Anda di halaman 1dari 22

PROFILING DAN FORMULASI KOLAGEN LARUT ASAM DARI

GELEMBUNG RENANG IKAN CUNANG (Muarenesox talabon)


SEBAGAI SEDIAAN KRIM PELEMBAB WAJAH

Profiling and Formulation Acid Soluble Collagen of Yellow-Pike Conger


(Muarenesox talabon) Swim Bladder as Stocks Moisturizer Facial Cream

Dewi Setiyowati Gadi*, Wini Trilaksani, Tati Nurhayati


Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Jalan Agatis, Bogor 16680 Jawa Barat
Telepon (0251) 8622909-8622906, Faks. (0251) 8622915
*Korespodensi: dewisetiyowati44@gmail.com;

Abstrak

Gelembung renang ikan cunang (M. talabon) adalah hasil samping industri perikanan yang memiliki
kandungan protein mencapai 96.16% bk serta berpotensi menghasilkan kolagen dengan sifat fungsional yang
khas. Kolagen (C102H149N31O38) digunakan sebagai bahan aktif dalam industri kosmetik, misalnya krim pelembab
wajah karena memiliki sifat yang oklusif. Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi dan menentukan karakteristik
kolagen larut asam dan aplikasinya dalam formula sediaan krim pelembab wajah. Pra ekstraksi dengan NaOH
0.1 selama 8 jam merupakan proses yang efektif dalam menghilangkan protein non-kolagen dari gelembung
renang ikan cunang dan ekstraksi asam asetat 0.25 M selama 72 jam pada suhu 4ºC merupakan perlakuan
terpilih yang menghasilkan rendemen 14.50% kolagen kering. Kolagen terpilih memiliki kadar air (12.12±0.04%
bb); protein (88.54±0.08% bb); tidak terdeteksi logam berat (Pb, Hg, As, Cd); pH (4.31); nilai warna L * 62.91;
negatif cemaran E. coli dan Salmonella; asam amino yang terdeteksi utamanya adalah glisina (241.06 mg/g),
prolina (88.73 mg/g), alanina (86.98 mg/g). Spektrum FTIR kolagen mengungkapkan adanya struktur triple
helix; pola elektroforesis mencirikan kolagen tipe I terdiri dari 200 kDa (β), 136 kDa (α1), dan 117 kDa (α2);
dan memiliki stabilitas termal (Tmax 39.50ºC). Krim pelembab wajah dengan 4% kolagen memiliki kestabilan
terhadap suhu yang berbeda selama penyimpanan 4 minggu; bebas dari cemaran mikroba; sensori (warna
contemporary white, bau harum); nilai pH (5.87±0.25); viskositas (95666±577.35 cps) dan konsistensi
(277±5.77 10-1 mm).
Kata kunci: gelembung renang ikan cunang, kolagen tipe I, krim pelembab wajah

Abstract

Yellow pike conger (M. talabon) swim bladder is by-products of fishery industries with 96.16% dw
protein content and potentially produces collagen with unique functional properties. Collagen (C 102H149N31O38) is
used as an active ingredient in the cosmetics industry, for example, facial moisturizing face cream, because it
had occlusive properties. The purposes of this study were to isolate and determine the characteristics of soluble
acid collagen and its application in the formula of moisturizing face cream. Pre extraction with NaOH 0.1 for 8
hours was detected as an effective process in removing non-collagen proteins from cunang swim bladders and
the acid extraction process of 0.25 M for 72 hours at 4ºC was identified as the best treatment resulting in a
14.50% dried collagen yield. Selected collagen had a water content water content (12.12±0.04% wb); protein
(88.54±0.08% wb); undetectable heavy metals (Pb, Hg, As, Cd); pH (4.311); color value L* 62.91; negative
contamination of E. coli and Salmonella; amino acids that were detected primarily dominated by glycine (241.06
mg/g), proline (8.73 mg/g), alanine (86.98 mg/g). The FTIR spectra revealed the presence structure collagen
triple helix; electrophoresis pattern consisted of 200 kDa (β), 136 kDa (α1), and 117 kDa (α2) that characterizes
type I collagen; and had thermal stability (T max 39.50ºC). Facial moisturizing cream with 4% collagen has
stability against different temperatures during 4 weeks storage; free from microbial contamination; sensory
(contemporary white color, fragrant odor); pH value (5.87±0.25); viscosity (95666±577.35 cps) and consistency
(277±5.77 10-1 mm).
Keywords: moisturizing facial cream, type I collagen, yellow-pike conger swim bladder
PENDAHULUAN

Gelembung renang biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan gel tipis kering

dan transparan (isinglass) untuk fining agent pada industri bir di Eropa dan sebagai bahan

tambahan makanan dalam sop sayur bagi masyarakat di Cina (Trilaksani et al. 2006).

Informasi penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan gelembung renang ikan di Indonesia

sudah mulai dilakukan sejak tahun 2006, yaitu pemanfaatan gelembung renang ikan patin

sebagai edible film (Trilaksani 2008) dan baru pada tahun 2106 dimanfaatkan sebagai kolagen

(Djailaini et al. 2016; Kartika dan Trilaksani 2016). Potensi gelembung renang ikan cunang

cukup banyak di Kabupaten Indramayu sehingga dapat menjadi alternatif sumber kolagen

yang perlu dikembangkan.

Beberapa penelitian yang telah mengkaji tentang kandungan protein gelembung renang

ikan diantaranya ikan patin 76.75% bk (Trilaksani 2006); tuna sirip kuning 72.53% bk

(Kaewdang 2015) dan cunang 93.39% bk (Kartika dan Trilaksani 2016). Hal ini menunjukkan

bahwa gelembung renang ikan memiliki komponen kolagen. Ekstraksi kolagen dari

by-product hasil perairan mulai berkembang, di antaranya kulit, tulang, sisik, dan gelembung

renang (Nagai dan Zuzuki 2000). Metode ekstraksi kolagen yang diterapkan, meliputi

ekstraksi kolagen larut asam (acid solubilized collagen/ASC) dan kolagen larut enzim pepsin

(pepsin soluble collagen/PSC) atau enzim papain. Karakteristik kolagen yang diisolasi

merupakan kolagen tipe I yang memiliki bobot molekul lebih kecil dibandingkan dengan

kolagen yang berasal dari mamalia (Kaewdang 2015).

Kolagen merupakan biomaterial penting dalam bidang industri makanan, kosmetik,

biomedis dan industri farmasi yang terdiri dari tiga rantai polipeptida (triple helix) dan

merupakan protein berserat. Menurut Liu et al. (2015) kolagen komersial biasanya bersumber

dari kulit dan tulang sapi, babi dan unggas yang berpotensi tidak halal dan terkontaminasi

biologis yang dapat menyebabkan beberapa jenis penyakit, seperti bovine spongiform
encephalophaty (BSE), transmissible spongiform encephalophaty (TSE), foot and mouth

disease (FMD), dan infeksi cacing pita sehingga mendapat reaksi negatif dari konsumen yang

sadar akan pentingnya kesehatan. Kolagen hasil perairan dapat menjadi alternatif

pengembangan kolagen halal dan sehat.

Kolagen banyak digunakan sebagai sediaan kosmetik, terutama dalam krim pelembab

wajah karena bersifat oklusif, yaitu menghambat penguapan air yang berlebihan sehingga

tetap menjaga kelembaban kulit, membuat kulit kembali elastis serta dapat mengurangi

keriput sebagai efek dari penuaan (Zhai dan Maibach 2002). Andirisnanti (2012)

menggunakan ekstrak kolagen teripang (Stichopus hermanni) dalam krim pelembab kulit;

kolagen dari spons (Chondrosia reniformis) sebagai bahan baku sediaan kosmetik

(Swatscheck et al. 2002). Data penelitian gelembung renang ikan dan pemanfaatannya di

Indonesia masih terbatas dan penggunaan kolagen gelembung renang ikan cunang dalam krim

pelembab wajah belum pernah dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian tentang

ekstraksi kolagen dari gelembung renang ikan cunang sebagai sediaan krim pelembab wajah.

Tujuan penelitian adalah untuk: 1) mengisolasi dan menentukan profil kolagen larut asam dari

gelembung renang ikan cunang; 2) formulasi kolagen larut asam menjadi sediaan krim

pelembab wajah dan menentukan karakteristik mikrobiologi, fisik dan kimia.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gelembung renang ikan cunang

dari by product pengolahan kerupuk di sentra pengolahan Desa Kenanga, Kecamatan Sindang

Kabupaten Indramayu-Jawa Barat. Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu NaOH, asam

asetat (CH3COOH), NaCl, tris hidroksimetil aminomethane, etilen diamin tetraasetat (EDTA),

Comassie Briliant Blue G-250 (SIGMA), Bovine Serum Albumin (SIGMA); dan bahan-bahan
pembuatan krim pelembab wajah, seperti deionize water, gliserin, emulgade® 1000 NI, asam

stearat, setil alkohol, parafin cair, trietanolamin (TEA), metil paraben, butilhidroksitoluen

(BHT), dan fragrances.

Peralatan utama yang digunakan untuk ekstraksi kolagen, pembuatan krim dan

analisisnya yaitu spektrofotometer UV-VIS (Hitachi U-2800), sentrifugasi (HIMAC 21G),

freeze dryer (Eyela FD-1000), oven (Memmert UNB 400), pH meter (ORION 3 STAR Thermo

Scientific), seperangkat alat sokhlet, tanur, dan Kjeldahl, kromameter (CR-410), fourier

transform infrared spectrophotometry (Bruker Tensor 37 German), differential scanning

calorimetry (DSC-60 Shimadzu Kyoto Japan), dan ultra performance liquid chromatography

(Water-Coorporation USA), viskometer (Brookfield tipe RV), dan penetrometer

(Herzoo German).

Metode penelitian

Penelitian ini diawali dengan penentuan kandungan kimia gelembung renang ikan

cunang dan pra ekstraksi menggunakan larutan basa NaOH 0.1 M selama 8 jam. Penelitian

utama yaitu 1) ekstraksi kolagen menggunakan asam asetat dan karakterisasi fisik, kimia dan

mikrobiologi kolagen; 2) pembuatan sediaan krim pelembab wajah dan karakterisasi

mikrobiologi, fisik, dan kimia.

Pra ekstraksi dan optimasi ekstraksi kolagen gelembung renang ikan cunang

(Modifikasi Kaewdang 2015)

Gelembung renang ikan cunang dipreparasi dengan cara dibersihkan dengan air dingin

yang mengalir, kemudian dipotong ukuran 2x2 cm 2. Sampel yang sudah dipreparasi direndam

dalam larutan NaOH 0.1 M selama 8 jam (rasio 1:10 b/v) dan diukur protein terlarutnya
(Bradford 1976) kemudian sampel dicuci dengan akuades hingga netral. Optimasi ekstraksi

kolagen menggunakan asam asetat (CH3COOH) 0.25; 0.50 dan 0.75 M (M1, M2, M3) selama

24; 48 dan 72 jam (T1, T2, T3) pada suhu 4°C (rasio 1:6 b/v). Filtrat disaring kemudian

dipresipitasi dengan NaCl (2.6 M) pada 0.5 M buffer tris (hydroximethyl) aminomethane (pH

7.5) dan disimpan selama 24 jam pada suhu 4°C. Presipitat dipisahkan dengan sentrifugasi

pada kecepatan 6910 xg selama 1 jam. Peletnya diambil dan dilarutkan ke dalam 0.5 M asam

asetat (rasio 1:2 b/v) kemudian didialisis terhadap 0.1 M asam asetat (rasio 1:10 b/v) selama

12 jam, dialisis dilanjutkan terhadap akuades (rasio 1:10 b/v) sampai pH >5. Dialisat yang

dihasilkan diliofilisasi.

Karakterisasi fisik, kimia dan mikrobiologi kolagen, meliputi analisis proksimat; logam

berat (arsen, kadmium, timbal dan merkuri); warna kolagen, derajat keasaman, asam amino

dengan UPLC, gugus fungsi dengan FTIR (Budrugeac et al. 2010), bobot molekul

(Laemmli 1970), stabilitas termal dengan DSC (Kaewdang 2015), dan mikrobiologi yaitu

E. coli dan Salmonella.

Formulasi sediaan krim pelembab wajah

Pembuatan sediaan krim menggunakan bahan-bahan yang terdiri dari fase minyak

meliputi asam stearat, setil alkohol, emulgade, dan parafin cair kemudian dicampurkan dalam

satu beaker glass (sediaan 1). Fase air meliputi gliserin, triethanolamin (TEA) dan air

deionisasi (deionize water) kemudian dicampurkan dalam satu beaker glass (sediaan 2).

Jumlah kolagen larut asam yang digunakan adalah 4% (Flick 1992). Formulasi sediaan krim

berdasarkan modifikasi Mitsui (1997) yang sesuai persyaratan Annexes of the ASEAN

Cosmetics Directive and Pharmacheutical Excipients.

Sediaan 1 dan 2 dipanaskan dan diaduk pada suhu 70ºC secara terpisah hingga

homogen. Kedua sediaan yang telah homogen tersebut dicampurkan dan diaduk hingga
merata selama 30 menit sampai suhu mencapai 35 dan/atau 40°C (sediaan 3). Langkah

selanjutnya adalah pengadukan sediaan krim dengan menggunakan magnetic stirrer

±5000 rpm selama 15 menit hingga sediaan krim homogen, kemudian metil paraben, kolagen

gelembung renang ikan cunang (0% dan 4%), BHT dan parfum dimasukkan ke dalam

sediaan 3 pada suhu 35°C dan diaduk hingga homogen.

Analisis sediaan krim meliputi Angka Lempeng Total/ALT, uji organoleptik terhadap

30 panelis semi terlatih, pengukuran nilai pH, uji stabilitas, uji siklus, homogenitas,

viskositas, konsistensi, dan uji mekanik.

Analisis Data (Mattjik dan Sumertajaya 2013)

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pengamatan

berulang (RAL in time) dengan 3 ulangan pada optimasi ekstraksi kolagen. Data hasil

penelitian dianalisis dengan program SAS 9.3 untuk mengetahui ragam (ANOVA) dan jika

terdapat beda nyata antara taraf perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple

Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%. Analisis data krim dengan independent

sampel t-test menggunakan SPSS versi 15.1 serta analisis deskriptif terhadap data

karakteristik mikrobiologi, fisik dan stabilitas sediaan krim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Kimia Gelembung Renang Ikan Cunang

By-product gelembung renang ikan cunang memiliki kandungan protein cukup tinggi,

yaitu 96.21±0.71% basis kering (bk). Rerata kandungan protein kasar dari jenis bahan baku

gelembung renang ikan cunang yang sama adalah 95.69±0.84% bk (Djailani 2016; Kartika

dan Trilaksani 2016). Hal ini berarti kandungan protein gelembung renang ikan cunang lebih
tinggi dibandingkan dengan gelembung renang ikan lainnya, di antaranya gelembung renang

ikan tuna dan ikan patin (Kaewdang 2015; Riyanto 2006).

Protein gelembung renang ikan umumnya didominasi oleh protein kolagen (Jonsson

dan Vidarsson 2016). Kolagen (C102H149N31O38) merupakan salah satu protein yang

keberadaannya kurang lebih 30% dari seluruh protein yang terdapat di tubuh, dan merupakan

struktur organik pembangun tulang, gigi, sendi, otot, dan kulit (Voet et al. 2013).

Tabel 1 Komposisi proksimat by-product gelembung renang ikan cunang, tuna sirip kuning dan
patin
Sumber Gelembung Renang Ikan
Komposisi Cunang1 Cunang 3 Tuna 4 Patin5
2
Cunang (Thunnus (Pangasisus
proksimat (Muarenesox (Congresox (Muarenesox albacares) sp.)
talabon) talabon) talabon)
Air6 35.00±0.64 41.72±1.21 26.12±0.22 16.67 21.66
Protein7 96.21±0.71 96.16±1.25 94.72±0.75 72.53 68.00
Lemak7 0.86±0.49 1.03±0.05 1.91±0.05 8.64 0.14
Abu7 0.49±0.21 1.13±0.06 1.03±0.03 1.74 0.23
Karbohidrat*,7 2.43±0.31 1.68±0.06 2.90±0.36 17.10 19.48
Keterangan: 1Data penelitian, rerata ± SD dari 3 ulangan pada sampel yang sama, 2Djailani (2016),
3
Kartika dan Trilaksani (2016) 4Kaewdang (2015), 5Riyanto (2006), 6persentase bahan kering
(% bk), 7persentase basis kering (% bk), *dihitung secara by difference

Gelembung renang ikan cunang pada penelitian ini memiliki kadar air bahan kering

35.00±0.64% lebih rendah dibandingkan dengan gelembung renang ikan tuna

(Kaewdang 2015), patin (Riyanto 2006) dan bighead carp (Liu et al. 2012). Kadar air dalam

suatu bahan terdiri atas air bebas dan air terikat secara kimia, dan kadar air yang terukur

merupakan air bebas dalam bahan baku. Kandungan air juga ikut menentukan kesegaran dan

daya tahan suatu bahan. Holma et al. (2013) menyatakan bahwa pada umumnya ikan terdiri

atas 70 sampai 84% air, 15-24% protein, 0.1-22% lemak dan 1-2% mineral. Kadar lemak

(0.86±0.49% bk), abu (0.49±0.21% bk) dan karbohidrat (2.43±0.31% bk) menentukan tahap

pra ekstraksi yang akan diterapkan pada proses ekstraksi gelembung renang, yang akan
memberikan keuntungan di antaranya efektif dan ekonomis dari sisi waktu dan biaya.

Tahapan pra ekstraksi yang dimaksud adalah penghilangan komponen protein non kolagen

(deproteinase), lemak (defatting), dan mineral (demineralisasi). Komponen proksimat

menunjukkan gambaran bahwa gelembung renang ikan cunang sangat berpotensi

dimanfaatkan mengingat komponen utamanya berupa protein (kolagen) sebagai sumber

kolagen terbarukan dari by-product perairan.

Optimasi Ekstraksi Kolagen Larut Asam (ASC)

Optimasi ekstraksi kolagen larut asam dilakukan setelah pra ekstraksi menggunakan

NaOH 0.1 M dengan waktu perendaman 8 jam. Hasil sidik ragam (ANOVA) kelarutan

kolagen gelembung renang ikan cunang saat diekstraksi dengan asam asetat (CH 3COOH)

menunjukkan perlakuan konsentrasi asam asetat (M) dan lama waktu perendaman (T) serta

interaksinya (MT) berpengaruh signifikan terhadap kelarutan kolagen gelembung renang ikan

cunang (p<0.05). Uji lanjut DMRT menunjukkan perlakuan konsentrasi asam asetat (M1, M2

dan M3) dan lama waktu perendaman 72 jam (T3) berbeda nyata. Kelarutan kolagen dalam

asam asetat dan rendemen kolagen liofilisasi ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1 Persentase kelarutan kolagen gelembung renang ikan cunang dalam asam asetat
0.25 M (M1), 0.50 M (M2) dan 0.75 M (M3). Lama perendaman 24 jam ( ),
48 jam ( ) dan 72 jam ( ). Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil
perlakuan yang berbeda nyata (p<0.05).
Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan lama waktu perendaman (T) berpengaruh

nyata terhadap rendemen kolagen (p<0,05). Gambar 2 menunjukkan hasil uji lanjut DMRT

terhadap rendemen kolagen meningkat seiring bertambahnya waktu ekstraksi, yaitu pada

perlakuan konsentrasi asam asetat 0.25 M; 0.50 M; 0.75 M (M1, M2 dan M3) dengan waktu

perendaman 72 jam (T3) berbeda nyata. Asam asetat memiliki kemampuan yang baik untuk

melarutkan atau melepaskan rantai polipeptida penyusun kolagen yang terdapat dalam matriks

tropokolagen (Liu et al. 2015). Proses ekstraksi juga dipengaruhi oleh waktu untuk

perpindahan molekul suatu zat selama proses difusi (Dennison 2002).

Gambar 2 Persentase rendemen kolagen liofilisasi gelembung renang ikan cunang ekstraksi
CH3COOH 0.25 M (M1); 0.50 M (M2) dan 0.75 M (M3) selama 24 jam ( ),
48 jam ( ) dan 72 jam ( ). Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda
menunjukkan hasil perlakuan yang berbeda nyata (p<0.05).

Gugus Fungsi (Fourier Transform Infra Red/FTIR) Kolagen

Hasil FTIR kolagen memiliki puncak serapan amida A (3441.50 cm -1), amida B

(2922.53 cm-1), amida I (1649.93 cm-1), amida II (1512.96 cm-1) dan amida III (1316.20 cm-1)

yang mencirikan struktur-struktur penyusun protein kolagen. Amida A merupakan gugus khas

kolagen yang menunjukkan NH stretching (Muyonga et al. 2004); amida B terbentuk dari
asimetrikal stretching CH2 (Coates 2006); amida I menunjukkan vibrasi C=O stretching

(Kong dan Yu 2007); amida I terdiri dari empat komponen struktur sekunder protein, yaitu

α-heliks (1654 cm-1 dan 1658 cm-1), β-sheet (1624 cm-1 dan 1642 cm-1), β-turn (1666

cm-1, 1672 cm-1, 1680 cm-1, 1688 cm-1), dan random coil (1648 cm-1) yang saling bertumpang

tindih (Muyonga et al. 2004). Hal ini menunjukkan bahwa kolagen memiliki struktur β-sheet

sebagai komponen penyusun kolagen. Gugus amida II dan III berada pada puncak wilayah

serapan 1480-1575 cm-1 dan 1229-1301 cm-1 yang menunjukkan interaksi intermolekuler pada

kolagen dengan adanya gugus CN stretching dan NH bending (Kong and Yu 2007).

Bobot Molekul Kolagen

Bobot molekul (BM) kolagen pada Gambar 3 memiliki pita utama α1 (136 kDa) dan

α2 (117 kDa). Keberadaan rantai α menunjukkan bahwa kolagen merupakan tipe I (Kaewdang

2015). Kolagen tipe I dapat ditemukan pada bagian tendon dan jaringan ikat dengan BM rata-

rata 290 kDa dan mengandung 3 rantai polipeptida sebagai rantai α yang melingkari rantai

lainnya seperti untaian tali (struktur triple helix) sehingga membuat molekul kaku dan

bentuknya seperti batang (Shoulders dan Raines 2009).


Gambar 3 Pola pita protein kolagen larut asam gelembung renang ikan cunang. (M) Marker;
(1) konsentrasi asam asetat 0.25 M dan waktu ekstraksi 24 jam (M1T1);
(2) konsentrasi asam asetat 0.5 M dan waktu ekstraksi 24 jam (M2T1);
(3) konsentrasi asam asetat 0.75 M dan waktu ekstraksi 24 jam (M3T1);
(4) konsentrasi asam asetat 0.25 M dan waktu ekstraksi 48 jam (M1T2);
(5) konsentrasi asam asetat 0.5 M dan waktu ekstraksi 48 jam (M2T2);
(6) konsentrasi asam asetat 0.75 M dan waktu ekstraksi 48 jam (M3T2);
(7) konsentrasi asam asetat 0.25 M dan waktu ekstraksi 72 jam (M1T3);
(8) konsentrasi asam asetat 0.5 M dan waktu ekstraksi 72 jam (M2T3); dan
(9) konsentrasi asam asetat 0.75 M dan waktu ekstraksi 72 jam (M3T3).

Komposisi Proksimat, pH, Warna, Logam Berat, dan Mikrobiologi Kolagen

Tabel 2 menunjukkan komposisi proksimat kolagen memiliki kadar protein paling

dominan dibandingkan dengan komponen lainnya. Kolagen yang dihasilkan bersifat asam,

disebabkan karena ekstraksi menggunakan asam asetat dan tidak distirrer saat proses dialisis.

Menurut Dennison (2002), laju difusi ditentukan oleh konsentrasi molekul pelarut dalam

kantung dialisis, luas permukaan, volume pelarut dan pengadukan. Kolagen memiliki warna

yang baik dan tidak terdeteksi cemaran logam berat dan mikroba (E. coli dan Salmonella)

sehingga memenuhi persyaratan mutu SNI 8076-2014 (BSN 2014).

Tabel 2 Komposisi proksimat, pH, logam berat, dan mikrobiologi kolagen larut asam
(ASC) dari gelembung renang ikan cunang
Kolagen gelembung renang
Parameter uji Satuan Syarat mutu kolagen
M. talabon1
Air %bb 12,12±0,04 < 12 (BSN 2014)
Protein %bb 86,74±0,20 > 75 (BSN 2014)
Lemak %bb 0,00±0,00 < 1 (BSN 2014)
Abu mg/kg 1,14±0,13 < 1 (BSN 2014)
pH - 4,31 6.5-8 (BSN 2014)
Warna
ΔE 63.38 total perbedaan warna
L* (terang dan gelap) - 62.91 L* (terang)
a* (merah dan hijau) -1.89 a* (hijau)
b* (kuning dan biru) 7.44 b* (kuning)
Pb mg/kg 0,009* < 0.4 (BSN 2014)
Hg mg/kg 0,004* < 0.5 (BSN 2014)
As mg/kg 0,008* < 1 (BSN 2014)
Cd mg/kg 0,00011* < 0.1 (BSN 2014)
E. coli /0,1 gram 0,000 < 3 (BSN 2014)
Salmonella /10 gram 0,000 Negatif (BSN 2014)

Komposisi Asam Amino Kolagen

Komposisi asam amino kolagen didominasi oleh asam amino glisina (241.06 mg/g),

prolina (88.73 mg/g), dan alanina (86.98 mg/g). Struktur triple helix kolagen dirakit dari

polipeptida spesifik rantai α dengan posisi Gly-X-Y, dimana posisi X diisi dengan asam

amino prolina dan pada posisi Y diisi dengan asam amino hidroksiprolina atau hisdroksilisina

(Shoulders dan Raines 2009). Menurut Van der Rest dan Garrone (1991) bahwa

hidroksiprolina berasal dari prolina yang dikatalisis oleh enzim prolin hidroksilase dan

hidroksilisin berasal dari hidroksilasi lisin oleh enzim lisil, keduanya memerlukan vitamin C

sebagai kofaktor sedangkan asam amino prolina merupakan asam amino yang dapat

menciptakan belokan pada struktur α-heliks dan hidroksiprolina berfungsi dalam

meningkatkan stabilitas kolagen.

Differential Scanning Calorimetry (DSC) Kolagen

Hasil pengukuran DSC kolagen pada suhu 20-50 ºC dengan laju pemanasan 1 ºC/menit

menunjukkan reaksi endotermik dengan puncak Tmax 39.05 ºC dan nilai entalpi (ΔH) adalah

0.6388 J/g. Nilai Tmax kolagen lebih tinggi dibandingkan dengan suhu transisi ASC gelembung

renang ikan tuna sirip kuning yaitu 33.92 ºC (Kaewdang 2015). Perbendaan nilai Tmax

berhubungan dengan komponen asam amino kolagen (prolina dan hidroksipolina) dan suhu

tubuh spesies serta habitatnya (Kaewdang 2015).


Karakteristik Fisik Sediaan Krim

Karakteristik fisik sediaan krim plasebo (krim A) dan krim kolagen (krim B) pada

minggu ke-0 ditunjukkan pada Tabel 3; visualisasi sediaan krim A dan krim B pada Gambar

4(a); dan uji homogenitas pada Gambar 4(b).

Gambar 4 (a) Sediaan krim A dan krim B pada minggu ke-0; (b) Pengamatan
homogentitas sediaan krim A dan krim B pada kaca objek
Tabel 3 Hasil evaluasi sediaan krim A dan krim B pada minggu ke-0
Pengamatan Sediaan
Krim plasebo Krim kolagen
Organoleptik Warna putih, bau Warna putih keruh, bau
harum harum
Homogenitas Homogen Homogen
Nilai pH 6.75 6.35
Viskositas (cps) 52000 95000
Konsistensi (10-1 mm) 300 290

Pengamatan Organoleptik dan Performansi Sediaan Krim

Hasil penilaian organoleptik oleh responden terhadap sediaan krim A dan krim B

memiliki bau harum; warna dominan high hiding white (E34) dan contemporary white (E35);

serta tidak menunjukkan pemisahan fase emulsi. Bau harum pada krim disebabkan karena

adanya penambahan fragrences mawar sedangkan perbedaan warna disebabkan karena pada

krim B ditambahkan dengan kolagen yang memiliki warna dasar L* 62.91% dan b* 7.44%.

Performansi sediaan krim oleh responden ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengamatan uji performansi sediaan krim A dan krim B


Sediaan
Uji performansi
Krim plasebo (krim A) Krim kolagen (krim B)
Consistency Konsisten Konsisten
Cushion Padat & kurang padat Padat
Distribution Mudah menyebar Mudah menyebar
Absorption Mudah menyerap Mudah menyerap
Stickness Tidak lengket Tidak lengket
Smoothness Lembut Lembut

Angka Lempeng Total (Total Plate Count/TPC) Sediaan Krim

Hasil pengujian total mikroba pada minggu ke-0 dan ke-4 (Tabel 5) menunjukkan

krim A dan krim B tidak terdeteksi cemaran mikroba. Menurut syarat mutu yang ditetapkan
BSN (1998) yaitu 105 koloni/gram, sehingga krim yang dihasilkan aman bagi kulit.

Metil paraben adalah bahan yang berperan sebagai pengawet antimikroba pada krim. Menurut

Djajadisastra (2004) kontaminasi mikrobiologi ditandai dengan pertumbuhan mikrorganisme,

seperti Aspergillus niger, Candida albicans, Staphylacoccus aureus, dan Escherichia coli

Tabel 5 Rerata jumlah total mikroba yang terdapat pada sediaan krim A dan krim B pada minggu
ke-0 dan ke-4

Rerata Hasil
Syarat mutu krim (BSN
Jenis sampel Pengamatan jumlah (koloni/g atau
1988)
koloni koloni/mL)
Minggu ke-0 0 x 102
Krim A Negatif Maks. 105
Minggu ke-4 0 x 102
Minggu ke-0 0 x 102
Krim B Negatif Maks. 105
Minggu ke-4 0 x 102

yang mencemari produk saat pembuatan.

Viskositas dan Sifat Alir Sediaan Krim

Reogram viskositas krim A dan krim B pada minggu ke-0 (Gambar 6) dan minggu ke-4

(Gambar 7) menunjukkan sediaan krim memiliki sifat pseudoplastis tiksotropik walaupun

terjadi kenaikan viskositas. Hal ini disebabkan karena adanya peristiwa tiksotropik, yaitu

proses pengadukan saat krim tersebut baru dibuat (minggu ke-0) sehingga memiliki nilai

viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan viskositas pada minggu ke-4. Sifat

tiksotropik merupakan sifat aliran yang diharapkan dalam sediaan kosmetik, yaitu memiliki

konsistensi dan daya sebar yang baik sehingga diharapkan mudah berpenetrasi ke dalam kulit

(Mitsui et al. 1997).


Gambar 6 Reogram viskositas sediaan krim A Gambar 7 Reogram viskositas sediaan krim A
dan krim B pada minggu ke-0 dan krim B pada minggu ke-4

Konsistensi Sediaan Krim

Hasil pengukuran konsistensi krim A dan krim B pada minggu ke-0 memiliki angka

kedalaman penetrasi sebesar 300 x 10-1 mm dan 290 x 10-1 mm. Pengkuran pada minggu ke-

4 yaitu 290 x 10-1 mm dan 280 x 10-1 mm. Masing-masing sediaan krim mengalami

peningkatan konsistensi pada minggu ke-4 yang berkaitan dengan peristiwa tiksotropik.

Menurut Juwita et al. (2013) kenaikan viskositas berbanding lurus dengan konsistensi, yaitu

semakin tinggi viskositas maka konsistensi krim juga semakin meningkat yang ditandai

dengan berkurangnya angka penetrasi kerucut dari penetrometer.

Stabilitas Sediaan Krim

Uji stabilitas bertujuan untuk menguji kestabilan emulsi sediaan krim pada suhu yang

berbeda (4 °C, 24 °C, dan 40 °C); pengamatan cycling test; dan centrifugal test. Hasil

pengamatan organoleptik krim A dan krim B yaitu memiliki stabilitas yang baik dalam

penyimpanan di suhu dingin, suhu kamar, dan suhu tinggi. Perubahan nilai pH krim A dan

krim B (Tabel 7) menunjukkan nilai pH sediaan krim berada di kisaran pH blance kulit
(4.5 sampai 6.5) dan standar pH krim pelembab yaitu 3.4 sampai 8.0 (BSN 1998) sehingga

memenuhi kriteria. Menurut DEPKES (1995), nilai pH yang terlalu asam dapat menyebabkan

kulit bersisik. Faktor penyimpanan sediaan krim pada suhu yang berbeda tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nilai pH.

Pengamatan cycling test (uji siklus)

Hasil pengamatan organoleptik cycling test (4 siklus) terhadap sediaan krim A dan krim

B disajikan pada Gambar 8. Kestabilan emulsi pada sediaan krim terjadi karena adanya peran

penting dari emulgator yang berfungsi sebagai film penutup untuk melindungi emulsi. Jika

film pengemulsi dapat bekerja kembali di bawah tekanan yang diinduksi oleh kristal es

sebelum koalesens terjadi, maka sistem emulsi tersebut akan stabil karena akan terjadi

pelepasan air pada saat didinginkan (Juwita et al. 2012). Koalesens adalah peristiwa pecahnya

emulsi karena adanya penggabungan partikel-partikel kecil fase terdispersi membentuk

lapisan atau endapan yang bersifat irrevesible yaitu emulsi tidak dapat terbentuk kembali

seperti semula.

Centrifugal test (uji mekanik)

Hasil pengamatan centrifugal test sediaan krim A dan krim B (Gambar 9) menunjukkan

tidak ada pemisahan fase emulsi setelah diberikan gaya sentrifugasi dengan kecepatan 3800

rpm (1360 xg) selama 280 menit, sehingga dapat dipastikan bahwa sediaan krim memiliki

umur simpan selama setahun. Menurut Lachman et al. (1994) sentrifugasi dengan kecepatan

3750 rpm selama 300 menit (gaya gravitasi setahun) bertujuan untuk mengetahui masa

simpan dari sediaan krim. Menurut hukum Stokes bahwa kenaikan dan gaya gravitasi dapat

mempercepat pemisahan fase suatu bahan.


(A.1) (A.2)

(B.1) (B.2)

Keterangan: A.1 = krim A pada siklus ke-0; A.2 = krim A pada siklus ke-4; B.1 = krim B pada siklus ke-0;
B.2 = krim B pada siklus ke-4

Gambar 8 Hasil uji cycling test sediaan krim A dan krim kolagen B pada siklus
ke-0 dan siklus ke-4

(a) (b)

Gambar 9 Hasil uji mekanik sediaan krim plasebo (krim A) dan krim kolagen (krim B)
pada minggu ke-0 (a) dan minggu ke-4 (b)
SIMPULAN

Gelembung renang ikan cunang mengandung protein kolagen yang tinggi. Kolagen

gelembung renang ikan cunang termasuk tipe I dengan komposisi proksimat, warna, logam

berat dan mikrobiologi kolagen yang masih sesuai dengan syarat mutu kolagen. Formula

sediaan krim pelembab wajah dengan 4% kolagen memenuhi syarat mutu krim pelembab

wajah sehingga aman untuk digunakan secara topikal.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Yayasan Universitas Kristen Artha

Wacana (UKAW) Kupang yang telah mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Andirisnanti WA. 2012. Uji manfaat ekstrak kolagen kasar dari teripang Stichopus hermanni

sebagai bahan pelembab kulit [Tesis]. Depok: Program Pascasarjana, Universitas

Indonesia.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of

The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official

Analytical Chemist, Inc.

Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram

quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Analytical Biochemistry

72:248-254.

[BSN] Badan Standardisasi Indonesia. 1998. Krim Pemutih Kulit: SNI 16-4954-1998.

Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.


[BSN] Badan Standardisasi Indonesia. 2014. Kolagen Kasar Dari Sisik Ikan: SNI 806-2014.

Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Budrugeac, P., E. Badea, G.D. Gatta, L. Miu, and A. Comanescu. 2010. A DSC study

deterioration caused environmental chemical pollutans to parchment, a collagen-based

material. Journal Thermochimica Acta 500:51-62.

Coates J. 2006. Interpretation of infrared spectra, a practical approach. Di dalam: Meyers RA,

editor. Encyclopedia of Analytical Chemistry. Chichester (GB): John Miley and Sons Ltd.

Dennison C. 2002. A Guide to Protein Isolation. Kluwer Academic Publishers. New York,

Boston, Dondrecht, London, Moscow.

Djailani F, Trilaksani W, Nurhayati T. 2016. Optimasi ekstraksi dan karakterisasi kolagen

dari gelembung renang ikan cunang dengan metode asam-hidro-ekstraksi. Jurnal

Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 19(2):156-167.

Djajadissastra J. 2004. Cosmetic Stability. Seminar Setengah Hari HIKI. Depok: Universitas

Indonesia.

[DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi

ke-4. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Flick EW. 1992. Cosmetic and Toiletry Formulations Volume 2. Park Ridge, New Jersey,

USA: Noyes Publications.

Juwita NK, Djajasastra J, Azizahwati. 2013. Uji penghambatan tirosinase dan stabilitas fisik

sediaan krim pemutih yang mengandung ekstrak kulit batang nangka (Artocarpus

heterophyllus). Majalah Ilmu Keaframasian 8(2):57-124.

Kaewdang O. 2015. Value-added products from yellowfin tuna swim bladder: collagen and

gelatin [Thesis]. Songkla: Prince of Songkla University.


Kartika IWD, Trilaksani W. 2016. Karakterisasi kolagen dari limbah gelembung renang ikan

cunang hasil ekstraksi asam dan hidrotermal. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan

Indonesia 19(3):222-232.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. Oxford:

Pergamon-Press.

Kong J, Yu S. 2007. Fourier transform infrared spectroscopic analysis of protein secondary

structures. Acta Bioch Bioph Sin 39(8):549-559.

Lachman L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Siti S, penerjemah. Edisi ke-3.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural protein during the assembly of head of

bacteriophage T4. Nature 277: 680-685.

Liu D, Zhang X, Li T, Yang H, Zhang H, Regenstein MJ, Zhou P. 2015. Extraction and

characterization of acid and pepsin soluble collagens from the scales, skins and swim

bladders of grass carp (Ctenopharyngodon idella). Journal Food Chemistry (9):68-74.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2013. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan

Minitab. Ed ke-2. Bogor: IPB-Press.

Mitsui T. 1997. New Cosmetic Science. Amsterdam (NL): Elsevier.

Muyonga JH, Cole CGB, Duodu KG. 2004. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic

study of acid soluble collagen and gelatin from skins and bones of young and adult nile

perch (Lates niloticus). Journal Food Chemistry 86:325-332.

Nagai T, Suzuki N. 2002.Isolation of collagen from fish waste material-skin, bone and fins.

Journal Food Chemistry 68(3):277-281.

Nollet LML. 1996. Handbook of Food Analysis: Physical characterization and nutrient

analysis. Edisi ke-2. CR- Press LLC. New York.


Shoulders MD, Raines RT. 2009. Collagen structure and stability. Annu Rev Biochem

78: 929-958.

Swatschek D, Scatton W, Kellermann J, Muller WEG, Kreuter J. 2002. Marine sponge

collagen: isolation, characterization and effects on the skin parameters surface-pH,

moisture adn sebum. Europan Journal of Pharmacheutical and Biopharmacheutics

53: 107-113.

Trilaksani W, Bambang R, Nur R. 2008. Karakteristik edible film dari isinglasss dengan

penambahan sorbitol sebagai palsticizer. Jurnal Perikanan dan Kelautan 13(1):52-63.

Van der Rest M, Garrone R. 1991. Collagen family of proteins. Journal FASEB 5:2814-2823.

Zhai H, Maibach HI. 2002. Occlusion vs skin barrier function. Skin Research and

Technology 8: 1-6.

Anda mungkin juga menyukai