Terkait
Pengembangan komoditas sejenis dalam luasan dan skala besar telah berlangsung
ratusan tahun di negeri ini. Dia menyebutkan, perkebunan kayu skala besar
dirintis sejak abad ke-19, sekitar 1847 oleh pemerintahan kolonial Belanda. Saat
itu, kayu untuk pembuatan kapal perang dan kapal dagang Belanda.
Kebun sawit skala besar salah satu contoh pengembangan monokultur di
Indonesia. Foto: Sapariah Saturi
Bukan itu saja. Monokultur pangan juga berdampak pada sosial budaya, misal
praktik manipulasi dan korupsi. “Karena keinginan monokultur terjadi praktik
penyuapan. Karena kebutuhan lahan besar muncul praktik suap dana lain-lain.”
Menurut Deddy, kasus Rawa Tripa, Aceh, satu contoh nyata praktik monokultur
yang merusak. Akibat konversi hutan Rawa Tripa menjadi ladang perkebunan
sawit skala besar berdampak nyata terhadap kualitas lingkungan dan
menghancurkan habitat hewan endemik Sumatera seperti orangutan Sumatera
(Pongo abelii).
Perubahan bentang alam di Rawa Tripa juga berdampak buruk pada fungsi
hidrologis kawasan setempat. “Ini sangat merugikan masyarakat sekitar Rawa
Tripa yang sumber penghidupan bergantung pada kawasan ini.”
Monokultur juga rakus unsur sara dan akan mengubah iklim mikro. Contoh,
kebun kopi, jangka waktu produktif 10 sampai 15 tahun, setelah itu akan jadi
sawit. Kopi membuat unsur hara tanah jadi homogen dan terjadi peningkatan
suhu. Kejadian di Sumatera, masyarakat mengubah kebun kopi jadi sawit. Di
daerah aliran sungai banyak terjadi perubahan peruntukan dari padi ke sawit. “Ini
banyak terjadi di Bengkulu dan Lampung. Karena debit air jauh menurun, siklus
hidrologi terganggu.”
Kedua, tata kelola ekonomi masyarakat berubah. Dulu, budaya petani di Indonesia
dengan polikultur, misal, tanam cabai, kacang dan lain-lain yang berfungsi
mengalihkan hama. “Sekarang berubah, pola monokultur.” Dampak pada
masyarakat memang terjadi peningkatan pendapatan. Namun, peningkatan
pendapatan itu tak dibarengi kenaikan kesejahteraan petani. “Sebab biaya
meningkat karena harus beli pupuk pestisida dan kebutuhan lain,” kata Zenzi.
Ketiga, perubahan tata sosial. Kini, disebut budidaya yakni menjadi produsen
murni terhadap komoditas. Terjadi homogenitas pangan, tak multi nutrisi lagi.
Kondisi ini, juga berpotensi kehilangan pangan lokal.
Dalam waktu dekat, Walhi akan merilis petisi II penyelamatan Rawa Tripa.
Deddy mengatakan, pada petisi kedua ini tetap meminta dukungan publik untuk
penyelamatan rawa tripa. Petisi berisi antara lain pencabutan izin perusahaan yang
beroperasi di Tripa dan rehabilitasi kawasan.