerotik sering/ cenderung sebagai faktor penting terhadap
otak, thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat
beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau
terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa
sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia
jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan
dan edema dan kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan
disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema
dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukan
perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak
terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh
embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika
terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembukluh darah maka
akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada
pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan cerebral, jika
aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik
dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat
luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan
penyakit cerebro vaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi
destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial dan yang lebih
berat dapat menyebabkan herniasi otak.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer
otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke
batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga
kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel
untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia
lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang
relatif banyak akan mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan
mentebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya
drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta
kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan
neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya tertekan
lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume
darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada
perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila
terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc
diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah
5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Misbach, 1999 cit
Muttaqin 2008)
4. MANIFESTASI KINIS
Stoke menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Stroke akan
meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak akan membaik
sepenuhnya.
1. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau
hemiplegia)
2. Lumpuh pada salah satu sisi wajah anggota badan (biasanya
hemiparesis) yang timbul mendadak.
3. Tonus otot lemah atau kaku
4. Menurun atau hilangnya rasa
5. Gangguan lapang pandang “Homonimus Hemianopsia”
6. Afasia (bicara tidak lancar atau kesulitan memahami ucapan)
7. Disartria (bicara pelo atau cadel)
8. Gangguan persepsi
9. Gangguan status mental
10. Vertigo, mual, muntah, atau nyeri kepala.
5. KOMPLIKASI
Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalmi
komplikasi, komplikasi ini dapat dikelompokan berdasarkan:
1. Berhubungan dengan immobilisasi è infeksi pernafasan, nyeri pada
daerah tertekan, konstipasi dan thromboflebitis.
2. Berhubungan dengan paralisis è nyeri pada daerah punggung,
dislokasi sendi, deformitas dan terjatuh
3. Berhubungan dengan kerusakan otak è epilepsi dan sakit kepala.
4. Hidrocephalus
Individu yang menderita stroke berat pada bagian otak yang
mengontrol respon pernapasan atau kardiovaskuler dapat meninggal.