Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TEORI PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

PERENCANAAN PEMBELAJARAN

Disusun oleh :

Yani Sri Rahayu 191100013

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

2020
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak awal kemerdekaan hal yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini adalah pendidikan
yang berkualitas dan demokratis yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa. Salah
satu tujuan nasional yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak
dan merata, tidak membeda-bedakan ras, agama, pendapatan dan tempat tinggal. Masyarakat
Desa Mapur hidup dan sekolah dengan banyak keterbatasan. Kurangnya fasilitas pendidikan dan
dominannya pekerjaan sebagai nelayan penangkap ikan membawa pengaruh kepada anak-anak
setempat sehingga memilih bekerja daripada melanjutkan sekolah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan pada BAB II Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) menjelaskan bahwa
pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin akses masyarakat atas pelayanan pendidikan
yang mencukupi, merata, dan terjangkau, menjamin mutu dan daya saing pendidikan serta
relevansinya dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat serta menjamin efektivitas, efisiensi, dan
akuntabilitas pengelolaan pendidikan (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


Dari Latar Belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa yang dimaksud marjinalisasi dalam pembelajaran?
b. Apa saja fungsi instruktur ?
c. Bagaimana sistem social lembaga pendidikan ?
d. Bagaimana aplikasi evaluasi program ?

1.3 Tujuan
Tujuan dibuat makalah ini adalah untuk mengetahui tentang :
a. Marjinalisasi dalam pembelajaran
b. Fungsi instruktur
c. Sistem social lembaga pendidikan
d. Aplikasi evaluasi program
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Marjinalisasi dalam pembelajaran


Fenomena tentang adanya beberapa sekolah yang mengalami keadaan hampir-hampir
bubar atau sering disebut sebagai sekolah “mati segan,hidup tak mau”.Undang-undang sistem
pendidikan nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 dalam pasal 4 menjelaskan tentang
prinsip penyelenggaraan pendidikan.Pada ayat 1, disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.Pada kenyataannya, tidak
semua sekolahmenyelenggarakan pendidikan dengan baik bahkan ada sekolah yang
implementasinya masih jauh dari harapan.

Marjinalisasi tidak dapat dilepaskan dari konsep diskriminasi karena marjinalisasi


hanyalah satu di antara banyak masalah yang timbul sebagai akibat diskriminasi. Marjinalisasi
dengan strategi institusi sosial yang mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat, cenderung
mengakibatkan keadaan komunitas lokal menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi
terhadap perubahan struktural. Dalam hal ini marjinalisasi pendidikan yang umumnya dirasakan
oleh masyarakat yang tinggal jauh dari pusat perekonomian atau ibu kota. Pada dasarnya, setiap
penduduk Indonesia tentunya mengaharapkan dapat merasakan pendidikan yang baik yaitu
pendidikan yang berkualitas tinggi dan merata. Dengan demikian dampak dari pembangunan
negara dapat dirasakan seluruh elemen bangsa.

Definisi marginalisasi dapat ditinjau dari beberapa referensi kamus. Pertama,


marginalisasi berarti mengasingkan atau membatasi yang lemah dan terbatas atau yang berada di
pinggir kedudukan sosial (The American Heritage Dictionary, 2019). Kedua, Marginalisasi
adalah membuat atau mempertahankan seseorang dalam ketidakberdayaan, dalam keterbatasan
aktivitas, dan dalam pembuatan keputusan yang penting (Griffin, 2017). Ketiga, marginalisasi
yaitu sebuah proses yang membuat sebuah kelompok atau individu mengalami pencegahan akses
pada posisi penting, ekonomi, agama, dan lain-lain (Halsey, 2015).

Marginalisasi juga didefinisikan sebagai suatu posisi dan kondisi yang tidak disengaja
dari individu atau kelompok yang berada di pinggir suatu sistem sosial, politik, ekonomi, ekologi
dan bio-fisik sistem, mencegah mereka dari akses pada sumber daya, aset, layanan, membatasi
kebebasan memilih, serta mencegah perkembangan kemampuan (Gatzweiler, 2011: 3).
Marginalisasi juga diartikan sebagai wujud keterpinggiran. Marginalisasi biasanya
tampak pada bentuk pengecualian dari kehidupan sosial, interpersonal, dan tingkat sosial. Orang-
orang yang terpinggirkan tidak memiliki kontrol penuh atas hidup mereka dan tidak memiliki
akses ke fasilitas-fasilitas umum sehingga kaum marginal juga disebut memiliki kontribusi yang
terbatas di dalam masyarakat (Shrirang, 2015: 1).

Marginalisasi menurut Hall, Stevens, Meleis, Martin, dan Hutchinson dalam (Smith,
2004) marginalisasi adalah proses dimana individu-individu diketepikan atas dasar identitas dan
pengalaman mereka yang mengakibatkan kondisi marginal (terpinggirkan). Menurut Alfitri
(2006) untuk memahami masyarakat marginal maka dapat dilihat dengan 3 dimensi yaitu:

1) Dimensi Ekonomi: Peluang Pekerjaan dan Status Sosio-Ekonomi, Dimensi ini


menjelaskan bahwa masyarakat yang dimarginalkan mengalami kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan dikarenakan kriteria-kriteria tertentu yang menjadi syarat
dalam mendapatkan sebuah pekerjaan seperti perbedaan warna kulit, suku atau
agama maupun pengalaman, kriteria-kriteria tersebut membawa pengaruh
terhadap jumlah gaji yang diterima. Masyarakat marginal juga ditandai dengan
adanya perbedaan dari segi kasta maupun statusnya dalam kehidupan sosial
ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
2) Dimensi Politik dan Administrasi Publik Dimensi ini menjelaskan bahwa
masyarakat yang dimarginalkan tidak dilibatkan dalam kegiatan berpolitik serta
tidak mendapatkan kemudahan-kemudahan dari pemerintah.
3) Dimensi Kemudahan Fisik: Keterbatasan dalam Aksesibiltas Dimensi ini
menjelaskan bahwa masyarakat yang dimarginalkan tidak mendapat kemudahan
atau bantuan fisik seperti akses komunikasi, teknologi, air bersih, listrik, bantuan
kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

2.2 Fungsi instruktur


Fungsi instruktur adalah sebagai berikut :

a. Instruktur sebagai pendidik berupa membentuk karakter, membimbing, dan mengarahkan


peserta pelatihan. Bentuk dari membentuk karakter peserta pelatihan yaitu memberikan
contoh bertanggungjawab melalui karyanya untuk diselesaikan tepat waktu, memberikan
pemahaman bagaimana menjadi orang yang berwibawa melalui sikap yang dicontohkan
oleh instruktur, melatih menyelesaikan pekerjaan secara mandiri tanpa bantuan kelompok
lain dengan memberikan peran pada setiap individu dalam kelompok dan melatih disiplin
waktu menyelesaikan tugasanya membuat lampu lampion.
b. Instruktur sebagai pengajar adalah kemampuan menyusun perencanaan pembelajaran,
memilih dan menggunakan media pembelajaran, menerapkan strategi pembelajaran yang
tepat, menyusun instrumen evaluasi, melaksanakan evaluasi pembelajaran, dan kemudian
menambal kekurangan yang ada. Selain itu instruktur juga merupakan seseorang yang
mampu membantu setiap peserta pelatihan secara efektif, dapat menggunakan berbagai
kesempatan belajar dan berbagai sumber serta media belajar terlebih peserta pelatihan
dalam keadaan kebingungan.
c. Instruktur sebagai pemimpin adalah sebagai manager atau pengelola. Dimana instruktur
disini harus menguasai ilmu managemen yang tepat. Sebagai pemimpin, Instruktur harus
mampu memimpin peserta pelatihan, dan juga harus mampu mengelola seluruh isi
ruangan pelatihan dan menciptakannya menjadi tempat pembelajaran kondusif sehingga
sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

2.3 Sistem sosial lembaga pendidikan


Lembaga Pendidikan (baik formal, non formal atau informal) adalah tempat transfer ilmu
pengetahuan dan budaya (peradaban). Melalui praktik pendidikan, peserta didik diajak untuk
memahami bagaimana sejarah atau pengalaman budaya dapat ditransformasi dalam zaman
kehidupan yang akan mereka alami serta mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan
dan tuntutan yang ada di dalamnya. Dengan demikian, makna pengetahuan dan kebudayaan
sering kali dipaksakan untuk dikombinasikan karena adanya pengaruh zaman terhadap
pengetahuan jika ditransformasikan.

Oleh karena itu pendidikan nasional bertujuan mempersiapkan masyarakat baru yang
lebih ideal, yaitu masyarakat yang mengerti hak dan kewajiban dan berperan aktif dalam proses
pembangunan bangsa. Esensi dari tujuan pendidikan nasional adalah proses menumbuhkan
bentuk budaya keilmuan, sosial, ekonomi, dan politik yang lebih baik dalam perspektif tertentu
harus mengacu pada masa depan yang jelas (pembukaan UUD 1945 alenia 4). Melalui kegiatan
pendidikans, gambaran tentang masyarakat yang ideal itu dituangkan dalam alam pikiran peserta
didik sehingga terjadi proses pembentukan dan perpindahan budaya. Pemikiran ini mengandung
makna bahwa lembaga pendidikan sebagai tempat pembelajaran manusia memiliki fungsi sosial
(agen perubahan di masyarakat).

Lembaga pendidikan kita sepertinya kurang berhasil dalam mengantarkan anak didiknya
sebagai agen perubahan sosial di masyarakat, terbukti dengan belum adanya perubahan yang
signifikan dan menyeluruh terhadap masalah kebudayaan dan keilmuan masyarakat kita, dan
masih maraknya komersialisasi ilmu pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan kita,
mahalnya biaya pendidikan serta orientasi yang hanya mempersiapkan peserta didik hanya untuk
memenuhi bursa pasar kerja ketimbang memandangnya sebagai objek yang dapat dibentuk untuk
menjadi agen perubahan sosial di masyarakat. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan
berarti segala sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari
orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai
social dan aspirasi hidup serta cara mencapainya.

Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam
perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala hal. Dalam hal ini lembaga
pendidikan memiliki dua karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan
harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sistem. Kedua mengenali individu yang berbeda-
beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan. Kemudian sebagai
agen perubahan lembaga pendidikan berfungsi sebagai alat:

1) Pengembangan pribadi

2) Pengembangan warga

3) Pengembangan Budaya

4) Pengembangan bangsa

Sistem pendidikan dengan sistem lainnya mempunyai hubungan erat. Pendidikan


mempengaruhi dan dipengaruhi sistem sosial, ekonomi, kebudayaan, agama, politik, dan lain-
lain. Hubungan pendidikan dengan sistem sosial berkaitan erat, pendidikan terlibat dalam semua
jenis dan jenjang proses perkembangan sosial, baik dalam mobilitas sosial, mobilitas geografis,
penduduk, partisipasi politik, dan sistem sosial lainnya.
Pendidikan memiliki kontribusi yang sangat banyak dan luas dalam meningkatkan
kemampuan intelektualitas manusia, yang pada akhirnya berakibat pula terhadap kualitas
kehidupan masyarakat. Kaitan antara kedua aspek tersebut menuntut para ahli sosiologi dalam
membahas masyarakat tidak mengenyampingkan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan.
Begitu pula para ahli pendidikan dalam membahas bidang keilmuannya tidak terlepas dari
pembahasan masyarakat, karena pendidikan terjadi di dalam masyarakat di samping masyarakat
pun ikut terlibat dalam penyelenggaraannya.

Perubahan yang ada dalam masyarakat akan sangat berbeda karena perbedaan tingkat
pendidikan dan tingkat ekonomi yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Perubahan tingkat
pendidikan akan terus terjadi dalam masyarakat selama masyarakat tersebut berkeinginan untuk
nerubah system yang ada, misalnya masyarakat tersebut ingin merubah status sosialnya, untuk
menunjang perubahan tersebut masyarakat memerlukan pendidikan sebagai sarana untuk
mewujudkannya. Lingkungan pendidikan yaaitu keluaarga dan lingkungan masyaraakat akan
mempengaruhi perkembangan social yang terjadi, system pendidikan formal di sekolah dan
lembaga pendidikan tinggi, juga akan mempengaruhi pendidikan.

2.4 Aplikasi evaluasi program


Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
melihat tingkat keberhasilan program. Ada beberapa pengertian tentang program sendiri. Dalam
kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan yang dilakukan dengan
seksama. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui
seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan (Suharsimi Arikunto, 1993:
297).

Menurut Tyler (1950) yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul
Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan
telah terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) yang dikutip
oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah
upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan
proses pengumpulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif kebijakan.
1. Tujuan Evaluasi Program

Menurut Endang Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi program dilakukan dengan tujuan
untuk:

a. Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil


evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain.
b. Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu
diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.

Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat
dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi
program, pelaksana berfikir dan menentukan langkah bagaimana melaksanakan penelitian.

Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009: 7), terdapat perbedaan
yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program adalah sebagai berikut:

a. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu


kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanan
ingin menetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan
program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan criteria atau standar
tertentu.
b. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah karena ingin
mengetahui jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program
pelaksanan ingin mengetahui tingkat ketercapaian tujuan pgogram, dan apabila tujuan
belum tercapai sebagaimana ditentukan, pelaksanan ingin mengetahui letak
kekurangan itu dan apa sebabnya.

Dengan adanya uraian diatas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan penelitian
evaluatif. Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari adanya
kebijakan, dalam rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan
akhirnya adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya.

2. Model Evaluasi Program


Model-model evaluasi yang satu dengan yang lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi
maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang
berkenaan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi yang terkumpul dapat diberikan
kepada pengambil keputusan agar dapat dengan tepat menentukan tindak lanjut tentang program
yang sudah dievaluasi. Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutib oleh Suharsimi Arikunto
dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009: 40 ), membedakan model evaluasi menjadi delapan,
yaitu:

a. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler.


Model ini merupakan model yang muncul paling awal, yang menjadi obyek
adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai.
Adapun prosedur yang perlu diikuti untuk membentuk ujian pencapaian, yaitu:
(1) Mengenal pasti sasaran program yang hendak dijalankan.
(2) Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk tingkah laku dan isi kandungan.
(3) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang hendak digunakan.
(4) Menentukan arah untuk mewakili situasi.
(5) Menentukan arah untuk mendapatkan hasil.

Tyler mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan antara hasil yang


dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya. Menurut Tyler (1951 dalam Azizi, 2008)
penilai harus menilai tingkah laku peserta didik, pada perubahan tingkah laku yang
dikehendaki dalam pendidikan. Dalam model ini, langkah pertama adalah mengenali
tujuan suatu program, kemudian indikator-indikator pencapaian tujuan dan alat
pengukuran diketahui pasti.

b. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven.


Dalam pelaksanaan suatu evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan
apa yang menjadi tujuan program, yang perlu diperhatikan dalam program tersebut
adalah bagaimana kerjanya program dengan jalan mengidentifikasi penampilan-
penampilan yang terjadi baik hal-hal yang positif (hal yang diharapkan) maupun hal-hal
negatif (hal yang tidak diharapkan). Maksudnya bukan lepas sama sekali dari tujuan,
akan tetapi lepas dari tujuan khusus dan hanya mempertimbangkan tujuan umum yang
akan dicapai oleh program bukan secara perkomponen.
c. Formatif Summatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven.
Model ini menunjukkan terhadap tahapan dan lingkup objek yang dievaluasi,
yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (evaluasi formatif)
dan ketika program sudah selesai atau berakhir (evaluasi sumatif). Adapun tujuan dari
evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif, ketika
melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Sehingga,
model yang dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk tentang "apa, kapan dan
tujuan" evaluasi tersebut dilaksanakan. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui
sampai seberapa tinggi tingkat keberhasilan atau ketercapaian tujuan untuk masing-
masing pokok bahasan.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika
program masih berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana program
yang dirancang dapat berlangsung dan sekaligus mengidentifikasi hambatannya.
Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program berakhir dengan tujuan untuk
mengukur ketercapaian program. Adapun fungsinya untuk mengetahui posisi atau
kedudukan individu di dalam kelompoknya.
d. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
Menurut Fernandes (1984, dalam Arikunto 2004) model Stake menekankan pada
adanya pelaksanaan dua hal pokok yaitu deskripsi (description) dan pertimbangan
(judgments) serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program yaitu
anteseden yang diartikan sebagai konteks, transaksi yang diartikan sebagai proses dan
outcome yang diartikan sebagai hasil. Tiga hal tersebut itu dituliskan di antara dua
matrik untuk menunjukkan objek atau sasaran evaluasi yang selanjutnya digambarkan
sebagai deskripsi dan pertimbangan, menunjukkan langkah-langkah yang terjadi selama
proses evaluasi.
Matriks pertama yaitu deskripsi yang berkaitan atau menyangkut dua hal yang
menunjukkan posisi sesuatu yaitu apa maksud tujuan yang diharapkan oleh program
dan pengamatan akibat atau apa yang sesungguhnya terjadi atau apa yang betul-betul
terjadi, selanjutnya evaluator mengikuti matriks kedua yang menunjukkan langkah
pertimbangan yang mengacu pada standar, ketika evaluator tengah mempertimbangkan
program pendidikan. Maka harus melakukan dua perbandingan, yaitu (1)
membandingkan kondisi hasil evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di
program lain, dengan objek sasaran yang sama; (2) membandingkan kondisi hasil
pelaksanaan program dengan standar program yang bersangkutan dan didasarkan pada
tujuan yang akan dicapai.
Analisis proses evaluasi yang dikemukakan Stake (1967, dalam Tayibnapis, 2000)
membawa dampak yang cukup besar dalam model ini, antecedents (masukan),
transaction (proses), dan outcomes (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk
menentukan apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga
dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program.
e. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
Menurut Stake (1967 dalam Azizi, 2008) telah menggariskan beberapa ciri
pendekatan model evaluasi responsif, yaitu:

(1) Lebih ke arah aktivitas program (proses) daripada tujuan program.


(2) Mempunyai hubungan dengan banyak kalangan untuk mendapatkan hasil
evaluasi.
(3) Perbedaan nilai perspektif dari banyak individu menjadi ukuran dalam
melaporkan kegagalan dan keberhasilan suatu program.
Pendekatan ini adalah sistem yang mengorbankan beberapa fakta dalam evaluasi
dengan harapan dapat meningkatkan penggunaan hasil evaluasi kepada individu atau
program itu sendiri. Model ini berdasarkan pada apa yang biasa individu lakukan untuk
menilai suatu perkara. Untuk melaksanakan evaluasi ini, evaluator dipaksa bekerja lebih
keras untuk memastikan individu yang dipilih memahami apa yang perlu dilakukan.
Evaluator juga perlu membuat prosedur yang bakudan mencari serta mengatur tim untuk
memperhatikan pelaksanaan program tersebut. Dengan bantuan tim, evaluator akan
menyediakan catatan, deskripsi, hasil tujuan serta membuat grafik. Adapun tahapannya,
yaitu:
(1) Pelaksanaan awal evaluasi, evaluator dan klien (stakeholder) membuat
perundingan tentang kontrak mengenai tujuan penilaian, validitas dan jaminan
kerahasiaan.
(2) Mengenal pasti concern (perhatian), isu dan nilai-nilai dari stakeholder.
(3) Mengumpulkan informasi yang memiliki hubungan dengan tujuan, isu, nilai
yang dikenal pasti oleh stakeholder.
(4) Penyediaan laporan mengenai keputusan atau alternatif. Laporan ini
mengandung beberapa isu-isu dan perhatian yang dikenal betul oleh
stakeholder.
f. CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan.
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE merupakan
singkatan dari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan
singkatan dari University of California in Los Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA
adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes (1984, dalam Arikunto
2004) memberikan penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi empat tahap, yaitu:

(1) Needs Assessment, yaitu evaluator memusatkan perhatian pada penentuan


masalah. Pertanyaan yang diajukan:
a) Hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keberadaan
program?
b) Kebutuhan apakah yang terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan
program ini?
c) Tujuan jangka panjang apakah yang dapat dicapai melalui program ini?
(2) Program Planning yaitu evaluator mengumpulkan data yang terkait langsung
dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah
diidentifikasi pada tahap kesatu. Dalam tahap perencanaan ini program PBM
dievaluasi dengan cermat untuk mengetahui apakah rencana pembelajaran telah
disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan.
(3) Formative Evaluation yaitu evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaan
program. Dengan demikian, evaluator diharapkan betul-betul terlibat dalam
program karena harus mengumpulkan data dan berbagai informasi dari
pengembang program.
(4) Summative Evaluation yaitu evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua
data tentang hasil dan dampak dari program. Melalui evaluasi sumatif ini,
diharapkan dapat diketahui apakah tujuan yang dirumuskan untuk program sudah
tercapai dan jika belum, dicari bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.
g. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh Stufflebeam.
Model ini bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: karakteristik peserta didik dan lingkungan,
tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan
program itu sendiri. Stufflebeam melihat tujuan evaluasi sebagai:
(1) Penetapan dan penyediaan informasi yang bermanfaat untuk menilai keputusan
alternatif.
(2) Membantu audience untuk menilai dan mengembangkan manfaat program
pendidikan atau obyek.
(3) Membantu pengembangan kebijakan dan program.
Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di
Ohio State University. CIPP yang merupakan sebuah singkatan, yaitu context
evaluation (evaluasi konteks), input evaluation (evaluasi masukan), process evaluation
(evaluasi proses) dan product evaluation (evaluasi terhadap hasil). Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
(1) Evaluasi konteks yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-
jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program
yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang
bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu
tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan,
dan sebagainya. Menurut Sarah Mc Cann dalam Arikunto (2004) evaluasi
konteks meliputi penggambaran latar belakang program yang dievaluasi,
memberikan tujuan program dan analisis kebutuhan dari suatu sistem,
menentukan sasaran program, dan menentukan sejauhmana tawaran ini cukup
responsif terhadap kebutuhan yang sudah diidentifikasi.
(2) Evaluasi masukan (Input) yaitu evaluasi masukan yang tujuan utamanya adalah
untuk mengaitkan tujuan, konteks, input, proses dengan hasil program.
Disamping itu, evaluasi ini dibuat untuk memperbaiki program bukan untuk
membuktikan suatu kebenaran (The purpose of evaluation is not to prove but to
Improve, Stufflebeam, 1997 dalam Arikunto 2004). Evaluasi ini menolong
mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang
diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, bagaimana
prosedur kerja untuk mencapainya.
(3) Evaluasi proses yaitu diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan
sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses dalam model CIPP
menunjuk pada "apa" (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, "siapa"
(who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, "kapan" (when)
kegiatan akan selesai.
(4) Evaluasi pada produk atau hasil yaitu hal-hal yang menunjukkan perubahan
yang terjadi pada masukan mentah. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan
diantaranya:
(a) Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?
(b) Apakah kebutuhan peserta didik sudah dapat dipenuhi selama proses
belajar mengajar?
h. Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus.
Provus mendefinisikan evaluasi sebagai alat untuk membuat pertimbangan
(judgement) atas kekurangan dan kelebihan suatu objek berdasarkan diantara standar
dan kinerja. Model ini juga dianggap menggunakan pendekatan formatif dan
berorientasi pada analisis system. Sementara pencapaiannya adalah lebih kepada
apakah yang sebenarnya terjadi. Dalam model evaluasi ini, kebanyakan informasi yang
diperoleh berbeda dengan yang dikumpulkan. Adapun caranya, yaitu:
(1) Merencanakan bentuk penilaian, menentukan kemantapan suatu program.
(2) Penilaian input, bertujuan membantu pihak pengurus dengan memastikan
sumber yang diperlukan mencukupi.
(3) Proses penilaian, memastikan aktivitas yang dirancang berjalan dengan
lancer dan memiliki mutu seperti yang diharapkan.
(4) Penilaian hasil, judgement di tahap pencapaian suatu hasil yang
direncanakan.
Model Evaluasi Discrepancy (Provus, 1971) adalah suatu model evaluasi program
yang menekankan pentingnya pemahaman sistem sebelum evaluasi. Model ini
merupakan suatu prosedur problem solving untuk mengidentifikasi kelemahan
(termasuk dalam pemilihan standar) dan untuk mengambil tindakan korektif. Dengan
model ini, proses evaluasi pada langkah-langkah dan isi kategori sebagai cara
memfasilitasi perbandingan capaian program dengan standar, sementara pada waktu
yang sama mengidentifikasi standar untuk digunakan untuk perbandingan di masa
depan, karena program terdiri atas langkah-langkah pengembangan, aktivitas evaluasi
banyak diartikan adanya integrasi pada masing-masing komponennya, berupa:

(1) Definition stage (tahap definisi) yaitu staf program yang mengorganisir berupa:
(a) gambaran tujuan, proses, atau aktivitas dan kemudian; (b) menggambarkan
sumber daya yang diperlukankan.
(2) Installation stage (langkah instalasi), desain/ definisi program menjadi standar
baku untuk diperbandingkan dengan penilaian operasi awal program.
(3) Product stage (tahap proses), evaluasi ditandai dengan pengumpulan data untuk
menjaga keterlaksanaan program.
(4) Product stage (tahap produk), pengumpulan data dan analisa yang membantu ke
arah penentuan tingkat capaian sasaran dari outcome.
(5) Optional tahap cost benefit menunjukkan peluang untuk membandingkan hasil
dengan yang dicapai oleh pendekatan lain yang serupa.

Pada masing-masing empat tahap di atas, perbandingan standard dengan capaian


program untuk menentukan bila ada pertentangan. Penggunaan informasi pertentangan
selalu mengarah pada satu dari empat pilihan:
(1) Dilanjutkan ke tahap berikutnya bila tidak ada pertentangan.
(2) Jika terdapat pertentangan, kembali mengulang tahap yang ada setelah merubah
standar program.
(3) Jika tahap 2 tidak bisa terpenuhi, kemudian mendaur ulang kembali ke langkah 1
tahap definisi program, untuk menggambarkan kembali program tersebut,
kemudian memulai evaluasi pertentangan lagi pada tahap 1.
(4) Jika tahap 3 tidak bisa terpenuhi pilihannya adalah mengakhiri program.

Pemilihan model evaluasi yang akan digunakan tergantung pada tujuan evaluasi. Dalam
pelaksanaan evaluasi program pembelajaran keterampilan memasak digunakan pendekatan
system. Pendekatan system adalah pendekatan yang dilaksanakan dalam mencakup seluruh
proses pendidikan yang dilaksanakan
BAB 3 PENUTUP

Kesimpulan

Marjinalisasi tidak dapat dilepaskan dari konsep diskriminasi karena marjinalisasi


hanyalah satu di antara banyak masalah yang timbul sebagai akibat diskriminasi. Marjinalisasi
dengan strategi institusi sosial yang mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat, cenderung
mengakibatkan keadaan komunitas lokal menjadi semakin tidak berdaya dalam beradaptasi
terhadap perubahan struktural. Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi
dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala hal. Dalam hal
ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan
fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sistem. Kedua mengenali individu yang
berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Abu & Uhbiyati Nur.ilmu pendidikan.Rumka cipta. 2002 Jakarta.cet.2


Departemen hukum dan hak asasi manusia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendudukan, Pub. L. No. PP
NOMOR 17 TAHUN2010, 215 (2010). Indonesia.
Oemar hamalik.Perencanaan Pegajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.Bumi aksara.2005
jakarta.cet 5 hal: 23.
Sismanto, 1984. Pendidikan Luar Sekolah dalam upaya mencerdaskan bangsa. Jakarta: Era
Swasta.
Syafaruddin, Manajemen Pembelajaran (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 71-72.

Anda mungkin juga menyukai