Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

APPENDICITIS INFII.TRAT

Oleh
Walida Nur Habibah, S.Ked
J 510 1850 29

Pembimbing
dr. Hariyono, Sp. B.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
LAPORAN KASUS
APPENDICITIS INFII.TRAT

Oleh:
Walida Nur Habibah, S.Ked J 510 1850 29

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari, 2018
Pembimbing:
dr. Hariyono, Sp. B. ( )

Dipresentasikan di hadapan
dr. Hariyono, Sp. B. ( )
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTIFIKASI
Nama : Bp.M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal lahir : 31 Desember 1953
MRS : 18 Februari 2019
Rekam Medis : 4597xx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah hebat sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan
mendadak dan terus menerus, nyeri awalnya di rasakan di bagian perut
tengah atas lalu berpindah ke bagian kanan bawah. Nyeri disertai mual (+)
muntah (+) serta tidak nafsu makan. Demam (+), Pusing (-), BAB dan
BAK normal.
3. Riwayat penyakit dahulu
1. Riwayat penyakit seperti ini : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes melitus : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat operasi sekitar perut : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
1. K eluhan serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes melitus : disangkal
4. Riwayat alergi makanan atau obat : disangkal
A. Riwayat pribadi
1. Kebiasaan minum air putih : cukup
2. Kebiasaan kebersihan : cukup
3. Kebiasaan menahan kencing : diakui

B. Riwayat sosial ekonomi


Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh BPJS. Kesan ekonomi
cukup

C. Anamnesis sistem
1. Kulit : pucat (-), kuning (-), luka (-), gatal (-),
bintik-bintik perdarahan pada kulit (-).
2. Kepala : nyeri kepala (-), kepala terasa berat (-),
perasaan berputar-putar (-).
3. Mata :pandangan kabur(-),mata kuning (-),
gatal(-), bengkak (-), bola mata menonjol
(-)
4. Hidung : tersumbat (-), keluar darah (-), keluar
lendir (-), gatal (-)
5. Telinga : pendengaran berkurang (-), keluar cairan
atau darah (-), pendengaran berdenging (-).
6. Mulut : bibir kering (-), gusi mudah berdarah (-),
gigi mudah goyah (-), sulit berbicara (-),
papil lidah atrofi (-)
7. Tenggorokan : rasa kering dan gatal (-), nyeri untuk
menelan (-), sakit tenggorokan (-), suara
serak (-).
8. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), darah (-), mengi
(-)
9. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-),terasa ada yang
menekan(-), berdebar-debar (-), keringat
dingin (-), ulu hati terasa panas (-)
10. Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (-), kembung (-), nafsu
makan menurun (-), perut penuh (-), perut
membesar (-) sulit BAB (-), BAB warna
merah (-), BAB berdarah (-).
11. Sistem musculoskeletal: lemas (+), pegal-pegal (-),kaku sendi (-),
kejang (-), nyeri otot (-), bengkak sendi (-),
nyeri sendi (-)
12. Sistem genitourinaria : BAK warna merah (+), jumlah sedikit dan
sering (+), nyeri saat BAK (+), panas saat
BAK (+), sering BAK (-), rasa gatal pada
saluran kencing (-), rasa gatal pada alat
kelamin (-), keputihan (-)
13. Ekstremitas
a. Atas : luka (-/-), kesemutan (-/-), bergetar (-/-), ujung
jari terasa dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-)
b. Bawah : luka (-/-), kesemutan (-/-), bergetar (-/-), ujung
jari terasa dingin (-/-), bengkak (-/-), lemah (-/-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalis
Skala nyeri (VAS 8) / gizi cukup / compos mentis
Status Vitalis
Tekanan Darah : 130 / 80 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu : 39oC
Kepala
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)
Bibir : tidak ada sianosis
Gusi : perdarahan (-)

Mata
pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, RC +/+
Leher
Kelenjar getah bening :tidak terdapat pembesaran
Deviasi trakea : tidak ada
Tidak didapatkan massa tumor
Tidak ada nyeri tekan.
Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-), fremitus raba kiri=kanan
Perkusi : sonor R=L
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler Kiri = Kanan
Bunyi tambahan: ronkhi - / -, Wheezing - / -
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis (S)
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 / S2 reguler,murmur (-)

 Status Lokalis
Abdomen :
 Inspeksi
Datar, ikut gerak napas, warna kulit sama dengan sekitar. Darm
Contour (-), Darm Steifung (-)
 Auskultasi
Peristaltik (+) kesan menurun
 Palpasi
Massa Tumor (-), Nyeri Tekan (+) pada titik Mc Burney (+),
Rovsing Sign (+), Blumberg sign (+), Psoas sign (+), Obturator
Sign (+), Hepar / Lien tidak teraba.
 Perkusi
Timpani, Nyeri Ketok pada titik Mc Burney(+).

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hematologi Rutin Hasil Satuan Rujukan
Hb 10.7 g/dl 12 – 16
HCT 33.3  37 – 47
AL 13.39 103/l 5 – 10
AT 302 103/l 150 – 300
AE 5.23 106/l 4,00 – 5,00
Index Eritrosit
MCV 63.6 /um 82,0 – 92,0
MCH 20.4 Pg 27,0 – 31,0
MCHC 32.0 g/dl 32,0 – 37,0
Hitung Jenis
Neutrofil% 90.5 % 50,0 – 70,0
Limfosit% 4.9 % 25,0 – 40,0
Monosit% 3.6 % 3,0 – 9,0

Eosinofil% 0.6 % 0.5-5.0

Basofil% 0.4 % 0.0-1.0

Neutrofil# 12.11 Ribu/ul 2.00-7.00

Limfosit# 0.66 Ribu/ul 1,25 – 4,0

Monosit# 0.48 Ribu/ul 0,30 – 1,00

Eosinofil# 0.09 Ribu/ul 0,02-0.50

Basofil# 0.05 Ribu/ul 0.0-10.0

CT 15.8 menit 2-8

BT 42.3 menit 1-3


Kimia Klinik
GDS 130 mg/dL 70 – 150
Hati
SGOT 24 U/I 0-46
SGPT 15 U/I 0-42
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Ureum 43 mg/100ml 10-50
Kreatinin 1.44 mg/dl 0.5-0.9

2. USG Abdomen

Kesan :
Regio Mc.burney tampak lesi patologis mendukung gambaran
appendicitis

3. Foto Thorax

Kesan :
Cor dalam batas normal
Paru-paru tidak tampak kelainan

4. EKG
Kesan : normal sinus rhythm

Skor Alvarado

Gejala Klinik Value


Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas (rebound) 1
Febris >37.3 1
Leukositosis >10.000 2
Shift to the left >75% 1
 JUMLAH 10
Hasil >9 : very possible

E. RESUME
Seorang laki-laki umur 58 tahun, Pasien datang dengan keluhan nyeri
perut kanan bawah hebat sejak ± 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan mendadak dan terus menerus, nyeri awalnya di rasakan di bagian
perut tengah atas lalu berpindah ke bagian kanan bawah. Nyeri disertai mual
(+) muntah (+) serta tidak nafsu makan. Demam (+), Pusing (-), BAB dan
BAK normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, nyeri tekan ada pada titik Mc Burney,
Rovsing Sign (+), Blumberg sign (+), Psoas sign (+), dan Obturator sign (+) .
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dan shift to the left.
Hasil pemeriksaan USG menunjukkan gambaran appendisitis. Berdasarkan
skor Alvarado memiliki nilai 10 yang artinya sangat mungkin, dari hasil di
atas pasien ini diindikasikan untuk dilakukan tindakan operasi.

F. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis Ilfiltrat

G. RENCANA TINDAKAN
 Inf. RL 20 tpm
 Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam
 Inf Metronidazol 500 mg/ 8 jam
 Inj. Ranitidin /12 jam
 Paracetamol 3x500 mg
 Sukralfat sirup 3XC1
 Pronalgess supp 3x1

Tindakan :
Laparatomy
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
(analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin,
berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan
diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar dibagian distal. Basis appendiks terletak pada bagian
postero medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum
bertemu pada basis.
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan
lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil.

Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,


submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan
serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson
yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral
abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan
submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk
jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa
terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium
dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama
dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada
pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari apendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu
ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan
postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks,
yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada
kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis
bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.
(1,4)

2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang terdapat
di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya
di saluran cerna dan diseluruh tubuh. Jaringan lymphoid pertama kali muncul
pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama
pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur.
Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan
terjadi penghancuran lumen apendiks komplit.

3. Definisi
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya
sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks
terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi
peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur
lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik
dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses

radang.

4. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet
rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma
karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi
apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis
fekal.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65%
merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus
apendisitis gangrenous dengan rupture.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.

5. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang
tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut
pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi.
Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1
ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60
cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien
karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas
berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-
48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi
proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika
urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan
ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka
akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang
diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

6. Manifestasi klinis
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis
akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih kekuadran kanan,
yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga
keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya
juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umunya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila
meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau
rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi
lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan
dindingnya.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada
anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan.
Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam
kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan
letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui
setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak
jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat
didiagnosis setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis
adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada
kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah.
Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio
lumbal kanan.
 tanda awal
nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan
anoreksia
 nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik McBurney
 nyeri tekan
 nyeri lepas
 defans muskuler
 nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
 nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
 nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan

Blumberg Sign

7. Pemeriksaan Fisik
Demam. Bila suhu lebih tinggi 1 C biasanya ringan, dengan suhu sekitar
37,5-38,51 C mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu
antara aksilar dan rektal. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan
adanya penonjolan di perut kanan bawah.
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirawakan nyeri di perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang
dengan cepat membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa
iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang fixed dengan nyeri tekan dan
tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka massa dapat
diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai
dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada apendisitis
pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan
yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks
yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu
ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan (tanda bintang). Dasar
anatomi dari tes psoas adalah apendiks yang mengalami peradangan kontak
dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver ini.
Psoas Sign

Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien
difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu
ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi
femur kedalam. Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks
dipelvis yang kontak denhgan otot obturator internus yang meregang saat
dilakukan manuver.

Obturator Sign
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada apendisitis
sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi.
Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat
normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks
yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
b. Pemeriksaan Radiologi
 Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau
pemeriksaan fisik meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan
bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal atau caecal
ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum).
Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.
 USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan
kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau
wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan ukuran
apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain
pada kuadran kanan bawah seperti inflammatory bowel desease,
diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s, endometriosis dan pelvic
Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada
hasil USG. Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat
dibanding USG. Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang
mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat melihat
adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
 Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan
awal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon.
Tetapi untuk apendisitis akut pemeriksaan barium enema merupakan
kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture apendiks.
9. Diagnosis
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang
nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke
massa atau abses apendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan
pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kadang keadaan ini sulit dibedakan
dengan karsinoma sekum, penyakit Crohn, amuboma dan Lymphoma
maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis
intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan
Ektopik Terganggu (KET), Adneksitis dan Kista Ovarium terpuntir . Kunci
diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas.
Tumor caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan
umum jelek, anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan
dengan colon in loop dan benzidin test. Pada anak-anak tumor caecum yang
sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium. Pada apendisitis
tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat
disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat
timbul panas badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan
rigiditas pada kuadran lateral bawah kanan, kadang-kadang teraba massa.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
 keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
 pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas
terdapat tanda-tanda peritonitis
 laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri.

Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai
dengan:
 keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu
tubuh tidak tinggi lagi
 pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda
peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri
tekan ringan
 laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

10. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-
rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi
menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi
abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah
ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam
massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana
karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga
membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang
dapat mudah didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan
massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna,
dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu
tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan
akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,
akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan
bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-
lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak
serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan
terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka
luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :
 Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi
 Diet lunak bubur saring
 Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah
terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan
setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala
apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan
tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan
bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi
perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa
hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7
massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil,
tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena
apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka
apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi
dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam,
bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit
demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai
minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari
penderita di RT.
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
 LED
 Jumlah leukosit
 Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
 Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
 Pemeriksaan fisik: Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat
kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan aksiler)
 Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
 Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi
lebih kecil dibanding semula.
 Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
 Bila LED telah menurun kurang dari 40
 Tidak didapatkan leukositosis
 Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa
sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
 Apakah penderita sudah bed rest total
 Pemberian makanan penderita
 Pemakaian antibiotik penderita
 Kemungkinan adanya sebab lain.
 Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan.
 Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses
dan terapi adalah drainase.

11. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan
lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
 nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance Muskular yang menyeluruh
 Bising usus berkurang
 Perut distended
 Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
 Pelvic Abscess
 Subphrenic absess
 Intra peritoneal abses lokal.
 Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk
kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan
kematian.

BAB III
KESIMPULAN
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena
daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
Etiologi dan patofisiologi appendisitis infiltrat diawali oleh adanya
apendisitis akut. Dapat terjadi 3 kemungkinan :
 perforated apendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang atau
rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
 terjadi apendisitis infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama kelamaan
akan mengecil dan menghilang)
apendisitis kronis, merupakan serangan ulang apendisitis yang telah
sembuh.
Appendisitis infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya riwayat
apendisitis akut dengan tanda khasnya, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
mendukung. Diagnosis apendisitis infiltrat dapat dibingungkan dengan penyakit
lain pada kuadran kanan abdomen dengan massa diantaranya tumor cekum,
lymfoma maligna intra abdomen, apendisitis tuberkulosa, amuboma, penyakit
crohn, dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun kista ovarium
terpuntir.
Terapi appendisitis infiltrat adalah operasi elektif appendiktomy jika massa
dianggap tenang dengan sebelumnya diberikan terapi konservatif dengan
kombinasi antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob selama 6-8
minggu. Apabila massa mengecil pembedahan dapat dibatalkan tetapi apabila
massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan
massa harus segera dibuka dan dilakukan drainase.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu perforasi apendisitis yang dapat
mengakibatkan peritonitis yang pada akhirnya akan terjadi kegagalan organ dan
kematian. Komplikasi terjadi biasanya akibat keterlambatan diagnosa apendisitis
akut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal


Radiographs. studentBMJ April 2002;10:102-3
2. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional
(9 ed.). (D. Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.)
Jakarta: EGC
3. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery
(17 ed., pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
4. Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen.
Retrieved June 6th, 2011, Available at:
http://www.gehealthcare.com/usen/education/proff_leadership/products/msuc
meaa.html
5. Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : EGC
6. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A.
Price, L. McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
7. Schwartz, S. I. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai