Anda di halaman 1dari 10

LO 2 SISTEM MANAJEMEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (SMK3)

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) merupakan sistem


perlindungan bagi tenaga kerja dan jasa konstruksi untuk meminimalisasi dan menghindarkan
diri dari resiko kerugian moral maupun material, kehilangan jam kerja, maupun keselamatan
manusia dan lingkungan sekitarnya yang nantinya dapat menunjang peningkatan kinerja yang
efektif dan efisien.
Menurut Peraturan Menteri No PER. 05 / MEN /1996, Sistem Manajemen Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan meliputi
struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan prosedur, proses dan sumber daya
yang dibutuhkan bagi pengem-bangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan
dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

 Manfaat Penerapan SMK3


Manfaat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) bagi
perusahaan menurut Tarwaka (2008) adalah:
1. Pihak manajemen dapat mengetahui kelemahan-kelemahan unsur sistem operasional
sebelum timbul gangguan operasional, kecelakaan, insiden dan kerugian-kerugian
lainnya.
2. Dapat diketahui gambaran secara jelas dan lengkap tentang kinerja K3 di perusahaan.
3. Dapat meningkatkan pemenuhan terhadap peraturan perundangan bidang K3.
4. Dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran tentang K3, khususnya
bagi karyawan yang terlibat dalam pelaksanaan audit.
5. Dapat meningkatkan produktivitas kerja.

 Pedoman Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di


Indonesia
Berikut ini akan dijelaskan mengenai pedoman penerapan SMK3 yang berlaku di
Indonesia menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No: PER.05/ MEN/
1996:
a. Komitmen dan Kebijakan
Pengusaha dan pengurus tempat kerja harus menetapkan komitmen dan kebijakan K3
serta organisasi K3, menyediakan anggaran dan tenaga kerja dibidang K3. Disamping itu
pengusaha dan pengurus juga melakukan koordinasi terhadap perencanaan K3. Dalam hal ini
yang perlu menjadi perhatian penting terdiri atas 3 hal yaitu:
1. Kepemimpinan dan Komitmen
2. Tinjauan Awal K3
3. Kebijakan K3

b. Perencanaan
Dalam perencanaan ini secara lebih rinci menjadi beberapa hal:
1. Perencanaan identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko dari kegiatan, produk
barang dan jasa.
2. Pemenuhan akan peraturan perundangan dan persyaratan lainnya kemudian memberlakukan
kepada seluruh pekerja
3. Menetapkan sasaran dan tujuan dari kebijakan K3 yang harus dapat diukur, menggunakan
satuan/indicator pengukuran, sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian.
4. Menggunakan indikator kinerja sebagai penilaian kinerja K3 sekaligus menjadi informasi
keberhasilan pencapaian SMK3
5. Menetapkan sistem pertanggungjawaban dan saran untuk pencapaian kebijakan K3
6. Keberhasilan penerapan dan pelaksanaan SMK3 memerlukan suatu proses perencanaan yang
efektif dengan hasil keluaran (output) yang terdefinisi dengan baik serta dapat diukur.

c. Penerapan
Menerapkan kebijakan K3 secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan
mekanisme pendukung yang diperlukan untuk mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran K3. Suatu
tempat kerja dalam menerapkan kebijakan K3 harus dapat mengitegrasikan Sistem Manajemen
Perusahaan yang sudah ada.
Yang perlu diperhatikan oleh perusahaan pada tahap ini adalah :
1. Jaminan Kemampuan
a. Sumber daya manusia, fisik dan financial.
b. Integrasi
c. Tanggung jawab dan tanggung gugat.
d. Konsultasi, Motivasi dan Kesadaran
e. Pelatihan dan Keterampilan
2. Dukungan Tindakan
a. Komunikasi
b. Pelaporan
c. Dokumentasi
d. Pengendalian Dokumen
e. Pencatatan Manajemen Operasi
3. Identifikasi Sumber Bahaya dan Pengendalian Resiko
a. Identifikasi Sumber Bahaya
b. Penilaian Resiko
c. Tindakan Pengendalian
d. Perencanaan dan Rekayasa
e. Pengendalian Administratif
f. Tinjauan Ulang Kontrak
g. Pembelian
h. Prosedur Tanggap Darurat atau Bencana
i. Prosedur Menghadapi Insiden
j. Prosedur Rencana Pemulihan
4. Pengukuran dan Evaluasi
a. Inspeksi dan pengujian
b. Audit SMK3
c. Tindakan perbaikan dan pencegahan
5. Tinjauan Oleh Pihak Manajemen
a. Evaluasi terhadap penerapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Tujuan, sasaran dan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.
c. Hasil temuan audit Sistem Manajemen K3.
d. Evaluasi efektifitas penerapan Sistem Manajemen K3 dan kebutuhan untuk mengubah
Sistem Manajemen K3 sesuai dengan:
1) Perubahan peraturan perundangan.
2) Tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar.
3) Perubahan produk dan kegiatan perubahan.
4) Perubahan struktur organisasi perusahaan.
5) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk epidemologi.
6) Pengalaman yang didapat dari insiden keselamatan dan kesehatan kerja.
7) Pelaporan.
8) Umpan balik khususnya dari tenaga kerja

TOKSIKOLOGI INDUSTRI
Toksikologi industri dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajri tentang bahan beracun
yang dipergunakan, diolah dan dihasilkan dalam suatu proses industri yang berdampak terhadap
kesehatan pekerja. Hampir semua jenis industri menggunakan berbagai bahan kimia yang
memiliki sifat toksik.
 TUJUAN TOKSIKOLOGI INDUSTRI
1. Menguraikan perlunya substansi yang aman, yang berarti harus mengetahui
mekanisme bagaimana racun menyerang organisme, sehingga timbul efek atau
respon yang tidak dikehendaki atau terjadi fungsi dan atau struktur yang tidak normal.
2. Mencegah terjadinya efek yang tidak dikehendaki dari racun terhadap organisme,
para pekerja dan kualitas lingkungan kerja.
3. Dapat membuat kriteria dasar untuk Nilai Ambang Batas (NAB) dan standarisasi
lingkungan, yaitu menentukan konsentrasi yang dapat diterima oleh para
pekerja/masyarakat sebagai aman dan tidak aman.
4. Dapat memperbaiki cara pengobatan karena mengetahui mekanisme terjadinya efek
keracunan ataupun membuat antidotum. Hal ini sering dilakukan bersama dengan ahli
farmasi

C. ASAS UMUM TOKSIKOLOGI INDUSTRI

1.Masuknya bahan kimia ke dalam tubuh

a.Absorbsi, bahan kimia masuk ke dalam tubuh melalui:


1) 1)Saluran pernafasan (terhirup),misal gas (CO,NOx), uap (benzene, CCl4), bahan
mudah larut (Kloroform),debu (partikel ukuran 1-10μ) dan ditimbun di paru-paru.
2) Saluran pencernaan (tertelan), biasanya karena kecelakaan, lambung kosong
mempercepat penyerapannya.
3) Kulit, zat-zat yang larut dalam lemak, insektisida, organik solvent.
4) Suntikan intravena, intra muskular, sub kutan dll

b. Distribusi
 Bahan kimia organik (methyl merkuri) dapat menembus organ otak.
 Bahan Kima anorganik (merkuri) tidak dapat menembus otak tapi tertimbun dalam ginjal.
 Hati dan ginjal memiliki kapasitas mengikat bahan kimia yang tinggi dibanding
organ lain,karena fungsinya sebagai organ yang memetabolisir dan membuang bahan
kimia berbahaya.
 Bahan yang mudah larut dalam lemak, maka jaringan lemak
merupakan tempat penimbunan bahan yang mudah larut dalam lemak, misal DDT,
Dieldrin, Polychlorinated biphenyls (PCB)

c. Ekskresi
 Bahan kimia diekskresikan dapat dalam bentuk bahan asal maupun
metabolitnya.
 Ekskresi utama melalui ginjal (hampir semua kimia berbahaya), bahan-bahan tertentu
lewat hati dan paru-paru.
 Ekskresi melalui ginjal terutama bahan yang larut dalam air.
 Ekskresi melalui paru-paru, untuk bahan yang pada suhu tubuh masih ber bentuk
gas, misal CO
2.Efek Toksik Pada Tubuh

a. Lokal dan Sistemik


 Lokal: bahan yang bersifat korosif, iritatif
 Sistemik: terjadi setelah bahan kimia masuk, diserap dan distribusikan ke tubuh
 Konsentrasi bahan berbahaya tidak selalu paling tinggi dalam target organ (misal,
target organ methyl merkuriadalah otak, tapi konsentrasi tertinggi ada di hati dan
ginjal, DDT target organnya adalah susunan pusat syaraf pusat tapi konsentrasi
tertinggi pada jaringan lemak)

b. Efek Reversibel dan Irreversibel


 Reversible : bila efek yang terjadi hilang dengan dihentikannya paparan bahan
berbahaya. Biasanya konsentrasi masih rendah dan waktu singkat.
 Irreversible: bila efek yang terjadi terus menerus bahkan jadi parah walau pajanan
telah dihentikan (misal karsinoma, penyakithati), biasanya konsentrasi tinggi dan waktu
lama

c.Efek Langsung dan Tertunda


 Efek langsung: segera terjadi setelah pajanan (misal sianida).
 Efek tertunda: efek yang terjadi beberapa waktu setelah pajanan (efek karsinogenik).

d. Reaksi Alergi dan Idiosynkrasi


 Reaksi alergi (hipersensitivitas) terjadi karena sensitisasi sebelumnya yang
menyebabkan dibentuknya antibodi oleh tubuh.
 Reaksi Idiosynkrasi merupakan reaksi tubuh yang abnormal terhadap genetik (misal
kekurangan enzim succynicholin)

3. Klasifikasi Bahan Beracun


 Berdasarkan penggunaan bahan: solvent, aditif makanan,dll
 Berdasarkan target organ: hati, ginjal, paru, sistem haemopoetik
 Berdasarkan fisiknya: gas, debu, cair, fume, uap,dsb
 Berdasarkan kandungan kimia: aromatic amine, hidrokarbon, dll
 Berdasarkan toksisitasnya: ringan, sedang dan berat
 Berdasarkan fisiologinya: iritan, asfiksan, karsinogenik,dll

4.Tingkat Keracunan Bahan Beracun


Tidak ada batasan yang jelas antara bahan kimia berbahaya dan tidak berbahaya.
Bahan kimia berbahaya bila ditangani dengan baik dan benar akan aman digunakan. Bahan kimia
tidak berbahaya bila ditangani secara sembrono akan menjadi sangat berbahaya.
Paracelsus (1493-1541) ”semua bahan adalah racun, tidak ada bahan apapun yang
bukan racun, hanya dosis yang benar membedakan apakah menjadi racun atau obat”
Untuk mengetahui toksisitas bahan dikenal LD50, semakin rendah LD50 suatu
bahan, maka makin berbahaya bagi tubuh dan sebaliknya.
 Racun super: 5 mg/kgBB atau kurang, contoh: Nikotin
 Amat sangat beracun: (5-50 mg/kgBB), contoh: Timbal arsenat
 Amat beracun: (50- 500 mg/kgBB), contoh: Hidrokinon
 Beracun sedang: (0.5-5 g/kgBB), contoh: Isopropanol
 Sedikit beracun: (5-15 g/kgBB), contoh: Asam ascorbat
 Tidak beracun: (>15 g/kgBB), contoh: Propilen glikol

5.Faktor Yang Menentukan Tingkat Keracunan


a. Sifat Fisik bahan kimia
Bentuk yang lebih berbahaya bila dalam bentuk cair atau gas yang mudah
terinhalasi dan bentuk partikel bila terhisap, makin kecil partikel makin terdeposit dalam
paru -paru.

b. Dosis (konsentrasi) *
Semakin besar jumlah bahan kimia yang masuk dalam tubuh makin besar efek bahan
racunnya.
E=TxC
Keterangan:
E = efek akhir yang terjadi (diturunkan seminimal dengan NAB)
T = time
C = concentration

c. Lamanya pemajanan *
Pajanan bisa akut dan kronis. Gejala yang ditimbulkan bisa akut, sub akut dan kronis

d. Interaksi bahan kimia


 Aditif : efek yang timbul merupakan penjumlahan kedua bahan kimia, misal
organophosphat dengan enzim cholinesterase
 Sinergistik: efek yang terjadi lebih berat dari penjumlahan jika
 diberikan sendiri-sendiri, misal pajanan asbes dengan merokok
 Antagonistik : bila efek menjadi lebih ringan

e.Distribusi
Bahan kimia diserap dalam tubuh kemudian didistribusikan melalui aliran darah sehingga
terjadi akumulasi sampai reaksi tubuh.

f. Pengeluaran
Ginjal merupakan organ pengeluaran sangat penting, selain empedu, hati dan paru-paru.

g. Faktor tuan rumah (host)


 Faktor genetik
 Jenis kelamin : pria peka terhadap bahan kimia pada ginjal, wanita
 pada hati
 Faktor umur
 Status kesehatan
 Hygiene perorangan dan perilaku hidup

6. Nilai Ambang Batas dan Indeks Pemaparan Biologis (Biological Exposure Indices)

Bila pengendalian lingkungan tidak bisa mengurangi kadar bahan kimia di tempat kerja
maka perlu dilakukan :
 Pemantauan biologis (biological monitoring)
 Indeks pemaparan biologis (biological exposure Indices)
Yaitu suatu nilai panduan untuk menilai hasil pemantauan biologis yang penetuan
nilainya ditentukan dengan mengacu pada nilai NAB

HUKUM DAN REGULASI YG TERKAIT DENGAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN


KESEHATAN KERJA

Menurut peraturan undang-undang Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak atas


perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.

UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (hukum keselamatan
kerja) meletakkan prinsip dasar pelaksanaan keselamatan kerja. Langkah-langkah yang
perlu dilakukan untuk mencegah kecelakaan dan ledakan; mengurangi kemungkinan
kebakaran dan cara penanggulangan kebakaran; dan langkah-langkah lainnya yang diatur
sehubungan dengan tempat kerja. Hukum juga memiliki aturan tentang pintu darurat;
pertolongan pertama pada kecelakaan, perlindungan dari polusi seperti gas, suara dan
lain-lain; perlindungan dari penyakit karena pekerjaan; dan aturan mengenai
perlengkapan keselamatan bagi pekerja/buruh.

Semua kecelakaan kerja harus dilaporkan pada petugas yang ditunjuk oleh departemen
tenaga kerja. Hukum keselamatan kerja mengatur tentang daftar pekerjaan yang
mengharuskan pemeriksaan kesehatan pekerja/buruh sebelum bekerja. Pemeriksaan
kesehatan rutin juga harus dilaksanakan.

Perusahaan dengan 100 pekerja/buruh atau lebih, yang memiliki resiko tinggi, harus
memiliki manajemen sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang memenuhi
persyaratan. Perwakilan pekerja/buruh harus setuju pada manajemen sistem keselamatan
dan kesehatan kerja; yang juga harus dijelaskan kepada semua pekerja/buruh,  supplier,
dan pelanggan. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus mengawasi
pelaksanaan dari sistem tersebut, serta melakukan pemeriksaan dan evaluasi secara rutin.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 7 tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan
Serta Penerangan Dalam Tempat Kerja memberikan persyaratan khusus untuk tempat
kerja. Langkah-langkah pencegahan harus diambil untuk menghindari kebakaran,
kecelakaan, keracunan, infeksi penyakit karena pekerjaan, penyebaran debu, gas, uap
panas serta bau yang mengganggu. Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan
peraturan baru mengenai kesehatan dan keselamatan tempat kerja yang meniadakan
peraturan yang berlaku sebelum peraturan tahun 1964. Peraturan baru ini memberikan
pedoman baru untuk nilai ambang batas kimia dan fisik, dan juga memberikan pedoman
untuk kualitas udara dalam ruangan untuk menciptakan tempat kerja yang layak.

Perusahaan harus menyediakan cahaya yang cukup, pengaturan suhu dan ventilasi,
kebersihan, penyimpanan dan pembuangan sampah rutin; Perusahaan harus dibangun
secara baik dan dibuat dari material yang tidak mudah terbakar; pengecatan dinding dan
atap secara rutin, minimal 5 tahun sekali; kamar mandi terpisah bagi laki-laki dan
perempuan (setidaknya 1 kamar mandi untuk setiap 15 orang pekerja/buruh); pengaturan
yang higienis bagi setiap personil; makanan dan minuman; asrama bagi personil (bila
memungkinkan); pengaturan posisi kerja dan meja kerja; dan lampu darurat untuk malam
hari di tempat kerja.

Seorang pekerja/buruh dapat meminta secara resmi pemutusan hubungan kerja pada
lembaga yang berwenang atas hubungan industrial (pengadilan hubungan industrial) bila
pengusaha/perusahaannya memerintahkan pekerja/buruh yang bersangkutan untuk
melakukan pekerjaan yang dapat membahayakan keselamatan, kesehatan atau
bertentangan dengan moralnya, dimana hal tersebut tidak pernah diberitahukan pada
pekerja/buruh saat pembuatan perjanjian kerja.

Sumber: Pasal 86 (1) dan 169 UU Ketenagakerjaan (UU No.13/2003)

PERLINDUNGAN GRATIS

Tidak ada aturan hukum khusus tentang pakaian pelindung, namun Undang-undang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha wajib memiliki rencana keselamatan dan
kesehatan kerja. Undang-undang Keselamatan Kerja tahun 1970 memiliki aturan tentang
perlengkapan keselamatan diri dan mengharuskan pengusaha untuk menyediakan
perlengkapan keselamatan untuk pekerjanya secara gratis, dan menyediakan pelatihan
terkait penggunaan perlengkapan keselamatan yang dibutuhkan. Pekerja/buruh juga
memiliki kewajiban untuk mentaati dan mematuhi semua peraturan keselamatan kerja dan
menggunakan perlengkapan kerja yang disediakan oleh perusahaan. Pekerja/buruh dapat
mengajukan keberatan dan menghentikan pekerjaan bila perlengkapan keselamatan yang
memadai tidak tersedia.

Sumber: Pasal 86 (2) UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003); Pasal 9, 12 dan 14 UU


Keselamatan Kerja (UU No. 1/1970)

PELATIHAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Setiap jenis usaha harus mempunyai sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang
terintegrasi dalam sistem manajemen perusahaan. Adalah kewajiban perusahaan untuk
menyediakan petunjuk, pelatihan dan pengawasan yang diperlukan untuk memastikan
keselamatan dan kesehatan kerja para pekerja/buruhnya.
Sumber: Pasal 87 (1) UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003)

SISTEM PENGAWASAN TENAGA KERJA

Peraturan tentang Sistem Inspeksi Tenaga Kerja:

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 36/2016

Pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan


peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan.

Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan pemerintah, yang


ditentukan oleh menteri atau pejabat pemerintahan lainnya yang ditunjuk mewakili
menteri, yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan

Undang-undang mewajibkan unit pengawasan ketenagakerjaan di kantor pemerintah yang


bertanggung jawab atas urusan ketenagakerjaan, baik di tingkat pusat maupun provinsi,
dimana tugasnya terkait pengawasan ketenagakerjaan dilaporkan kepada menteri yang
bersangkutan.

Pengawas ketenagakerjaan berkewajiban untuk merahasiakan semua pekerjaannya yang


perlu atau harus dirahasiakan, dan mampu menahan diri dari penyelewengan kewenangan.

Dalam penerimaan pengaduan pekerja, dalam 30 hari pengawas ketenagakerjaan


diharuskan membuat catatan atau laporan pemeriksaan, dan memberikan catatan tersebut
kepada perusahaan/pengusaha serta pekerja.

Pengawas Ketenagakerjaan juga dapat berkoordinasi dengan Penyidik Polisi Indonesia


dalam hal pembuatan laporan/catatan pemeriksaan.

Pengusaha tidak dapat memutus hubungan kerja seorang pelapor pelanggaran bila
pekerja/buruh yang bersangkutan melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh
pengusaha.

Source: Pasal 1, 153, 176-181 UU Ketenagakerjaan (UU 13/2003); UU No. 3 tahun 1951;
UU No. 1 tahun 1970; UU No.  23/2014 tentang Pemerintah Daerah

PERATURAN TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

 Undang-Undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan / Manpower Act No.


13 of 2003
 Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja / Safety Act No.1 ,
1970
 Undang - Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan / Health Act No.23, 1992
 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.51 tahun 2012 tentang
Optimalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota /
Regulation of the minister of manpower and transmigration No. 51/2012 about
optimizing the manpower supervision in province area and region/city area

Anda mungkin juga menyukai