Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada tugas akhir kali ini, akan dibahas tentang anomali resistivitas pada

lapangan X dan pengaruhnya dalam perhitungan Sw. dalam proses pengerjaannya,

banyak langkah yang harus dikerjakan, seperti identifikasi zona yang diperkirakan

mengalami anomali, interpretasi log secara kualitatif dan secara kuantitatif.

Untuk langkah pertama, yaitu identifikasi zona yang mengalami anomali,

dialkukan dengan menentukan zona tersebut melalui hasil rekaman log lainnya,

dimana identifikasi dilakukan dengan kontrol dari SP Log, Deep Resistivity dan

Shallow Resistivity, dimana pada kelima sumur yang dianalisis yaitu sumur X-05, X-

06, X-07, X-17 dan X-25 terjadi kasus High Resistivity – Low Contrast. Hal ini

berarti zona yang seharusnya adalah zona air (Water Bearing Zone) teridentifikasi

sebagai zona hidrokarbon, Hal tersebut terjadi karena adanya ketidak akuratan

pembacaan alat logging yang ada, dimana terjadi anomali defleksi dari SP Log, selain

itu juga pada zona yang mengalami kasus ini memiliki tipikal pembacaan resistivitas

pada zona Deep Resistivity dan Shallow Resistivity yang tidak berbeda secara

signifikan. Hal ini terjadi karena terjadi invasi lumpur yang dangkal, sehingga

berakibat hasil pembacaan antara Deep Resistivity dan Shallow Resistivity yang relatif

sama. Ketika semua sumur pada lapangan X yang ada memiliki defleksi SP Log ke

kiri dari Shale Base Line (defleksi negatif), yang berarti nilai dari Resistivitas Mud

70
71

Filtrate lebih besar daripada Resistivitas Air Formasi, maka air formasi ini memiliki

salinitas yang tinggi. Akan tetapi, pada kedalaman tertentu defleksi yang terjadi

menjadi berubah ke arah kanan dari Shale Base Line (defleksi positif). Berdasarkan

prinsip SP Log, apabila defleksi SP Log mengarah ke kanan dari Shale Base Line,

maka nilai Rw lebih besar daripada Rmf itu sendiri. Yang berarti air formasi tersebut

memiliki salinitas yang rendah, maka air formasi tersebut berjenis Fresh Water.

Selain itu, adanya Neutron Log dan Density Log juga membantu dalam

membedakan antara zona air dengan zona hidrokarbon, dan juga membantu untuk

validasi zona air yang terdampak dari anomali resistivitas tersebut. Setelah dilakukan

identifikasi, menghasilkan kedalaman-kedalaman dari setiap sumur yang mengalami

kasus tersebut, yaitu sumur X-05 pada kedalaman 1323-1381 feet, sumur X-06 pada

kedalaman 1284.5-1320 feet, sumur X-07 pada kedalaman 1290-1362 feet, sumur X-

17 pada kedalaman 1233-1286 feet, dan terakhir yaitu sumur X-25 pada kedalaman

1281-1360 feet. Setelah zona teridentifikasi, berikutnya adalah zona prospek

hidrokarbon pada lapangan X, dimana zona tersebut antara lain 1263-1312 feet pada

sumur X-05, 1244.5-1284 feet pada sumur X-06, 1248-1289 feet pada sumur X-07,

1166-1233 feet dan 1286-1330 feet pada sumur X-17, dan terakhir 1175-1273 feet

pada sumur X-25. maka akan dilakukan interpretasi logging secara kuantitatif, untuk

mendapatkan parameter-parameter yang dibutuhkan dalam perhitungan nilai saturasi

air formasi (Sw), seperti Porositas Efektif, Volume Shale, Resistivitas Air Formasi
72

(Rw), Temperatur Formasi, dan lain-lainnya. Seluruh proses yang ada dilakukan

dengan bantuan Software Petrofisik.

Selain itu, pada zona Hidrokarbon juga teridentifikasi adanya Low Resistivity

Contrast, yaitu dimana hasil pembacaan antara Deep Resistivity dan Shallow

Resistivity memiliki pembacaan yang tidak berbeda secara signifikan, selain itu juga

SP Log terdampak dari adanya Low Resistivity Contrast ini. Zona-zona hidrokarbon

yang teridentifikasi yaitu 1263-1312 feet pada sumur X-05, 1244.5-1284 feet pada X-

06, 1248-1289 feet pada sumur X-07, 1166-1233 feet dan 1286-1330 feet pada sumur

X-17, lalu 1175-1273 feet pada sumur X-25.

Langkah pertama adalah menghitung Temperatur Formasi. Pada bab

sebelumnya, sudah dilakukan perhitungan Temperatur Formasi pada kelima sumur

yang dianalisis, dengan menggunakan rumus 2.3 dan 3.2 didapat nilai temperatur

setiap kedalaman, dan juga temperatur rata-rata pada interval yang diidentifikasi.

Setelah itu, dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai Volume Shale

(Vsh). Pada perhitungan ini, didasarkan dari pada Gamma Ray Log sebagai Single

Clay Indicator untuk menetukan Volume Shale tersebut. Dengan menggunakan

rumus 2.5 dan 3.2 maka didapatkan nilai dari Volume Shale setiap kedalaman dan

Volume Shale rata-rata untuk setiap sumur.


73

Setelah dilakukan perhitungan Volume Shale rata-rata, didapat nilai volume

shale rata-rata dari zona prospek hidrokarbon pada sumur X-05, X-06, X-07, X-17

dan X-25 yaitu 21.75%, 21.29%, 16.58%, 43.43% dan 34.45%, dan 17.82%.

Pada Water Bearing Zone didapat nilai Volume Shale rata-rata pada sumur X-

05, X-06, X-07, X-17 dan X-25 yaitu 20.99%, 21.78%, 40.16%, 48.56%, dan

37.31%.

Setelah dilakukan perhitungan nilai Volume Shale, maka berikutnya akan

dilakukan perhitungan dari nilai Porositas Efektif, dimana perhitungan ini mengacu

kepada rumus 2.7, 2.8, dan 2.9 untuk menghitung nilai porositas dari Density Log dan

Neutron Log, serta 2.10 untuk menghitung nilai porositas efektifnya, untuk

perhitungan nilai porositas dari Density Log dan Neutron Log, nilai porositas yang

ada harus dikoreksi terlebih dahulu terhadap Volume Shale. akan tetapi, ada beberapa

sumur yang hanya menggunakan Density Log saja untuk menghitung nilai

porositasnya, hal ini dikarenakan Data Availability untuk setiap sumur yang berbeda-

beda. Setelah dihitung nilai Porositas pada setiap kedalaman sumur, maka dengan

menggunakan rumus 3.3 akan mendapatkan nilai Porositas Efektif rata-rata setiap

sumur.

Setelah dilakukan perhitungan Porositas Efektif rata-rata, didapat nilai

Porositas Efektif rata-rata dari sumur X-05, X-06, X-07, X-17 dan X-25 yaitu

18.73%, 21.02%, 23.31%, 16.85% dan 25.23%, dan 23.94%.


74

Pada Water Bearing Zone didapat nilai Porositas Efektif rata-rata pada sumur

X-05, X-06, X-07, X-17 dan X-25 yaitu 23.28%, 24.14%, 20.21%, 25.23%, dan

21.05%.

Setelah didapat hasil dari Porositas Efektif, maka akan dilakukan perhitungan

nilai resistivitas air formasi (Rw). Perhitungan ini menggunakan metode SP Log &

Rwa (Resistivity Water Apparent) untuk semua sumurnya, metode SP Log ini

digunakan karena hasil pembacaan dari SP Log ini tidak terpengaruh oleh adanya

anomali resistivitas yang terjadi pada lapangan X, sehingga dapat menghasilkan

pembacaan yang lebuh akurat. Berdasarkan pembahasan diatas, ketika nilai dari

resistivitas mud filtrate memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan, maka inti

dari masalah yang terjadi adalah karena adanya penyimpangan pada nilai resistivitas

air formasi, dimana sebelumnya formasi ini teridentifikasi memiliki Salt Water pada

air formasinya, itulah yang menjadi dasar analisis dari tugas akhir ini.

Setelah dilakukan perhitungan pada Water Bearing Zone yang menggunakan

Metode SP Log pada sumur X-05, X-06, X-07, X-17 dan X-25 diperoleh hasil sebesar

4.1 Ωm, 3.76 Ωm, 3.11 Ωm, 3.4 Ωm, dan 3.48 Ωm. Sedangkan nilai Resistivitas Air

Formasi pada zona hidrokarbon didapatkan nilai sebesar 1.3 Ωm, 1.1 Ωm, 0.9 Ωm,

1.4 Ωm dan 2 Ωm, dan 2.5 Ωm.

Berdasarkan dari perhitungan Resistivitas Air Formasi dengan menggunakan

metode SP Log, maka kita juga dapat mengetahui besar Salinitas dari Air Formasi
75

tersebut, dengan menggunakan Chart Gen-9 yang sudah dijelaskan pada bab

sebelumnya, didapat nilai Salinitas untuk sumur X-05, X-06, X-07, X-17 dan X-25

adalah 800 ppm, 900 ppm, 1700 ppm, 1000 ppm dan 1000 ppm pada seluruh Water

Bearing Zone. Dimana nilai ini didapat pada Temperatur Formasi sebesar 120°F.

Selain dengan metode SP Log, dalam menentukan nilai Resistivitas Air

Formasi juga menggunakan metode Rwa, dimana metode Rwa ini merupakan

penurunan dari rumus Archie yang menggunakan parameter seperti Porositas,

Resistivitas Batuan pada Uninvaded Zone, serta faktor Tortuosity dan Faktor

Sementasi. Setelah dilakukan perhitungan, maka didapat nilai masing-masing

Resistivitas Air Formasi Water Bearing Zone pada sumur X-05, X-06, X-07, X-17

dan X-25 adalah 8.52 Ωm, 23.05 Ωm, 20.11 Ωm, 15.81 Ωm dan 22.23 Ωm.

Untuk nilai resisivitas air formasi dengan metode Rwa pada zona hidrokarbon

di sumur X-05, X-06, X-07, X-17 dan X-25 adalah 2.4 Ωm, 3.36 Ωm, 1.296 Ωm,

1.408 Ωm dan 1.782 Ωm, dan 1.51 Ωm.

Langkah terakhir adalah perhitungan Saturasi Air Formasi (Sw). pada tugas

akhir ini, rumus Saturasi Air yang digunakan hanya rumus Indonesia. Hal ini

dilakukan karena untuk seluruh sumur yang dianalisis merupakan sumur dengan

batuan formasi Shaly Sand. Dengan menggunakan parameter-parameter yang didapat

dari perhitungan sebelumnya, berdasarkan rumus 2.13 maka didapat nilai Saturasi Air
76

Formasi untuk setiap kedalaman, dan menggunakan rumus 3.4 untuk mendapatkan

nilai Saturasi Air Formasi rata-rata untuk seluruh sumur yang diidentifikasi.

Setelah dilakukan perhitungan, maka didapat nilai Saturasi Air Formasi dari

kedalaman setiap sumur yang merupakan zona prospek hidrokarbon pada sumur X-

05, X-06, X-07, X-17 dan X-25 yaitu 46.6%, 46.7%, 30.71%, 34.82% dan 36.12%,

dan 35.64%. nilai ini didapat dengan menggunakan Rw yang berasal dari metode SP

Log. Sedangkan dengan menggunakan nilai Rw yang didapat dari metode Rwa, maka

didapat nilai Saturasi Air Formasi rata-rata pada zona hidrokarbon di sumur X-05, X-

06, X-07, X-17 dan X-25 adalah 51.5%, 65.86%, 62%, 40.3% dan 54.54%, dan

57.05%.

Untuk perhitungan Saturasi Air Formasi dari kedalaman setiap Water Bearing

Zone, didapatkan nilai masing-masing Saturasi Air Formasi rata-rata pada sumur X-

05, X-06, X-07, X-17 dan X-25 yaitu 67.3%, 47.9%, 49.92%, 50.4%, dan 51.77%.

nilai ini didapat dengan menggunakan nilai Resistivitas Air Formasi dengan metode

SP Log. Untuk nilai Saturasi Air Formasi rata-rata dengan menggunakan nilai

Resistivitas Air Formasi dengan metode Rwa pada sumur X-05, X-06, X-07, X-17

dan X-25 adalah 91.87%, 98.67%, 93.61%, 82.59%, dan 99.72%.

Berdasarkan hasil perhitungan ini, didapatkan beberapa hasil dari perhitugan

Saturasi Air Formasi pada Water Bearing Zone yang terlihat seperti nilai Saturasi Air

pada zona hidrokarbon, hal ini disebabkan karena nilai Resistivitas pada Uninvaded
77

Zone (Rt) yang besar, sehingga ketika nilai Resistivitas Air Formasi yang digunakan

bernilai kecil, maka akan memiliki hasil pembacaan Sw yang kecil pula.

Selain itu dikarenakan nilai Resistivitas Air Formasi yang digunakan pada

perhitungan awal ini berasal dari SP Log dimana nilai yang dihasilkan dari sini tidak

terlalu besar, akan tetapi mampu menunjukkan jika Water Bearing Zone pada setiap

sumur di lapangan X ini memiliki jenis air formasi Fresh Water.

Akan tetapi, jika nilai Resistivitas Air Formasi yang digunakan berasal dari

metode Rwa, maka akan didapatkan hasil Saturasi Air Formasi yang cukup ideal

untuk dijadikan sebagai Water Bearing Zone. Maka dapat disimpulkan bahwa metode

Rwa lebih cocok untuk digunakan dalam analisis ini, sebab nilai Saturasi Air Formasi

yang lebih valid untuk setiap sumur dan zona pada lapangan X.

Anda mungkin juga menyukai