Imunisasi menyelamatkan jutaan nyawa dan secara luas diakui sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling berhasil dan efektif (hemat biaya) di dunia. Namun, masih ada
lebih dari 19 juta anak di dunia yang tidak divaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, yang
membuat mereka sangat berisiko untuk menderita penyakit-penyakit yang berpotensi mematikan.
Dari anak-anak ini, 1 dari 10 anak tidak pernah menerima vaksinasi apapun, dan umumnya tidak
terdeteksi oleh sistem kesehatan. Memperluas akses imunisasi adalah hal yang sangat penting
dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDG). Vaksinasi tidak hanya mencegah
penderitaan dan kematian yang terkait dengan penyakit menular seperti tuberkulosis, diare,
campak, pneumonia (infeksi paru-paru), polio dan batuk rejan, vaksinasi juga membantu
mendukung prioritas nasional seperti pendidikan dan pembangunan ekonomi.
Imunisasi Hepatitis B (HB-O) untuk bayi yang usianya kurang dari 24 jam.
Imunisasi BCG, Polio 1 untuk anak usia satu bulan.
Imunisasi DPT-HB-Hib, Polio 2 untuk anak usia dua bulan.
Imunisasi DPT-HB-Hib 2, Polio 3 untuk anak usia tiga bulan.
Imunisasi DPT-HB-Hib 3, Polio 4, dan IPV untuk anak usia empat bulan.
Imunisasi Campak/MR untuk anak usia 9 bulan.
Imunisasi DPT-HB-Hib lanjutan dan MR lanjutan untuk anak usia 18 bulan.
Imunisasi DT dan campak/MR untuk anak kelas 1 SD/Madrasah dan sederajat.
Imunisasi TD untuk anak kelas 2 SD/Madrasah dan sederajat.
Imunisasi TD untuk anak kelas 5 SD/Madrasah dan sederajat.
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen
P2P) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, cakupan imunisasi dasar bagi bayi usia 0-11
bulan pada tahun 2017 mencapai 92,04% (dengan target nasional 92%). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa program imunisasi telah mencapai target, namun dengan catatan terjadi
penambahan kantong dengan cakupan dibawah 80% dan cakupan antara 80-91,5%.
Angka cakupan nasional imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib pada tahun 2017 mencapai 63,4%
(target 45%) dan campak 62,7%.
Pada kurun waktu tahun 2014-2016, terdapat 1.716.659 anak yang belum mendapat imunisasi
dan imunisasinya tidak lengkap. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, beberapa alasan yang
menyebabkan bayi tidak mendapat imunisasi diantaranya; takut panas, keluarga tidak
mengizinkan, tempat imunisasi jauh, sibuk, sering sakit, tidak tahu tempat imunisasi. Oleh sebab
itu, pemberian imunisasi universal bagi seluruh anak tanpa kecuali masih merupakan tantangan
bagi seluruh pihak yang terlibat dalam upaya promosi kesehatan; baik pemerintah, organisasi
profesi, LSM, mitra swasta, masyarakat, dan lainnya.
Health Seeking Behaviour merupakan perilaku yang dilakukan oleh orang sakit untuk
memperoleh kesembuhan dan pemulihan kesehatannya. Dalam hal ini yang dilihat adalah
fasilitas apa yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dan apa yang mempengaruhi
seseorang sehingga memiliki perilaku yang berbeda dalam kaitannya dengan kesehatan.
Perilaku ini termasuk dalam perilaku kuratif dan rehabilitative yang mencakup kegiatan
mengenali gejala penyakit, upaya untuk memperoleh kesembuhan dan pemulihan, yaitu
dengan pengobatan sendiri atau mencari pengobatan baik formal maupun tradisional, dan
patuh terhadap proses penyembuhan dan pemulihan.
GENDER
Isu Gender dalam bidang kesehatan adalah masalah kesenjangan perempuan dan laki-laki
dalam hal akses, peran atau partisipasi, kontrol dan manfaat yang diperoleh mereka dalam
pembangunan kesehatan. Kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara
perempuan dan laki-laki dalam upaya atau pelayanan kesehatan secara langsung
menyebabkan ketidaksetaraan terhadap status kesehatan perempuan dan laki-laki, sehingga
kesenjangan tersebut harus menjadi perhatian dalam menyusun kebijakan/program sehingga
kebijakan/program bisa lebih terfokus, efisien dan efektif dalam mencapai sasaran. Oleh
karena itu, isu kesehatan tidak boleh hanya dilihat pada masalah service delivery (penyediaan
layanan) saja, tetapi juga perlu melihat pada hubungan sosial budaya yang menyebabkan
perbedaan status dan peran perempuan dan laki-laki dan relasi antara keduanya di masyarakat
Contoh isu gender dalam kaitannya dengan upaya atau pelayanan kesehatan.
1. Isu gender terhadap prevalensi dan tingkat keparahan penyakit
Perbedaan norma dan relasi gender menyebabkan perempuan dan laki-laki menderita
penyakit yang berbeda dan juga tingkat keparahannya. Publikasi ilmiah menyatakan bahwa:
Perempuan menderita anemia akibat kekurangan Fe pada ibu hamil dan menyusui
serta perempuan yang menstruasi sebagai akibat dari hegemoni laki-laki dalam rumah
tangga yang mempunyai peluang lebih besar mengkonsumsi makanan kaya Fe.
Depresi (dua sampai tiga kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan laki-laki
pada semua fase kehidupan) yang berhubungan dengan tipe personal dan pengalaman
dalam bersosialisasi dan perbedaan peluang antara perempuan dan laki-laki.
Angka kematian yang tinggi pada kasus kanker perempuan pada usia dewasa, yang
berhubungan dengan rendahnya akses terhadap teknologi dan pelayanan kesehatan
dalam deteksi dini dan tindakan pengobatan.
Laki-laki menderita lebih banyak Sirosis Hepatis yang berhubungan dengan perilaku
minuman beralkohol. Demikian pula Schizophrenia dan kanker paru-paru yang
berhubungan dengan perilaku merokok. Silicosis yang berhubungan dengan pekerja
tambang (100 % laki-laki). Demikian pula untuk kasus hernia pada laki-laki yang
berhubungan dengan jenis pekerjaan. Penyakit dengan gangguan pada Arteri
Coronaria merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pria pada saat kerja.
Perempuan lebih berisiko dari laki-laki terhadap defisiensi micro-nutrient yang akan
berdampak buruk bagi status gizi dan kesehatannya sehingga mengurangi
produktivitas dan peluang investasi di bidang pendidikan.
Terbatasnya akses terhadap air bersih pada perempuan, karena dalam beberapa
kelompok masyarakat laki-laki lebih didahulukan sebagai pengguna utama air bersih,
sedangkan perempuan dan anakanak harus membawa dan menyiapkannya tetapi
mendapatkan prioritas kedua
Perempuan dengan penyakit IMS cenderung tidak ke sarana kesehatan karena takut
dengan stigma sosial yang ‘miring’ atau negatif tentang perempuan penderita
Penyakit Menular Seksual.
STIGMA
Stigma adalah perilaku dalam hubungan sosial yang ditandai dengan pemberian
label, stereotyping, pemisahan, diskriminasi dan menghilangkan status social. Pemberian stigma
pada pasien mempengaruhi hubungan dokter pasien. Stigma pada orang dengan infeksi
HIV/AIDS (ODHA) memberikan efek negatif pada fisik dan psikologis ODHA yang pada
akhirnya mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pemberian stigma terhadap ODHA dapat
menyebabkan perasaan ditolak dan terasingkan pada ODHA. Hal ini berakibat pada perilaku
ODHA berupa menutup status HIVnya dan keinginan mencari pengobatan. Stigma yang
diberikan juga berhubungan dengan penundaan mencari pengobatan, kepatuhan pengobatan yang
rendah dan peningkatan perilaku berisiko pada ODHA.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, ODHA masih mengalami stigma dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk oleh tenaga kesehatan. Sekitar 1 dari 4 ODHA mengalami
stigma oleh tenaga kesehatan. Stigma yang sering mereka alami adalah pembiaran pasien dan
penggunaan alat pelindung diri berlebihan oleh tenaga kesehatan sebelum pemeriksaan, termasuk
penggunaan masker, apron dan penggunaan sarung tangan ganda. Pada bentuk yang ekstrim,
pasien melaporkan tenaga kesehatan yang menolak bersentuhan, bersalaman dan melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien, tidak memperdulikan kerahasiaan pasien, atau menolak
memberikan layanan pengobatan pada pasien.
Pada sebuah penelitian di Indonesia didapati bahwa pasien masih merasakan stigma akan
penyakitnya saat mendapatkan pelayanan kesehatan. Bentuk stigma yang mereka terima
misalnya menyebutkan HIV dengan nada lantang, pemberian kode pada status pasien, tempat
pembuangan sampah yang dibedakan dan diberi label HIV, dan pelayanan yang berbeda. Bentuk
pelayanan yang berbeda yang didapatkan pasien misalnya pemberian makanan lewat bawah
pintu dan tidak mengganti seprai pasien perawatan. Beberapa pasien juga melaporkan
penggunaan alat pelindung secara berlebihan dan isolasi. Bahkan ada kasus tindakan yang
dilakukan tanpa informed consent, misalnya pemeriksaan darah tertentu. Perbedaan perlakuan
juga dialami keluarga ODHA yang meninggal. Perbedaan perlakuan ini seperti perbedaan biaya
pemulasaraan jenazah yang signifikan
Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa faktor yang berhubungan dengan pemberian
stigma adalah jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan, dan perilaku seks yang aman. Tingkat
interaksi tenaga kesehatan dengan ODHA berhubungan erat dengan stigma yang diberikan pada
ODHA, semakin tinggi tingkat interaksi, semakin rendah stigma yang diberikan. Di sisi lain,
pengetahuan tentang HIV tidak berhubungan dengan stigma yang diberikan pada ODHA.[3,9]
Faktor lain yang berperan terhadap stigma yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah agama,
ras, lokasi tempat bekerja, dan ketersediaan profilaksis pasca pajanan. Hal yang mengagetkan
adalah bila tenaga kesehatan atau keluarganya merupakan ODHA dan tenaga kesehatan memiliki
rasa malu terhadap hal tersebut, tenaga kesehatan tersebut akan memiliki perilaku memberi
stigma yang lebih tinggi.
Fasilitas layanan kesehatan juga berperan penting melalui pembuatan peraturan yang mengatur
tentang pencegahan diskriminasi terhadap ODHA di tempat kerja juga memegang peran penting.
Tempat bekerja yang memberlakukan aturan tersebut dan memberikan sanksi pada pelanggarnya
melaporkan perilaku memberikan stigma yang lebih rendah. Bekerja di klinik khusus HIV, atau
klinik yang memiliki banyak pasien HIV dan mengetahui adanya profilaksis pasca pajanan
secara signifikan menunjukkan permberian stigma yang lebih rendah
Stigma yang diberikan pada pasien mempengaruhi hubungan dokter pasien yang akhirnya
mempengaruhi proses pengobatan yang dijalani oleh pasien. Untuk itu, diperlukan solusi
terhadap masalah stigma pada tenaga kesehatan. Solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Edukasi kepada mahasiswa kedokteran untuk mengerti mengenai stigma dan faktor yang
mempengaruhi
2. Penggunaan universal precautions sudah cukup untuk pasien HIV. Universal
precautions ini harus dilakukan pada seluruh pasien sehingga tidak terasa ada
diskriminasi pada pasien tertentu
3. Hak pasien untuk dijaga kerahasiaan mengenai kondisinya juga berlaku pada pasien HIV.
Pastikan dokter tidak melanggar hak tersebut
4. Layanan kesehatan perlu membuat sistem aturan yang mencegah terjadinya diskriminasi
terhadap pasien HIV