Anda di halaman 1dari 15

ILMUIMAN.

NET: Koleksi Cerita, Novel, & Cerpen Terbaik


Cerita Kira-kira Sejarah (16+). 2017 (c) ilmuiman.net. All rights reserved.

Berdiri sejak 2007, ilmuiman.net tempat berbagi kebahagiaan & kebaikan lewat novel-
cerpen percintaan atau romance, dan cerita non fiksi.. Seru. Ergonomis, mudah, & enak
dibaca. Karya kita semua. Pembaca yang sensi dengan seloroh ala internet, silakan
stop di sini. Segala akibat menggunakan atau membaca, sepenuhnya tanggung jawab
pembaca. Terima kasih & salam.

***

Kira-kira Sejarah Lampung


Asal Muasal Lampung

Asal muasal interaksi Sumatra-India.. konon dimulai sejak ada ekspedisi angkatan laut
dari Kerajaan Rau (Rao) di India, di sekitaran tahun 88M. Yang memimpin ekspedisi
disebutkan bernama Sri Nuruddin Arya Passatan. Dari situ, mestinya berita-berita
tentang sumatra mulai beredar di India (dan bisa juga terus menyebar kemana-mana).
Lalu ekspedisi berikutnya dipimpin putra mahkota kerajaan Rao, Sri Mapuli Dewa Atung
Bungsu, sekitar 179M. Ekspedisi besar, disebutkan membawa tujuh kapal, dan terus
labuh di Pulau Seguntang atau sekarang sudah menyatu dengan keseluruhan pulau
Sumatra menjadi Bukit Seguntang, di sekitar Palembang masa kini. Lalu dialah yang
mulai menyebut Sumatra pertama kali. Soal benar-tidaknya, akurat tidaknya cerita ini,
wallahualam. Kenyataannya, catatan-catatan sejarah tentang sumatra baru sahih di
sekitaran abad ke-6 atau ke-7 saja. Tapi, bisa kita kira-kira, interaksi india-sumatra,
amat masuk akal memang sudah dimulai dari sekitaran abad ke-1 itu, yang terus orang-
orang Indianya menyebar lebih jauh lagi, pulau demi pulau, ke berbagai tempat di
nusantara dan tidak cuma bagian sumateranya saja.

Nusantara, mulai kocap di negeri Cina pada abad ke-7 kira-kira. Selain mencatat
Sriwijaya, mereka ada menyebut Tolang Pohwang yang kemungkinan dimaksudkan
Lampung. Jaman Majapahit juga ada negeri yang mirip: Tulang Bawang (?). Pakar
sejarah nusantara sempat bilang, pada sekitar masa itu, ada bukti-bukti bahwa
Lampung itu bagian dari kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Jambi (atau sekitar
Palembang). Eksis kurang lebih Sriwijaya itu sampai abad ke-11. Dulunya, Lampung itu
jadi sumber komoditas emas dan damar. Belakangan: pala. Buktinya antara lain
prasasti: Palas Pasemah, Prasasti Batu Bedil. Dan sebagai bawahan Sriwijaya, mana
letaknya deketan juga, mestinya secara budanya juga jadi bermiripan pada masa itu.
Sebelum dibawahi oleh Sriwijaya, ada juga yang bilang, daerah Lampung ini (sebagian)
sempat dibawahi oleh Tarumanagara.
Salah satu budaya tua dari India, sekitar gangga yang terbawa ke Sumatra disebut
kebudayaan Kaganga, kental dengan budaya Hindu/Buddha, ada punya aksara sendiri
juga (masuk sebelum era masehi). Aksara Kaganga itu dikenal dengan berbagai nama.
Di pedalaman Batanghari Sembilan Jambi, dikenal sebagai tulisan encong. Di sumatra
selatan umumnya disebut tulisan ulu. Di Aceh dinamai tulisan rencong. Di sumatera
utara dan daerah Batak disebut tulisan pustaha atau tulisan tapanuli. Konon, daerah
nusantara yang pakai tulisan kaganga cuma Sumatra dan Sulawesi (total ada 22 spot
wilayah); sedangkan di luar wilayah itu, tulisan yang dikenal umumnya huruf pallawa
atau hanacaraka, yang datang belakangan (setelah masehi). Yang juga berakar dari
India bersama masuknya falsafah Hindu, terus nyebarnya di seantero Jawa dan Bali.

Abad ke-7 dan ke-8, disebut-sebut di daerah Lampung ini selain kerajaan Tulang
Bawang, ada sebutan Skala Brak atau Sekalabrak. Diperkirakan berlokasi di sekitar
Menggala, Sungai Tulang Bawang, sampai Pagar Dewa. Diriwayatkan setelah
kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung penyebar Islam, Kerajaan Skala Brak Hindu-
Budha kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak yang bercorak islam dan
terletak di kaki Gunung Pesagi (gunung tertinggi di Lampung). Bisa jadi di daerah
Lampung ini, lebih kuat pengaruh Sriwijaya, yang kemudian salah satu pecahannya
berkembang menjadi kerajaan Pagaruyung, daripada pengaruh Majapahit. Walaupun,
ada yang bilang, Pagaruyung dan Majapahit itu satu-aliansi (atau malah satu
kesatuan?). Dan juga, di prasasti-prasasti Majapahit, ada disebut juga Tulang Bawang,
alias Sekalabrak itu.

Sebelum era itu, menurut cerita turun-temurun, masyarakat Lampung mula-mula


bermukim di daerah Sekalabrak itu. Daerah ini disebutkan berada di sekitar Gunung
Pesagi hingga tepian Danau Ranau. Menurut kajian seorang pakar, Oliver Sevin,
sekitar abad ke-14 terjadi migrasi dari Sekalabrak menyebar ke seluruh Lampung,
digerakkan oleh seorang tokoh yang disebut Empu Cangih atau Datu Di Puncak,
pemimpin yang berkuasa di puncak Gunung Pesagi. Sang Empu sendiri sempat
singgah menetap di Selabung, lalu pindah lagi ke Canguk Gaccak. Tidak lama
bermukim, komunitas itu mendapati di hulu telah bermukim komunitas Rio Kunang,
yang merupakan turunan Datu Di Pemanggilan, dari Pyang Semedekaw. Kebetulan,
anggota Datu Di Puncak juga ada yang keturunan Puyang Semedekaw, yaitu tokohnya
disebut Beliyuk.. Mereka pun lalu bergabung dan membangun perkampungan bersama.

Beberapa lama aman tentram, lalu ada pemberontakan Raja Di Lawuk, dari Laut Lebu.
Kerabat Datu Di Puncak, yaitu Nunyai, Unyi, Subing, Nuban, Bulan, Beliyuk, Kunang,
Selagai, dan Anak Tuha kemudian bersama-sama coba mengatasi Raja Di Lawuk itu.
Akhirnya, Subing yang berhasil membalaskan dendam, menaklukkan lagi Raja Di
Lawuk. Setelah perayaan di daerah Gilas tepi (Sungai) Way Besay, lantas terbentuklah
masyarakat Abung Siwa Mega.

Di Canguk Gaccak itu ada tinggalan batu-batu megalitik, meja batu ceper dolmen yang
berkaki empat, komplek makam Minak Trio Diso, komplek makam Rendang Sedayu, di
sekeliling rimbunnya perkebunan kopi Lampung. Ada susunan batu melingkar, dan batu
yang ditancapkan berdiri (menhir), dan seterusnya. Ada 12 kelompok tinggalan. Ada
juga benteng tanah yang dilengkapi parit, membentang dari tepi (sungai) Way Abung di
selatan, hingga tepi (sungai) Way Tamiang di utara. Di situ juga ada temuan pecahan
keramik asing. Asal Cina, dari masa dinasti Song (abad ke-10 dan 13) dan dinasti Yuan
(abad ke-13 dan 14).

Adanya peninggalan jaman batu itu mengindikasikan pada satu masa, peradaban di
Lampung sekelas dengan peradaban tinggi jaman batu lainnya di dunia ini. Tinggalan
dolmen di Canguk Gaccak, mengindikasikan di jaman batu mereka sudah mengenal
budaya spiritual. Dolmen itu juga kadang jadi tempat duduk raja (atau kepala suku)
ketika pertemuan atau ritual pemujaan. Dolem yang dilengkapi menhir, itu canggih lagi.
Menhir sering jadi medium penghormatan, penampung kedatangan roh, sekaligus
lambang dari tokoh besar. Indikasinya.. sementara yang lain masih belum bersatu, di
Lampung itu sudah dikenal sistem organisasi sosial. Dan sisa-sisanya terus
dipertahankan sampai munculnya Datu Di Puncak yang disebut di atas.

Abung siwa mega atau bermakna "masyarakat dari sembilan marga", itu terdiri dari
marga: (1) Unyai, (2) Unyi, (3) Nuban, (4) Beliuk, (5) Kunang, (6) Anak Tuho, (7)
Selagai, (8) Nyerupa, dan (9) Subing. Keturunan dari sembilan pihak yang bersama-
sama (secara demokratis?) menumbangkan Raja Di Lawuk yang sempat merebut
kekuasaan dan represif. Empat yang besar: (1) Unyai mengikuti WAY RAREM, (2) Unyi
mengikuti WAY SEPUTIH, (3) Nuban mengikuti WAY BATANG HARI, dan (4) Subing
mengikuti WAY PENGUBUAN TERBANGGI. Mereka punya adat yang relatif keras dan
disiplin, dan unik juga.

Selain komunitas adat Abung Siwa Mega, di Lampung ada lagi Mego Pak, dan Pubian
Telu Suku. Telu Suku ini mengenal tiga marga: (1) Suku Masyarakat, (2) Tambak
Pupus, (3) Buku Jadi. Tambak Pupusnya sendiri ada terbagi jadi dua sub-marga: yaitu
marga Way Semah dan marga Balau. Buju Jadi, meliputi terbagi lagi jadi lima sub-
marga atau paksi: (1) Paksi Rulung Lok; (2) Paksi Gedung Gumanti; (3) Paksi Bumi
Agung; (4) Paksi Pemanggulan; (5) Paksi Mirakbatin.

Dan masih ada juga beberapa komunitas lain. Kesemua komunitas itu, dan marga-
marganya.. garis besarnya memegang adat yang masih satu benang merahnya, yang
disebut Adat Pepadun. Yang masih taat pada pemimpin adat, layaknya mereka
mematuhi seorang raja atau kepala daerah. Walau polanya, bukanlah model monarki
absolut, tapi lebih mendekati demokrasi. Ada musyawarat dan mufakat. Pepadun atau
Pepadun Sai Batin sendiri maknanya mendekati makna "berpadu-paduan atau berpadu
dalam satu batin". Kurang lebih, sistem adat seperti itulah yang mewarnai akar budaya
Lampung (sampai sekarang?) Mohon maaf ini kalau ceritanya tidak terlalu akurat,
berhubung tulisan di internet juga ada berbagai versi. Dan juga, punten pisan, agak
rumit untuk dipahami oleh orang luar.

Besar kemungkinan, selepas dari Sriwijaya, sampai saat menginduk pada Pagaruyung
(yang di belakangnya ada Majapahit?), Lampung itu semi independen dengan
keunikannya itu. Terus dan terus, sampai jaman kesultanan islam. Kalau mau didalami
lagi cerita-cerita jaman Tulang Bawang itu, di internet banyak beredar juga. Hanya,
akurasinya wallahualam, dan juga, relevansinya terkait ke-nusantara-an juga tidak
terlalu meluas dampaknya. Jadi di tulisan ini, belum kita dalami. Tapi, dasar
kemasyarakatannya yang tidak berpusat pada satu tokoh raja itu (tapi lebih berpusat
pada satu lembaga demokratis yang dipimpin oleh kepala adat), membuatnya sulit
untuk ditaklukkan tuntas oleh siapapun. Sehingga, walhasil, sepanjang waktu..
cenderungnya komunitas-komunitas di Lampung ini semi independen dalam
kesehariannya. Tapi berhubung tidak punya kekuatan militer digdaya, kalau dibilang
independen bener juga enggak.

***

Lampung Jaman Kumpeni

Lampung kemudian menginduk pada Kesultanan Banten, yaitu terutama pas di Banten
bertahta Sultan Hasanudding (1522-1570). Dan di masa ini, Lampung dikenal karena
komoditas lada. Berkat Lampung pula, kesultanan Banten jadi dikenal sebagai eksportir
lada kemana-mana. Dan itu pula yang kemudian menarik perhatian para penjelajah
eropa. Sekaligus juga yang 'mengislamisasi' Lampung (secara lebih tuntas, dan
mengikis hal-hal non-islam yang semula masih campur baur) adalah kesultanan
Banten. Yang kemudian, setelah Banten-nya melemah, dirangsek Belanda, Lampung-
nya tidak mau begitu saja tunduk pada Belanda, dan salah satu penentang yang dikenal
oleh sejarah Indonesia adalah pemimpin Lampung bernama Raden Inten atau Radin
Intan. Selain adanya tokoh itu tadi, dasarnya kebudayaan Lampung asli, sudah turun
temurun dari lama sekali, memang serba demokratis dan terdiri dari kelompok-
kelompok kecil marga atau buay seperti yang diceritakan di atas.

Kalo boleh dikisahkan lagi sedikit, jadi,.. jadi selepas letusan Krakatau (yang pertama)
tahun 1682,.. kesultanan Banten yang semula digdaya terus tergerus oleh Belanda.
Sultannya idealis, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa, tapi putra mahkotanya, yaitu Sultan Haji
maunya pragmatis saja, dan cenderung berkawan dengan VOC Belanda. Menajamlah
perbedaan itu jadi perang saudara yang diperkeruh dengan adanya VOC.. dan lalu,
VOC bersama Sultan Haji yang memenangkan gegeran itu. Sultan Ageng Tirtayasa
beserta segenap jajaran yang setia padanya digusur.. terus naik tahtalah Sultan Haji.

Tentu, bantuan VOC tidak gratis sifatnya. Sultan Haji, lalu meneken perjanjian Agustus
1682, yang menetapkan bahwa sejak itu, kontrol atas perdagangan rempah-rempah
Lampung diserahkan kepada VOC. Di Lampung, VOC mendapat hak monopoli (dari
Sultan Banten, Sultan Haji), tapi realitanya, Sultan Haji ini tidaklah terlalu dianggep oleh
orang-orang Lampung yang umumnya setia penuh pada pemimpin adatnya masing-
masing yang banyak, dan para pemimpin adat itu punya mekanisme musyawarah
sendiri.. yang kurang lebih kesimpulannya: mereka semua itu cenderung anti VOC dan
anti untuk mengikuti aturan monopoli yang dipaksakan (kecuali kepepet). Mungkin juga
mereka masih cenderung respeknya pada Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu khususnya
pemimpin-pemimpin Lampung yang drop-dropan Banten atau blasteran Banten.

VOC yang tidak mengetahui hal itu, Agustus 1682 itu juga datang ke Lampung,
membawa armada yang diiringi armada Banten. Labuh di Tanjung Tiram. Pemimpinnya
Vander Schuur yang membawa surat mandat dari Sultan Haji. Sampai di sana,..
mereka celingak-celinguk.. tidak berhasil mendapatkan lada sebanyak yang diinginkan,
karena diboikot abis oleh orang-orang Lampung.

VOC jadi ragu juga. "Ini Lampung beneran selama ini di bawah Sultan Banten atau
independen, sih?" Belakangan, berulah mereka paham bagaimana sistem kehidupan
sosial di Lampung yang sebetulnya lebih mirip republik perwakilan dari satu monarki
absolut. Jadi, selama masa Banten, rupanya wakil-wakil Sultan Banten di sana yang
disebut Jenang atau Gubernur itu.. beserta jajarannya, itu sekedar traders saja.
Memimpin sektor perdagangan internasional, tetapi bukannya menguasai sendi-sendi
kemasyarakatan secara menyeluruh.

Sedangkan urusan lain siapa yang pegang?

Ternyata seperti tadi disebut, segala urusan kemasyarakatan lain.. terpencar-pencar,


nyebar pada tiap-tiap desa atau kota atau kepala adat setempat-setempat. Oleh Banten
disebut Adipati, sebagaimana di pulau Jawa, tetapi Adipati di sana tidaklah tunduk
patuh seratus persen pada Gubernur yang menjadi tuannya, melainkan gubernur atau
jenang itu sering kali bertindaknya cuma sebagai koordinator, yang arahan-arahannya
itu tidak langsung dilaksanakan.. melainkan bisa didiskusikan dulu secara demokratis.
Bahkan,.. tanpa gubernur pun, para pemimpin adat secara rukun damai turun-temurun
sudah biasa saling bermusyawarah sendiri. Dan rakyat banyak, tunduknya itu pada
pemimpin adat masing-masing, bukan kepada gubernur. Selain punya rakyat, para
pemimpin adat itu punya komoditas pula! Di sisi lain, selama ini, Banten punya armada
angkatan laut dan armada perdagangan internasional. Dan mereka mau-mau saja
berinteraksi dengan pola rundingan. Jadi, hubungan Banten-Lampung selama ini klop
bener. Lha,.. yang apa-apa maunya rundingan dan musyawarah begitu.. terus mau
dipaksa suruh tunduk pada VOC tanpa rundingan.. tentu tidak sudi, bukan?

Bagi VOC, kalau mau rundingan dengan pemimpin adat satu demi satu.. kapan
selesainya? Kalau pakai kekerasan.. pemimpin bisa diciduk,.. itupun perlu lama juga
karena jumlah pemimpin lokal itu banyak tersebar.. Habis itu, seluruh rakyat terus
antipati... gimana? Capek juga toh! Walhasil, pola kemasyarakatan yang seperti itu
menjadikan Lampung punya semacam ketahanan nasional yang solid. Bravo!

Walhasil, terus sampai VOC-nya bubar menjelang 1800, Lampung itu tidak beneran
tunduk pada Belanda. Habis VOC bubar, perang Napoleon. Inggris dan sekutu,
melawan Perancis dan sekutu. Belanda kala itu, kebetulan jadi sekutu Napoleon. Maka,
oleh Inggris diseranglah daerah-daerahnya. Raffless yang dipasrahi Asia Tenggara
terus menduduki Lampung di daerah Semangka tahun 1811. Setelah damai lagi di
eropa, jajahan-jajahan di nusantara oleh Raffles dan pemerintah Inggris dikembalikan
kepada Belanda. Walau begitu, daerah Lampung tidak termasuk yang dikembalikan.
Menurut Raffles, berdasarkan realita di keseharian, Lampung itu bukan jajahan
Belanda! Jadi, tetap dia anggap sebagai koloni Inggris (yang baru), melengkapi koloni
yang sebelumnya, yaitu Bengkulu.

Setelah dirunding bolak-balik, barulah akhirnya Lampung itu diserahkan pada Belanda.
Demikian pula, Bengkulu diserahkan pada Belanda. Di tukar dengan daerah-daerah
milik Belanda, yang ada di semenanjung. Yaitu antara lain: Singapura dan satu spot
lagi. Sejak itu, full semenanjung Malaka jadi wilayah Inggris keseluruhannya, sedangkan
Sumatra, bagian selatan full milik Belanda. Sedang bagian utaranya, ada kerajaan
besar Aceh, kedaulatannya diakui oleh Belanda maupun oleh Inggris. Dan ditempatkan
sebagai penyeimbang. Yaitu, perjanjiannya itu tahun 1827-an kira-kira.

Habis perjanjian itu, barulah terus Belanda pegang Lampung lagi, terus menunjuk
Residen Lampung untuk memimpin di sana. Walau begitu, secara kesehariannya..
masyarakat Lampung seperti sedia kala, relatif independen dan semuanya ingin
dirundingkan secara adat.

***

Lampung Jaman Hindia Belanda

Sebelum muncul Residen Lampung itu, mewarisi era Banten, di Lampung itu pemimpin
yang berada di puncak adalah Radin Inten (bertahta sejak 1817). Selama Belandanya
melemah, Radin Inten menguat! Selain compang-camping pasca perang Napoleon,
untuk dicatat juga, tahun 1815 ada letusan Gunung Tambora yang dahsyat.

Begitu sudah sukses menggusur Inggris dari Lampung, Belanda yang kuatir di
Lampung Radin Inten susah dipegang, terus kirim ekspedisi. Dipimpin oleh asisten
residen Krusemen. Tidak dengan kekerasan, tapi dia datang dengan gaya diplomasi ala
Banten saat pertamanya dulu mereka merangkul Lampung. Hasil diplomasi, akhirnya
disepakati ada tiga pokok kesepakatan.

Belanda dan Raden Inten setuju, (1) Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari
Belanda sebesar 1.200 gulden setiap tahun; (2) Kedua saudara Radin Inten, masing-
masing akan memperoleh bantuan pula sebesar 600 gulden setiap tahun; (3) Radin
Inten tidak akan lagi meluaskan wilayah, selain dari desa-desa yang sampai saat itu
berada di bawah pengaruhnya.

Bagi Belanda, dianggap ini selesai urusan. Kepada dunia internasional, dia bisa
katakan, Lampung sekarang bagian dari Hindia Belanda, kerajaan bawahan. Di sisi lain,
bagi Radin Inten, perjanjian itu dianggapnya seperti perjanjian dengan Banten masa
sebelumnya. Tiga hal itu oke, tapi di luar hal itu, dia berdaulat penuh; atau kalau
memang ada kemauan lain dari Belanda, ya mestinya dirundingkan dulu. Lama-lama,
dia lihat, Belanda sepertinya sok merajai. Demikian pula, sepertinya pendapat
masyarakat luas. Sama sekali gaya-gaya Belanda tidak sesuai adat Lampung. Ya
iyalah! Wong dasarnya mereka itu orang Belanda!

Bagi orang luar, mungkin itu terasa aneh, ya. Wong orang Belanda, kok diharap bisa
bersikap seperti adat Lampung. Tapi bagi orang Lampung, mungkin mereka berharap,
dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Toh saat Banten berkuasa, di tanah
Lampung orang-orang Banten mau kok menyesuaikan diri dengan adat Lampung untuk
banyak hal.

Disiplin adat yang keras, diinjak-injak oleh Belanda. Raden Inten batinnya berontak.
Rakyat Lampung juga batinnya berontak. Lama-lama, mereka merapatkan barisan
beneran, sehingga gerakannya lalu menjadi meluas, tidak cuma masalah batiniah.

Tahun 1825 Belanda mengirimkan ekspedisi lagi. Kali ini untuk bersikap keras
menangkap Radin Inten, dipimpin oleh Liliever. Gagal total. Radin Inten dan
pengikutnya bahkan bisa menyerbu tuntas benteng Belanda dan membunuh Liliever
berserta para anggotanya. Belanda tidak bisa apa-apa lagi. Disebabkan karena di
Jawa, keadaan genting. Perang Diponegoro berkecamuk. Masyarakat Lampung pun
berjaya.

Toh tahun 1825-nya itu sendiri, Raden Inten terus meninggal dunia, bukan terbunuh
oleh Belanda. Keselek ikan asin sepertinya juga bukan. Putranya lantas naik tahta:
Radin Imba Kusuma.

Selepas perang Diponegoro.. pasukan Belanda yang kawakan, yang kaya pengalaman
tempur di Jawa, lantas napsu lagi untuk membalaskan dendam yang tertunda. Mereka
merangsek lagi ke Semangka 1830, menyerbu Radin Imba Kusuma. Tidak berhasil
tuntas. Lalu ofensif lagi 1833, menyerbu benteng pertahanan Radin Imba Kusuma lagi,
tetapi tetap tidak berhasil juga mendudukinya. Lalu konsolidasi lagi, Belanda menunjuk
satu perwira militer sebagai asisten residen sekaligus komandan pasukan tempur..
dengan kekuasaan penuh, ngapain aja boleh, mau lincek-lincek di tengah prapatan,
atau mau nyunat celeng sekali pun dipersilakan. Dan terus,.. dasarnya juga tentara-
tentaranya makin bisa adaptasi dengan kondisi di Lampung, dan Radin Imba
Kusumanya sendiri juga terkepung begitu lama makin melemah.. akhirnya, benteng
Imba Kusuma berhasil juga direbut 1834. Cuma Radin Imba Kusumanya sendiri,
beserta sisa pasukan, meloloskan diri, menyingkir ke Lingga.

Sayang di sayang, warga di Lingga, para pemimpinnya tidak mau diajak angkat senjata
melawan Belanda. Mereka rundingan seperti biasa,.. dan biasanya toh mereka
menyelesaikan segala sesuatu yang besar dengan rundingan bukan? Perang ogah,
rundingan oke. Eh, Imba Kusuma kok ngajakin perang. Jadi permintaannya ditolak.
Kepada Belanda, mereka ngajak rundingan, Belandanya mau menghentikan gegeran
dan serangan. Yaitu asal warga Lingga menyerahkan Imba Kusuma.
Segera saja, para pemimpin dan warga Lingga lantas menangkap Imba Kusuma dan
menyerahkan pada Belanda. Tidak disebutkan apakah ditangkap juga seluruh sisa
pasukannya, tetapi kira-kira, mestinya sisa pasukannya banyak yang diajak rundingan
saja oleh orang Lingga, dan dibiarkan bubar sendiri-sendiri, tidak semuanya diserahkan
pada Belanda.

Nggak mikir pasukan tersisa yang bubar, Belanda sudah nangkep Imba Kusuma sudah
cukup puas. Radin Imba Kusuma ini lantas dibuang, diasingkan ke Pulau Timor. Di
hitung dari 1817, jadinya.. sampai 1834 itu.. Lampung sempat merdeka sendiri
sekitaran 17 tahun! Bisa jadi, Imba Kusuma itu diasingkan, dan bukannya dihukum mati,
juga karena Belanda makin paham dengan budaya Lampung. Atau itu bagian dari
rundingan juga. Habis itu, barulah Belanda bisa mendudukkan residen di Lampung
yang beneran punya legitimasi.

Damai sebentar, di bawah tanah.. rakyat pedalaman terus melakukan perlawanan.


Bagaimanapun, sesuai dengan pola republik-demokratis ala Lampung, apa yang
disepakati di Lingga, itu bukanlah kesepakatan seluruh rakyat.

Untuk meredam gejolak, Belanda lantas menjalankan "jalan halus". Ada rundingan. Ada
rundingan setengah mengancam. Dan ada rundingan yang disertai hadiah-hadiah. Tapi,
bagaimanapun juga belangnya Belanda sudah terlalu kasat mata di seantero Lampung.
Jadi komunitas yang anti Belanda ada terus, tak pernah padam.

Belanda jadi merasa tidak aman. Teruslah Belanda membentuk tentara bayaran. Terdiri
dari orang-orang Lampung sendiri, untuk melindungi kepentingan Belanda, khususnya
di Telukbetung dan sekitarnya. Berkembanglah kemudian, kota Telukbetung atau
Tanjung Karang itu menjadi kota Belanda, yang dinamai Oosthaven (atau Pelabuhan
Timur makna leksikalnya). Kelak di jaman Jepang, nama Oosthaven dihapus, balik lagi
Telukbetung atau Tanjung Karang sampai jaman kemerdekaan. Dan sekarang, kalau
tidak salah namanya jadi Bandar Lampung.

Cuma, balik lagi ke era akhir abad ke-19 itu, rakyat Lampung kemudian berhimpun lagi.
Semula diam-diam, lama-lama jadi kokoh persatuannya dan siap angkat senjata.
Sebagai pemimpin, tampil Radin Inten II yang merupakan anak Radin Imba Kusuma.
Sabotase dan serangan-serangan Radin Inten II ini sempat lumayan merepotkan
Belanda, sampai akhirnya.. Radin Inten II ini berhasil ditangkap, dan dibunuh, oleh
pasukan-pasukan kawakan, yang secara khusus didatangkan dari Batavia.

Sejak itu, barulah Belanda leluasa. Perlawanan rakyat mereda. Di Lampung itu, mereka
lalu mengembangkan perkebunan kaitsyuk, tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit.
Lantas, untuk pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu, 1913 dibangun jalur kereta api
Telukbetung-Palembang.

Keunikan, kegigihan, daerah Lampung ini berlanjut di masa kemerdekaan. Maret 1964,
kemudian Keresidenan Lampung diubah menjadi Daerah Tingkat I, Provinsi Lampung.
Kejayaan Lampung di masa lalu sebagai sumber lada hitam mengilhami para
senimannya untuk antara lain mencipta lagu "Tanoh Lada". Bahkan, lada hitam muncul
di lambang daerah.

Selain wikipedia, situs Sejarah Lampung juga dijadikan nara sumber tulisan ini dan
banyak diringkaskan. Plus tentu seperti biasa, ditambah materi dari berbagai sumber.

***

Tentang Radin Inten II

Radin Inten II, yang sekarang namanya diabadikan jadi nama bandara (semula Branti),
nama IAIN Lampung, dan seterusnya, itu pahlawan nasional. Ada yang menyebutkan,
leluhur Radin Inten II ini masih turunan Fatahilah. Dan juga turunan Putri Sinar Alam,
seorang putri dari Minak Raja Jalan Ratu dari Keratuan Pugung, cikal-bakal pemegang
kekuasaan di keratuan tersebut. Radin Inten II ini putra tunggal Radin Imba II gelar
Kesuma Ratu (1828-1834) alias Radin Imba Kusuma. Dan Radin Imba II itu, putra
sulung Radin Inten I (Dalam Kesuma Ratu IV, 1751-1828). Jadi, Radin Inten II cucu
Radin Inten I, yang juga berontak melawan Belanda sebagaimana diceritakan di atas.

Saat Radin Inten II lahir 1834, kurang lebih bersamaan dengan saat ayahnya dibuang
ke Pulau Timor. Istrinya yang hamil tua tidak diikutkan ke pengasingan, tetap di
Lampung. Saat itu, keratuan Lampung dipegang dewan perwalian, kumpulan para
pemimpin adat, yang dikontrol oleh Belanda.

Sampai sang ayah meninggal, dia tidak pernah bisa melihat Lampung lagi. Jadi, Radin
Inten II tidak pernah kenal ayahnya. Dia cuma mendengar dari ibunya dan orang-orang,
bahwa ayahnya pernah dinobatkan sebagai Ratu Negara Ratu. Setelah dewasa (umur
sekitar 16 tahun?), Radin Inten II ini mendapat dukungan rakyat untuk mengobarkan
perlawanan (lagi) melawan Belanda. Dukungan rakyat cukup luas, bahkan ada pula
dukungan-dukungan dari sejumlah komunitas di Banten yang masih dendam pada
Belanda. Salah satunya tokoh Banten pelarian yang ikut berjuang di Lampung adalah H.
Wakhia, yang terus jadi penasehat Radin Inten II. H. Wakhia menggerakkan
perlawanan di Semangka dan Sekampung, dan intensif menyerang pos-pos militer
Belanda. Tokoh lain yang juga berjuang: Singa Beranta, Kepala Marga Rajabasa.

Selain berhasil menghimpun dukungan rakyat secara luas, Radin Inten II bisa juga
mendirikan benteng-benteng, dari baru, atau dengan mengoptimalkan benteng-benteng
bekas. Dia juga sukses mendatangkan meriam-meriam, lila, dan senjata tradisional.
Logistik makanan, beras, ternak, juga disiapkan di dalam benteng untuk menghadapi
perang dan pengepungan yang berlarut. Semua benteng pertahanannya terlindung lagi
di punggung gunung terjal, yang sulit dicapai musuh. Singa Beranta memimpin benteng
Bendulu. Radin Inten II sendiri memimpin benteng Ketimbang.
Munculnya gerakan ini, bikin Belanda kebakaran jenggot. Tahun 1851, dikirimlah 400
prajurit dari Batavia, dipimpin Kapten Jucht. Langsung tempur...

Saat coba merebut bentang Merambung, pasukan Jucht dipukul mundur pasukan
Lampung. Belanda terus ganti taktik. Kapten Kohler asisten residen di Teluk Betung
mengajak berunding.

Perundingan berkali-kali, lalu sepakat gencatan senjata. Belanda mengakui Negara


Ratu. Radin Inten II pun mau mengakui kedaulatn Belanda di tempat-tempat yang
sudah mereka duduki lama di Lampung. Rakyat dan Radin Inten II berharap, gencatan
senjata itu menjadi titik awal perdamaian sejati, sedang bagi Belanda.. itu sekedar rehat
sejenak saja, sambil dia menyiapkan pasukan yang lebih besar-besaran. Lampung itu
terlalu dekat dengan Batavia untuk dibiarkan merdeka sendiri. Dan kalau Lampung itu
merdeka, kekuasaan Belanda di Hindia Belanda kan jadinya tidak bulat, bukan?

Sebelum operasi militer, operasi intelijen pun dijalankan. Saat itu, Belanda sudah punya
banyak tentara bayaran yang asli etnis Lampung. Lewat operasi intelijen yang
digerakkan Kapten Kohler itu.. provokasi dan adu domba meluas. Ada komunitas yang
terus memusuhi Radin Inten II, misalnya komunitas Kalianda. Malah pro Belanda.

Lalu, Agustu 1856, Belanda kirim pasukan besar dalam beberapa kapal perang dari
Batavia. Komandan Kolonel Welson. Ada infanteri, artileri, dan bahkan disertai kuli-kuli
angkut. Sehari berlayar, terus labuh di Canti. Pasukannya lalu diperkuat pasukan
Pangeran Sempurna Jaya Putih, tokoh Lampung yang pro-Belanda. Tapi iringan
pasukan itu dipergoki pasukan Singaberanta dari Benteng Bendulu, sehingga tentara di
Benteng Bendulu segera bersiaga dan berkoordinasi dengan pasukan Radin Inten II di
Benteng Ketimbang, dan benteng-benteng lain pun disiagakan.

Belanda lalu kirim ultimatum: Paling lambat lima hari, Radin Inten II dan pasukan mesti
menyerahkan diri! Atau akan ditumpas habis. Singaberanta di sisi lain, dikirimi surat
diajak damai.

Radin Inten II menganggap sepi ultimatum itu, dia memperkokoh benteng-bentengnya.


Intel-intel penyusup juga dia kirim ke kantong-kantong Belanda untuk mengobarkan
perlawanan rakyat. Singaberanta juga tetap bersamanya. Sampai akhirnya, Belanda
melancarkan serangan besar 16 Agustus 1856. Yang digencer pertama Benteng
Bendulu. Pagi buta mereeka susah payah mendaki jalan terjal, jam 8 pagi sudah di
muka Bendulu. Ternyata benteng kosong! Kecele...

Singaberanta, rupanya ganti taktik. Pasukannya disebar untuk gerilya.

Habis menguasai Benteng Bendulu, sebagian pasukan Belanda menyasar Benteng


Hawi Berak. Dan berhasil menguasainya 19 Agustus 1856.
Beberapa orang dekat Singaberanta kemudian tertangkap Belanda. Dan berikutnya,
Belanda juga berhasil menyita 25 tabung mesiu, 1 meriam, 4 pucuk lila, dan sejumlah
senapan. Lalu, Belanda menyasar target utama, Radin Inten II di Benteng Ketimbang.
Kolonel Waleson membagi pasukannya jadi tiga unit. Satu bergerak dari Bendulu ke
selatan dan timur gunung Rajabasa. Satu lagi bergerak menuju Kalianda dan Way
Urang, menetralisir benteng Merambung, dan dari situ baru Ketimbang. Unit ketiga
merangsek dari Panengahan, merebut benteng Salai Tabuhan, lalu menyerang
Ketimbang. Rencananya begitu. Ternyata sulit juga.

Kesulitan utamanya, Belanda belum tahu rute jalan ke Ketimbang. Google map belum
ada. Jelas belum! Waze apalagi... Penduduk yang diinterogasi tidak mau menunjukkan
juga. Ujungnya, pasukan yang langsung dipimpin Kolonel Welson, sudah menduduki
Hawi Berak, terpaksa balik ke Bendulu. Unit yang dipimpin Mayor Van Ostade tertahan
pertempuran di Kelau beberapa lama, tapi terus berhasil mencapai Way Urang. Di situ
penduduknya pro-Belanda. Mereka lalu juga berhasil merebut benteng Merambung.

Baru 26 Agustusnya, Belanda tahu bahwa benteng Ketimbang itu dekat benteng
Merambung. Kolonel Welson lalu membawa pasukannya menyerbu Ketimbang subuh
27 Agustus 1856. Di Galah Tanah, mereka dihadang, tapi pasukan Belanda yang lebih
digdaya terus memenangkan pertempuran. Dihadang lagi di Pematang Sentok, sukses
lagi memenangkan pertempuran, walau pasukan yang masih terus bisa lanjut ke
Ketimbang cuma sebagian saja. Siang hari, baru tiba di tkp.

Pasukan lain pun didatangkan. Pasukan Pangeran Sempurna Jaya Putih juga datang.
Ternyata, benteng Ketimbang sudah dikosongkan juga. Hanya saja, di benteng itu
Belanda menemukan bahan makanan dalam jumlah banyak.

Habis itu, gerilya lawan anti gerilya. Welson kirim patroli-patroli ke berbagai tempat
untuk mencari Radin Inten II, sementara Radin Inten II juga menyebar berita palsu. Saat
di pelarian ini, Radin Inten II kira-kira umurnya 22 tahunan. Sudah jauh lebih dewasa
dan matang dari saat pertama dia mengangkat senjata di usia sekitar 16-17 tahun.

"Woi! Radin Inten sudah menyerah di Way Urang!" Pas dicari ke sana, sepi sunyi.
Seorang informan perempuan kasih berita bahwa Radin Inten ada di Rindeh cuma
ditemani beberapa orang, ternyata Belanda terkecoh juga. Susah payah Belanda
melacak, sampai suatu ketika, pasukannya berhasil menemukan persembunyiannya.

Segera, persembunyiannya dikepung, tetapi, Radin Inten II berhasil meloloskan diri.


Dua setengah bulan, tentara-tentara Belanda terus siaga tempur. Satu demi satu
benteng tersisa terus direbut. Tetap saja Radin Inten II tidak tertangkap. Ada yang
bilang dia sudah ke utara Lampung menyeberangi Way Seputih, ada yang bilang sudah
di Pulau Sebesi di selat Sunda, macam-macam berita simpang siurnya. Beberapa lama
Kolonel Welson yang kawakan gemes sekali, merasa dipermainkan oleh anak culun
berumur 22 tahun. Sampai kemudian, dia dapat akal. Dia peralatlah Radin Ngerapat.
Radin Ngerapat yang terus jadi pro-Belanda, kemudian mengundang Radin Inten II
untuk rundingan ala Lampung. Dalihnya ingin membicarakan bantuan.

Saat akhirnya Radin Inten II mau datang ke Kunyanya sesuai perjanjian, tahu-tahu dia
diserang oleh Radin Ngerapat dan anak buahnya. Serdadu Belanda pun bermunculan.
Perkelahian tidak seimbang, dan Radin Inten II pun terus tewas dalam perkelahian
sampai mati itu. Mayatnya yang sudah bonyok abis itu terus ditunjukkan pada Kolonel
Welson. Selesai sudah perlawanannya.

Rakyat Lampung yang setelah itu kembali lagi balik jadi komunitas-komunitas kecil yang
tersebar, setelah itu tidak pernah berhimpun lagi jadi kekuatan besar, dan terus
Belanda pun lebih leluasalah mengkolonikasi Lampung, seperti mereka mengkolonisasi
Jawa. Toh karakter orang-orang Lampung yang keras, berjiwa independen, dan solid
kesatuan marganya tetap eksis, sampai sekarang. Diwarnai lagi kemudian dengan
datangnya orang-orang Jawa yang migrasi. Dan orang Belanda yang kosmopolit.
Membuat budaya Lampung semakin unik.

Sekitar 27 tahun setelah kematian Radin Inten II, seolah "the mother nature of
Lampung" tidak rela, tanah Lampung itu dijajah Belanda. Bencana alam super
kemudian terjadi. Gunung Krakatau meletus 27 Agustus 1883. Korban jiwanya konon
sampai 120 ribu, itu yang diestimasi orang sebagai korban langsung. Sedangkan
korban tidak langsung entah berapa. Batavia dan seantero negeri Hindia Belanda
mengalami kerugian dan kemunduran luar biasa. Bahkan seluruh dunia, iklim kacau
selama kurang lebih lima tahun. Notabene, kepulauan dan gunung Krakatau itu di selat
Sunda lebih dekat ke Lampung kan daripada ke Banten. Andai pemuda gagah berani
Radin Inten II itu masih hidup, saat itu umurnya sekitar 49 tahun. Cerita tentang
meletusnya Krakatau itu ada di tulisan lain.

Kalau dihitung sejak Radin Inten II dibunuh itu, yaitu 1856, sampai 1942 saat Jepang
mengusir Belanda, maka Lampung itu terjajah Hindia Belanda secara bener-bener
bulat-bulat cuma sekitar 86 tahun. Cuma sekitar tiga generasi saja.

***

Catatan-Catatan Lain Tentang Lampung

Kuatnya disiplin adat di Lampung, tercermin juga dengan adanya bahasa Lampung!
Bahasa ini termasuk cabang Sundik, rumpun Melayu-Polinesia barat, dekat dan
berkerabat dengan bahasa Sunda, Batak, Jawa, Bali, Melayu, Madura.. dan
sebangsanya. Bahasa Lampung punya dua subdilek: Pertama, Dialek Api atau Dialek
Belalau (A) yang dipakai oleh ulun Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih
Rajabasa, Balau Telukbetung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan
Daya (yang beradat Lampung Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang
beradat Lampung Pepadun). Kedua, Dialek Nyo atau Nyow (O), yang dipakai oleh ulun
Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun).
Aksara lampung ternayta juga ada, disebut Had Lampung yang mirip aksara Pallawa
dari India Selatan. Tulisannya fonetik model Huruf Arab pake model fathah di baris atas,
dan kasrah di bawah, tapi tidak ada dammah di baris depan melainkan pake tanda di
belakang, masing-masing tanda puna nama sendiri. Faktor Arab juga mempengaruhi.
Had Lampung serumpun dengan Aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu, dan
Aksara Bugis. Terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda, dan gugus
konsonan. Juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut
dengan istilah Kaganga, ditulis dan dibaca kiri-kanan, dengan Huruf Induk 20. Versi
kuno lebih ruwet. Tapi kemudian disempurnakan dan disimplifikasi. Sekarang masih
diajarkan di sejumlah sekolah.

Kalau dipikir, mengapa budaya Lampung asli bisa seunik itu? Bisa jadi, karena berakar
pada suatu kebudayaan tua yang punya lokal wisdom didasarkan pada pengalaman-
pengalaman empirik lama sekali. Juga karena tantangan alam. Sampai sekarang,
hutan-hutan di Lampung belumlah semua terambah peradaban. Bisalah dibayangkan
pada masa lalu. Selain hutan lebat dan banyak sungai, juga bencana alam kelas wahid
beberapa kali menghantam Lampung. Letusan Krakatau yang tercatat sejarah saja dua
kali yang besar: 1680 dan 1883. Yang tidak tercatat di masa lalu, diindikasikan ada
sekali lagi yang amat dahsyat, yang bisa juga, kenyataannya lebih dari satu kali. Secara
demografinya, penduduk juga relatif sedikit dibanding kawasannya. Kombinasi
semuanya itu, membentuk karakter unik bangsa Lampung.

Beberapa tempat lain, yang karakteristiknya mirip, ternyata juga punya sikap mirip.
Contoh: komunitas Maori di Selandia Baru. Demikian pula, beberapa kepulauan Pasifik.
Guam, penduduk aslinya juga punya berkarakter mirip etnis Lampung. Guam itu daerah
keras, bencana alam juga rutin, berupa taifun samudra. Dibanding luas wilayah, jumlah
penduduk juga jarang. Akhirnya, budaya guyub-nya itu kuat. Faktor keluarga atau
marga.. itu dipegang teguh sebagai hal yang mesti secara disiplin kesatuannya, tolong-
menolongnya, solidaritasnya, kekompakannya dijaga mati-matian. Tokoh pemimpin
lokal, itu dipatuhi. Itulah yang membuat mereka selamat dari kepunahan. Mereka juga
tidak suka perang, lebih suka segala sesuatu dirundingkan saja secara musyawarah.
Buat apalah gontokan, wong tanah luas, dibanding penduduk yang cuma segitu...

Walau tidak sepenuhnya menguasai,... VOC dari lama punya kantong-kantong kawasan
di Lampung. Dan dari situ, peninggalan Belanda di Lampung mulai ada....

VOC mulai mendirikan pabrik pengolahan hasil bumi (lada) di Menggala sekitar abad
ke-17. Dan Belanda-nya berhasil menguasai Lampung sekitar 1856. Di jaman Belanda
itu pula, Lampung pertama kali dijadikan tempat untuk pilot project program
transmigrasi, memindahkan penduduk dari Jawa yang padat, ke luar Jawa (yang mirip
Jawa). Dari situlah (antara lain), di Lampung itu turun temurun terus ada komunitas
yang sebetulnya turunan Jawa. Transmigrasi jaman kolonial itu cukup diterima oleh
penduduk Jawa, khususnya yang ditempatkan di Lampung kawasan timur. Jaman
kemerdekaan, tahun 60-an dan 70-an, transmigrasi ini diteruskan. Terus dan terus,
selama masa orde baru. Bersama orang Jawa, tentu juga ikut mengalir ke sana budaya
Jawa-nya. Belakangan, yang transmigrasi juga ada penduduk asal Bali. Dan migrasi-
migrasi ini, menjadikan Lampung relatif multi-kultur. Bisa berpotensi untuk pariwisata,
tapi pariwisata juga bisa diperkuat oleh potensi alam dan flora-fauna. Sekolah Gajah
Lampung termasuk sekolah yang sulit untuk bisa dimasuki oleh manusia. Karena
memang khusus untuk gajah Sumatra! Ya iyalah!

Legacy Belanda lain di Lampung adalah kota Oosthaven itu. Oleh Jepang, terus
dibalikkan jadi Tanjungkarang-Telukbetung, mengambil dua nama distrik di kota itu, dan
dipake nama itu terus di jaman kemerdekaan, sampai kemudian diganti jadi Bandar
Lampung 1983. Dulunya, Bandar Lampung alias Oosthaven ini merupakan pelabuhan
penyeberangan utama di Jawa saat Bakaheuni masih spot kecil. Belangan, setelah
Bakaheuni dibangun jadi penyeberangan utama, jauh ke arah tenggara, jarak lautnya
lebih dekat ke Jawa, maka Bahaheuni itulah yang terus jadi penyeberangan utama
bolak-balik ke Jawanya dari pelabuhan Merak.

Masa kini, Bandar Lampung punya bandara domestik "Radin Inten II" di arah utara kota
ke arah Kotabumi. Dulunya bernama Branti. Rute utamanya ke Jakarta. Sekarang, eks
transmigran yang tinggal di Bandar Lampung juga banyak. Bikin kota itu jadi lebih multi-
kultur dibanding kota-kota propinsi lain di Indonesia. Penduduknya sekitar 1.25 juta (per
2014). Angkot juga banyak. Kereta api sudah disebutkan, juga ada sejak jaman
Belanda. Bablas sampai Palembang. Limex Sriwijaya dan Rajabasa Express.. cukup
legendaris dari beberapa lama. Saat Palembang diserbu Jepang di jaman perang, jalur
kereta ini jadi jalur evakuasi penting juga bagi orang-orang Belanda dan sekutu.
Kemudian, Oosthaven masa itu juga diramaikan oleh demolisi-demolisi oleh Belanda
sebelum mereka evakuasi ke Jawa. Setelah dikosongkan, lalu Oosthaven
dideklarasikan sebagai kota terbuka, dan terus direbut Jepang tanpa pertempuran.
Pendidikan juga cukup maju. Universitas negeri sudah lama ada: Unila, Universitas
Lampung. PTS juga ada beberapa.

Sekarang, propinsi Lampung itu terdiri dari 2 kota dan 13 kabupaten. Selain Bandar
Lampung yang kota satunya adalah Metro. Pelabuhan utamanya: Pelabuhan Panjang
dan Bakaheuni. Ada juga pelabuhan nelayan macam Pasar Ikan (Telukbetung),
Tarahan, dan Kalianda di Teluk Lampung, Kota Agung di Teluk Semangka, Labuhan
Maringgai, Ketapang, Krui. Kapal nelayan juga bisa bablas terus menyusur sungai Way
Tulang Bawang, terus labuh di Kota Menggala. Bandara perintis juga ada: Bandara
Pekon Serai di Krui, Pesisir Barat, Bandara Gatot Soebroto di Kabupaten Way Kanan,
Astra Ksetra, Lapangan terbang TNI AU di di Menggala.

Di internet belum ketemu, kapan nama Oosthaven itu mulai dikenal. Gelap. Kapan-
kapan kalau dapet mungkin tulisan ini bisa direvisi lagi.

Begitulah sementara ini. Kalau mau lebih lengkap tentang Lampung masa kini, dan
masa lalu, dan adatnya yang unik, silakan dieksplorasi di internet.
Terakhir, kalau boleh mengira-ira sedikit lagi.. bisa jadi, jaman dulunya, Lampung itu se-
nusantara juga termasuk daerah yang maju duluan, bersama Tarumanagara di daerah
Jawa Barat yang notabene juga merupakan tetangga dekat Lampung. Adanya
peninggalan masa purbakala. Adanya Sriwijaya yang juga pusatnya relatif tetangga
Lampung juga. Lalu kebudayaannya yang punya daya tahan luar biasa itu, bisa kita
kira-kira mengindikasikan.. bahwa dari lama, Lampung itu merupakan tempatnya orang-
orang yang punya 'sesuatu'. Wallahualam....

(ilmuiman.net / selesai)

Anda mungkin juga menyukai