Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERANAN USHUL FIQH DALAM


PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
DI INDONESIA

Disusun Oleh :
Nama : AGUS SYAHPUTRA
Program Studi : Pendidikan Agama Islam

UNIVERSITAS AL – WASHLIYAH
LABUHANBATU
Tahun Akademik 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kehadhirat Allah swt yang telah


melimpahkan rahmat dan nikmat kepada kita semua, serta kesehatan dan
kesempatan kepada penulis sehingga telah dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini, walaupun serba kekurangan dari segi ilmu bagi penulis
alhamdulillah makalah ini dapat selesai, Salawat serta salam kita sampaikan
kepada Rasulullah saw serta keluarga dan sahabat beliau selalu tercurahkan.
Makalah ini membahas tentang kaidah ushul “Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia”. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada dosen
pengasuh yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
penyusunan makalah ini, tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang masih dan selalu berkontribusi dalam penyusunan makalah
ini hingga selesai. Penulis menyadari makalah ini masih sangat kekurangan
dan belum sempurna, maka disini masih diperlukan kritik dan saran yang
membangun.

Penulis

Agus Syahputra

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Peranan Ushul Fiqh)

A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Pembahasan .......................................................................................... 2
1. Konsepsi Hukum Islam di Indonesia................................................. 3
2. Kompilasi Hukum Islam, Positivisasi Hukum Islam........................... 5
3. Kapitaselekta Kompilasi Hukum Islam.............................................. 6
4. Penerapan Maqashid Sebagai Pembaharuan
Sistem Hukum Islam.......................................................................... 7
C. Penutup
1. Kesimpulan........................................................................................ 11
2. Saran................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 12

iii
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(Peranan Ushul Fiqh)

A. LATAR BELAKANG

Perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam dari generasi ke


generasi hingga saat ini, telah mengundang berbagai persoalan atau masalah
baru yang memerlukan ketetapan hukum Islam. Penetapan hukum Islam ini
merupakan suatu keniscayaan sesuai dengan asas syariat Islam yang selalu
relevan dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Meskipun demikian, dalam menjawab berbagai persoalan atau masalah
baru di masyarakat yang sangat memerlukan ketetapan hukumnya, Alquran
dan Hadis seakan tidak mampu menghadapinya, sehubungan dengan telah
terhentinya wahyu dan wafatnya Nabi Muhammad SAW yang berperan sebagai
mediator antara wahyu dengan realitas yang hidup pada masa itu. 1 Dalam hal
ini, Abu Yazid mengungkapkan: Teks wahyu (Alquran dan Hadist) dalam
persoalan sosial kemasyarakatan amat terbatas jumlahnya dibanding jumlah
peristiwa hukum yang terus bergerak dinamis sepanjang masa. Dengan
demikian, mengandalkan teks wahyu semata tidaklah cukup memadai dalam
menyikapi persoalan kemanusiaan sehari-hari. 2
Menurut A. Athaillah, yang dimaksud Alquran menjelaskan segala
sesuatu, tidaklah menjelaskan segala sesuatu dengan detail, menyelesaikan
semua kasus dengan rinci, dan memecahkan semua problem yang muncul
dengan jelimet. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah menjelaskan segala
sesuatu yang bersifat al-qawanin al-‘ammah (aturan-aturan umum) dan al-
mabadi al-kulliyah (prinsip-prinsip yang universal) yang dapat diaplikasikan
untuk semua kasus dan problem yang muncul dalam kehidupan manusia, baik
untuk mereka yang hidup di masa lalu dan masa kini maupun untuk mereka
yang hidup pada masa yang akan datang.3

1
A. Athaillah, "Mengenal 'Ulum Alquran", Makalah, Program Pascasarjana IAIN Antasari
Banjarmasin, 2005, hal. 2
2
Abu Yasid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syari’at, (selanjutnya disebut
Nalar), (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 4.
3
A. Athaillah, “Mengenal Qawa‟id Fiqhiyyah (Legal Maxim)”, Makalah, Program Pascasarjana IAIN
Antasari Banjarmasin, 2007, hal. 2. Lihat pula H. A. Athaillah, Sejarah Alquran: Verifikasi tentang Otentisitas
Alquran, (Banjarmasin: Antasari Press Banjarmasin, 2006), Cet. ke-1, hal. 21-22.

1
B. PEMBAHASAN

Ayat Al-Qur’an atau Hadist Rasulullah saw yang menunjukkan hukum-


hukum yang agak detail atau rinci terdapat pada bidang ibadah dan hukum
kekeluargaan. Sebaliknya, hukum-hukum yang berkaitan dengan bidang
muamalah, seperti kebendaan, ekonomi, perjanjian, kenegaraan, dan
hubungan internasional pada umumnya berbentuk prinsip-prinsip dasar dan
ketentuan-ketentuan umum. Penjelasan-penjelasan tersebut pada umumnya
hanya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada masa hidup Nabi
Muhammad SAW. Untuk menjawab masalah-masalah baru yang belum ada
penegasan tentang hukumnya di dalam Alquran dan Sunnah, maka para pakar
hukum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya
dengan menggunakan ijtihad.4 Namun, ijtihad itu tidak boleh lepas dari Alquran
dan Sunnah.
Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara: (1)
mengqiaskannya kepada yang sudah ada hukumnya di dalam Alquran dan
Sunnah, (2) menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin al-‘ammah) dan
prinsip-prinsip yang universal (al-mabadi al-kulliyah) yang terdapat dalam
Alquran dan Sunnah, dan (3) menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan
syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam Alquran dan
Sunnah.5 Begitu pentingnya peran ijtihad dalam Islam sehingga sumber hukum
Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Alquran, hadis dan ijtihad. 6
Menurut Amin Suma, para fukaha berbeda pendapat mengenai bilangan ayat
ayat hukum. Ada yang menyebutkan 150 ayat seperti Thanthawi Jawhari, 200
ayat bagi Ahmad Amin, 400 ayat di dalam Ahkam al-Qur’an oleh Ibn al-Arabi.
„Abd al-Wahhab Khallaf menyatakan 228 ayat, 500 ayat menurut al-Ghazali, al-
4
Amir Mu‟alim dan Yusdani, op. cit., hal. 11, Lihat hal. Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), Cet. ke-1, hal. 245-246. Berdasarkan definisi tersebut, ijtihad terbagi kepada dua
macam, yaitu ijtihad untuk menetapkan atau mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dan ijtihad untuk
menerapkan hukum pada berbagai kasus yang muncul. Menurut Ali Yafie, ijtihad tidak berlaku dalam
bidang teologi dan akhlak. Lihat Ali Yafie, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam”, dalam Haidar Bagir
dan Syafiq Basri (Ed.), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), hal. 68.
5
A. Athaillah, Ibid, h. 3-4. Lihat A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (selanjutnya disebut Kaidah), (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.
ke-1, h. 214-215. Bandingkan dengan Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah: baina al-
Maqashid al-Kulliyah wa al-Nushush al-Juz’iyyah, diterjemahkan oleh H. Arif. Munandar Riswanto dengan
judul, Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2007), Cet. ke-1; juga Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina alIndilbat wa al-Infirath, diterjemahkan oleh Abu
Barzani dengan judul, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan), (Surabaya: Risalah Gusti,
1995), Cet. ke-1, hal. 126.
6
Lihat Abu Yasid, Nalar, op. cit., hal. 4-5.

2
Razi, dan Ibn Qudamah, 900 ayat dinyatakan Ibn al-Mubarak dan 1100 ayat
oleh Abu Yusuf. Jadi ayat al-ahkam berkisar antara 150 sampai 1100 ayat atau
2,5 % sampai 17,2% dari 6000 lebih ayat Alquran. 7 Sedangkan hadis yang
berkenaan dengan hukum berdasarkan perkiraan Ibn al-Qayyim hanya sekitar
500 hadis, pendapat lain menyebutkan 1200 hadis dan 300 hadis dari sekian
banyak hadis Nabi Muhammad saw.8

1. Konsepsi Hukum Islam Di Indonesia

Istilah hukum Islam sering dikaitkan dengan fikih dan syariat. Hukum
Islam secara teknis dalam literatur arab tidak ditemukan, kecuali istilah al hukm
dan istilah al Islam yang terpisah terminologinya, sehingga arti definitifnya sulit
ditemukan. Untuk memahami pengertian hukum Islam perlu diketahui lebih
dahulu arti dari kata hukum dalam Bahasa Indonesia, kemudian pengertian
hukum di sandarkan kepada kata Islam. Memang terdapat kesulitan dalam
memberikan definisi hukum, karena setiap definisi akan menemukan titik
lemah. Oleh karena itu untuk memudahkan memahami pengertian hukum,
berikut ini akan diketengahkan definisi hukum sederhana, yaitu seperangkat
peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui oleh sekelompok
masyarakat, disusun dan ditetapkan oleh orang-orang yang diberi wewenang
oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
Bila kata hukum menurut definisi tersebut di atas dihubungkan dengan
kata Islam atau syariat maka hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah swt dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang
beragama Islam”. Kata ’seperangkat peraturan’ dalam definisi tersebut,
menjelaskan bahwa hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara
terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat baik di dunia maupun di
akhirat. Kata ’yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul’ menjelaskan
bahwa perangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah
dan sunnah Rasul atau yang populer dengan sebutan ’syari`at’. Kata ’tentang
tingkah laku manusia mukallaf’ mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya
7
Lihat KH. Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. ke-
1, hal. 32.
8
Lihat Amir Mu‟alim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press,
2005), Cet. ke-1, hal. 27

3
mengatur tingkah laku manusia yang dikenai beban hukum. Peraturan tersebut
berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap orang Islam.
Bila pengertian hukum Islam ini dihubungkan dengan pengertian ’fiqh’
maka dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam dalam
terminologi ini adalah fiqh dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Fiqh
yang dimaksud di sini adalah fiqh di Indonesia. Fiqh adalah hasil penalaran
para pakar hukum Islam, biasanya diberi nama dengan menghubungkan
kepada nama pakar hukum yang menghasilkannya. Ajaran tentang fiqh
menurut hasil penalaran pakar hukum atau mujtahid itu disebut mazhab
dengan menggunakan nama, sesuai dengan nama mujtahidnya.
Sedangkan kelompok orang yang mengikutinya disebut golongan yang
juga diberi nama dengan nama mujtahid perumus fiqh tersebut. Misalnya
madzhab Syafi`i, sedangkan golongan yang mengikutinya disebut Syafi`iyyah.
Oleh karena itu mazhab Syafi`i mendominasi perkembangan fiqh di Indonesia.
Bila diperhatikan kebiasaan rata-rata umat Islam di Indonesia, dalam
melakukan shalat sehari-hari mulai dari cara berwudhu’ yang hanya menyapu
kepala sekedarnya, membasuh tangan lengkap dengan siku, mencuci kaki
sampai dengan mata kaki, wudhu’ batal bila bersentuhan laki-laki dengan
perempuan yang bukan mahram, begitu pula ketika shalat yang berdirinya
dengan meletakkan tangan terpangku di bawah dada, membaca basmalah
secara jahr waktu membaca surah al-fatihah dan surah-surah pendek lainnya,
meletakkan kaki kiri di bawah ketika tahiyyat akhir, membaca qunut waktu
shalat subuh, kemudian dibandingkan dengan kitab-kitab fiqh mazhab Syafi`i,
akan bisa disimpulkan bahwa mayoritas shalatnya umat Islam di Indonesia
adalah menurut mazhab Syafi`i.9
Bila diperhatikan pula cara yang biasa dilakukan umat Islam di negeri ini
dalam melakukan pernikahan, pada umumnya waktu akad nikah dihadiri oleh
wali dan sekaligus meng’aqadkan nikah, dihadiri pula oleh dua orang saksi laki-
laki yang dewasa, cara mengucapkan ijab qabul dan mahar dijelaskan
langsung dalam aqad nikah, Begitu pula bila diperhatikan cara-cara umat Islam
di Indonesia menyelesaikan berbagai persoalan hukum, seperti menyelesaikan
harta warisan, cara-cara menetapkan siapa ahli waris, siapa-siapa yang

9
Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Disertasi Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang.tahun 2008. hal 258

4
terhalang dari hak warisan, demikian pula cara melakukan akad jual beli dalam
setiap barang berharga yang diperjual belikan dan lainnya, maka dapat
dikatakan, muslim Indonesia umumnya menggunakan mazhab Syafi`i.10 Yang
menjadi pertanyaan bagi penulis, Bagaimanakah peran dan fungsi undang-
undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku saat ini ? misalnya
dalam; Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa ’Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya’,
telah memenuhi ketentuan umum dengan tidak bertentangan antara hukum
nasional dengan hukum agama. Demikian pula Pasal 3 ayat (2) yang
menjelaskan bahwa ”pengadilan dapat memberikan izin kepada seseorang
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan” telah memenuhi tuntutan khusus hukum Islam yang
memungkinkan adanya poligami dalam perkawinan Islam. Tidak
bertentangannya ketentuan dalam hukum nasional dengan hukum agama akan
berpengaruh positif pada pertanggungjawaban hukum warga negara yang juga
penganut ajaran agama.11

2. Kompilasi Hukum Islam, Positivisasi Hukum Islam


Lahirnya naskah Kompilasi Hukum Islam (KHI) (proses penyusunan KHI
diketuai oleh Bustanul Arifin dimulai sejak tahun 1985 dan diberlakukan
sebagai pedoman Peradilan Agama mulai tahun 1991) dapat di pandang
sebagai bagian dari fenomena perbaharuan hukum Islam di Indonesia.
Dikatakan demikian, antara lain, karena diantara muatannya terdapat materi-
materi hukum yang masih asing, setidaknya dalam konteks pemikiran hukum
yang umum dianut orang Indonesia, seperti ahli waris pengganti, wasiat
wajibah untuk orang tua atau anak angkat (hal ini keluar dari wilayah syafi’iyah,
yaitu mengikuti pendapat zhahiri), larangan kawin beda agama, kawin hamil
dan sebagainya. Bahkan seperti UU no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama
dan PP no. 28 tahun 1977 tentang wakaf tanah milik, dapat pula dipandang
sebagai bagian dari kontribusi untuk  pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

10
Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam ... hal. 260
11
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
Suparman Usma, “Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001) h. 111

5
M Yahya Harahap dalam “Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam;
Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam menambahkan bahwa keberhasilan
umat Islam Indonesia merumuskan materi hukum Islam secara tertulis dalam
KHI, merupakan wujud konkrit dalam rangka pemberlakuan hukum Islam bagi
umat Islam Indonesia, yang sudah lama di cita-citakan. Dengan demikian maka
sebenarnya “tema utama penyusunan KHI adalah ‘Mempositifkan’ hukum Islam
Indonesia.

3. Kapitaselekta Kompilasi Hukum Islam


Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum
Islam di Indonesia yang merujuk pada kitab-kitab fiqih (1) Al Bajuri,(2) Fathul
Muin dengan Syarahnya, (3) Syarqowi alat Tahrir, (4) Qulyubi/Muhallil, (5)
Fathul Wahhub dengan Syarahnya, (6) Tuhfah, (7) Targhibul Musytaq, (8)
Qawaninusy Syar’Iyah lisayyid Utsman bin Yahya, (9) Qawaninusy Syar’iyah
lisayyid Shodaqoh Dkhlan, (10) Syamsuri lil Faraidl, (11) Bughyatul
Mustarsydin, (12) Al Fiqh ‘ala Muadzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.
Dari daftar Kitab-kitab ini, kita sudah dapat melihat pola pemiiran Hukum
yang mempengaruhi penegakan Hukum Islam di Indonesia. Umumnya Kitab-
kitab itu adalah kitab kuno dalam madzhab Syafi’I, kecuali No. 12 temasuk
bersifat komperatif atau Perbandingan Madzhab.
Mengenai isi dari kompilasi hukum Islam terdapat tiga Bab pembahasan (1)
Bab Pernikahan (2) Bab Waris dan (3) Bab Wakaf yang secara keseluruhan
terakumulasi dalam 229 pasal. Secara terperinci Bab Pernikahan dapat di
kemukakan secara singkat sebagai berikut:
(a) Ketentuan Umum Pasal 1 (b)Dasar-dasar Perkawinan Pasal 2-10 (c)
Peminangan Pasal 11-13 (d) Rukun dan Syarat perkawinan Pasal 14-29 (e)
Mahar Pasal 30-38 (f) Larangan Kawin Pasal 39-44 (g) Perjanjian Perkawinan
Pasal 45- 52 (h) Kawin Hamil Pasal 53-54 (i) Beristri lebih dari satu orang Pasal
55-59 (j) Pencegahan Perkawinan Pasal 60-69 (k) Batalnya Perkawinan Pasal
70-76 (l) Hak dan kewajiban suami dan istri Pasal 77-84 (m) Harta Kekayaan
dalam perkawinan Pasal 85-97 (n) Pemeliharaan Anak Pasal 98-106 (o)
Perwalian Pasal 107-112 (p) Putusnya Perkawinan Pasal 113-148 (q) Akibat
Putusnya Perkawinan Pasal 149-169 (r) Rujuk Pasal 163-169l

6
4. Penerapan Maqashid Sebagai Pembaharuan Sistim Hukum Islam

Dari sisi lain, sebenarnya setiap disiplin ilmu memiliki aspek teoritis dan
aspek terapan, meskipun banyak yang memilah diri dalam ilmu yang berbeda.
Di samping yang disebut di atas, dalam tradisi keilmuan umat Islam, dikenal
juga banyak ilmu lain yang pernah berkembang, antara lain ilm al-'umran (ilmu
kemakmuran), 'ilm tazkiyat al-nafs (ilmu kesehatan jiwa), 'ilm al-iqtisad (ilmu
ekonomi), 'ulum al-mujtama' (ilmu-ilmu sosial) dan masih banyak yang lain. Dari
segi materi, metodologi dan nilai, ilmu-ilmu tersebut, di balik banyak
persamaan, terdapat perbedaan dengan yang dikembangkan dari disiplin-
disiplin astronomi, sosiologi, ekonomi dan psikologi yang dikembangkan di
universitas-univesitas konvensional, yang umumnya diimpor dari tradisi
keilmuan Barat. Pendekatan sistem, menurut Jasser Audah, untuk
merumuskan kembali dan membangun epistemologi hukum Islam di era global.
Menurutnya, sebuah pembaharuan dalil dan bukti kesempurnaan kreasi Tuhan
melalui ciptaan-Nya harus bergantung pada sebuah pendekatan sistem dari
pada hukum kausalitas berbasis beberapa argumen penting: 12

a) Sifat Kognisi (Cognitif Nature) Hukum Islam,


Adapun yang dimaksud dengan sistem ini adalah watak pengetahuan
yang melahirkan hukum Islam. Hukum Islam ditetapkan berdasarkan
pengetauan seorang faqih terhadap teks-teks yang menjadi sumber
rujukan hukum Islam, untuk membokar validasi semua kognisi
(pengetahuan tentang teks dan nash). Maksudnya ialah, bahwa
kebanyakan umat Islam mempersepsikan fiqh sebagai aturan Tuhan
“true-claim” yang tidak bisa diubah dan berlebihan, sehingga tidak heran
jika masyarakat kita masih menganggap mazhab-mazhab sebagai aturan
yang tidak boleh diubah dan taklid terhadapnya. Padahal, fiqh adalah
produk hukum atau hasil penalaran (ijtihad) manusia terhadap nash
sesuai dengan tempat dan waktu. Sehingga, dengan berjalannya waktu,
fiqh tersebut dapat berubah pula.13

12
Jassir Audah, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law: Syistems Approch, (London: The
International Institute of Islamic Thought, 2008), hal 26.
13
Jassir Audah, Maqasid al-Syariah as Philosophy of Islamic Law:..hal 46.

7
b) Keutuhan Integritas (Wholeness) Hukum Islam

Wholeness ialah saling terkait antar berbagai komponen atau unit yang
ada. Adapun salah satu faktor yang mendorong Auda menganggap
penting komponen ini adalah pengamatannya terhadap adanya
kecenderungan beberapa ahli hukum Islam untuk membatasi pendekatan
berpikirnya pada pendekatan yang bersifat reduksionistic dan atomistik,
yang umum digunakan dalam ushul al-fiqh. 14 Pada intinya, Jasser Auda
menyatakan bahwa prinsip dan cara berpikir holistik sangat dibutuhkan
dalam kerangka ushul fiqh, karena dapat memainkan peran dalam isu-isu
kontemporer, sehingga dapat dijadikan prinsip-prinsip permanen dalam
hukum Islam. Dengan sistem ini, Auda mencoba membawa dan
memperluas Maqasid al-Syari‟ah yang berdimensi individu menuju
dimensi universal, sehingga bisa diterima oleh masyarakat banyak, seperti
masalah keadilan dan kebebasan. Sedangkan mengenai asas kausalitas,
ketidakmungkinan penciptaan tanpa adanya sebab akan bergeser
menjadi tidak mungkin ada penciptaan tanpa ada tujuan.

c) Kerterbukaan (openness) Hukum Islam


Teori Systems membedakan antara sistem „terbuka‟ dan sistem
„tertutup‟. Keterbukaan sebuah sistem bergantung pada kemampuannya
untuk mencapai tujuan dalam berbagai kondisi. Kondisi inilah yang
mempengaruhi tercapainya suatu tujuan dalam sebuah sistem. Sistem
yang terbuka adalah suatu sistem yang selalu berinteraksi dengan kondisi
dan lingkungan yang berada di luarnya. Jadi, seorang ahli hukum
(Openness) yang mempunyai wawasan yang luas sangat berperan dalam
menghadapi masalah isu-isu kontemporer. 15

d) Interrelasi Hierarki (Interrelated Hierarchy) Hukum Islam


Sistem ini memiliki struktur hirarki, di mana sebuah sistem terbangun dari
sub-sistem yang lebih kecil di bawahnya. Hubungan interelasi
menentukkan tujuan dan fungsi yang ingin dicapai. Usaha untuk membagi
sistem keseluruhan yang utuh menjadi bagian yang kecil merupakan
14
M. Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum Islam Dalam Merespon
Globalisasi”, Asy-Syir‟ah, Vol. 46, No. II, (Juli-Desember, 2012), hal. 364
15
Muammar, M. Arfan dan Abdul Wahid Hasan, dkk, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 408

8
proses pemilahan antara perbedaan dan persamaan di antara sekian
banyak bagian-bagian yang ada. Bagian terkecil menjadi representasi dari
bagian yang besar, demikian juga sebaliknya. 16 Salah satu implikasi fitur
interrelated hierarkhi ini menurut Amin Abdullah, yaitu baik daruriyyat,
hajiyyat maupun tahsiniyyat, dinilai sama pentingnya. 17 Penerapan fitur ini
adalah baik shalat (daruriyyat), olahraga (hajiyyat) maupun rekreasi
(tahsiniyyat) adalah sama-sama dinilai penting untuk dilakukan.

e) Multi-Dimensi (Multi-Dimensionality) Hukum Islam


Sebuah sistem bukanlah sesuatu yang tunggal, namun terdiri dari
beberapa bagian yang saling terkait antara yang satu dengan lainnya. Di
dalam sistem terdapat struktur yang koheren, karena sebuah sistem terdiri
dari bagian-bagian yang cukup kompleks yang memiliki spektrum dimensi
yang tidak tunggal. Hal ini juga berlaku dalam hukum Islam. Hukum Islam
merupakan sebuah sistem yang memiliki berbagai dimensi. Di sini Auda
mengkritik pemikiran para pemikir hukum Islam yang sering kali terjebak
pada pola berpikir one-dimensional, yaitu hanya berfokus pada satu faktor
yang terdapat dalam satu kasus. 18 Sebagai contoh dalam hal ta‟arud al-
dilalah. Bagaimana mungkin firman yang diturunkan Tuhan sendiri saling
bertentangan? Hal ini yang perlu dicermati. Para pemikir hukum Islam
perlu berpikir multi-dimensional, sehingga tidak ada pertentangan antara
ayat yang satu dengan lain.

f) Tujuan (Porposefulness) Hukum Islam


Setiap sistem memiliki output (tujuan). Dalam teori sistem, tujuan
dibedakan menjadi cita-cita (ghual/al-hadad) dan kegunaan (purpose/al-
ghayah). Sebuah sistem akan menghasilkan goal jika hanya
menghasilkan tujuan dalam situasi yang konstan, bersifat mekanistik, dan
hanya dapat melahirkan suatu tujuan saja. Sedangkan sebuah sistem
akan menghasilkan purpose (al-ghayah), jika mampu menghasilkan
berbagai tujuan dalam situasi yang beragam. Dalam konteks ini, Maqasid

16
Ibid., 462
17
Abdullah, “Bangunan Baru”, 351.
18
Ibid., 354.

9
al-Syari‟ah berada dalam pengertian porpuse (al-ghayah), tidak monolitik
dan mekanistik, tetapi beragam sesuai dengan situasi dan kondisi. 19

Kelima fitur yang dijelaskan di depan, yaitu kognisi (Cognitive nature),


utuh (Wholeness), keterbukaan (Openness), hubungan hirarkis yang saling
terkait (Interrelated Hierarchy), mulidimensi (Multidimensionality), dan diakhiri
dengan Purposefulness sangatlah saling berkaitkelindan, saling berhubungan
satu dan lainnya. Masing-masing fitur berhubungan erat dengan yang lain. 20
Tidak ada satu fitur yang berdiri sendiri, terlepas dari yang lain. Kalau saling
terlepas, maka bukan pendekatan Systems namanya. Namun demikian,
benang merah dan common link nya ada pada Purposefulness/Maqasid. 21
Berdasarakan catatan Sejarah, maqashid al-syari‟ah telah ada sejak
masa Rasulullah SAW. Penelaahan terhadap maqashid al-syari‟ah mulai
mendapat perhatian yang intensif setelah Rasulullah wafat, di saat para
sahabat dihadapkan ke pada berbagai persoalan baru dan perubahan sosial
yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah masih hidup. Perubahan
sosial yang dimaksud adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya. Perubahan sosial seperti ini menuntut kreatifitas para sahabat untuk
memecahkan persoalan-persoalan baru yang muncul akibat perubahan sosial
itu Namun, seiring perkembangannya seorang pemikir kontemporer seorang
Jasser Auda mencoba melakukan perubahan terhadap maqasid al-syari’ah dari
teori klasik yang dikembangkan oleh para pemikir klasik menjadi teori maqasid
al-syari‟ah kontemporer.

19
Muammar, “Studi Islam”, 464.
20
M. Amin Abdullah, “Etika Hukum Di Era Perubahan Sosial: Paradigma Profetik dalam Hukum Islam
melalui Pendekatan Systems”, (Makalah—Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2012), 25.
21
Ibid., 26.

10
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Sebuah Upaya penerapan Hukum Islam yang Syamil
Kesadaran umat Islam akhir-akhir ini semakin membawa angin segar termasuk
dari para pemimpin bangsa ini, baik aparatur pemerintah maupun para
ulamanya. Rancangan Undang-undang (RUU) yang sedang dalam proses
penggodokan tampaknya di kawal ketat oleh para ulama, khususnya oleh MUI.
Dan dilihat dari upaya-upaya itu, penulis optimis, walaupun pelan tapi pasti,
penerapan hukum Islam di Indonesia bagi pemeluknya semakin mendapatkan
ruang.

2. Saran
Terlepas dari pro-kontra dalam upaya pembaharuan hukum Islam di
Indonesia, kita seyogyanya mendukung usaha unifikasi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkompeten di dalam merumuskan hukum Islam, bahkan
penulis berharap, kita kelak menjadi bagian yang ikut andil dalam
merumuskannya. Semoga kita bisa melanjutkan usaha-usaha pendahulu kita
sehingga ajaran Islam bisa diaplikasikan dalam semua aspek
kehidupan. Wallahu A’lam Bisshawab

11
DAFTAR PUSTAKA

A. Athaillah, “Mengenal Qawa‟id Fiqhiyyah (Legal Maxim)”, Makalah,


Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2007, hal. 2. Lihat pula H.
A. Athaillah, Sejarah Alquran: Verifikasi tentang Otentisitas Alquran,cet.I,
(Banjarmasin: Antasari Press Banjarmasin, 2006).
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (selanjutnya disebut Kaidah),
Cet.I,(Jakarta: Kencana, 2006). Yusuf al-
A. Athaillah, "Mengenal 'Ulum Alquran", Makalah, Program Pascasarjana
IAIN Antasari (Banjarmasin, 2005)
Abu Yasid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan
Syari’at, (selanjutnya disebut Nalar), (Jakarta: Erlangga, 2007).
Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP (Semarang<tahun
2008)
K.H. Ali Yafie, ijtihad tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak, Ali
Yafie, “Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam”, dalam Haidar Bagir dan
Syafiq Basri (Ed.), Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988).
KH. Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam,Cet.I, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001).
KH. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Cet. IV, (Yogyakarta: LKiS,
2004).
M. Amin Abdullah, “Bangunan Baru Epistemologi Keilmuan Studi Hukum
Islam Dalam Merespon Globalisasi”, Asy-Syir‟ah, Vol. 46, No. II, (Juli-
Desember, 2012).
M. Amin Abdullah, “Etika Hukum Di Era Perubahan Sosial: Paradigma
Profetik dalam Hukum Islam melalui Pendekatan Systems”, (Makalah—
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2012).
M. Zein, Ushul Fiqh, Cet.I, (Jakarta: Prenada Media, 2005).
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
Yusuf Al-Qaradhawi, Al-Ijtihad al-Mu’ashir baina alIndilbat wa al-Infirath,
diterjemahkan oleh Abu Barzani dengan judul, Ijtihad Kontemporer (Kode Etik
dan Berbagai Penyimpangan), Cet I, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995).
Yusuf Al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah: baina al-
Maqashid al-Kulliyah wa al-Nushush al-Juz’iyyah, diterjemahkan oleh H. Arif.
Munandar Riswanto dengan judul, Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam
antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Cet.I, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2007)

12

Anda mungkin juga menyukai