Anda di halaman 1dari 9

IMUNISASI DAN PENCAPAIANNYA DI INDONESIA

Imunisasi menyelamatkan jutaan nyawa dan secara luas diakui sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling berhasil dan efektif (hemat biaya) di dunia. Namun, masih ada
lebih dari 19 juta anak di dunia yang tidak divaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, yang
membuat mereka sangat berisiko untuk menderita penyakit-penyakit yang berpotensi mematikan.
Dari anak-anak ini, 1 dari 10 anak tidak pernah menerima vaksinasi apapun, dan umumnya tidak
terdeteksi oleh sistem kesehatan. Memperluas akses imunisasi adalah hal yang sangat penting
dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDG). Vaksinasi tidak hanya mencegah
penderitaan dan kematian yang terkait dengan penyakit menular seperti tuberkulosis, diare,
campak, pneumonia (infeksi paru-paru), polio dan batuk rejan, vaksinasi juga membantu
mendukung prioritas nasional seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi.

Dalam praktiknya, pemberian imunisasi diberikan sesuai usia anak, di antaranya:

 Imunisasi Hepatitis B (HB-O) untuk bayi yang usianya kurang dari 24 jam.
 Imunisasi BCG, Polio 1 untuk anak usia satu bulan.
 Imunisasi DPT-HB-Hib, Polio 2 untuk anak usia dua bulan.
 Imunisasi DPT-HB-Hib 2, Polio 3 untuk anak usia tiga bulan.
 Imunisasi DPT-HB-Hib 3, Polio 4, dan IPV untuk anak usia empat bulan.
 Imunisasi Campak/MR untuk anak usia 9 bulan.
 Imunisasi DPT-HB-Hib lanjutan dan MR lanjutan untuk anak usia 18 bulan.
 Imunisasi DT dan campak/MR untuk anak kelas 1 SD/Madrasah dan sederajat.
 Imunisasi TD untuk anak kelas 2 SD/Madrasah dan sederajat.
 Imunisasi TD untuk anak kelas 5 SD/Madrasah dan sederajat.

Cakupan Imunisasi Global 2016

Cakupan imunisasi global 2016 sebagai berikut:

 Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dapat menyebabkan meningitis dan pneumonia.


Vaksin Hib telah diperkenalkan di 191 negara sampai akhir tahun 2016. Cakupan global
3 dosis vaksin Hib diperkirakan mencapai 70%. Terdapat variasi cakupan yang jauh antar
daerah. Pada negara anggota WHO regio Amerika, cakupan diperkirakan mencapai 90%,
sedangkan pada regio Pasifik Barat hanya mencapai 28%. Sedangkan WHO regio Asia
Tenggara telah berhasil meningkatkan angka cakupan dari 56% pada tahun 2015 menjadi
80% pada tahun 2016.
 Hepatitis B adalah infeksi virus yang menyerang hati. Vaksin hepatitis B untuk bayi
telah diperkenalkan di seluruh dunia secara luas di 186 negara pada akhir tahun 2016.
Cakupan global 3 dosis vaksin hepatitis B diperkirakan mencapai 84% hingga 92% di
regio Pasifik Barat.
 Human papillomavirus adalah infeksi virus yang paling sering menyerang traktus
reproduksi dan dapat menyebabkan kanker serviks, atau kanker lainnya, dan kutil
kelamin pada laki-laki maupun perempuan. Vaksin HPV diperkenalkan di 74 negara pada
akhir 2016.
 Campak merupakan penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus campak,
umumnya menyebabkan demam tinggi dan ruam, serta dapat berujung pada kebutaan,
ensefalitis, dan kematian. Pada akhir tahun 2016, sekitar 85% anak telah menerima satu
dosis vaksin di usia dua tahun, dan 164 negara telah memasukkan dosis kedua sebagai
imunisasi rutin yang wajib, dengan cakupan sekitar 64% anak telah menerima dua dosis
campak berdasarkan jadwal imunisasi nasional.
 Mumps/Gondongan merupakan virus sangat menular yang menyebabkan
pembengkakan disertai nyeri di sisi wajah dibawah telinga (kelenjar parotis), demam,
sakit kepala, dan nyeri otot. Mumps dapat menyebabkan meningitis viral. Vaksin mumps
sudah diperkenalkan secara luas di 121 negara pada akhir tahun 2016.
 Penyakit Pneumokokkus termasuk pneumonia, meningitis, bakteremia, juga otitis
media, sinusitis, dan bronkitis. Vaksin pneumokokkus telah diperkenalkan di 134 negara
pada akhir 2016, dengan cakupan global diperkirakan sebesar 42%.
 Polio merupakan infeksi virus yang sangat menular dan dapat menyebabkan kelumpuhan
(paralisis) permanen. Pada tahun 2016, 85% bayi diseluruh dunia mendapatkan 3 dosis
vaksin polio. Dunia telah mendekati target pemberantasan polio. Pada tahun 2016, lebih
sedikit anak-anak yang lumpuh akibat polio daripada tahun-tahun sebelumnya, dengan
penyebaran virus saat ini hanya terbatas pada beberapa wilayah di Pakistan, Afganistan
dan Nigeria. Dua dari tiga strain polio liar tampaknya telah hilang. India dan seluruh
wilayah WHO di Asia Tenggara telah dinyatakan bebas polio, serta wabah yang terjadi
pada kurun waktu 2013-2014 di Timur Tengah dan Tanduk Afrika (Horn of Africa)
sudah berhenti.
 Rotavirus adalah penyebab paling umum penyakit diare berat pada anak-anak di seluruh
dunia. Vaksin rotavirus diperkenalkan pada 90 negara sampai akhir tahun 2016, dengan
cakupan global diperkirakan mencapai 25%.
 Rubella adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan biasanya berdampak ringan
pada anak, namun infeksi yang mengenai wanita hamil pada trimester awal kehamilan
dapat menyebabkan kematian bayi atau sindrom rubella kongenital, yang dapat
menyebabkan cacat otak, jantung, mata, dan telinga. Vaksin rubella diperkenalkan secara
luas di 152 negara pada akhir tahun 2016, dengan cakupan global mencapai 47%.
 Tetanus disebabkan oleh bakteri yang tumbuh tanpa adanya oksigen, contohnya pada
luka kotor atau pada tali pusat apabila tidak dijaga kebersihannya. Spora
kuman tetani ada di lingkungan terlepas dimanapun lokasi geografisnya. Bakteri ini
menghasilkan racun yang dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan kematian.
Vaksin yang dapat mencegah tetanus pada ibu dan bayi telah diperkenalkan di 106 negara
sampai akhir tahun 2016. Diperkirakan sebanyak 84% bayi baru lahir terproteksi melalui
imunisasi. Tetanus pada ibu dan bayi tetap ada sebagai masalah kesehatan masyarakat di
18 negara, terutama di Afrika dan Asia.
Cakupan Imunisasi Indonesia

 Cakupan imunisasi dasar lengkap

Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen
P2P) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, cakupan imunisasi dasar bagi bayi usia 0-11
bulan pada tahun 2017 mencapai 92,04% (dengan target nasional 92%). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa program imunisasi telah mencapai target, namun dengan catatan terjadi
penambahan kantong dengan cakupan dibawah 80% dan cakupan antara 80-91,5%.

 Cakupan imunisasi lanjutan

Angka cakupan nasional imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib pada tahun 2017 mencapai 63,4%
(target 45%) dan campak 62,7%.

Pada kurun waktu tahun 2014-2016, terdapat 1.716.659 anak yang belum mendapat imunisasi
dan imunisasinya tidak lengkap. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, beberapa alasan yang
menyebabkan bayi tidak mendapat imunisasi diantaranya; takut panas, keluarga tidak
mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk, sering sakit, tidak tahu tempat imunisasi. Oleh sebab
itu, pemberian imunisasi universal bagi seluruh anak tanpa kecuali masih merupakan tantangan
bagi seluruh pihak yang terlibat dalam upaya promosi kesehatan; baik pemerintah, organisasi
profesi, LSM, mitra swasta, masyarakat, dan lainnya.

CARE SEEKING BEHAVIOUR

Health Seeking Behaviour merupakan perilaku yang dilakukan oleh orang sakit untuk
memperoleh kesembuhan dan pemulihan kesehatannya. Dalam hal ini yang dilihat adalah
fasilitas apa yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dan apa yang mempengaruhi
seseorang sehingga memiliki perilaku yang berbeda dalam kaitannya dengan kesehatan.
Perilaku ini termasuk dalam perilaku kuratif dan rehabilitative yang mencakup kegiatan
mengenali gejala penyakit, upaya untuk memperoleh kesembuhan dan pemulihan, yaitu
dengan pengobatan sendiri atau mencari pengobatan baik formal maupun tradisional, dan
patuh terhadap proses penyembuhan dan pemulihan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Health Seeking Behaviour, antara lain:


1. Keparahan gejala penyakit yang akan direspon berbeda sesuai dengan kemampuan tubuh
masing-masing individu
2. Status ekonomi yang berkaitan dengan pendapatan keluarga. Jika pendapatannya baik maka
pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan akan terjamin
3. Sikap, kepercayaan, dan nilai . Sikap dilihat dari respon masyarakat terhadap penyakit,
apakah mereka akan menanggapinya atau mengabaikannya, akan sangat berpengaruh
terhadap pola pencarian bantuan kesehatan. Kepercayaan dinilai dari keyakinan tentang
kebenaran terhadap sesuatu yang didasarkan pada budaya yang ada di masyarakat. Sedangkan
nilai diartikan sebagai sebuah konsep yang diwujudkan dalam system moral atau agama yang
dianut. Jika sikap, kepercayaan, dan nilai yang ada di masyarakat sangat bagus dan benar maka
akan memudahkan mereka berada pada system peyalanan kesehatan.
4. Kesadaran masyarakat. Masyarakat dengan kesadaran tinggi akan lebih mudah menerima
masukan dan informasi baru termasuk dalam masalah kesehatan, sehingga mereka dapat
berperilaku baru atau cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya termasuk dalam hal
pencarian bantuan ke sarana kesehatan.
5. Sikap petugas kesehatan dinilai dari bagaimana para petugas kesehatan berlaku tidak ramah
atau tidak simpatik dan tidak responsif kepada pasien dalam memberikan tindakan medis.
Hal tersebut yang dapat membuat masyarakat menjadi enggan untuk berobat ke sarana
kesehatan.
6. Jarak ke sarana pelayanan kesehatan juga sangat mempengaruhi masyarakat dalam
mencari bantuan kesehatan. Semakin jauh jarak pusat sarana kesehatan dari rumahnya, maka
masyarakat enggan pergi ke sarana pelayanan kesehatan dan lebih memilih mengobati sendiri
atau pergi ke pengobatan tradisional atau alternatif seperti dukun atau orang pintar lainnya.

GENDER DAN STIGMA DALAM KESEHATAN

 GENDER
Isu Gender dalam bidang kesehatan adalah masalah kesenjangan perempuan dan laki-laki
dalam hal akses, peran atau partisipasi, kontrol dan manfaat yang diperoleh mereka dalam
pembangunan kesehatan. Kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara
perempuan dan laki-laki dalam upaya atau pelayanan kesehatan secara langsung
menyebabkan ketidaksetaraan terhadap status kesehatan perempuan dan laki-laki, sehingga
kesenjangan tersebut harus menjadi perhatian dalam menyusun kebijakan/program sehingga
kebijakan/program bisa lebih terfokus, efisien dan efektif dalam mencapai sasaran. Oleh
karena itu, isu kesehatan tidak boleh hanya dilihat pada masalah service delivery (penyediaan
layanan) saja, tetapi juga perlu melihat pada hubungan sosial budaya yang menyebabkan
perbedaan status dan peran perempuan dan laki-laki dan relasi antara keduanya di masyarakat

Contoh isu gender dalam kaitannya dengan upaya atau pelayanan kesehatan.
1. Isu gender terhadap prevalensi dan tingkat keparahan penyakit
Perbedaan norma dan relasi gender menyebabkan perempuan dan laki-laki menderita
penyakit yang berbeda dan juga tingkat keparahannya. Publikasi ilmiah menyatakan bahwa:
 Perempuan menderita anemia akibat kekurangan Fe pada ibu hamil dan menyusui
serta perempuan yang menstruasi sebagai akibat dari hegemoni laki-laki dalam rumah
tangga yang mempunyai peluang lebih besar mengkonsumsi makanan kaya Fe.

 Osteoporosis 8 kali lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki yang


berhubungan dengan faktor biologis dan gaya hidup. Demikian pula Diabetes,
hipertensi dan kegemukan, lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki.

 Depresi (dua sampai tiga kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki
pada semua fase kehidupan) yang berhubungan dengan tipe personal dan pengalaman
dalam bersosialisasi dan perbedaan peluang antara perempuan dan laki-laki.

 Angka kematian yang tinggi pada kasus kanker perempuan pada usia dewasa, yang
berhubungan dengan rendahnya akses terhadap teknologi dan pelayanan kesehatan
dalam deteksi dini dan tindakan pengobatan.

 Laki-laki menderita lebih banyak Sirosis Hepatis yang berhubungan dengan perilaku
minuman beralkohol. Demikian pula Schizophrenia dan kanker paru-paru yang
berhubungan dengan perilaku merokok. Silicosis yang berhubungan dengan pekerja
tambang (100 % laki-laki). Demikian pula untuk kasus hernia pada laki-laki yang
berhubungan dengan jenis pekerjaan. Penyakit dengan gangguan pada Arteri
Coronaria merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pria pada saat kerja.

 Perempuan lebih berisiko dari laki-laki terhadap defisiensi micro-nutrient yang akan
berdampak buruk bagi status gizi dan kesehatannya sehingga mengurangi
produktivitas dan peluang investasi di bidang pendidikan.

 Malnutrisi pada bayi berhubungan dengan kemiskinan dan rendahnya tingkat


pendidikan ibu.

2. Isu gender terhadap lingkungan fisik dan penyakit


Studi kasus di Zimbabwe menyatakan bahwa perempuan dewasa lebih berisiko tinggi
menderita Sistosomiasis (salah satu jenis cacing darah) dibandingkan laki-laki karena
perempuan bertugas mencuci pakaian dan perlengkapan dapur yang dilakukannya di sungai,
sementara remaja laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi dibandingkan remaja
perempuan karena mereka lebih sering bermain di sungai dan kanal.

3. Isu gender terhadap faktor risiko penyakit

 Perempuan mempunyai akses yang lemah terhadap keuangan keluarga sehingga


mengurangi kemampuannya untuk melindungi dirinya dari factor risiko penyakit.
 Riset WHO yang dilakukan pada laki-laki termasuk remaja pria di seluruh dunia
menunjukkan bagaimana norma-norma terhadap ketidakadilan gender mempengaruhi
interaksi laki-laki dengan pasangan wanitanya dalam banyak hal, termasuk
pencegahan transmisi HIV dan penyakit IMS lainnya, penggunaan alat kontrasepsi
dan prilaku laki-laki dalam mencari pelayanan kesehatan. Juga terkait dengan
pembagian peran dan tugas rumah tangga, serta pola parenting (proses bertindak
sebagai orang tua).

 Streotipi maskulin menyebabkan seorang laki-laki harus berani, pengambil resiko


berprilaku agnesi dan tidak menunjukkan sifat lemah berhubungan dengan angka
penggunaan alkohol dan Narkoba lebih tinggi pada laki-laki di seluruh belahan dunia.
Demikian pula dengan angka kesakitan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas
dan tindak kriminal.

 Terbatasnya akses terhadap air bersih pada perempuan, karena dalam beberapa
kelompok masyarakat laki-laki lebih didahulukan sebagai pengguna utama air bersih,
sedangkan perempuan dan anakanak harus membawa dan menyiapkannya tetapi
mendapatkan prioritas kedua

4. Isu gender terhadap persepsi dan respon terhadap penyakit

 Perbedaan peran laki-laki dan perempuan mempengaruhi persepsi perasaan tidak


nyaman serta mempengaruhi keinginan wanita untuk menyatakan dirinya sakit. Peran
perempuan dalam mengurus rumah tangga mengakibatkan apabila perempuan jatuh
sakit tidak cepat mencari pengobatan karena merasa tidak nyaman melalaikan tugas
dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Kalaupun berobat penyakitnya sudah
dalam stadium lanjut. Demikian pula pada laki-laki dewasa mencari pengobatan
terhadap penyakitnya pada stadium lanjut karena peran maskulin laki-laki
menyebabkan laki-laki merasa harus kuat dalam menghadapi penyakit.

 Tidak masuknya target perempuan pada studi-studi klinis patologis, mengakibatkan


terapi hasil studi tersebut tidak realible diaplikasikan pada perempuan dan mungkin
berbahaya pada perempuan. Pertimbangan tubuh laki-laki sebagai standar dalam studi
klinis akan membatasi jumlah studi yang difokuskan pada kesehatan reproduktif dan
non-reproduktif perempuan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap dampak
pengobatan tertentu pada perempuan.

 Pelayanan Keluarga Berencana lebih fokus pada perempuan dibanding laki-laki


mengakibatkan laki-laki mempunyai akses yang terbatas terhadap pelayanan KB dan
mengakibatkan laki-laki mempunyai persepsi bahwa KB adalah urusan perempuan.
Disamping itu dalam relasi gender di sebuah keluarga, keputusan tentang penggunaan
kontrasepsi lebih banyak ditentukan oleh suami
5. Isu gender terhadap akses secara fisik, psikologis dan sosial terhadap sarana pelayanan
kesehatan

 Ketimpangan peran dan relasi gender menyebabkan perempuan mempunyai akses


secara fisik, psikologis dan sosial terhadap pelayanan kesehatan lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Pada saat sakit, perempuan tidak dengan serta merta
mengakses pelayanan kesehatan karena:
- Jam pelayanan (waktu) di sarana pelayanan kesehatan seringkali tidak sesuai dengan
kesibukan ibu rumah tangga.
- Dalam keadaan sakit perempuan harus mendapatkan ijin suami untuk berkunjung ke
sarana pelayanan kesehatan.

 Perempuan dengan penyakit IMS cenderung tidak ke sarana kesehatan karena takut
dengan stigma sosial yang ‘miring’ atau negatif tentang perempuan penderita
Penyakit Menular Seksual.

 Terbatasnya akses terhadap biaya, jarak/transportasi, informasi dan teknologi


memperburuk ketidakadilan gender. Jika perempuan mempunyai akses terhadap
pembiayaan, maka akan berdampak signifikan terhadap kesejahteraan keluarga dan
anggotanya. Tersedianya sumber daya keuangan akan berhubungan dengan
peningkatan tingkat kesehatan anak.

6. Isu gender terhadap keterpajanan dan kerentanan penyakit


Perempuan lebih rentan dibanding laki-laki terhadap infeksi HIV melalui hubungan
heteroseksual. Perempuan lebih banyak terpajan oleh penyakit IMS yang menyebabkan
peningkatan risiko infeksi HIV/ AIDS. Studi menunjukkan bahwa perempuan mempunyai
risiko terinfeksi dua sampai empat kali lebih besar pada kasus ini. Banyak kasus IMS pada
perempuan bersifat asimptomatik (tidak bergejala) yang mengakibatkan lambatnya diagnosis
dan pengobatan

 STIGMA

Stigma adalah perilaku dalam hubungan sosial yang ditandai dengan pemberian
label, stereotyping, pemisahan, diskriminasi dan menghilangkan status social. Pemberian stigma
pada pasien mempengaruhi hubungan dokter pasien. Stigma pada orang dengan infeksi
HIV/AIDS (ODHA) memberikan efek negatif pada fisik dan psikologis ODHA yang pada
akhirnya mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pemberian stigma terhadap ODHA dapat
menyebabkan perasaan ditolak dan terasingkan pada ODHA. Hal ini berakibat pada perilaku
ODHA berupa menutup status HIVnya dan keinginan mencari pengobatan. Stigma yang
diberikan juga berhubungan dengan penundaan mencari pengobatan, kepatuhan pengobatan yang
rendah dan peningkatan perilaku berisiko pada ODHA.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, ODHA masih mengalami stigma dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk oleh tenaga kesehatan. Sekitar 1 dari 4 ODHA mengalami
stigma oleh tenaga kesehatan. Stigma yang sering mereka alami adalah pembiaran pasien dan
penggunaan alat pelindung diri berlebihan oleh tenaga kesehatan sebelum pemeriksaan, termasuk
penggunaan masker, apron dan penggunaan sarung tangan ganda. Pada bentuk yang ekstrim,
pasien melaporkan tenaga kesehatan yang menolak bersentuhan, bersalaman dan melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien, tidak memperdulikan kerahasiaan pasien, atau menolak
memberikan layanan pengobatan pada pasien.

Pada sebuah penelitian di Indonesia didapati bahwa pasien masih merasakan stigma akan
penyakitnya saat mendapatkan pelayanan kesehatan. Bentuk stigma yang mereka terima
misalnya menyebutkan HIV dengan nada lantang, pemberian kode pada status pasien, tempat
pembuangan sampah yang dibedakan dan diberi label HIV, dan pelayanan yang berbeda. Bentuk
pelayanan yang berbeda yang didapatkan pasien misalnya pemberian makanan lewat bawah
pintu dan tidak mengganti seprai pasien perawatan. Beberapa pasien juga melaporkan
penggunaan alat pelindung secara berlebihan dan isolasi. Bahkan ada kasus tindakan yang
dilakukan tanpa informed consent, misalnya pemeriksaan darah tertentu. Perbedaan perlakuan
juga dialami keluarga ODHA yang meninggal. Perbedaan perlakuan ini seperti perbedaan biaya
pemulasaraan jenazah yang signifikan

Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian Stigma

Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa faktor yang berhubungan dengan pemberian
stigma adalah jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan, dan perilaku seks yang aman. Tingkat
interaksi tenaga kesehatan dengan ODHA berhubungan erat dengan stigma yang diberikan pada
ODHA, semakin tinggi tingkat interaksi, semakin rendah stigma yang diberikan. Di sisi lain,
pengetahuan tentang HIV tidak berhubungan dengan stigma yang diberikan pada ODHA.[3,9]

Faktor lain yang berperan terhadap stigma yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah agama,
ras, lokasi tempat bekerja, dan ketersediaan profilaksis pasca pajanan. Hal yang mengagetkan
adalah bila tenaga kesehatan atau keluarganya merupakan ODHA dan tenaga kesehatan memiliki
rasa malu terhadap hal tersebut, tenaga kesehatan tersebut akan memiliki perilaku memberi
stigma yang lebih tinggi.

Fasilitas layanan kesehatan juga berperan penting melalui pembuatan peraturan yang mengatur
tentang pencegahan diskriminasi terhadap ODHA di tempat kerja juga memegang peran penting.
Tempat bekerja yang memberlakukan aturan tersebut dan memberikan sanksi pada pelanggarnya
melaporkan perilaku memberikan stigma yang lebih rendah. Bekerja di klinik khusus HIV, atau
klinik yang memiliki banyak pasien HIV dan mengetahui adanya profilaksis pasca pajanan
secara signifikan menunjukkan permberian stigma yang lebih rendah

Stigma yang diberikan pada pasien mempengaruhi hubungan dokter pasien yang akhirnya
mempengaruhi proses pengobatan yang dijalani  oleh pasien. Untuk itu, diperlukan solusi
terhadap masalah stigma pada tenaga kesehatan. Solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Edukasi kepada mahasiswa kedokteran untuk mengerti mengenai stigma dan faktor yang
mempengaruhi
2. Penggunaan universal precautions sudah cukup untuk pasien HIV. Universal
precautions ini harus dilakukan pada seluruh pasien sehingga tidak terasa ada
diskriminasi pada pasien tertentu
3. Hak pasien untuk dijaga kerahasiaan mengenai kondisinya juga berlaku pada pasien HIV.
Pastikan dokter tidak melanggar hak tersebut
4. Layanan kesehatan perlu membuat sistem aturan yang mencegah terjadinya diskriminasi
terhadap pasien HIV

Anda mungkin juga menyukai