Anda di halaman 1dari 5

Rugikan Rakyat dan Ekologi,

Hentikan Pengembangan Pangan


Monokultur
Oleh Sapariah Saturi,  September 21, 2012 6:37 pm
 A+ | A-

PADA Hari Anti Monokuktur Dunia 21 September ini, Walhi mengingatkan


pemerintah akan pengalaman buruk praktik monokultur. Untuk itu, Walhi
meminta pemerintah menghentikan pengembangan pangan monokultur skala
besar, seperti food estate, karena rentan merugikan rakyat dan merusak ekologi.

Terkait

 Uji Jagung Transgenik Dinilai Abaikan Prinsip Kehati-hatian


 Kekeringan Landa Lahan Pertanian di Berbagai Daerah
 Konferensi Petani Organik Usung Pengelolaan Berkelanjutan

Deddy Ratih, pengkampanye Walhi Nasional mengatakan, Indonesia pernah


megalami pengalaman pahit pengembangan industri pangan melalui proyek lahan
gambut sejuta hektare dan masa kolonialis liberal Hindia Belanda. “Model
pengembangan perkebunan besar monokultur rakus lahan terbukti tak mampu
memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru banyak memberikan dampak negatif
bagi keberlanjutan lingkungan dan keselamatan rakyat,” katanya di Jakarta,
Jumat(21/9/12).

Pengembangan komoditas sejenis dalam luasan dan skala besar telah berlangsung
ratusan tahun di negeri ini. Dia menyebutkan, perkebunan kayu skala besar
dirintis sejak abad ke-19, sekitar 1847 oleh pemerintahan kolonial Belanda. Saat
itu, kayu untuk pembuatan kapal perang dan kapal dagang Belanda.
Kebun sawit skala besar salah satu contoh pengembangan monokultur di
Indonesia. Foto: Sapariah Saturi

Pembangunan kebun kayu monokultur dan masif, penguasa kolonial juga


memaksakan monokulturisasi melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sekitar
1830-1870 untuk pemenuhan kepentingan pasar Eropa. Pembangunan kebun-
kebun komoditas ini secara luas (estate) seperti, kopi, teh, tembakau dan tebu,
juga kayu jati.

“Cultuurstelsel sisi buruk. Pengembangan skala besar yang menyebabkan hutan


Jawa hampir nol saat ini. Model yang dikembangkan dalam praktik monokultur di
masa kolonialis liberal, menempatkan posisi masyarakat sebagai kelompok
rentan,” ucap Deddy.

Kebijakan pembangunan kebun-kebun monokultur skala besar ini membuat


pemerintahan kolonial Belanda mengalami masa keemasan ekonomi 1835-1940. 
“Namun dampak nyata masyarakat di Jawa krisis pangan dan bencana kelaparan
sejak 1843. Jadi krisis pangan dalam praktik monokultur sudah diperlihatkan dari
sejarah.”

Parahnya, praktik serupa malah terus dikembangkan di Indonesia. Contoh, food


estate, seakan mengembangkan pangan di Indonesia, tanpa sadar mengancam
pangan lain. “Misal ubah sawah jadi kebun jenis lain. Kerentatan ini yang tidak
terevaluasi dengan baik.”
Tak hanya itu. Dampak monokultur terjadi pada perubahan ekosistem, misal,
tahun lalu ada wabah ulat bulu, belalang, sampai tomcat. “Ini yang menurut kami
harus diperhatikan ketika mencoba monokultur di Indonesia,” katanya.

Bukan itu saja. Monokultur pangan juga berdampak pada sosial budaya, misal
praktik manipulasi dan korupsi.  “Karena keinginan monokultur terjadi praktik
penyuapan. Karena kebutuhan lahan besar muncul praktik suap dana lain-lain.”

Menurut Deddy, kasus Rawa Tripa, Aceh, satu contoh nyata praktik monokultur
yang merusak. Akibat konversi hutan Rawa Tripa menjadi ladang perkebunan
sawit skala besar berdampak nyata terhadap kualitas lingkungan dan
menghancurkan habitat hewan endemik Sumatera seperti orangutan Sumatera
(Pongo abelii).

Perubahan bentang alam di Rawa Tripa juga berdampak buruk pada fungsi
hidrologis kawasan setempat. “Ini sangat merugikan masyarakat sekitar Rawa
Tripa yang sumber penghidupan bergantung pada kawasan ini.”

Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional


mengungkapkan, ada tiga perubahan tata kelola secara sistematis dampak
monokultur ini. Pertama, terkait tata  kelola lingkungan dampak pemaksaan
dominasi satu komoditas terhadap satu sistem. “Ini menyebabkan banyak mata
rantai sistem terputus. Contoh, melonjak populasi dari kupu-kupu, tomcat dalam
satu wilayah ekosistem.”

Praktik monokultur juga mendesak pupolasi pindah teritorial. Contoh, ekosistem


region Sumatera, karena tinggi perubahan kawasan hutan menjadi sawit, petani
palawija dan padi menjadi susah. Mengapa? Terjadi migrasi babi nangoi yang
berkoloni. “Mereka tak makan padi, tapi karena tempat mereka jadi sawit, saat
lewat sawah berkoloni mereka merusak padi petani.  Satu koloni sampai 400 an.
Ini terjadi di Jambi dan Bengkulu, daerah ujung Sumatera Selatan,” ucap Zenzi. 
Migrasi babi ini berbeda dengan jenis celeng atau babi rusa.

Sedang dampak, bagi lingkungan lain yakni pengaruh praktik monokultur


terhadap sekitar, misal rusak ekosistem sungai di setiap daerah kebun sawit dan
pertanian padi. “Karena tinggi pemakaian pupuk hingga banyak nitrogen lepas ke
sungai yang mengakibatkan lonjakan populasi beberapa jenis ganggang. Ini
menutup sungai hingga sungai kurang oksigen dan tak ramah bagi hewan air.
Inilah mengapa keragamanan jenis ikan di Indonesia menurun.”

Monokultur  juga rakus unsur sara dan akan mengubah iklim mikro. Contoh,
kebun kopi, jangka waktu produktif 10 sampai 15 tahun, setelah itu akan jadi
sawit. Kopi membuat unsur hara tanah jadi homogen dan terjadi peningkatan
suhu. Kejadian di Sumatera, masyarakat mengubah kebun kopi jadi sawit. Di
daerah aliran sungai banyak terjadi perubahan peruntukan dari padi ke sawit. “Ini
banyak terjadi di Bengkulu dan Lampung. Karena debit air jauh menurun, siklus
hidrologi terganggu.”
Kedua, tata kelola ekonomi masyarakat berubah. Dulu, budaya petani di Indonesia
dengan polikultur, misal, tanam  cabai, kacang dan lain-lain yang berfungsi
mengalihkan hama. “Sekarang berubah, pola monokultur.” Dampak pada
masyarakat memang terjadi peningkatan pendapatan. Namun, peningkatan
pendapatan itu tak dibarengi kenaikan kesejahteraan petani.  “Sebab biaya
meningkat karena harus beli pupuk pestisida dan kebutuhan lain,” kata Zenzi.

Ketiga, perubahan tata sosial. Kini, disebut budidaya  yakni menjadi produsen
murni terhadap komoditas. Terjadi homogenitas pangan, tak multi nutrisi lagi.
Kondisi ini, juga berpotensi kehilangan pangan lokal.

Menyikapi kondisi ini, Walhi kembali mengingatkan pemerintah Indonesia, agar


menghentikan pengembangan dan perluasan kebun-kebun monokultur skala besar.
Lalu, mengevaluasi monokultur yang sudah berlangsung, audit menyeluruh
terhadap perizinan yang dikeluarkan, dan menyelesaikan konflik sosial yang
terjadi.

Kemudian, menghentikan praktik-praktik pemutihan pelanggaran Undang-undang


nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. “Segera moratorium konversi hutan
berbasis capaian, prinsip dan kriteria yang jelas, bukan berbatas tahun.”

Deddy menambahkan, sudah saatnya pemerintah Indonesia mengkaji keberadaan


investasi rakus lahan dan menggantikan dengan mendorong pengelolaan pertanian
berbasis rakyat. Lalu, mendorong pengelolaan kawasan hutan berbasis rakyat dan
komunitas. “Juga mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat
atas wilayah kelola mereka.”

Walhi juga menyerukan kepada para profesional, akademisi dan penggiat


lingkungan dan hutan mulai bekerja serius dalam perlindungan dan pelestarian
hutan. Tentu,  dengan mengutamakan hak dasar bagi penduduk di sekitar dan
dalam wilayah  hutan dan mengembangkan pertanian berbasiskan kearifan lokal.
Kopi juga banyak dikembangkan dengan monokultur dan skala besar. Foto: Rhett
Butler

Petisi II Penyelamatan Rawa Tripa

Dalam waktu dekat, Walhi akan merilis petisi II penyelamatan Rawa Tripa.
Deddy mengatakan, pada petisi kedua ini tetap meminta dukungan publik untuk
penyelamatan rawa tripa. Petisi berisi antara lain pencabutan izin perusahaan yang
beroperasi di Tripa dan rehabilitasi kawasan.

“Persoalan Tripa ini, pasca PTTUN yang memenangkan Walhi, tindakan


selanjutnya pencabutan. Lalu rehabilitasi. Rehabilitasi ini bicara tentang satu
kesatuan kawasan, jadi tak bisa dilepaskan dengan perizinan yang lain. Atas dasar
itu juga, ada rencana launching petisi II,” ujar Deddy.

Deddy menyesalkan, kasus di Rawa Tripa, semua  berbicara pelanggaran, tapi


tindakan terhadap pelanggar belum ada. Penegakan hukum belum jalan.

Anda mungkin juga menyukai