Disusun Oleh :
NOVIRDA LILA NUR KHAMIDAH
40220023
................................ ................................
NIK. NIK.
A. Pengertian
Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis. Appendiks
terletak di ujung sekum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo saekum, bermuara di bagian
posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior,
medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah
1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat. Posisi apendiks berada pada
Laterosekal yaitu di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di
dinding abdomen. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa
berbed bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum
(Harnawatiaj, 2008).
Ukuran panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan
bersifat basa mengandung amilase dan musin. Pada kasus Appendisitis, apendiks dapat
terletak intraperitoneal atau retroperitoneal. Apendiks disarafi oleh saraf parasimpatis
(berasal dari cabang nervus vagus) dan simpatis (berasal dari nervus thorakalis X). Hal ini
mengakibatkan nyeri pada Appendisitis berawal dari sekitar umbilicus (Nasution, 2010).
Saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan
secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana
memiliki/berisi kelenjar limfoid. Apendiks menghasilkan suatu imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue), yaitu Ig A. Imunoglobulin
ini sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi, tetapi jumlah Ig A yang dihasilkan
oleh apendiks sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah Ig A yang dihasilkan oleh
organ saluran cerna yang lain. Jadi pengangkatan apendiks tidak akan mempengaruhi sistem
imun tubuh, khususnya saluran cerna (Nasution, 2010).
C. Etiologi
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus Appendisitis. Sumbatan pada lumen
apendiks merupakan faktor penyebab dari Appendisitis akut, di samping hiperplasia
(pembesaran) jaringan limfoid, timbuan tinja/feces yang keras (fekalit), tumor apendiks,
cacing ascaris, benda asing dalam tubuh (biji cabai, biji jambu, dll) juga dapat menyebabkan
sumbatan (Mansjoer, 2000).
Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat
dugaannya sebagai penyebab appendisitis adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feses dan
hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi
bakteri untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feses manusia sangat
mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali
mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu (Mansjoer, 2000).
D. Klasifikasi
1. Appendisitis akut
Appendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Appendisitis akut pada
dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari
apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
3. Appendisitis kronik
Diagnosis Appendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat,
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi. Kriteria
mikroskopik Appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens Appendisitis kronik antara 1-5 persen.
4. Appendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang
di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan
peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn Appendisitis akut pertama kali sembuh
spontan. Namun, Appendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi
fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen.
Insidens Appendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara
patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi
lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat
disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering
datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba
massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda
Appendisitis akut. Pengobatannya adalah Appendiktomi.
6. Adenokarsinoma apendiks
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen
apendiks dengan diagnosis prabedah Appendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa
rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan
diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor
memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan
sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis
sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan
karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau
hemikolektomi kanan
E. Patofisiologi
Pada saat ini terjadi Appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi
kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan
muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah.
Suhu tubuh mulai naik. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut
dengan Appendisitis supuratif akut. (Mansjoer, 2000).
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark diding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan Appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh pecah, akan menyebabkan Appendisitis perforasi. Bila proses tersebut berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul
suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan
menyebabkan abses atau bahkan menghilang. Pada anak-anak karena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh (Mansjoer,
2000).
F. Manifestasi Klinik
Menurut Mansjoer (2000) keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah
umbilicus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya
juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progresif, dan
denghan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal.
Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri
lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda Rovsing, psoas, dan obturatorpositif,
akan semakin meyakinkan diagnosa klinis (Syamsuhidayat, 2004).
Appendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah
dan nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai di
perut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa jam,
rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan
daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan, nyeri bisa
bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius (Syamsuhidayat, 2004).
Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada
orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya
tidak terlalu terasa. Bila usus buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang
bertambah buruk bisa menyebabkan syok (Syamsuhidayat, 2004).
G. Komplikasi
Appendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini
tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami
perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk
dilakukan dalam masa tersebut (Mansjoer, 2000).
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk
menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam
posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian
penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik
yang sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik
secara intensif, bila ada (Mansjoer, 2000).
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang
cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan
kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin).
Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan Appendiktomi dapat dilakaukan 6-12
minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses
daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu
dibuatkan drainase (Mansjoer, 2000).
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi
yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali,
dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian
antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus
dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan (Mansjoer, 2000).
H. Penatalaksanaan
1. Pre-operasi
2. Intra-operasi
3. Post-operasi
a. Observasi TTV.
b. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah.
c. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.
d. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien
dipuasakan.
e. Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai
fungsi usus kembali normal.
f. Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan
lunak.
g. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2×30 menit.
h. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.
i. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
j. Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai
dengan :
k. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi
l. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-
tanda peritonitis
m. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke
kiri.
A. Pengkajian
Pengkajian menurut Wong (2003), Doenges (1999), Catzel (1995), Betz (2002), antara lain :
1. Keluhan utama
klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah.
Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri
di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri
dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan
yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.
2. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan klien
sekarang ditanyakan kepada orang tua.
3. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
4. Kebiasaan eliminasi.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Sirkulasi : Takikardia.
b. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
c. Aktivitas/istirahat : Malaise.
d. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
e. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
f. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
g. Demam lebih dari 380C.
h. Data psikologis klien nampak gelisah.
i. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
j. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
k. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.
6. Pemeriksaan Penunjang
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang muncul pada anak dengan kasus Appendisitis berdasarkan rumusan
diagnosa keperawatan menurut NANDA (2006) antara lain :
1. Pre Operasi
2. Intra Operasi
3. Post Operasi
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 3. Jakarta: EGC
Dongoes. Marilyn. E.dkk 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencana
Pendokumentasian Perawatan Klien. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Johnson, Marion,dkk. Nursing Outcome Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Yearbook,Inc.
Mansjoer. A. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
Mc. Closkey, Joanne. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). St. Louis, Missouri:
Mosby Yearbook,Inc.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawtan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta: EGC.