Anda di halaman 1dari 3

1. Terimakasih atas kepada kelompok penyaji atas presentasinya. Saya ingin bertanya.

Pada bagian
Necessary Cause, disebutkan bahwa, paparan suatu penyebab tidak selalu menimbulkan suatu
penyakit, kira-kira bagaimana maksudnya? Boleh dijelaskan lagi? Terimakasih.
Jawaban : Pada Necessary Cause, suatu agen penyebab tidak harus selalu menimbulkan
penyakit, jika tidak disertai, dengan faktor-faktor pendukung lainnya. Sebagai contoh, orang-
orang yang terkena virus HIV melalui jarum suntik, sangat jarang untuk berkembang menjadi
AIDS (3/1000). Hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor pendukung lain untuk virus tersebut
agar bisa berkembang menjadi AIDS, seperti virulensi, jalur masuk, sistem imun, usia, status
gizi, penyakit komorbid, dll. Tidak sama halnya seperti dengan Virus Hepatitis B, yang
memiliki virulensi yang lebih besar walaupun dengan jalur entry virus yang sama, seperti
melalui jarum suntik.
Hal ini berbeda dengan Sufficient Causes, dimana suatu Cause dapat langsung menimbulkan
efek secara langsung. Tanpa membutuhkan faktor-faktor pendukung. Namun, penyakit-
penyakit degeneratif ataupun penyakit-penyakit infeksius sangat jarang membutuhkan satu
cause tunggal untuk terjadinya penyakit tersebut.
Sebagai contoh, orang dengan kelainan enzim fenilalanin hidroksilase akan langsung
menyebabkan penyakit fenilketouria. Nah pada contoh ini, terjadinya fenilketouria tidak
membutuhkan faktor lain selain kelainan enzim tersebut.
Kira-kira seperti itu.

2. Terimakasih kepada dr. Juliandi atas kesempatan bertanyanya. Saya ingin menanyakan kepada
kelompok penyaji, Dari studi tentang Causation ini, Apa implikasi Causation yang dapat kita
terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai seorang klinisi? Terima kasih.
Jawaban : Causation membantu klinisi untuk melakukan pendekatan terhadap preventif,
diagnostik, dan kuratif. Sebagai contoh, pada masa pandemi Covid-19 ini, klinisi pertama kali
menganggap ini sebagai suatu viral pneumonia atau Wuhan Pneumonia, namun dari
penelitian diketahui bahwasanya virus Sars-Cov-2 dapat diekstraksi dari pasien-pasien
dengan pneumonia viral tersebut. Dan virus tersebut memberikan penyakit yang sama jika
ditularkan kepada orang lain. Hal ini menunjukkan ada hubungan kausal antara virus Sars-
Cov-2 dengan Covid-19. Dan sesuai juga dengan yang dikemukakan oleh Postulat Koch. Dari
hal tersebut, klinisi dapat menegakkan diagnosis Covid-19 jika virus Sars-Cov-2 dapat
dibuktikan melalui pemeriksaan RT-PCR. Dari studi mengenai pandemi ini, diketahui bahwa
Virus Sars-Cov-2 ini mempunyai kemampuan penularan melalui yang tinggi. Sehingga diteliti
secara epidemiologi hubungan kausal dan efek tersebut. Sehingga dapat diketahui tindakan
preventif nya yaitu dengan memakai masker, physical & social distancing, mencuci tangan,
dan lain-lain. Walaupun sampai saat ini belum ditemukan target terapi untuk pasien-pasien
tersebut, namun virus tersebut sudah bisa di ekstraksi dan di inokulasi, sehingga untuk
kedepannya diharapkan studi kausal sebelumnya dapat berkembang dan menemukan obat
untuk penyakit ini.

3. Terimakasih atas presentasinya yang baik sekali. Yang ini saya tanyakan, berdasarkan presentasi
yang dibacakan oleh penyaji, hubungan kausal dan efek merupakan hal penting dalam studi
epidemiologi. Menurut kelompok penyaji, desain penelitian apa yang paling baik untuk
menentukan hubungan kausal dan efek? Terimakasih.
Jawaban : Berdasarkan hirarki studi desain penelitian dalam menentukan hubungan kausal dan
efek, yang paling baik adalah studi dengan desain Well Conducted Randomized Controlled
Trial. Dan juga harus dengan beberapa kriteria seperti harus dengan jumlah sampel yang
cukup, blinding dari analis, pasien, dan peneliti dan tanpa loss to followup. Namun demikian,
studi ini banyak tersangkut oleh masalah etis. Karena untuk mencari hubungan kausal dan
efek, seorang peneliti harus mengikuti perjalanan dari penelitian ini, yaitu mulai dari awal
paparan penyebab, sampai timbulnya penyakit. Sebagai contoh, seorang peneliti ingin
meneliti hubungan kausal dan efek dari merokok terhadap kanker paru. Masalah yang timbul
dengan desain penelitian ini adalah, hal tersebut tidak etis untuk dilakukan randomisasi
intervensi terhadap kelompok mana yang mendapat perlakuan kausal tersebut. Dan juga
tidak etis untuk kita ikuti sampai timbulnya kanker paru, padahal sudah kita ketahui
intervensi tersebut bersifat harmful. Kira-kira seperti itu.

4. Kemampuan cohort study dan case control dalam membuktikan hubungan kausal dan efek
sama-sama bersifat “moderate”, Menurut penyaji, ada yang lebih superior gak diantara kedua
disain penelitian tersebut dalam membuktikan hubungan kausal dan efek.
Jawaban: Well Conducted Cohort Study merupakan study pilihan berikutnya setelah RCT. Hal ini
dikarenakan studi tersebut dapat meminimalisasi faktor bias confounding, bias selection,
dan bias pengkuruan. Dibandingkan dengan case control dimana study tersebut masih
sangat rentan terhadap bias confounding dan bias pengukuran dan bias selection. Sebagai
contoh, pada studi kohort sampel sangat mungkin untuk terjadi recall bias. Pada
confounding bias case control contohnya adalah paparan yang kita anggap sebagai kausal
belum tentu merupakan penyebab untuk terjadinya suatu penyakit. Karena selama
perjalanan sampai timbulnya penyakit seorang peneliti tidak mengikuti perkembang
sampel tersebut. Sehingga sangat mungkin selama perkembangannya banyak faktor-faktor
yang ikut dalam terjadinya penyakit.

5. Bagaimana kita bisa mengetahui suatu hubungan tersebut bersifat sebab-akibat atau bukan?
Jawaban: Banyak hal yang bisa kita jadikan dasar untuk mengetahui suatu sebab-akibat
atau bukan. Pertama kita lihat dulu dari desain penelitian studi tersebut. Jika studi tersebut
dengan desain penelitian Well Conducted Randomized Controlled Trial, maka studi tersebut
memiliki kemampuan yang paling baik dalam menilai hubungan kausal. Jika desain
penelitiannya sebuah cohort study, ataupun case control study, maka kedua study tersebut
memiliki kemampuan yang “moderate” untuk menilai hubungan kausal. Jika studi tersebut
dengan desain penelitian cross sectional, apalagi sebuah case series, maka kedua studi
tersebut memiliki kemampuan yang lemah dalam menilai hubungan kausal. Selanjutnya
kita juga dapat melihat kriteria Bradford Hill. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi, maka
penelitian tersebut semakin kuat dalam menilai hubungan yang bersifat kausal. Seperti
yang sudah dijelaskan di slide sebelumnya, terutama untuk penelitian-penelitian yang
bukan Randomized Controlled Trial, ada 9 kriteria Bradford Hill dapat membantu untuk
melihat apakah penelitian tersebut bersifat kausal atau hanya berhubungan biasa. Kriteria
tersebut yaitu Strength, Plausibility, Consistency, Temporality, Dose-Response Relationship,
Specificity, Coherence, Analogy, dan Reversibility.

6. Apakah necessary cause sama dengan faktor resiko, atau adakah hubungan necessary cause dan
faktor risiko untuk timbulnya suatu penyakit?
Jawaban: Tidak, kedua hal tersebut memang 2 hal yang berbeda. Necessary cause merupakan
faktor mutlak untuk timbulanya suatu penyakit, namun necessary cause tidak dapat berdiri
sendiri sehingga suatu penyakit tersebut muncul. Hal ini lah yg berkaitan antara faktor
risiko dan necessary cause, dimana faktor risiko melancarkan suatu penyebab sampai
timbulnya suatu penyakit. Sbg contoh: untuk timbulnya suatu penyakit lepra dibutuhkan
mutlak patogen mycobacterium leprae, namun tidak semua orang yg pernah terinfeksi
dengan mycobacterium leprae dapat menjadi lepra, perlu kondisi2 tertentu yg dapat
melancarkan proses tersebut hingga timbul klinis lepra, sbg contoh org2 dengan
imusupresan, atau kontak erat yg lama dengan penderita lepra, kondisi2 inilah yg kita sebut
sbg faktor risiko sehingga nacessary cause tersebut dapat berlanjut menjadi penyakit

7.

Anda mungkin juga menyukai