Anda di halaman 1dari 14

TUGAS PBAK

TINDAK PIDANA GRATIFIKASI

DISUSUN OLEH

Nama : Hanna L. Emor


Nim : 7114 3011 6021

POLITEKNIK KESEHATAN MANADO


PROGRAM STUDI DIPLOMA IV JURUSAN KEPERAWATAN
2020
Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrahim
Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan
judul “Tindak Pidana Gratifikasi” ini tampa ada hambatan yang begitu sulit. Makalah ini
sebagai tugas pengganti mid test pada mata kuliah Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Makalah ini merupakan usaha keras penulis dari hasil materi kuliah yang
materinya dikutip dari buku dan beberapa sumber bacaan lain kemudian dianalisis
secara matang hingga menghasilkan suatu pemahaman bagi penulis mengenai tindak
pidana gatifikasi yang kemudian dituangkan dalam sebuah makalah.
Di dalam makalah ini terdapat beberapa pokok bahasan yang penulis akan
bahas. Pada bagian pertama akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum, dan
unsur-unsur gratifikasi. Bagian kedua membahas mengenai pelaporan, penentuan
status hukum gratifikasi, dan pembuktian gratifikasi di sidang pengadilan.
Ahirnya dengan rendah hati, penulis mengetahui akan banyaknya kekurangan
dari makalah ini, maka dari itu penulis tidak akan berhenti sampai di sini saja untuk
terus belajar terhadap semua persoalan hukum terkhusus mengenai tindak pidana
korupsi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan Allah senantiasa
memberikan limpahan keberkahan ilmunya kepada kita semua.
Billahitaufiqi Walhidayah
Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

 Manado
Penulis         

 
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ...................................................................................................  i


Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii

BAB I. PEMBAHASAN PERTAMA


A.   Pengertian Gratifikasi ............................................................................................  1
B.   Dasar Hukum Gratifikasi ......................................................................................... 3
C.   Unsur-Unsur Gratifikasi .........................................................................................  4

BAB II. PEMBAHASAN KEDUA


A.   Pelaporan Tindak Pidana Gratifikasi......................................................................... 7
B.   Penentuan Status Hukum Gratifikasi ......................................................................  10
C.   Pembuktian Gratifikasi Di Sidang Pengadilan ...........................................................  11

BAB III. PENUTUP


A.   Kesimpulan ...........................................................................................................  13
B.   Saran ...................................................................................................................  14

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................  15

 
BAB I
PEMBAHASAN PERTAMA

A.     Pengertian Gratifikasi
Gratifikasi merupakan salah satu bentuk korupsi yang selama ini banyak dipratikkan
dalam birokrasi oleh pegawai negeri dan penyelenggaraan negara, tetapi belum banyak
tersentuh hukum. Padahal dalam realitasnya, banyak mempengaruhi sikap pegawai
negeri dan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Pengertian gratifikasi dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S.
Poerwadarminta (1976: 329) adalah uang hadiahkepada pegawai di luar gaji yang telah
ditentukan. (Marwan Mas, 2014: 77).
Kata gratifikasi menurut kamus bahasa Belanda adalah “gratificatie” tetapi kata
gratifikasi yang kemudian dijadikan dasar pembentuk undang-undang merumuskan
sebagai salah satu bentuk korupsi, setidaknya mengacu pada bahasa Inggris,
yaitu “gratification”. Kata tersebut bermakna sebagai pemberian hadiah kepada
pegawai negeri ataupun penyelenggara negara yang meliputi, pemberian uang, barang,
rabat (discount), komisi, pinjaman tampa bunga, dan fasilitas lainnya. (Marwan Mas,
2014: 77).
Jika dimaknai dari beberapa gambaran mengenai gratifikasi di atas, menurut hemat
penulis gratifikasi dapat dipahami sebagai pemberian hadiah kepada pegawai negeri
atau pejabat penyelenggara negara baik berupa uang, barang, diskon, komisi, pinjaman
tampa bunga, dan fasilitas lainnya di laur daripada gajinya yang telah ditentukan demi
untuk suatu tujuan tertentu. Sudah bukan rahasia lagi, jika ingin pelayanan yang
diberikan berjalan lancar dan sesuai keinginan, harus adanya suatu pelicin ataupun
uang jasa. Jarang sekali tanpa adanya pelicin ataupun uang jasa ini, pelayanan akan
berjalan dengan lancar atau sesuai dengan keinginan. Tentu saja persoalan semacam
ini sudah sering di temukan dalama kejidupan sehari-hari. Contohnya, apabila ingin
mengurus surat-surat di berbagai instansi atau kantor supaya berjalan lancar maka
harus ada pelicin supaya lebih cepat selesai.
Dalam perkembangannya, gratifikasi bermakna sebagai sedekah dalam kaitannya
dengan pemberian hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk
mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara secara tidak benar. Definisi
gartifikasi ini konotasinya adalah penyuapan yang pada adanya janji, iming-iming, atau
pemberian keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau pegawai
negeri, langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai negeri atau pejabat
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang sah. (Muladi, 2010:
2).
Ditilik secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini
hanyalah sekadar suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada
orang lain. Tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun, seiring perkembangan
waktu, budaya, dan pola hidup pemberian yang acap disebut gratifikasi mulai
mengalami dualisme makna. Pemberian kepada pejabat pemerintah atau
penyelenggara negara selalu disertai dengan pengharapan untuk memperoleh
kemudahan mencapai kesepakatan dengan pemerintah umumnya dalam bidang
pengadaan barang dan jasa. Di sini, pihak yang diuntungkan di kemudian hari adalah
pemberi hadiah. Pada saat tender misalnya, peserta tender yang pernah memberikan
gratifikasi tentu memiliki poin lebih atau bahkan tertinggi dibanding peserta tender lain.
(Widya Ayu Rakti, 2011).
Jika dilihat perkembangan pada tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin
komplit dan para pelakunyapun selalu mencari celah bagaimana supaya undang-
undang itu dapat dimanfaatkan sehingga bisa lari dari jeratan hukumnya. Tindak pidana
korupsi sebagai suatu tindak pidana yang sudah ada sejak dulu sampai sekarang dan
terus mengalami perkembangan dalam berbagai bentuk. Dapat dikatakan bahwa
hampir semua tindak pidana mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi. Hal
itu dapat dilihat pada proses penyelesaian suatu perkara tindak pidana, di mana suatu
permainan bisa diatur oleh para penegak hukum. 

B.    Dasar Hukum Gratifikasi


Adapun dasar hukum gratifikasi (Marwan Mas, 2014: 78) diatur dalam Pasal 12 B
UU Korupsi Tahun 2001 yang dapat dikenakan pembuktian terbalik adalah sebagai
berikut:
(1)  Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang bertentangan
dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    Yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b.    Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)  Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milliar rupiah).
Penjelasan Pasal 12 B Ayat (1) : yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini
adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tampa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut,
baik yang diterima dalam negeri maupun di luar negeri dan atau dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tampa sarana elektronik.

Berdasarkan ketentuan di atas, penulis ingin mengutarakan pendapat-nya terkait


dengan Pasal 12 B Ayat (1) huruf a dan b mengenai cara pembuktian gratifikasi. Huruf
a dan b disebutkan bahwa jika gratifikasi yang diterima pegawai negeri nilainya Rp
10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, maka pembuktian bahwa itu bukan suap
dilakukan oleh si penerima gratifikasi. Tetapi, jika nilai gratifikasi yang diterima kurang
dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), maka pembuktian bahwa itu bukan suap
dilakukan oleh penuntut umum. Beban pembuktian yang dilakukan oleh penerima
gratifikasi sebagaimana yang dimaksud pada huruf a adalah pembuktian terbalik.

C.    Unsur-Unsur Gratifikasi
Menyimak ketentuan pada Pasal 12 B Ayat (1) UU Korupsi Tahun 2001, (Marwan
Mas, 2014: 79) maka unsur-unsur gratifikasi yang termasuk perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut:
a.  Subjek hukum (pelaku) yang dapat dipidana sebagai penerima gratifikasi adalah
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Yang dimaksud dengan pegawai negeri
diatur dalam Pasal 1 butir 2 UU Korupsi, yang meliputi sebagai berikut:
1.    Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tentang
kepegawaian.
2.    Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
3.    Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
4.    Orang menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah.
5.    Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang mepergunakan modal
dan fasilitas dari negara atau masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggara negara diatur dalam Pasal 1
butir 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu penyelenggara negara adalah pejabat
negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan pejabat lain yang
fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara negara yang bersih ditegaskan dalam Pasal 1 butir 2 UU No. 28
Tahun 2009, yaitu penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum
penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
perbuatan tercela lainnya. Penyelenggara negara meliputi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 sebagai berikut:
1.  Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara (tidak lagi dikenal istilah ini setelah
empat kali UUD 1945 diamandemen, tetapi hanya disebut lembaga negara.
2.  Pejabat negara pada lembaga tinggi negara.
3.  Menteri
4.  Gubernur
5.  Hakim
6.  Pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
7.  Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Yang
dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini meliputi hakim disemua tingkatan
pengadilan. Yang dimaksud dengan pejabat negara yang lain dalam ketentuan ini
misalnya, kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, wakil gubernur, dan bupati/walikota,
sedangkan yang dimaksud dengan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis adalah
pejabat yang tugas dan wewenangnya dalam melakukan penyelenggaraan negara
rawan terhadap praktik KKN yang meliputi sebagai berikut:
1.  Direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
2.  Pimpinan Bank Indonesia dan pimpinan Badan Penyehatan Pebankan Nasional
(BPPN).
3.  Pimpinan Perguruang Tinggi.
4.  Pejabat esalon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
kepolisian Republik Indonesia.
5.  Jaksa
6.  Penyidik
7.  Panitera pengadilan
8.  Pimpinan dan bedahawan proyek.
b.  Gratifikasi termasuk pemberian suap, merupakan bentuk lain dari korupsi yang dilarang
dan ditujukan secara khusus untuk diterima bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara, sedangkan penerima suap yang bukan pegawai negeri atau pelenggara negara
dapat dikenakan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999.
c.   Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya dan
tugasnya.
Menyimpulkan uraian unsur-unsur gratifikasi yang telah dijelaskan di atas, penulis
dapat menyimpulkan secara garis besar ada tiga pokok penting dalam unsur yang
harus terpenuhi sehingga dapat dikatakan sebagai gratifikasi diantaranya adalah
pegawai negeri atau penyelenggara negara, menerima hadiah dari orang lain
(pemberian hadiah dalam arti yang luas), dan berhubungan dengan jabatannya dan
berlawanan dengan kewajiban dan tusanya.
Dalam hemat penulis, pemberian hadiah bisa saja diterimah oleh pegawai negeri
atau penyelenggara negara asalkan hadiah itu tidak ada hubungannya dengan
pekerjaan atau jabatan yang dipangku-nya. Misalnya, pemberian hadiah pada saat
ulang tahun atau acara pernikahannya yang diberikan oleh saudara atau sahabanya
sendiri. Kemudian jika pemberian hadiah itu dikhawatirkan dianggap sebagai bentuk
gratifikasi, maka sebaiknya hadiah itu dipublikasikan atau dilaporkan kepada pihak yang
terkait dengan itu. Pihak penerima laporan dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).

BAB II
PEMBAHASAN
KEDUA
A.  Pelaporan Tindak Pidana Gratifikasi
Mengenai pelaporan gratifikasi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang telah menerima gratifikasi merupakan perintah Pasal 12 C
Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001. (Marwan Mas, 2014: 81). Artinya, setiap
gratifikasi yang diterima harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai berikut:
Pasal 12 C Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001:
(1)  Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 B Ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(2)  Menyampaikan laporan sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan
oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
Berdasarkan pengalaman yang acap kali ditemui, (Marwan Mas, 2014: 81) terdapat
beberapa contoh kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi.
-       Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif, karena hal ini dapat mempengaruhi
legislasi dan implementasinya.
-       Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor atau kelulusan.
-       Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan yang
jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi
(dinas pendapatan daerah), lalu lintas angkatan jalan raya (LLAJR), dan masyarakat
(preman). Apabila kasus ini terjadi, maka KPK selalu menyarangkan agar laporan
dipublikasikan oleh media massa dan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku.
-       Penyediaan biaya tambahan (fer), misalnya antara 10-20 persen dari nilai proyek.
-       Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tampa tiket yang dilakukan oleh instansi
pelabuhan, dinas perhubungan, dan dinas endapatan daerah.
-       Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada pejabat negara atau
daerah.
-       Perjalanan usaha bagi kepala daerah menjelan akhir jabatan.
-       Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanyasudah tersedia
anggaran untuk pembanguan tempat ibadah, di mana anggaran tersebut harus
dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat
menggunakan kotak amal).
-       Hadiah pernikahan untuk keluarga pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara
yang melewati batas kewajaran, baik nilai ataupun harganya.
-       Pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), paspor yang
dipercepat dengan membayar uang tambahan atau pelicin.
-       Mensponsori konfrensi internasional tampa menyebutkan biaya perjalanan yang
transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda dengan jumlah yang tidak
masuk akal.
-       Pengurusan izin usaha yang acap kali dipersulit.
Sementara itu, di dalam buku saku Memahami Gratifikasi (halaman 19) yang diterbitkan
KPK, disebutkan beberapa contoh pemberian sesuatu yang dapat dikategorikan
sebagai gratifikasi yang sering terjadi selama ini.
-       Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan oleh
rekanan atau bawahannya.
-       Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat dari rekanan kantor
pejabat tersebut.
-       Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluannyauntuk
keperluan pribadi secara Cuma-Cuma.
-       Pemberian potongan harga khusus (rabat) bagi pejabat atau pembelian barang dari
rekanan kantor pejabat.
-       Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
-       Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
-       Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja.
-       Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terimah kasih dari seseorang karena telah
dibantu sesuatu hal.
Tata cara pelaporan dan penentuan status ditegaskan dalam Pasal 16 UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bahwa setiap pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Lamporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan
dengan gratifikasi.
2.    Formulir sebagaimana yang dikamsud di atas sekurang-kurangnya memuat:
a.    Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi
b.    Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara
c.    Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi
d.    Uraian jenis gratifikasi yang diterima
e.    Nilai gratifikasi yang diterima
Dengan demikian, laporan gratifikasi wajib dilakukan penerima gratifikasi kepada KPK
paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima. Jika melewati batas waktu
30 hari kerja sejak menerima gratifikasi, tetapi tidak dilaporkan atau pengaduan dari
pihak lain (warga masyarakat atau LSM), maka KPK akan memprosesnya, termasuk
memproses pemberi gratifikasi dengan menerapkan pasal lain.

B. Penentuan Status Hukum Gratifikasi


Penentuan status gratifikasi yang dilaporkan oleh penerima gratifikasi kepada KPK
secara tegas diatur dalam Pasal 17 UU KPK sebagai berikut. (Marwan Mas, 2014: 83):
1.  Komisi pemberantasan korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja,
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi
disertai pertimbangan.
2.  Dalam menentukan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
komisi pemberantasan korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan
keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
3.  Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan pimpinan komisi pemberantasan korupsi.
4.  Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada
Ayat (3) dapat merupakan penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima
gratifikasi atau menjadi milik negara.
5.  Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan
gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
6.  Penyerahan gratifikasiyang menjadi milik negara kepada menteri keuangan, dilakukan
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkannya.
Dari ketentuan Pasal 17 UU KPK memberikan pengaturan bahwa gratifikasi yang
diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara harus dilapor kepada KPK
selambat-lambatnya 30 hari sejak gratifikasi itu diterima kemudia ditetapkan status
gratifikasi tersebut oleh Pimpinan KPK. Dalam menetapkan kepemilikan, ada dua
kemungkinan yang bisa menjadi pemilik gratifikasi tersebut, bisa ditetapkan kepemilikan
itu diberikan kepada penerima gratifikasi sendiri atau bisa juga diberikan kepada negara
dalam hal ini diberikan kepada menteri keuangan negara.
C. Pembuktian Gratifikasi Di Sidang Pengadilan
Mengenai pembuktian gratifikasi di depan sidang pengadilan menurut Pasal 12 B UU
Korupsi Tahun 2001 bisa dengan dua cara sebagai berikut. (Marwan Mas, 2014: 84).
1.  Gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, dikenakan pembuktian terbalik, yaitu
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Dengan demikian, bukan lagi penuntut umum yang harus membuktikan dakwaannya,
tetapi penerima gratifikasi yang harus membuktikan dakwaan penuntut umum bahwa itu
bukan sebagai gratifikasi.
2.  Gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktiannya bahwa gratifikasi
tersebut bukan suap tetap dilakukan oleh penuntut umum sama dengan pembuktian
perkara pidana pada umumnya.
Pembuktian terbalik merupakan salah satu pembuktian yang menekankan bahwa
terdakwa (penerima gratifikasi) yang harus membuktikan di depan sidang pengadilan
bahwa yang diterima itu bukan gratifikasi. Namun, gratifikasi yang dilaporkan kepada
KPK sebelum batas waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima, tidak akan diproses
secara hukum oleh KPK. Artinya, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi, tetapi dilaporkan kepada KPK sebelum batas waktu yang telah
ditentukan di atas, maka tidak akan dijadikan tersangka atau terdakwa. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 12 C Ayat (3) UU Korupsi Tahun 2001 bahwa KPK dalam
waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan, wajib menetapkan
bahwa gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negar.
Kemudian dilanjut pada ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, yang
menentukan bahwa “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:
1.  Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya, atau
2.  Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dari ketentuan Pasal 12 B dan Pasal 5 Ayat (1) menurut hemat penulis, memberikan
pengaturan bahwa tidak ada yang bisa lepas dari jeratan sanksi hukum baik yang
menerima maupun yang memberi. Artinya apabila yang menerima melaporkan atas apa
yang diterimanya kepada KPK dan itu terbukti merupakan gratifikasi maka yang
diproses hukum adalah yang memberikan gratifikasi bukan yang menerima. Apalagi jika
penerima tidak melaporkan, maka keduanya tentu saja bisa diproses hukum.
Dapat dikatakan bahwa gratifikasi merupakan salah satu model korupsi yang
berbentuk suap dalam arti luas, tetapi khusus ditujukan kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara. Selain itu, tindak pidana gratifikasi ancaman hukumannya
cukup tinggi, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling
banyak Rp 1 milliar.
Perlu ditekankan lagi bahwa gratifikasi yang tidak dilaporkan kepada KPK dan
kemudian diketahuinya dari laporan masyarakat atau LSM, maka penerima dan
pemberi gratifikasi akan diproses secara hukum. Kecuali jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada KPK dalam waktu yang telah ditentukan, maka
yang diproses hukum hanyalah yang memberi gratifikasi tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Gratifikasi
merupakan bagian dari korupsi yang pada pratiknya banyak terjadi di lingkungan
birokrasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya banyak terjadi sogok menyogok atau suap yang dilakukan oleh
seorang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara demi memperlancar
urusannya.
Gratifikasi pada umumnya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, namun belakangan
ini dianggap sebagai suatu tindak pidana akibat banyaknya orang yang
mempergunakan pemberian hadiah itu dengan maksud tertentu secara melawan
hukum. Gratifikasi yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, bilamana
gratifikasi tersebut diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajibannya.
Gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara diharuskan
melakukan pelaporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini bertujuan untuk
menentukan status hukum dan kepemilikan dari gratifikasi. Kepemilikan gratifikasi yang
ditetapkan oleh pimpinan KPK bisa diberikan kepemilikannya kepada yang
menerimanya atau kepada negara melalui menteri keuangan.
Penerima gratifikasi yang melaporkan gratifikasi yang diterimanya dalam jangka
waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak diproses hukum melainkan
yang diproses hukum adalah orang yang memberikan gratifikasi tersebut. Jika
gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak
dilaporkan dan diketahui setelah adanya laporan dari masyarakat atau LSM, maka
penerima ataupun pemberi gratifikasi akan diproses hukum.

B. Saran
Sejauh ini, dalam perkembangan instansi penegak hukum dalam memperantas
korupsi sangat gencar. Komisi Pemberantasan Korupsi semakin berani menindaklanjuti
para koruptor tampa melihat dari segi jabatannya. Apalagi KPK dianggap sebagai
penegak hukum yang super body. Tugas dan kewenangan KPK yang memiliki banyak
kelebihan diibandingkan dengan penegak hukum lain menjadikan KPK semakin banyak
mengungkap kasus korupsi. Meskipun KPK selalu ingin dikurangi atau dibatasi
kewenangannya dengan merevisi UU KPK.
Sebagai saran, KPK harus mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya dalam
menegakkan hukum dan memerangi tindak pidana korupsi sebagai instansi yang saat
ini dipercaya penuh oleh masyarakat. Dengan berbagai prestasi yang dimilikinya, KPK
semakin dikenal dan dipercaya oleh masyarakat sebagai satu-satunya instansi yang
bersih dan dapat membersihkan korupsi di negeri ini.

DAFTAR PUSTAKA
Mas, Marwan. 2014. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gali Indonesia. Ciawi-
Bogor.
Muladi. 2010. Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan    dan
Penanggulangannya. Makalah dalam Seminar Nasional “Suap,Mafia Peradilan,
Penegakan Hukum dan Pembaharuan Hukum Pidana” Kerjasama FH UNDIP dengan
KY di Semarang pada tanggal 10 Maret 2010. Blogspot.com.
Rekti, Ayu Widya. 2009. Memperlurus Makna Gratifikasi. http://rektivoices.
wordpress.com /2009/05/25/ diakses pada 20 April 2017.

Anda mungkin juga menyukai