kalimat adab disebut, yang terlintas dalam kebanyakan benak kita adalah kesopanan,
etika atau akhlak. Sejumlah buku menerjemahkan adab dengan kesopanan. Singkatnya,
kebanyakan memahami adab sebagai tindak-tanduk atau perilaku yang baik.
Jika ditelaah, adab memiliki kedudukan sangat istimewa, penting dan strategis dalam
agama Islam. Ia bukan sekedar perilaku dzahir (a’malul jawarih), tetapi juga aktivitas
jiwa dan akal.
beberapa kalam para ulama terdahulu menunjukkan sikap mendahulukan adab
daripada ilmu.
1. Abdurrahman bin al-Qosim (ahli fikih madzhab Maliki dari Mesir yang disebut-sebut
murid utama bahkan pewaris ilmu fikih Imam Malik) mengatakan: “Aku berkhidmat
kepada imam Malik radhiallahu ‘anhu selama dua puluh tahun. Selama itu, dua
tahun aku belajar ilmu, dan delapan belas tahun belajar adab. Seandainya aku
jadikan semua rentang waktu tersebut untuk belajar adab”.
2. Sebagian ulama menasihati anaknya: “Wahai anakku, belajar satu bab adab itu
sesungguhnya lebih aku sukai daripada kamu belajar tujuh puluh bab ilmu”.
Karena itu, kemungkinan para ulama menulis bab-bab tentang adab yang ditujukan oleh para
penuntut ilmu, pelajar, dan al-murid (penganut jalan tariqah sufiyah) dengan landasan pemikiran
pentingnya adab dalam agama.
1. ada kitab yang sangat masyhur “Ta’lim al-Muta’allim Thoriq al-Ta’lim” karya imam al-
Zarnuji.
3. Ibnu Muqaffa’ menulis kitab “al-Adab as-Shaghir” dan “al-Adab al-Kabir”, yang
disebut Rosailu al-Bulagho’.
4. Imam al-Ghazali memiliki risalah kecil berjudul “Kitabul Adab” yang dimasukkan dalam
kitab beliau “Roudhotut Thoalibin wa ‘Umdatus Salikin”.
B. Lalu apa pentingnya adab, sehingga para ulama salaf dahulu menaruh perhatian
terhadap adab ini?
Untuk memahami ini, kita mulai dari kisah sahabat yang ditulis dalam hadis Imam Muslim,
berikut ini.
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya
berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya.
Akan tetapi ia menyakiti tetangga-tetangga dengan mulutnya.”. Maka berkatalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ia termasuk ahli Neraka.”
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau Si Fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat,
puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sungguh ia termasuk ahli Surga.”
(HR.Muslim).
Banyaknya ibadah tetapi adabnya rusak tidak membawa manfaat apa pun.
Sebaliknya, jiwa yang bersih meski amalnya sedikit bisa menyelamatkan dirinya.
Begitu pula, orang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun
akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal.
Sebaliknya, berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan,
bukan yang lainnya.
Inilah yang disebut muslim yang baik. Adab di sini disandingkan dengan makna akhlak.
Oleh para ulama disebut adab dzahir.
Begitu juga berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat misalnya bukan
karakter seorang Muslim. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi berbuat buruk
kepada tetangga, adalah bukan karakter muslim bertauhid.
Imam al-Ghazali menulis rumusan sangat penting tentang adab ini. Bahwa ada korelasi
kuat antara; tauhid, iman, syariat dan adab. Ia mengatakan:
o Sementara syariah menuntut adanya adab. Barangsiapa yang tidak beradab maka
sesungguhnya ia tidak mengamalkan syariah (dengan sempurna), tidak berimana
(dengan sempurna) dan tauhidnya (tidak sempurna).
Rumusan kalimat tersebut diperjelas oleh Imam al-Ghazali bahwa yang ia maksud adab di situ
adalah adab dzahir dan adab batin. Jika seseorang itu terlatih adab dzahir dan batinnya, maka ia
menjadi seorang sufi yang beradab (sufiy adiib).
Ia mengatakan: “Jika jiwa seseorang dilatih dengan adab sunnah (mengamalkan ajaran Allah)
maka Allah Subhanahu Wata’ala akan memberi cahaya dalam hatinya dengan cahaya ma’rifah
(nurul ma’rifah) (Imam al-Ghazali, Roudhotu al-Tholibin wa ‘Umdatus Salikin, hal. 10).
Adab sunnah merupakan adab dzahir. Yakni melaksanakan kewajiban syariah dan anjuran-
anjurannya. Yakni mengikuti perintah-perintah Nabi Muhammad, perbuatan-perbuatannya,
akhlaknya, dan lain-lain. Seorang hamba bisa wushul (sampai) kepada Allah Subhanahu
Wata’ala melalui praktik adab.
Sedangkan adab batin adalah penjagaan terhadap hati dari liarnya hawa nafsu. Karena sumber
kesesatan akidah sumbernya dari kotornya hati dengan penyakit-penyakit hati (amradhul qulub).
“Penyimpangan dari akidah yang benar itu disebabkan: Hati yang dikuasai oleh hawa nafsu dan
fanatik kepada pemikiran ahli bid’ah”.
Ciri hati yang dikuasai oleh hawa nafsu ada tiga: cinta kedududukan (hubbul jah), cinta dunia
dan cinta harta. Jadi, tiga trilogi cinta inilah yang menjadi racun yang mematikan akidah seorang
Muslim.a
C. Kesimpulan
kunci kebaikan itu ada dalam adab. Dan ternyata adab yang paling urgen adalah adab batin.
Bagaimana mengenali hati dan jiwa kita, supaya hati dan jiwa berada pada posisinya yang
“sehat”.
Seseorang yang kecenderungan hatinya kepada cinta kedudukan, cinta harta dan cinta dunia
adalah hati yang tidak beradab. Mestinya dunia itu diletakkan di tangan bukan di hatinya. Cukup
logis apa yang dikatakan imam al-Ghazali di atas, kecintaan pada tiga hal ini menjadi sebab
penyimpangan dari akidah yang benar. Makanya, imam al-Ghazali memulai Kitab Bidayatul
Hidayah dengan nasihat supaya niat mencari ilmu benar, sebab jika niatnya dunia maka sama
dengan merobohkan agama.
Jika sesuatu itu bersemayam tidak pada posisinya, maka bisa terjadi kerusakan yang disebut bi-
adab (tidak beradab). Jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan
kedzaliman, kebodohan, dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Manusia dikatakan dzalim,
jika meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.*