DISUSUN OLEH :
NAMA : RAHMADANI
NIM : 105101501817
MAGISTER MANAJEMEN
Inti dari tugas seorang pemimpin rumah sakit adalah mampu memanajemen
organisasi dengan baik. Bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, tanpa
menghiraukan hak dan kewajiban karyawannya. Hal ini sesuai dengan definisi
pemimpin tentang ilmu mempengaruhi orang lain agar mau melakukan pekerjaan yang
diinginkan untuk mencapai tujuan bersama. Hal tersebut juga harus dimiliki oleh
seorang pemimpin rumah sakit. Jadi dia bisa meyakinkan karyawan maupun konsumen
untuk bisa bekerja sama dengan dirinya. Sistem Kepemimpinan Rumah Sakit
Salah satu kepemimpinan yang bisa diterapkan untuk rumah sakit adalah 360 derajat.
Seorang pemimpin harus bisa menguasai atasan, samping, sampai bawahan.
Artinya, sebagai seorang pemimpin, kita harus mampu dan menguasai teori dan
praktiknya.
Salah satu masalah yang timbul dalam praktek kepemimpinan di lngkungan UMC yaitu
sulitnya pemimpin untuk mau diajak berdiskusi atau sekedar bertatap muka untuk
menyampaikan saran. Sifat arogan seharusnya dihilangkan dan pemimpin yang baik
adalah mereka yang mau menerima kritik walaupun itu datang dari bawahannya sendiri.
Karena menurut saya pribadi, kritik itu tidak selamanya menjatuhkan, justru kritik
merupakan hasil perhatian orang lain terhadap cara kerja kita. Seharusnya kita
menggunakan kritik itu untuk memperbaiki cara kerja kita. Bisa diajak berdiskusi dan
mau menerima kritik adalah dua hal yang harusnya dimiliki oleh seorang pemimpin
dalam rumah sakit.
Menurut hemat saya seorang pemimpin yang ideal khususnya dalam bidang kesehatan
seharusnya memiliki hal – hal berikut ini :
Sebagai pemimpin yang baik, mesti bisa diajak berdiskusi oleh siapa saja, baik atasan
maupun bawahan.
Bisa menempatkan diri juga harus dimiliki oleh seorang pimpinan. Jadi tahu waktunya
harus bercanda, serius, dan bagaimana bersikap dengan bawahan maupun atasan.
4. Berpandangan ke depan
Sebagai seorang pemimpin juga tidak boleh hanya memikirkan untuk saat itu saja.
Namun juga untuk kepentingan masa depan instansinya. Dia harus berwawasan luas
dan tahu apa yang harus dilakukan sekarang, untuk kemudahan di masa depan.
Manajemen perubahan.
Kedua, perusahaan menerima kenyataan bahwa perubahan itu memang tidak bisa
dihindari dan mereka memperlakukan perubahan itu sebagai kesempatan
memperbaharui perusahaan dan budaya perubahan. Ketika perusahaan melakukan
perubahan, tidaklah berarti bahwa karyawan menghargai prosesnya. Atau mereka
menganggap bahwa perubahan itu menyenangkan.
Yang terjadi adalah perubahan sering mengecilkan hati, membuat frustrasi, dan sering
mengakibatkan adanya ‘korban-korban’ perubahan.
Para manajer sering complain bahwa perubahan sering begitu lama atau perubahan itu
amatlah mahal. Lainnya menganggap bahwa perubahan itu hanya ‘mode’ sesaat, dan
tidak akan dijalankan hingga sukses.
Karyawan biasa mengamati bahwa para pimpinan puncak tidak menjalankan apa yang
selama ini mereka khotbahkan, sementara itu, para pimpinan puncak mengganggap
bahwa orang-orang di ‘bawah’ tidak mendukung mereka. Orang-orang di tengah,
menyalahkan siapa saja.
Pelayanan kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Semua
orang ingin merasa dihargai, ingin dilayani, ingin mendapatkan kedudukan yang
sama di mata masyarakat. Kebutuhan ini adalah wujud dari level kedua Teori Maslow.
Akan tetapi sering terdapat dikotomi dalam upaya pelayanan kesehatan di Indonesia.
Sudah begitu banyak kasus yang menggambarkan betapa suramnya wajah pelayanan
kesehatan di negeri ini. Seolah-olah pelayanan kesehatan yang baik hanya
diperuntukkan bagi mereka yang memiliki dompet tebal. Sementara orang-orang kurang
mampu tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang adil dan proporsional. Orang-
orang miskin sepertinya tidak boleh sakit.
Pelayanan kesehatan sepertinya sering tidak sebanding dengan mahalnya biaya yang
dikeluarkan. Rumah sakit terkadang tidak melayani pasien dengan baik dan ramah.
Dokter terkadang melakukan diagnosis yang cenderung asal-asalan.Suramnya wajah
pelayanan kesehatan di Indonesia haruslah menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk
memperbaiki kondisi tersebut. Bukan hanya peranan dokter ataupun Menteri Kesehatan
dalam perwujudan hidup sehat melainkan partisipasi semua masyarakat
Memilih berobat ke luar negeri tidak bisa dianggap sebagai sebuah tindakan
mengkhianati bangsa. Karena kenyataannya rumah sakit-rumah sakit yang ada di
Indonesia tidak memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk memberikan kredit jaminan
kesehatan lebih baik pada pasiennya. Namun ada pihak-pihak tertentu yang melakukan
perawatan ke luar negeri karena ketidakpercayaannya terhadap kapasitas dokter-dokter
dan rumah sakit yang ada di negeri ini.
Peningkatan kualitas pelayanan adalah salah satu isu yang sangat krusial dalam
manajemen, baik dalam sektor pemerintah maupun sektor swasta. Hal ini terjadi karena
di satu sisi tuntunan masyarakat terhadap perbaikan kualitas pelayanan dari tahun ke
tahun menjadi semakin besar, sedangkan disisi lain, praktek penyelenggaraan
pelayanan tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Melihat keadaan diatas, di perlukan suatu tindakan yang bisa membuat bangsa
percaya kepada kemampuan tenaga medis, paramedis, fasilitas yang lebih baik,
peningkatan mutu pelayanan kesehatan sehingga masyarakat tidak memilih untuk
berobat keluar negeri dan tidak adanya perbedaan pelayanan kesehatan antara yang
kaya dengan miskin. Untuk mengatasi ini semua di perlukan suatu manajemen
perubahan dalam pelayanan kesehatan.
Masih ada semacam pembedaan perlakuan terhadap pasien kaya dan miskin
ketika berobat ke rumah sakit. Pembedaan itu dapat dilihat dari bagaimana birokrasi
melayaninya. Jangankan dalam hak untuk mendapatkan pelayanan yang sama, dalam
hak untuk mendapatkan informasi saja kadang sering terjadi pembedaan hanya karena
pasien berbaju lusuh yang dianggap indikasi dari orang kalangan bawah.
Kasus malapraktek, sampai saat ini masih sering terjadi. Jika tidak ada
pencegahan, tidak tertutup kemungkinan akan terus bermunculan korban berikutnya.
Salah diagnosa diduga merupakan salah satu penyebab maraknya malapraktek. Dalam
beberapa kasus, dokter seringkali tidak menjelaskan penyakit pasien dan bagaimana
penanganannnya. Dokter di rumah sakit kecil biasanya langsung merujuk ke rumah
sakit yang lebih besar, tanpa dibekali informasi apapun.
informasi yang kurang mengenai hak pasien, pasien tidak tahu kalau haknya
terlanggar oleh pihak dokter ataupun rumah sakit. Ironisnya, masyarakat cenderung
memilih diam jika terjadi pelanggaran yang dilakukan dokter atau rumah sakit. Pasien
takut mendapatkan ‘serangan balik’ dari rumah sakit atau dokter, jika membawa
kasusnya ke meja hijau.
langkah – langkah kongkrit untuk mengatasi jeleknya kualitas pelayanan kesehatan di
indonesia
2. Ikatan Profesi
Jika ada kasus malpraktek yang terjadi, ikatan profesi di harapkan lebih transparan, adil
dan menghargai hak pasien dalam menangani masalah ini, karena yang mengerti
masalah kesehatan itu mereka sediri, sehingga pasien/ masyrakat tidak takut
mengadukan ke meja hijau jika terjadi pelanggaran terhadap hak mereka dan pemberi
layanan kesehatan lebih berhati – hati dalam melaksanakan tugasnya sehingga
malpraktek tidak terjadi.
5. Pemberi Layanan
6. Pasien / masyarakat
Pasien harus tahu apa saja yang menjadi hak pasien sehingga jika ada yang melanggar
haknya, mereka bisa menuntutnya dan pemberi layanan kesehatan juga akan lebih
berhati – hati dalam memberikan pelayanan kesehatan. Di harapka masyarakat juga
harus melek terhdap dunia kesehatan.
Di beberapa rumah sakit, suatu rencana strategik (renstra) yang telah berhasil
disusun oleh suatu tim khusus dan disahkan oleh pimpinan tidak berjalan mulus dalam
penerapannya. Sebab hal itu terjadi karena ternyata tidak didukung oleh komitmen
karyawan terhadap nilai-nilai dan keyakinan dasar. Untuk membangun komitmen tinggi
itulah diperlukan dukungan suatu kultur atau budaya organisasi rumah sakit yang
positif.
Budaya adalah suatu dampak dari proses yang berkesinambungan. Proses terjadinya
suatu budaya dimulai dari tindakan misalnya bekerja hati-hati yang terjadi berulang-
ulang menjadi kebiasaan, yang apabila terus berlangsung lama menjadi tabiat berhati-
hati individu.
Apabila suatu kelompok individu mempunyai kesamaan tabiat berhati-hati maka dapat
disebut bahwa budaya kerja kelompok tersebut adalah budaya berhati-hati. Jadi budaya
kerja organisasi adalah bentuk etika, sikap, perilaku dan cara pandang bersama dari
kelompok yang tergabung dalam organisasi tersebut terhadap setiap masalah atau
perubahan lingkungan yang bervariasi.
Ada empat macam fungsi budaya kerja yang sangat penting dalam membawa
organisasi menuju sukses. Pertama, identitas organisasi (simbol dan harapan),
sehingga anggota organisasi merasa bangga terhadap organisasinya dan pihak
eksternal menaruh respek.
Kedua, kestabilan organisasi sehingga secara internal seluruh karyawan merasa
tenang dan yakin, demikian pula pihak eksternal yang berkepentingan. Ketiga alat
pendorong organisasi, sehingga mampu menjadi dasar dan pendorong untuk mencapai
tujuan organisasi. Keempat, komitmen organisasi sehingga mampu sebagai katalisator
dalam membentuk komitmen untuk pelaksanaan berbagai ide atau suatu rencana
strategis.
Bagaimana mengembangkan budaya kerja positif di rumah sakit?
Memahami arti dan fungsi budaya kerja, maka di lingkungan rumah sakit perlu
dikembangkan suatu budaya kerja ke arah positif, maksudnya budaya kerja yang
mendukung pencapaian visi, misi dan tujuan. Sementara budaya organisasi timbul dari
budaya kelompok individu yang tergabung dalam organisasi tersebut.
Adanya perubahan positif, baik etika, sikap, perilaku maupun cara pandang individu,
yang berkembang menjadi tabiat kelompok individu (dari atasan hingga bawahan),
maka akan membentuk perubahan budaya kerja baru yang positif pula.
Apabila tindakan yang positif dari setiap individu dapat dilaksanakan secara konsisten
dan terus menerus akan menghasilkan tabiat positif. Pada akhirnya secara kelompok
akan menghasilkan budaya kerja positif. Jadi budaya kerja positif apapun yang akan
kita kembangkan, yang penting pelaksanaannya harus secara konsisten, mulai dari
pimpinan dan terus menerus.
Decision making
Tidak ada orang yang sempurna. Jika kita merasa telah membuat sebuah
keputusan yang salah atau berdampak buruk, maka kita tidak sendirian. Setiap orang
pasti pernah mengambil keputusan yang disesali. Jika ada orang yang berkata bahwa
ia tidak pernah salah membuat keputusan, kemungkinannya hanya dua: ia berbohong,
atau ia tidak pernah berani mengambil keputusan. Proses decision
making adalah skill yang harus dikembangkan oleh seseorang, sebagaimana
kemampuan yang lain.
Rumah Sakit sebagai salah satu organisasi pelayanan di bidang kesehatan telah
memiliki otonomi dan bersifat swadana, sehingga pihak rumah sakit dituntut untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dengan manajemen yang seefektif
mungkin. Dengan adanya tuntutan swadana maka rumah sakit harus bekerja keras
agar dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan operasional rumah sakit. Hal ini
disebabkan oleh setiap pengambilan keputusan yang tidak tepat akan berakibat pada
inefisiensi dan penurunan kinerja rumah sakit.
Hal tersebut dapat menjadi kendala jika informasi yang tersedia tidak mampu
memberikan informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan. Kecanggihan
teknologi bukan merupakan suatu jaminan akan terpenuhinya informasi, melainkan
sistem yang terstruktur, handal dan mampu mengakodomodasi seluruh informasi yang
dibutuhkan yang harus dapat menjawab tantangan yang dihadapi. Kenyataan yang
dihadapi dilapangan menunjukkan lemahnya sistem informasi manajemen yang dimiliki
oleh pihak rumah sakit yang berakibat pada terjadinya inefisiensi pengelolaan rumah
sakit. Lemahnya sistem informasi manajemen membawa pengaruh secara langsung
pada kinerja sistem pengendalian manajemen, yang akan berakibat pada melemahnya
perencanaan dan sekaligus berkurangnya kontrol atas pelaksanaan operasional rumah
sakit. Jika perencanaan dan pengawasan atas kegiatan manajerial telah berkurang,
maka dapat dipastikan inefisiensi dan penurunan kinerja rumah sakit akan terjadi, dan
ini akan dibuktikan dengan terjadinya kerugian pada pihak rumah sakit sebagai akibat
lemahnya manajemen rumah sakit.
Problem solving
Mungkin tidak sulit bagi kita yang hidup di zaman modern ini untuk menikmati manfaat
Lean Healthcare dan Six Sigma di rumah sakit yang telah menerapkannya. Namun
sebelum tahun 1847, rumah sakit di dunia masih berkutat dengan tingginya angka
kematian ibu-ibu pasca melahirkan. Ironisnya, penyebab kematian bukan selalu karena
proses melahirkan, namun lebih sering karena adanya gangguan kesehatan yang
terjadi beberapa waktu setelah proses kelahiran yang sukses. Hal ini mengusik batin
seorang dokter spesialis kandungan asal Hungaria, Dr. Ignas Semmelweis (1818 –
1865), yang berpraktek di salah satu rumah sakit di Austria. Sang dokter lalu
mengadakan beberapa survei dan percobaan dalam usaha mengurangi angka
kematian ibu melahirkan tersebut.
Pada tahun 1847, Dr. Semmelweis yang tinggal di Austria melakukan usaha problem
solvingdengan cara mengumpulkan dan menganalisa data mengenai masalah yang
sedang berlangsung. Ia melakukannya untuk menemukan faktor-faktor penyebab (root
cause) dari tingginya angka kematian ibu melahirkan. Ia melakukan pengukuran
atas impact yang terjadi (yaitu tingginya angka kematian). Sebagai hasil penelitiannya,
ditemukan fakta bahwa penyebab umum kematian ibu pasca melahirkan adalah karena
adanya infeksi terselubung yang disebabkan oleh suatu organisme yang tidak dapat
dilihat dengan mata telanjang.
Problem Solving for Better Health and Hospital (PSBH), merupakan gerakan yang
didasari oleh suatu yayasan non-profit yang bernama The Dreyfus Health Foundation,
yang berpusat di New York, USA. Pendekatan PSBH pertama kali diperkenalkan oleh
Dr. Barry Smith, seorang dokter ahli bedah otak dari Bostom University School of Public
Health, USA tahun 1993. Pertama kali dikembangkan karena Dr. Barry Smith berfikir
bahwa sangat diperlukan adanya program agar seseorang:
1. Berfikir lebih kritis tentang masalah yang dihadapinya
2. Lebih bertanggung jawab untuk memecahkan masalah agar menjadikan
kesehatan lebih baik dan kualitas hidup yang baik pula
3. Mengembangkan kepercayaan diri pada kemampuan yang dimiliki untuk
memecahkan masalah tanpa menunggu seseorang dalam memecahkan masalah
terssebut.
4. Menggunakan sumber yang ada untuk menyelesaikan masalah (Smith,
Fitzpatrick, & Hoyt-Hudson, 2009)
PSBH sudah berkembang di berbagai negara, yang terdiri dari Afrika Selatan,
Amerika Serikat, Brazil, Belarus, Bulgaria, Cameroon, Cina, Costarika, El Savador,
Ghana, Guyana, Indonesia, Jordania, Kenya, Lithuania, Mali, Mexico, Nigeria, Polandia,
Republik Dominica, Romania, Slovakia, Tanzania, Uganda, Ukraina, Zambia, dll.
Di Indonesia, PSBH muncul dan berkembang pada tahun 1999 di Pusat Penelitian
Keluarga Sejahtera Universitas Indonesia (PUSKA UI) dan telah berkembang di
beberapa rumah sakit di Indonesia baik negeri maupun swasta, misalnya RSUP
Fatmawati Jakarta, RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta, RSU Haji Surabaya, RS Dr. Wahidin Makassar, RS Panti Wilasa Citarum
Semarang, RS Pondok Indah Jakarta, RS St Boromeur Bandung, RSUD Tugurejo dan
RSUD Banyumas (Dinkes Banyumas, 2011).
PSBH (Problem Solving for Better Health) adalah suatu pendekatan untuk
mengatasi berbagai masalah di rumah sakit dengan cara yang mudah, menarik, dan
dilakukan dengan senang hati (Smith, Fitzpatrick, & Hoyt-Hudson, 2009).
PSBH adalah falsafah, cara berpikir, pendekatan dan komitmen pribadi untuk
menyelesaikan masalah dengan menggunakan sumber daya yang ada.
Contoh penerapan PSBH di RSUD Tugu Rejo, perawat yang bertugas di ruang ICU
tidak bisa membaca EKG dengan benar. Sebanyak 20 orang atau 83,3% karena
perawat tidak mendapatkan pelatihan. Faktor penunjang terjadinya masalah tersebut
karena tidak mendapat pelatihan dan tidak tersedianya dana untuk melatih seluruh
perawat ICU.
Untuk mengatasi masalah itu, kelompok PSBH membuat program pelatihan cara
membaca EKG. Narasumbernya adalah petugas yang sudah memahami cara
membaca EKG. Mereka membagi ilmunya kepada para petugas yang belum bisa
membaca EKG sambil bekerja, tidak perlu dilakukan pelatihan secara khusus di dalam
kelas. Hasilnya 100% perawat di ICU sekarang mampu membaca EKG dengan benar.
Unismuh Medical Centre sebagai salah satu klinik umum beroperasi antara pukul 08.00
– 22.00 sehingga ruang IGD nya tidak berfungsi dikarenakan tidak adanya tenaga
kesehatan perawat dan dokter yang bertugas pada shif malam. Klinik ini sebenarnya
sangat membutuhkan tenaga kesehatan yang terampil dan cekatan. Selain itu tidak
adanya tenaga akuntan yang bertugas untuk membuat laporan keuangan, dapat
berdampak kerugian bagi klinik itu sendiri. Masalah ini dapat diatasi dengan melakukan
seleksi perekrutan karyawan. Sehingga klinik UMC dapat menerapkan manajemen
SDM yang berbasis kompetensi.
Kesimpulan
4. Berpandangan ke depan
Melihat ini semua, pentingnya manajemen perubahan untuk mengatasi masalah
pelayanan kesehatan tersebut sehingga mutu pelayanan kesehatan dapat di tingkatkan
dan derajat kesehatan akan meningkat dengan sendirinya.
Memahami arti dan fungsi budaya kerja, maka di lingkungan rumah sakit perlu
dikembangkan suatu budaya kerja ke arah positif, maksudnya budaya kerja yang
mendukung pencapaian visi, misi dan tujuan. Sementara budaya organisasi timbul dari
budaya kelompok individu yang tergabung dalam organisasi tersebut.
Adanya perubahan positif, baik etika, sikap, perilaku maupun cara pandang individu,
yang berkembang menjadi tabiat kelompok individu (dari atasan hingga bawahan),
maka akan membentuk perubahan budaya kerja baru yang positif pula.
Sesuai dengan perkembangan baru dalam paradigma pelayanan, budaya kerja rumah
sakit yang positif adalah budaya kerja melayani. Caranya adalah dengan contoh
membiasakan arah orientasi tindakan dan sikap serta perilaku kepada kepentingan
orang lain yang dilayani, bukan kepentingan diri sendiri. otonomi dan bersifat swadana,
sehingga pihak rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya
dengan manajemen yang seefektif mungkin. Dengan adanya tuntutan swadana maka
rumah sakit harus bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan
operasional rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh setiap pengambilan keputusan yang
tidak tepat akan berakibat pada inefisiensi dan penurunan kinerja rumah sakit.
PSBH (Problem Solving for Better Health) adalah suatu pendekatan untuk
mengatasi berbagai masalah di rumah sakit dengan cara yang mudah, menarik, dan
dilakukan dengan senang hati (Smith, Fitzpatrick, & Hoyt-Hudson, 2009).
PSBH adalah falsafah, cara berpikir, pendekatan dan komitmen pribadi untuk
menyelesaikan masalah dengan menggunakan sumber daya yang ada.
Rumah sakit merupakan organisasi pelayanan jasa yang mempunyai
kespesifikan dalam hal SDM, sarana prasarana dan peralatan yang dipakai. Sering
rumah sakit dikatakan sebagai organisasi yang padat modal, padat sumber daya
manusia, padat teknologi dan ilmu pengetahuan serta padat regulasi. Padat modal
karena rumah sakit memerlukan investasi yang tinggi untuk memenuhi
persyaratan yang ada. Padat sumberdaya manusia karena didalam rumah sakit pasti
terdapat berbagai profesi dan jumlah karyawan yang banyak. Padat tekhnologi dan ilmu
pengetahuan karena di dalam rumah sakit terdapat peralatan-peralatan canggih dan
mahal serta kebutuhan berbagai disiplin ilmu yang berkembang dengan cepat.
Padat regulasi karena banyak regulasi/peraturan-peraturan yang mengikat berkenaan
dengan syarat-syarat pelaksanaan pelayanan di rumah sakit.
Sumber daya manusia yang ada di rumah sakit terdiri dari :
1) Tenaga kesehatan yang meliputi medis (dokter), paramedis(perawat) dan paramedis
non keperawatan yaitu apoteker, analis kesehatan, asisten apoteker, ahli gizi,
fisioterapis, radiographer, perekam medis. 2) Tenaga non kesehatan yaitu bagian
keuangan, administrasi, personalia, dan sebagainya.