Anda di halaman 1dari 9

Landasan Penelaahan Ilmu

(Ontologi Ilmu, Epistemologi Ilmu, dan Aksiologi Ilmu)

Disusun Oleh:

Ghassani Nabila Qisthi 041211332032

Niluh Made Dian 041211332033

Khairanis Yulita 041211332034

Dea Kelfinta Azhar 041211332035

Rahma Frida Ratri 041211332036

Defria Arif Winandra 041211332037

Silmi Herlina Jami‘ 041211332038

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Airlangga
Surabaya
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam terhadap hakikat ilmu.
Filsafat ilmu hendak menjawab pertanyaan – pertanyaan mengenai hakikat ilmu tersebut, antara
lain: (i) objek apa yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh ilmu; dan (iii) untuk apa ilmu
ilmu digunakan.
Pertama, sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek yang ditelaah ilmu, antara
lain: bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap
manusia (misalnya berpikir, merasa, dan mengindera)?
Kedua, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu antara lain dengan pertanyaan: bagaimana prosedurnya? Hal – hal apa yang harus
diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apa kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?
Ketiga, untuk apa ilmu itu dipergunakan antara lain diperkaya dengan pertanyaan –
pertanyaan: bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah – kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan – pilihan moral? Bagaimana
hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma –
norma moral/profesional?
Keempat, kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan – landasan ilmu, yakni
kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok kedua merupakan landasan
epistemologi, dan kelompok yang terakhir merupakan landasan aksiologi ilmu pengetahuan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dikemukakan yaitu “Apa yang dimaksud dengan ontologi
ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu serta bagaimana relevansi ketiga landasan itu dengan
ilmu politik dan antropologi?”
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Landasan Penelaahan Ilmu

2.1.1 Ontologi ilmu

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles.

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud dan logos berarti ilmu. Ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud
hakikat yang ada. Objek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat
dijangkau panca indera. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.

Sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda, ontologi bertugas
untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai
dengan wujud penampakannya atau tidak?” Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah
beberapa aliran dalam filsafat, antara lain: (i) filsafat materialisme; (ii) filsafat idealisme; (iii)
filsafat dualisme; (iv) filsafat skeptitisme; dan (v) filsafat agnostisisme.

Adib (2011: 70) dalam Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok
permasalahan yang menjadi objek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (Benar-
Salah), (b) etika (Baik-Buruk), dan (c) estetika (Indah-Jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini
lanjut Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat
keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum
dalam metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang ideal, terangkum
dalam politik. Kelima cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan politik
– menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang
mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori
ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang
dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Demikian pula
manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah badan hidup yang kita kenal dan bisa
berpikir. Benda-benda yang kita lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa
berubah. Karena itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan, kopi atau gambaran dari idea-
ideanya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera ini hanyalah
khayal dan ilusi belaka.

Argumen ontologis kedua diajukan oleh St. Augustine (354 – 430 M).
Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada
kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang benar, tetapi
terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran.
Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa diatasnya masih ada suatu kebenaran tetap
(kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal
dalam usahanya mengetahu siapa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang
mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.

2.1.2 Epistemologi ilmu

Berasal dari kata epitisme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu.
Epistemologi berarti ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara memperolehnya.
Epistemologi juga disebut sebagai cabang ilmu filsafat yang membicarakan tentang cara
memperoleh pengatahuan atau membahas tentang cara, teknik dan prosedur mendapatkan ilmu
dengan metode non-imiah, ilmiah dan problem solving.

Keith Lehrer menyatakan bahwa terdapat tiga perspektif dalam epistemologi yang
berkembang di Barat:

1. Dogmatic epistemology : pedekatan tradisonal terhadap epistemologi terutama Plato.


Dalam epistemologi, ontologi harus diasumsikan dulu ada lalu ditambahkan dengan
metode epistemologi, setelah realitas dasar diasumsikan ada, baru kemudian ditambahkan
epistemologi untuk menjelaskan bagaimana kita mengetahui realitas tersebut.
2. Critical epistemology : mempertanyakan dulu secara kritis baru diyakini.
Descartes berpendapat bahwa apa yang kita ketahui adalah terbatas pada ide-ide yang
adalah jiwa kita; skeptis bahwa kita dapat mengetahui secara langsung objek di luar diri
kita tanpa melalui jiwa kita.
3. Scientific epistemology

Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran
pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran dilakukan: (i) menemukan kebenaran dari masalah;
(ii) pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran; (iii) pengamatan dan eksperimen untuk
menemukan kebenaran; (iv) operasionalisme; (v) konfirmasi kemungkinan untuk menemukan
kebenaran; dan (vi) induksi dan presuposisi atau teori untuk menemukan kebenaran fakta.
Adapun secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi, yaitu rasionalisme dan
empirisme.

2.1.3 Aksiologi ilmu

Aksiologi ilmu adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai
suatu kehidupan. Aksiologi juga disebut teori nilai, karena ia dapat menjadi sarana orientasi
manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental, yaitu bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak? Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang menyeroti
masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah nilai dan
kegunaan itu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia
atau tidak.

Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu
terhadap pengembangan ilmu itu serta dalam meningkatkan kualitas hidup manusia. Tujuan
dasarnya adalah menemukan kebenaran atas fakta “yang ada” atau sedapat mungkin ada
kepastian kebenaran ilmiah.
Contoh: pada Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah mempengaruhi
tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian laboratorium, ternyata terbukti
bahwa teori tersebut benar. Ilmu ini bermanfaat meningkatkan kesejahteraan dalam bidang
pertanian.

2.2 Relevansi epistemologi, ontologi, dan aksiologi dengan ilmu politik

Relevansi ilmu politik dengan ketiga landasan ilmu tersebut adalah sama – sama
mempelajari tentang hakikat manusia dalam masyarakat politik. Ilmu politik berelevansi dengan
ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu yang berada, misalnya ilmu politik mempelajari
tentang semua teori politik pada masa yang lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Mempelajari ilmu politik diperlukan suatu ilmu pengetahuan, informasi, penalaran, maka
disinilah peran epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan
inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Dikatakan bahwa sifat
pengamatan adalah konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar – benar dapat
diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Dasar epistemologis diperlukan oleh para politisi untuk mengembangkan ilmunya secara
produktif dan bertanggung jawab. Inti dasar epistemologi ini adalah agar dapat ditentukan bahwa
dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu politik dan antropologi tidak hanya
mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu politik dan
sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problematika sendiri sekalipun
tidak dapat hanya menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell &
Stanley, 1963).
Dasar aksiologis ilmu politik yaitu kemanfaatan teori politik tidak hanya perlu sebagai
ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik – baiknya bagi
pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai ilmu
politik tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai
ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar – dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui
kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan maningkatkan pengaruh yang positif dalam politik.
Namun, harus diakui bahwa ilmu politik belum jauh pertumbuhannya dibandingkan
dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku, khususnya di Indonesia. Implikasinya ialah
bahwa ilmu politik lebih dekat kepada ilmu perilaku kepada ilmu – ilmu sosial, dan harus
menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu – ilmu terdapat unifikasi satu – satunya
metode ilmiah (Karl Pearson, 1990).

2.3 Relevansi ontologi, epistemologi, aksiologi dengan ilmu antropologi

Relevansi antropologi dengan ketiganya adalah sama-sama mempelajari tentang hakikat


manusia. Ontologi membahas segala sesuatu ada sehingga ilmu antropologi berelevansi dengan
ontologi. Ilmu antropologi mempelajari semua kebudayaan manusia dulu, sekarang, dan yang
akan datang.

Mempelajari antropologi dibutuhkan suatu ilmu pengetahuan, informasi, penalaran yang


merupakan peran epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan: antropologi fisik
ditekankan pada susunan tubuh manusia, antropologi budaya ditekankan pada hasil karya, dan
antropologi sosial ditekankan pada hubungan manusia. Ketiganya ini merupakan ilmu yaitu
pengetahuan yang telah disusun dan dibuktikkan serta diakui kebenarannya. Suatu filsafat
membicarakan tentang hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan, dan hubungan tadi
yang disebut antropologi metafisik. Antropologi metafisik terdiri dari :

 Monisme, manusia terdiri dari satu asas yang bermacam jenisnya, misalnya jiwa,
materi, atom, dsb. Menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
 Dualisme, manusia terdiri dari dua asas yang tidak berhubungan, misalnya jiwa-raga.
 Triadisme, manusia terdiri dari tiga asas, misalnya badan,jiwa, dan roh.
 Pluralisme, manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api udara, air, dan tanah.

Ilmu antropologi mempelajari sesuatu yang konkret, artinya isi yang diamati adalah
sesuatu yang benar-benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia. Selain itu,
berguna sebagai pengetahuan dalam kehidupan manusia yang merupakan peran landasan
aksiologi.
BAB III KESIMPULAN

Landasan ilmu adalah sebagai berikut, pertama, landasan ontologis yaitu tentang objek
yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas.
Karena diversifikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu
mempunyai landasan ontologi yang berbeda.

Kedua, landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah
sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua
disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verifikasi.

Ketiga, landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam
rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan
ilmu terhadap pengembangan ilmu itu serta dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.

Keempat, landasan logika ilmu. Ilmu pengetahuan diciptakan dan diperuntukkan untuk
dapat diterima oleh penalaran manusia (logis), rasional, atau masuk akal. Prinsip – prinsip umum
logika dipilahkan dalam logika deduksi (silogisme) dan logika induksi.

Relevansi ilmu politik dan antropologi dengan ketiga landasan tersebut adalah sama –
sama mempelajari tentang hakikat manusia. Ilmu politik dan antropologi mempunyai relevansi
dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu yang ada. Mempelajari ilmu politik dan
antropologi diperlukan suatu ilmu pengetahuan, informasi, dan penalaran. Di sinilah peran
epistemologi. Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat
ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Sifat pengamatan adalah konkret seperti
halnya ilmu politik dan antropologi yang mempelajari sesuatu yang konkret, artinya isi yang
diamati adalah sesuatu yang benar – benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2011. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamersma, Harry. 2008. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai