Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

Scabies dengan Infeksi sekunder

Disusun Oleh:
Eric Winata
406181024

Dokter Pembimbing:
Dr. Hendrik Kunta Adjie, SpKK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RS
HUSADA
PERIODE 14 Oktober 2019 – 15 November 2019
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dokter Pembimbing Laporan Kasus dari :


Nama : Eric Winata
NIM : 406181024
Bagian : Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin
Judul : Scabies
Dokter Pembimbing : dr. Hendrik Kunta Adjie, Sp. KK

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di
Rumah Sakit Husada Jakarta. Periode 14 Oktober 2019 – 15 November 2019

Jakarta, 31 Oktober 2019


Dosen Pembimbing,

(dr. Hendrik Kunta Adjie, Sp. KK)


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite) Sarcoptes
scabei, yang termasuk dalam kelas Arachnida. Penyakit ini juga mudah menular dari
manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar
baik secara langsung atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak
langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah dipergunakan
penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya. Skabies
menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela-sela jari,siku, selangkangan.

Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur
yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas
asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat
luas. Di Jerman terjadi peningkatan insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak
langsung seperti tidur bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara
bersama-sama di lingkungan padat penduduk.
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. KN

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 1 tahun 3 bulan 25 hari

Agama : Islam

Pekerjaan :-

Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat : Mangga Besar

II. ANAMNESIS
Alloanamnesa, pada hari/tanggal Senin, 21 Oktober 2019 Pukul 11.00 WIB

Keluhan Utama
Gatal di seluruh tubuh sejak 2 bulan lalu.
Keluhan Tambahan

Lecet akibat digaruk karena gatal yang dirasakan.


Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien dibawa oleh ibunya datang ke poli kulit Husada untuk pertama kalinya
dengan keluhan gatal-gatal pada seluruh tubuh sejak 2 bulan lalu. Gatal dirasakan setiap
hari namun pasien rewel dan lebih sering menggaruk pada malam hari. Ibu pasien
mengatakan gatal awalnya di sela jari yang kemudian menjalar ke wajah, lengan, kaki
dan badan. Akibat gatal yang dirasakan, pasien menggaruk hingga menjadi lecet dan
bernanah. Pasien sempat dibawa ke puskesmas dan diberikan salep, bedak dan obat
minum ( pasien lupa nama obatnya) namun tidak menunjukkan perbaikan sehingga
dirujuk ke RS Husada. Tidak ada keluhan lain seperti demam, batuk , pilek, nyeri pada
daerah gatal. R. imunisasi lengkap, r. tumbuh kembang dalam batas normal. Pasien lahir
normal dan memiliki 3 saudara, pasien merupakan anak bungsu.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit pasien saat ini. Tidak ada
riwayat asma, bersin pada keadaan dingin, maupun gatal saat mengkonsumsi makanan
maupun obat.

Riwayat Penyakit Keluarga

Kakak pertama pasien memiliki keluhan yang sama seperti pasien dengan keluhan
tambahan seperti ada sesuatu yang berjalan dan menggigit sejak 3 bulan yang lalu yang awalnya
didapat dari teman sekamar dan kemudian kakak kedua, ibu, dan nenek pasien juga mengalami
keluhan yang sama.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis

 Keadaan Umum : Baik


 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan Darah :-
 Nadi : 120 x / menit
 RR : 23 x / menit
 Suhu : 36.8C
 Kepala : Normocephali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
 THT : Telinga : Normotia, sekret di liang telinga(-),
Hidung : Tidak tampak kelainan bentuk, sekret (-), septum deviasi (-)
Faring : Tidak hiperemis
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Uvula : Ditengah, tidak hiperemis
 Leher : Bentuk normal, pembesaran KGB (-)
 Thorax :
Paru : suara dasar napas bronkovesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : BJ 1 dan 2 murni reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) , nyeri tekan (-) hepar dan lien tidak
membesar
 Ekstremitas : akral hangat, tidak ada udem
Status Dermatologikus

Lokasi : Regio zygomaticus sisi sinistra, manus dan tarsal bilateral


Distribusi : Generalisata

Efloresensi : gambaran papul dengan erosi multiple yang disertai dengan pustula
hemoragika, Burrow (+)

Konfigurasi : polisiklik dan linier

IV. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Skin scraping dengan mineral oil prep  menemukan tungau dewasa atau telur
tungau, fragmen telur, kotoran tungan.
- Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, karena tanda dan gejala
serta gejala klinisnya sudah khas.

V. RESUME
Telah diperiksa bayi laki laki usia 1 tahun 3 bulan datang dibawa oleh ibunya dengan
keluhan gatal gatal pada seluruh tubuh sejak 2 bulan yang lalu. Gatal dirasakan lebih memberat
pada malam hari. Ibu pasien mengatakan bahwa gatal awalnya muncul pada daerah sela sela jari
yang kemudian menyebar ke seluruh badan. Kakak, nenek dan ibu memiliki keluhan yang serupa
dengan pasien. Sudah diobati di puskesmas namun tidak ada perbaikan. Status generalis pasien
dalam batas normal. Pada pemeriksaan dermatologis di peroleh gambaran papul dengan erosi
multiple yang disertai dengan pustula hemoragika, Burrow (+) di regio zigomatikus sisi sinistra ,
manus dan tarsal bilateral, generalisata, jumlahnya multiple, ukurannya milier dengan konfigurasi
linear dan polisiklik.

VI. DIAGNOSIS KERJA


Scabies dengan Infeksi Sekunder
VII. DIAGNOSIS BANDING
- Dermatitis Kontak alergi
- Insect bites (bedbugs)
- Urtikaria
- Folikulitis

VIII. TATALAKSANA
Non Medikamentosa
- Menjelaskan kepada ibu pasien tentang penyakit Scabies, perjalanan penyakit,
penularan yang terjadi
- Menjelaskan kepada ibu pasien untuk menjaga hygiene pribadi dan hygiene keluarga
lainnya
- Menjelaskan kepada ibu pasien untuk mencegah pasien menggaruk daerah luka agar
tidak timbuh / mencegah infeksi sekunder.
- Menjelaskan kepada ibu pasien cara menggunakan obat yang dianjurkan secara tepat.
- Menjelaskan kepada ibu pasien untuk menjemur pakaian, tempat tidur di terik matahari
untuk membasmi telur tungau serta tungau.
- Menjelaskan kepada pasien untuk kontrol ke poli 2 minggu kemudian

Medikamentosa
- Cefadroxil syr 2 x 5 ml  infeksi sekunder
- Fucicort cream 2 x 1 hari
- CTM 3 x 1 mg  jika gatal
- Scabimite ( permethrine 5%) tube selama 3 jam
- Kompres NaCl

IX. PROGNOSIS
ad vitam : ad Bonam
ad functionam : ad Bonam
ad sanationam : ad Bonam
ad kosmektikam : ad Bonam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite) Sarcoptes
scabei, yang termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini berukuran sangat kecil dan
hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering
disebut kutu badan. Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke manusia, dari
hewan ke manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau
melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju,
seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah dipergunakan penderita dan belum
dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya. Skabies menyebabkan rasa gatal
pada bagian kulit seperti disela-sela jari, siku, selangkangan. (Yosefw, 2007).

B. Epidemiologi
Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % - 27 %
populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Suatu survei yang
dilakukan pada tahun 1983 diketahui bahwa disepanjang sungai Ucayali, Peru, ditemukan
beberapa desa di mana semua anak-anak dari penduduk asli desa tersebut mengidap
skabies. Behl ada tahun 1985 menyatakan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak di
desa-desa Indian adalah 100%. Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada
kelompok umur 10-19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paolo, Brazil insiden tertinggi
terdapat pada anak dibawah umur 9 tahun. Di India, Gulati melaporkan prevalensi
tertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan laporan Srivatava yang
menyatakan prevalensi skabies tertinggi terdapat pada anak dibawah 5 tahun. Di negara
maju prevalensi skabies sama pada semua golongan umur (Maibach, 1997)
Pada tahun 1975 terjadi wabah skabies di perkampungan Indian di Kepulauan San
Blas, Panama. Penduduk didaerah tersebut hidup dalam lingkungan yang padat dengan
jumlah penghuni tiap rumah 13 orang atau lebih. Pada survei pertama didapatkan
prevalensi skabies sebesar 28% pada suatu kelompok dan pada kelompok yang lain 42%.
Dua tahun kemudian dilakukan survei pada pulau Van lebih besar yang berpenduduk
2.000 orang. Pada survei tersebut ditemukan bahwa 90% penduduk mengidap skabies.
Pada tahun 1986 survei di Indian lainnya berpenduduk 756 orang didapatkan bahwa
prevalensi skabies anak-anak yang berumur 10 tahun adalah 61% dan pada bayi yang
kurang dari 1 tahun adalah 84% (Orkin, 1997)
Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat
mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies banyak dijumpai
pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada pria dan wanita. Insiden
skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum
dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu endemik dan permulaan epidemik
berikutnya kurang lebih 10-15 tahun (Harahap, 2000) Menurut Departemen Kesehatan RI
prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,9%,
dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit
dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus scabies yang merupakan
5,77% dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies adalah 6%
dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat kepadatan
penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes. RI, 2000).

C. Etiologi                                                 
Sarcoptes scabiei merupakan Arthropoda yang masuk ke dalam kelas
Arachnida, sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata dan famili Sarcoptidae. Pada
manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Adapun jenis Sarcoptes scabei var.
animalis yang kadang-kadang bisa menulari manusia terutama bagi yang memelihara
hewan peliharaan seperti anjing (Djuanda dan Hamzah, 2005).

Gambar 3.Sarcoptes scabiei var. hominis


Sarcoptes scabiei merupakan tungau putih, kecil, transparan, berbentuk bulat agak
lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau betina besarnya 2 kali
daripada yang jantan. Badan tungau berwarna putih suram dan terdapat gambaran
gelombang transversal yang jelas. Pada bagian dorsal ditutupi rambut-rambut halus dan
duri-duri, yang disebut dentikel. Tungau dewasa mempunyai empat asang kaki; dua
pasang kaki depan sebagai alat untuk melekat. Pada tungau betina, terdapat rambut-
rambut halus yang disebut setae di ujung dua pasang kaki belakang, sedangkan pada
tungau jantan terdapat rambut-rambut halus di ujung pasangan kaki ketiga dan alat
perekat di ujung kaki keempat (Burns, 2004).

D. Cara Penularan
Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak
langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung yang saling bersentuhan atau dapat
pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini
dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang
sehat. Di Amerika Serikat dilaporkan, bahwa skabies dapat ditularkan melalui hubungan
seksual meskipun bukan merupakan akibat utama (Brown, 1999).
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan
lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat
yang relative sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan
masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani
kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh
pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan
pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang
permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada (Benneth, 1997).
Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu tempat tidur
yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas
asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat
luas. Di Jerman terjadi peningkatan insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak
langsung seperti tidur bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara
bersama-sama di lingkungan padat penduduk (Meyer, 2000).

E. Patogenesis
Setelah terjadi perkawinan (kopulasi) biasanya tungau jantan akan mati, namun
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh
betina. Setelah tungau betina dibuahi, tungau ini akan membentuk terowongan pada kulit
sampai perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum dengan panjangnya 2-3 mm
perhari serta bertelur sepanjang terowongan sampai sebanyak 2 atau 4 butir sampai sehari
mencapai 40-50 butir. Telur-telur ini akan menetas dalam waktu 3-5 hari dan menjadi
larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva tersebut sebagian ada yang tetap tinggal
dalam terowongan dan ada yang keluar dari permukaan kulit, kemudian setelah 2-3 hari
masuk ke stadium nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang
kaki. Waktu yang diperlukan mulai dari telur menetas sampai menjadi dewasa sekitar 8-
12 hari (Burns, 2004; Itzhak, 1995).

Gambar 5. Siklus hidup Sarcoptes scabei


Siklus hidup tungau paling cepat terjadi selama 30 hari dan selama itu juga
tungau-tungau tersebut berada dalam epidermis manusia. Tungau yang berpindah ke
lapisan kulit teratas memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang berperan
dalam pembuatan terowongan dimana saat itu juga terjadi aktivitas makan dan pelekatan
telur pada terowongan tersebut. Tungau-tungau ini memakan jaringan-jaringan yang
hancur, namun tidak mencerna darah.  Feses (Scybala) tungau akan ditinggalkan di
sepanjang perjalanan tungau menuju ke epidermis dan membentuk lesi linier sepanjang
terowongan (Hicks et al., 2009).
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi  disebabkan oleh sensitisasi terhadap
sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi.
Sensitisasi terjadi pada penderita yang terkena infeksi scabies pertama kali. Pada saat itu
kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan
lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi
sekunder.Apabila terjadi immunocompromised pada host, respon imun yang lemah akan
gagal dalam mengontrol penyakit dan megakibatkan invasi tungau yang lebih banyak
bahkan dapat menyebabkan crusted scabies. Jumlah tungau pada pasien crusted scabies
bisa melebihi 1 juta tungau (Harahap, 2000).

F. Manifestasi Klinis
Ketika seseorang terinfestasi oleh skabies untuk yang pertama kalinya, gejala
biasanya tidak nampak hingga mencapai 2 bulan kemudian (2-6 minggu) setelah
terinfestasi. Namun bagaimanapun, seseorang yang terinfestasi masih bisa menyebarkan
skabies ini kepada orang lain. Jika seseorang telah pernah menderita skabies sebelumnya,
gejala akan muncul dengan segera (1-4 hari) setelah terpapar. Seseorang yang terinfestasi
skabies juga dapat menularkan penyakitnya, walaupun mereka tidak memiliki gejala lagi.
Hal ini berlaku sampai skabies pada penderita tersebut diberantas beserta tungau dan
telur-telurnya (Djuanda dan Hamzah, 2005; Ammirudin, 2003).
Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal
sebagai berikut:
1. Pruritus nokturnal
Gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau lebih tinggi  pada
suhu yang lebih lembab. Gejala ini adalah yang sangat menonjol. Sensasi gatal yang
hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah (Djuanda dan Hamzah,
2005; Ammirudin, 2003).
2. Sekelompok Orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu juga dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan
diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota
keluarganya terkena. Walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan
gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier) bagi individu lain (Djuanda dan
Hamzah, 2005).
3. Terowongan (kanalikulus)
Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna
putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada
ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder, ruam
kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi dan lain-lain). Umumnya tempat predileksi
tungau adalah lapisan kulit yang tipis, seperti di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan,
siku bagian luar, lipatan ketiak depan, pinggang, punggung, pusar, dada termasuk daerah
sekitar alat kelamin pada pria dan daerah periareolar pada wanita. Telapak tangan,
telapak kaki, wajah, leher dan kulit kepala adalah daerah yang sering terserang tungau
pada bayi dan anak-anak (Djuanda dan Hamzah, 2005).
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik
Apabila kita dapat menemuan terwongan yang masih utuh kemungkinan besar
kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa dan ini merupakan hal yang paling
diagnostik. Akan tetapi kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan karena hampir
sebagian besar pendeita pada umumnya datang dengan lesi variatif dan tidak spesifik
(Djuanda dan Hamzah, 2005; Walton et al., 2007; Amirrudin, 2003).

Gambar 6. Kelainan kulit pada skabies


Gambar 2.5. Tampak kelainan yang ditimbulkan oleh scabies pada daerah axilla (sekitar
ketiak), genitalia (penis dan scrotum) dan glutea ( sekitar bokong)
            
G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menemukan tungau dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Kerokan kulit dapat dilakukan di daerah sekitar papula yang lama maupun yang
baru. Hasil kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan KOH 10%
kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Diagnosis
scabies positif jika ditemukan tungau, nimpa, larva, telur atau kotoran S. scabiei.
2. Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung pada kertas putih kemudian
dilihat dengan kaca pembesar.
3. Dengan membuat biopsi irisan, yaitu lesi dijepit dengan 2 jari kemudian dibuat
irisan tipis dengan pisau kemudian diperiksa dengan mikroskop cahaya.
4.      Dengan biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin.
            Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok
papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan
tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap/
dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke
dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag (Djuanda dan
Hamzah, 2005).
            Strategi lain untuk melakukan diagnosis skabies adalah videodermatoskopi, biopsi
kulit dan mikroskopi epiluminesken. Videodermatoskopi dilakukan menggunakan sistem
mikroskop video dengan pembesaran seribu kali dan memerlukan waktu sekitar lima
menit. Umumnya metode ini masih dikonfirmasi dengan basil kerokan kulit. Pengujian
menggunakan mikroskop epiluminesken dilakukan pada tingkat papilari dermis
superfisial dan memerlukan waktu sekitar lima menit serta mempunyai angka positif
palsu yang rendah. Kendati demikian, metode-metode diagnosis tersebut kurang diminati
karena memerlukan peralatan yang mahal.

H. Diagnosis Banding
            Penyakit skabies juga ada yang menyebutnya sebagai the great imitator karena
dapat mencakup hampir semua dermatosis pruritik berbagai penyakit kulit dengan
keluhan gatal. Adapun diagnosis banding yang biasanya mendekati adalah prurigo,
pedikulosis corporis, dermatitis dan lain-lain (Djuanda dan Hamzah, 2005).

I. Penatalaksanaan
Syarat obat yang ideal untuk skabies adalah :
1. Harus efektif terhadap semua stadium tungau
2. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik
3. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian
4. Mudah diperoleh dan harganya murah
Cara pengobatannya ialah seluruh anggota badan harus diobati (termasuk penderita yang
hiposensitisasi).
Jenis obat topikal yang dapat diberikan kepada pasien adalah :
1. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep
atau krim. Preparatini tidak efektif terhadap stadium telur, maka penggunaannya tidak
boleh kurang dari 3 hari. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian dan
kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2
tahun.
2. Emulsi benzyl-benzoas (20-25%) efektif terhadap semua stadium, diberikan
setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan
kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.
3. Gama Benzena Heksa klorida (gameksan=gammexane) kadarnya 1% dalam krim
atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah
enam tahun dan wanita hamil, karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberiannya
cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai
dua efek sebagai antiskabies dan anti gatal, dipakai selama 24 jam, harus dijauhkan dari
mata, mulut, dan uretra.
5. Permetrin 5% dalam krim, kurang toksik jika dibandingkan gameksan,
efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh
diulangi selama seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi dibawah umur 2 tahun.
Bila disertai infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika. Untuk rasa gatal dapat
diberikan antihistamin per oral. Perlu diperhatikan jika diantara anggota keluarga ada
yang menderita skabies juga harus diobati. Karena sifatnya yang sangat mudah menular,
maka apabila ada salah satu anggota keluarga terkena skabies, sebaiknya seluruh anggota
keluarga tersebut juga harus menerima pengobatan. Pakaian , alat-alat tidur, dan lain-lain
hendaknya dicuci dengan air panas (Djuanda dan Hamzah, 2005; Siregar, 2004).

J. Pencegahan
Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara menghindari
kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan barang-barang penderita
secara bersama-sama. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah
digunakan oleh penderita harus diisolasi dan dicuci dengan air panas. Pakaian dan
barang-barang yang berbahan kain dianjurkan untuk disetrika sebelum digunakan. Sprai
penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari sekali. Benda-benda
yang tidak dapat dicuci dengan air (bantal, guling, selimut) disarankan dimasukkan ke
dalam kantung plastik selama tujuh hari, selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah
sinar matahari sambil dibolak batik minimal dua puluh menit sekali.
Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup yang sehat
akan mempercepat kesembuhan dan memutus siklus hidup S. scabiei. Umumnya,
penderita masih merasakan gatal selama dua minggu pascapengobatan. Kondisi ini
diduga karena masih adanya reaksi hipersensitivitas yang berjalan relatif lambat. Apabila
lebih dari dua minggu masih menunjukkan gejala yang sama, maka dianjurkan untuk
kembali berobat karena kemungkinan telah terjadi resistensi atau berkurangnya khasiat
obat tersebut. Kegagalan pengobatan pada skabies krustasi secara topikal diduga karena
obat tidak mampu berpenetrasi ke dalam kulit akibat tebalnya kerak.

K. Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat di berantas dan
memberikan prognosis yang baik (Harahap, 2000)

DAFTAR PUSTAKA

1. Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Ed 1. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin. 5-10

2. Burns DA. 2004. Disease Caused By Arthropods And Other Noxious Animals, In:
Rooks Textbook Of Dermatology. Vol 2. USA; Blackwell Publishing 37-47

3. Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta :
FKUI;.119-22

4. Fauziah., Tony., Yuli, S. 2013. AngkaKejadian Dan KarakteristikPasienSkabies di


RumahSakit Al-Islam Bandung. Bandung : FK UNISBA

5. Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Ed 1. Jakarta: Hipokrates, 109-13

6. Hicks MI, Elston DM. 2009. Scabies. Dermatoogic Therapy. November:22/279-292

7. Itzhak Brook. 1995. Microbiology Of Secondary Bacterial Infection In Scabies


Lesions. J Clin Microbiol. August:33/2139-2140

8. Orkin Miltoin, Howard L. Maibach. 2008. Scabies And Pedicuosis. Fitzpatrick’s


Dermatology In General Medicine, 7th. USA:Mcgrawhill .2029-31

9. Siregar, R.S. 2004. Penyakit Kulit Karena Parasit Dan Insecta. Dalam : Atlas
Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC

10. Stone, S.P, Scabies And Pedikulosis, In : Freedberg, Et Al. Fitzpatrick’s


Dermatology In General Medicine 6th Edition. Volume 1. Mcgraw-Hil

11. Walton SF, Currie BJ. 2007. Problems In Diagnosing Scabies, A Global Disease In
Human And Animal Ppulations. Clin Microbiol Rev. 268-79

Anda mungkin juga menyukai