Oleh:
Regina Ratnasari Dewi
101316142
Judul Kerja Praktik : Evaluasi dan Optimasi Penggunaan ESP Pada Sumur X
Lapangan Y di PT Pertamina EP
Nama Mahasiswa : Regina Ratnasari Dewi
Nomor Induk Mahasiswa : 101316142
Program Studi : Teknik Perminyakan
Fakultas : Fakultas Teknologi Eksplorasi dan Produksi
Tanggal Seminar : 1 Oktober 2019
Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis hingga dapat melaksanan Kerja Praktek ini dengan baik. Penulisan
laporan kerja praktek ini dilakukan dalam rangka memenuhi mata kuliah Kerja Paktik pada Jurusan
Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Eksplorasi dan Produksi Universitas Pertamina.
Penulis juga berterima kasih kepada PT Pertamina EP yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mempelajari secara langsung pengaplikasian dari ilmu dan teori yang telah
penulis dapatkan di bangku perkuliahan. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak berikut yang telah membantu penulis selama proses
pelaksanaan program Kerja Praktik ini.
1. Bapak Heru Irianto, selaku mentor pembimbing di PT Pertamina EP serta semua karyawan
PT Pertamina EP khususnya di fungsi Eksploitasi divisi Teknik Produksi atas segala bantuan
dan fasilitas yang diberikan.
2. Bapak Iwan Setya Budi selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Kerja Praktek Jurusan
Teknik Perminyakan Universitas Pertamina.
3. Bapak Astra Agus Pramana, selaku Ketua Jurusan Teknik Perminyakan Universitas
Pertamina
4. Eva Nur Fauziah, yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis dalam situasi
apapun.
5. Tasnim, yang tak pernah bosan mengingatkan penulis untuk selalu menjadi pribadi yang
lebih baik kedepannya.
Akhir kata, semoga melalui Laporan Kerja Praktek ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Kritik dan saran senantiasa penulis terima demi terciptanya karya yang lebih baik kedepannya
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu sumur minyak jika diproduksikan secara terus menerus dapat dipastikan akan
mengalami penurunan produksi yang disebabkan oleh turunnya tekanan pendorong dari reservoir
oleh sebab itu dibutuhkan pengangkatan buatan (Artificial Lift). Apabila artificial lift telah beroperasi
dalam waktu tertentu, diperlukan usaha evaluasi untuk menentukan apakah pompa yang digunakan
sudah sesuai dengan kemampuan sumur saat ini atau tidak. Dengan demikian efisiensi pompa akan
tetap tinggi dangan rate yang optimum.
Pengangkatan buatan atau Artificial Lift terdiri dari beberapa metode seperti Gas lift,
Hydraulic Pump, Progressive Cavity Pump (PCP), Sucker Rod Pump, dan Electrical Submersible.
Salah satu metode pengangkatan buatan (Artificial Lift) yang kerap digunakan adalah pompa
Electrical Submersible Pump atau dapat disingkat ESP. Electric Submersible Pump (ESP) merupakan
pompa jenis sentrifugal yang digunakan untuk mengangkat fluida dari reservoir ke permukaan pada
laju produksi tertentu dan dengan digerakan oleh tenaga motor listrik.
Pompa ini berjenis sentrifugal multistage yang setiap stage nya terdiri dari impeller dan
diffuser yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan fluida dan mengalirkannya langsung ke stage
selanjutnya. Dalam pemilihan pompa ESP terdapat variabel – variabel terkait kondisi sumur yang
harus dipertimbangkan yaitu sumur hendaknya memiliki laju produksi antara 200 – 60.000 STB/D,
Productivity Index (PI) nya tinggi, tidak mempunyai permasalahan kepasiran serta memiliki Working
Fluid Level (WFL) tinggi.
(1) Biaya investasi yang tergolong besar dibandingan metode Artificial Lift lainnya
(2) Tidak efisien jika digunakan pada sumur yang memiliki masalah kepasiran, dan dapat
menimbulkan emulsi karena perputaran impeller pompa yang tinggi.
Dengan melihat karakterisasi sumur maka dapat didesain pompa ESP yang sesuai dengan
keadaan sumur dan memiliki efisiensi tinggi sehingga sumur dapat diproduksikan dengan maksimal
dan dengan rate yang tetap terjaga optimum. Didalam perkuliahan penulis diajarkan untuk mendesain
pompa ESP secara manual melalui perhitungan guna dapat menentukan peralatan dari pompa ESP
yang akan digunakan seperti kabel, switchboard, transformator namun pada kesempatan kali ini
penulis berkesempatan untuk mendesain pompa ESP sesuai dengan data-data sumur yang dimiliki
oleh perusahaan dengan menggunakan software Pipe Simulator. Dengan menggunakan software ini
1
maka didapatkan output jenis pompa ESP beserta dengan spesifikasinya yang sesuai dengan kondisi
sumur.
Penulis melaksanakan program kerja praktik di PT Pertamina EP yang saat ini memiliki 5
Asset dan 22 field di seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaan program kerja praktik penulis
ditempatkan di fungsi Eksploitasi (EPT) Divisi Teknik Produksi yang bertempat di:
Tempat : PT Pertamina EP
2
BAB II
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
Pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bertugas untuk mengelola kegiatan
Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Pertamina terbentuk melalui proses yang panjang hingga
akhirnya mempunyai anak perusahaan yang memiliki fokusnya masing-masing. Berikut ini
merupakan sejarah singkat didirikannya Pertamina hingga menjadi perusahaan BUMN terbesar di
Indonesia.
Eksploitasi minyak di Indonesia dimulai oleh Belanda yang melakukan pemboran sumur
minyak pertama pada tahun 1871 di daerah Cirebon. Lalu, pada tahun 1883 dilakukan pemboran
pada Sumur Telaga Said di wilayah Sumatera Utara yang kemudian disusul dengan didirikannya
Royal Dutch Company di Pangkalan Brandan pada 1885. Setelah perang usai, lapangan minyak dan
gas bumi yang ditinggalkan oleh Belanda dan Jepang dikelola oleh Negara berdasarkan SK Menteri
Perindustrian No. 3177/M tanggal 15 oktober 1957 kemudian pada tanggal 10 Desember 1957 PT
Perusahaan Minyak Nasional (PERMINA) didirikan setelah beberapa kali mengalami perubahan.
Sesuai dengan UU No 8 tahun 1971, PT Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina) dianggap sebagai tonggak Migas di Indonesia karena pemerintah akhirnya menempatkan
PERTAMINA sebagai perusahaan minyak dan gas bumi milik negara.
2.2.1 Visi
Menjadi perusahaan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi kelas dunia
2.2.2 Misi
Melaksanakan pengusahaan sektor hulu minyak dan gas dengan penekanan pada aspek
komersial dan operasi yang baik, serta tumbuh dan berkembang bersama lingkungan hidup
1. Clean
Dikelola secara profesional, menghindari benturan kepentingan, tidak menoleransi suap,
menjunjung tinggi kepercayaan dan integritas. Berpedoman pada asas-asas tata kelola
korporasi yang baik.
2. Customer Focused
3
Berorientasi pada kepentingan pelanggan dan berkomitmen untuk memberikan pelayanan
terbaik kepada pelanggan.
3. Commercial
Menciptakan nilai tambah dengan orientasi komersial, mengambil keputusan berdasarkan
prinsip-prinsip bisnis yang sehat.
4. Capable
Dikelola oleh pemimpin dan pekerja yang profesional dan memiliki talenta dan penguasaan
teknis tinggi, berkomitmen dalam membangun kemampuan riset dan pengembangan.
5. Confident
Berperan dalam pembangunan ekonomi nasional, menjadi pelopor dalam reformasi Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), dan membangun kebanggaan bangsa.
6. Competitive
Mampu berkompetisi dalam skala regional maupun internasional, mendorong pertumbuhan
investasi, membangun budaya sadar biaya dan menghargai kinerja.
Wilayah kerja PT Pertamina EP tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia yang terdiri
dari:
4
2.4. Penempatan Peserta Kerja Praktik
Pada pelaksanaan Kerja Praktik kali ini penulis ditempatkan di fungsi Eksploitasi divisi
Teknik Produksi, dengan jam kerja pukul 07.00 sampai dengan pukul 16.00 dari hari senin hingga
jumat.
VP EXPLOITATION
RESERVOIR PRODUCTION
G&G SENIOR
SENIOR SENIOR
MANAGER
MANAGER MANAGER
5
BAB III
KEGIATAN KERJA PRAKTIK
Dalam pelaksanaan program kerja praktik, penulis ditempatkan di fungsi Eksploitasi divisi
teknik produksi sebagai mahasiswa kerja praktik, selama masa kerja praktik penulis melakukan
beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut:
3) Mempelajari Materi
Dalam pelaksanaan program kerja praktik ini penulis juga berkesempatan dalam
mendapatkan materi yang dijelaskan langsung oleh pembimbing–pembimbing instansi
mengenai artificial lift khususnya terkait dengan materi ESP maupun mengenai stimulasi
sumur yang membahas mengenai formation damage.
5) Mengerjakan Laporan
Selain melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang telah diuraikan diatas, pada setiap waktu
luang jam kosong dimana penulis sedang tidak melakukan kegiatan rapat/ peninjauan
lapangan, penulis memanfaatkan waktu tersebut untuk senantiasa mengerjakan laporan kerja
praktik terkait dengan tema yang telah penulis tentukan dengan arahan yang diberikan oleh
pembimbing baik instansi maupun universitas.
6
BAB IV
HASIL KERJA PRAKTIK
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai hasil kerja praktik yang telah dilakukan yang
bertema kan Analisis Desain Electrical Submersible Pump pada Sumur X di Lapangan Y. Dalam
mendesain suatu pompa yang diinginkan pastinya dibutuhkan data-data yang sesuai dengan keadaan
sumur itu sendiri sehingga pada saat proses produksi nanti pompa dapat bekerja secara efisien dengan
rate yang diinginkan. Berikut ini merupaka data-data dari sumur X lapangan Y.
Tabel 4.1. Data Sumur Produksi dan Tekanan pada Sumur X Lapangan Y
Setelah mengetahui data-data sumur, dengan mengunakan software Pipe Simulator maka
dapat di input data-data tersebut sehingga dapat menghasilkan jenis dan spesifikasi pompa yang
cocok untuk sumur tersebut. Pertama input ukuran casing dan tubing serta grade yang dipakai (sumur
ini memakai grade J55), pada tab deviation survey terdapat survey type vertikal, 2D dan 3D karena
sumur X merupakan sumur vertikal maka penulis memilih vertikal namun jika sumur merupakan
sumur directional maka dapat memilih 2D ataupun 3D, kemudian input data tekanan reservoir,
tekanan dasar sumur dan laju alir test dengan memilih IPR model Vogel, maka akan didapatkan besar
dari Qmax dengan menggunakan rumus Vogel seperti dibawah ini:
7
Gambar 4.1. Rumus IPR model Vogel
Dengan memasukan nilai Pws sebesar 1485 psia dan Pwf sebesar 806 psia serta desain rate sebesar
372 STB/D maka akan didapatkan laju alir sumur maksmimum dengan menggunakan rumus IPR
Vogel tersebut sebesar 567.26 STB/D.
Dengan menggunakan nodal analysis maka dapat diketahui laju alir yang dihasilkan dari perpotongan
antara inflow dan outflow. Garis biru merupakan garis yang mengambarkan inflow yang didapatkan
dari IPR sedangkan garis merah merupakan garis yang mengambarkan outflow yang didapatkan dari
performa pompa, seperti yang dapat dilihat di Gambar 4.3. laju alir yang dihasilkan dari perpotongan
inflow dan outflow sebesar 438.522 STB/D.
8
Gambar 4.4. Performance Data ESP-TD750
Pada saat ini pompa ESP yang digunakan pada sumur X yaitu pompa ESP TD750 dengan spesifikasi
jumlah stages sebesar 265, frekuensi di 47 Hz, minimum laju alir sebesar 560 bbl/d, maksimum laju
alir sebesar 960 bbl/d dan kecepatan sebesar 2741.66 rpm seperti yang dapat dilihat di gambar 4.4.
dan gambar 4.5.
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan dan dengan melihat range opimum pompa yang
digunakan yaitu dari 560 bbl/d hinga 960 bbl/d maka dapat diketahui bahwa pompa mengalami down
thrust yaitu kondisi dimana kapasitas pompa yang digunakan terlalu besar untuk laju alir yang
dihasilkan sehingga diperlukan penurunan kapasitas pompa dengan melakukan pergantian pompa
dari ESP TD750 ke ESP TD460 yang memiliki minimum laju alir sebesar 300 bbl/d hingga 600 bbl/d
sehingga pompa berada pada best efficiency line pompa.
9
Gambar 4.6. Performance Data ESP-TD460
Selanjutnya setelah dilakukan evaluasi pada pompa yang terpasang, yaitu dengan menganti pompa
lama dari ESP TD750 menjadi ESP TD460 kemudian dilakukan optimasi pada pompa. Untuk
meningkatkan produksi sumur, berdasarkan laju alir maksimum, laju alir yang digunakan dalam
desain optimasi pompa diambil 80% dari laju alir maksimum yaitu sebesar 453 STB/D.
Optimasi dilakukan dengan cara penambahan frekuensi pompa dari kondisi aktual yaitu 47 Hz
dengan laju alir 426 STB/D dinaikan menjadi 56 Hz. Selain dengan merubah frekuensi pompa
optimasi juga dapat dilakukan dengan penambahan jumlah stages dari kondisi aktual yaitu 265
ditambahkan menjadi 295 stages.
10
Gambar 4.8. Nodal Analysis ESP TD-460
Dari kedua optimasi di atas, yaitu dengan penambahan frekuensi dari kondisi aktual 47 Hz menjadi
56 Hz dan dengan penambahan stages dari 265 menjadi 295 stages maka didapatkan laju alir sebesar
512 STB/D. Namun ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam membandingkan kedua
metode optimasi tersebut. Parameter-parameter tersebut diantaranya yaitu power required, pump
efficiency, pump outlet temperature, current used, surface KVA, motor efficiency, power generated,
motor speed, voltage drop along cable, voltage required at surface, dan torque on shaft.
11
BAB V
TINJAUAN TEORITIS
Pada saat sumur akan mulai berproduksi tenaga yang digunakan untuk mengangkat fluida
dari dasar sumur ke permukaan adalah dengan menggunakan energi yang terdapat didalam reservoir
atau biasa disebut dengan natural flowing. Tekanan reservoir yang tersedia harus mampu untuk
mengangkat fluida dari dasar sumur ke permukaan dan juga mampu untuk mengatasi kehilangan
tekanan selama proses aliran sampai ke permukaan. Namun semakin lama tekanan reservoir tersebut
akan semakin berkurang dan suatu saat tidak lagi mampu untuk mengangkat fluida dengan laju yang
optimum. Hal ini dapat ditandai dengan menurunnya laju produksi yang dikehendaki atau bahkan
dapat mengakibatkan sumur tersebut berhenti berproduksi dan mati, oleh sebab itu untuk menangani
kondisi tersebut dibutuhkannya metode pengangkatan buatan atau artificial lift.
Pada umumnya terdapat beberapa metode dalam pengangkatan buatan yaitu Gas lift,
Hydraulic Pump, Progressive Cavity Pump (PCP), Sucker Rod Pump, dan Electrical Submersible.
Dalam pemilihan metode artificial lift tergantung dari kondisi sumurnya masing-masing karena
setiap sumur memiliki kondisi yang berbeda seperti contoh jika ingin menggunakan metode gas lift
maka harus tersedia gas dengan jumlah yang cukup dan mempunyai tekanan yang tinggi untuk dapat
mengangkat fluida dari dasar sumur sampai ke permukaan, maka dari itu dibutuhkannya pemilihan
metode artificial lift yang tepat sesuai dengan kondisi lapangan agar produksi dapat berjalan dengan
efektif dan laju yang optimum. Berkut ini merupakan keuntungan dan kerugian dari beberapa metode
artificial lift:
Tabel 5.1. Keuntungan dan Kerugian dari beberapa metode Artificial lift
Jenis Artificial
No Keuntungan Kerugian
Lift
12
e. Waktu operasi panjang e. Harus terdapat gas yang
karena tidak ada alat yang mencukupi.
bergerak.
3. Sucker Rod Pump a. Tidak mudah rusak. a. Berat dan butuh tempat
(SRP) luas, transportasi sulit.
b. Mudah diperbaiki di
lapangan. b. Tidak baik untuk sumur
miring / off shore.
c. Fleksibel terhadap laju
produksi, jenis fluida dan c. Butuh unit besar sekali
kecepatan bisa diatur. untuk laju produksi besar
dan sumur dalam.
d. Keahlian orang di lapangan
sangat baik.
13
c. Mampu mengangkat hampir b. Tidak kompatibel dengan
keseluruhan jenis oil beberapa chemical, H2S &
(sekitar 5-42 0API). oil gravity yang tinggi.
Adapun faktor yang mempengaruhi dalam pemilihan metode artificial lift antara lain:
1. Inflow Performance
Inflow Performance suatu sumur biasanya dapa dilihat dari bentuk produktivitas formasi yaitu
besarnya barrel minyak atau fluida dari sumur yang dapat diproduksikan pada tekanan
reservoirnya. Salah satu bentuk produktivitas formasi dapat diperkirakan dengan perhitungan
Productivity Index (PI). Productivity Index di sini hanya merupakan gambaran secara kualitatif
14
mengenai kemampuan suatu sumur untuk berproduksi pada suatu kondisi tertentu. Untuk melihat
kelakuan sumur berproduksi, maka harga PI dinyatakan secara grafis, yaitu grafik yang
menunjukan hubungan antara tekanan alir dasar sumur (Pwf) dengan laju produksi. Grafik
tersebut adalah Inflow Performance Relantionship (IPR).
2. Laju Produksi
Dalam pemilihan metode artificial lift batasan besar laju produksi dalam pemilihan metode
artificial lift adalah sebagai berikut:
a. Laju produksi > 20,000 B/D, metode artificial lift yang cocok digunakan adalah gas lift
atau ESP
b. Laju produksi antara 2,000 – 10,000 B/D dapat menggunakan semua metode artificial
lift kecuali Rod Pump
c. Laju produksi antara 100 – 1,000 B/D dapat menggunakan semua metode artificial lift
d. Laju produksi < 100 B/D, yang digunakan adalah semua metode artificial lift, kecuali
ESP
3. Water Cut
Air menghasilkan penambahan kehilangan tekanan di dalam tubing, akibatnya densitasnya yang
lebih besar dari minyak sehingga akan membutuhkan tekanan yang lebih besar untuk
mengangkatnya ke permukaan.
Dengan bertambahnya GLR maka effisiensi dari semua metode pengangkatan juga akan
mengalami penurunan
Dalam pemilihan metode artificial lift batasan kedalaman lubang bor adalah sebagai berikut:
a. Kedalaman sumur > 12,000 ft, metode artificial lift yang dapat digunakan hanya
Hydraulic Pump.
b. Kedalaman sumur diantara 10,000 ft – 12,000 ft, maka yang digunakan adalah semua
metode artificial lift, kecuali ESP karena adanya batasan temperatur.
c. Kedalamannya < 8,000 ft, maka semua metode artificial lift dapat digunakan.
Ukuran casing di sini untuk membatasi ukuran tubing, Pada dasarnya semakin kecil ukuran
casing semakin kecil pula laju produksi yang dihasilkan. Pipa yang berukuran terlalu kecil akan
mengakibatkan friction loss yang besar dan mengakibatkan pengurangan effisiensi volumetric
dari gas lift dan ESP.
7. Tipe Komplesi
Pada open hole, caving dan problem pasir dapat mengurangi inflow performance. Pada interval
perforasi, penyumbatan lubang perforasi menurunkan inflow performance.
15
8. Karakteristik Fluida Reservoir
Karakteristik fluida reservoir yang mempengaruhi cara produksi yaitu viscositas, dan Faktor
Volume Formasi karena dapat mempengaruhi lolosnya minyak dengan metode pengangkatan
buatan. Untuk viscositas minyak yang tinggi biasanya sewaktu diproduksi ikut membawa pasir
atau padatan lainya sedangkan Faktor Volume Formasi (FVF) menggambarkan angka barrel dari
fluida yang diangkat, yang disesuaikan dengan kondisi di permukaan.
Semakin dalam sumur maka akan semakin besar juga nilai temperaturnya. Batasan temperature
dalam pemilihan metode artificial lift adalah sebagai berikut:
Produksi yang semakin rendah dengan semakin bertambahnya waktu produksi adalah
karakteristik depletion drive, ditunjukkan dengan penurunan tekanan reservoir yang cepat dan
diikuti dengan turunnya laju produksi. Pertimbangan hal ini dapat menentukan metode artificial
lift yang akan digunakan. Dengan adanya gas, maka metode gas lift yang paling
dipertimbangkan.
Water influx atau injeksi air menyebabkan fluida reservoir bergerak/pindah ke lubang bor. Dari
adanya water infux ini diharapkan recovery lebih besar dari depletion drive dan water cut yang
semakin besar, water cut yang tinggi ditambah dengan optimum pengangkatan yang besar
dibandingkan dengan semua mekanisme pendorong yang ada, maka metode artificial lift yang
akan digunakan dapat diseleksi sesuai dengan keadaan tersebut.
Pada reservoir dua fasa, fasa gas berasal dari gas cap dan liquid berasal dari oil zone. Perpindahan
minyak dari formasi ke lubang bor adalah dari ekspansi gas cap. Perubahan GOR terhadap
produksi mempengaruhi pemilihan metode artificial lift yang akan digunakan. Dengan adanya
gas, maka metode gas lift lebih diperhitungkan karena metode gas lift paling toleransi terhadap
gas.
Electric Submersible Pump (ESP) merupakan pompa jenis sentrifugal yang digunakan untuk
mengangkat fluida dari reservoir ke permukaan pada laju produksi tertentu dan digerakan oleh tenaga
motor listrik yang digerakkan oleh suatu motor listrik. Tenaga listrik yang disuplai dari transformer
melalui switchboard.
16
Pompa ini berjenis sentrifugal multistage yang setiap stage nya terdiri dari impeller dan
diffuser yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan fluida dan mengalirkannya langsung ke stage
selanjutnya. Jumlah stage yang digunakan akan disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Prinsip kerja dari pompa ESP adalah arus listrik dari transformer disalurkan ke peralatan
bawah permukaan melalui kabel listrik yang di klem pada tubing, dimana motor listrik akan
mengubah arus listrik menjadi energi mekanik yang berputar pada kecepatan relatif konstan,
kemudian memutar pompa (Impeller) melewati poros motor (shaft) yang disambungkan dengan
bagian protector, kemudian energi kinetis fluida diubah menjadi energi potensial oleh diffuser,
sehingga fluida tersebut akan dapat dihisap oleh impeller pada stage yang berikutnya. Proses ini
berlangsung secara terus-menerus hingga stage terakhir, sehingga fluida akan dapat naik ke
permukaan melalui tubing. Setiap tingkat (stage) yang digunakan akan sangat menentukan besarnya
kapasitas produksi pemompaan.
Peralatan ESP terdiri dari dua bagian utama yaitu komponen permukaan dan komponen
bawah permukaan.
Pada Electrical Submersible Pump terdapa peralatan permukaan yang terdiri dari: wellhead,
junction box, switchboard dan transformer.
1. Wellhead
Wellhead berfungsi untuk menjadi dudukan christmas tree (x’mas tree) dan untuk
menggantungkan casing atau tubing pada suatu sumur. Selain itu fungsi lain wellhead adalah
untuk mengontrol operasi atau aktivitas dipermukaan sumur yaitu menyekat untuk mencegah
kebocoran fluida formasi atau tersembur dipermukaan.
2. Junction Box
17
Junction Box merupakan komponen yang ditempatkan diantara kepala sumur dan switchboard
untuk alasan keamanan. Gas dapat mengalir ke atas melalui kabel dan naik ke permukaan menuju
switchboard, yang bisa menyebabkan terjadinya kebakaran, karena itu kegunaan dari junction
box ini adalah untuk mengeluarkan gas yang naik ke atas tadi. Disini kabel dari ESP motor akan
disambung dengan kabel yang datang dari switchboard dan gas yang mengalir dari sumur akan
lepas pada sambungan tersebut, karena armor kabel telah dibuka pada bagian penyambungan.
3. Switchboard
Switchboard adalah panel kontrol kerja di permukaan saat pompa bekerja yang dilengkapi
dengan motor controller, overload dan underload protection serta alat pencatat (recording
instrument) yang bisa bekerja secara manual ataupun otomatis apabila terjadi penyimpangan.
Switchboard ini dapat digunakan untuk tegangan dari 440 volt sampai 4800 volt. Fungsi utama
dari switchboard adalah untuk mengontrol kemungkinan terjadinya downhole problem seperti
overload atau underload current, Auto restart setelah underload pada kondisi intermittent well,
mendeteksi unbalance voltage. Pada switchboard biasanya dilengkapi dengan ammeter chart
yang berfungsi untuk mencatat arus motor versus waktu ketika motor bekerja.
4. Transformer
Merupakan alat untuk mengubah tegangan listrik, bisa untuk menaikan atau menurunkan
tegangan. Alat ini terdiri dari core (inti) yang dikelilingi oleh coil dari lilitan kawat tembaga.
Keduanya, baik core maupun coil direndam dengan minyak trafo sebagai pendingin dan isolasi.
Perubahan tegangan akan sebanding dengan jumlah lilitan kawatnya. Biasanya tegangan input
transformer diberikan tinggi agar didapat ampere yang rendah pada jalur transmisi, sehingga
tidak dibutuhkan kabel (penghantar) yang besar. Tegangan input yang tinggi akan diturunkan
dengan menggunakan step-down transformer sampai dengan tegangan yang dibutuhkan oleh
motor.
18
Gambar 5.3. Transformer
1. Motor
Motor disini berfungsi untuk menggerakan pompa dengan cara mengubah electrical energy
menjadi mechanical energy, yaitu berupa tenaga putaran Energi ini menggerakkan protector dan
pompa melalui shaft yang terdapat pada setiap unit yang dihubungkan dengan coupling. Motor
berfungsi sebagai tenaga penggerak pompa (prime mover), secara garis besar motor ini
mempunyai dua bagian pokok, yaitu:
a. Stator
Stator Assembly adalah rangkaian komponen yang tidak bergerak. Bentuknya seperti baja
melingkar yang dililit oleh kawat. Terdiri dari 3 komponen utama, housing, laminations dan
windings.Housing adalah tabung besi yang menutupi semua komponen motor lainnya
berfungsi sebagai cover dan pelindung utama. Bagian ini adalah bagian yang langsung
bersentuhan dengan fluida formasi. Panas atau kalor dari hasil penggerakan motor, akan
ditransmisikan ke housing dan kemudian dibawa oleh fluida yang terus mengalir
melaluiclearance antara motor dengan casing. Laminations adalah lembaran tipis seperti
piringan yang terbuat dari baja atau perunggu. Windings adalah kabel yang terbuat dari
Polyimid atau PEEK insulated magnet. Fungsi utamanya untuk memberikan gaya magnet
disekitar laminations. Winding ini akan membentuk lilitan yang mengelilingi laminations.
b. Rotor
Rotor adalah bagian yang berputar dari motor. Rotor terdiri dari rotor lamination, copper bar,
dan rotor bearing. Rotor lamination memiliki diameter lebih kecil dari stator lamination.
Untuk copper bars didukung oleh copper dan rings. Sedangkan bearing merupakan bagian
yang vital dari motor. Keguanaan utamanya adalah memberikan gaya axial dan radial kepada
shaft dan rotor. Tidak hanya itu, bearing juga mempunyai fluid holes, tempat masuknya
sirkulasi minyak dan mendistribusikan pelumasan pada permukaan bearing. Jumlah dari
rotor dihitung dari horse poweer output dari motor.
2. Protector
Fungsi utama dari protector adalah sebagai pelindung Electric Motor dengan cara :
19
a. Menahan cairan yang masuk dari well bore agar tidak langsung masuk kedalam motor.
b. Menyamakan tekanan yang ada dalam motor dengan tekanan yang datang dari well bore.
c. Memberikan kesempatan kepada minyak yang ada didalam elektrik motor untuk dapat
mendinginkan motor semaksimal mungkin sewaktu distart.
Gas separator / intake pump ini terletak diantara pompa dan bagian protector dalam rangkaian
ESP. Intake section merupakan satu unit tempat masuknya fluida reservoir ke dalam pompa
karena adanya penurunan tekanan pada sesi intake maka terjadi pemisahan gas terhadap
cairannya. Alat ini merupakan bagian dari pompa yang berfungsi sebagai intake masuknya fluida
kedalam pompa disamping pemisah gas dengan fluida. Apabila gas dalam jumlah yang besar
masuk kedalam pompa dapat menimbulkan terjadinya gas lock (pompa terisi oleh gas dan tidak
dapat mempompa fluida) dan dengan demikian penggunaan gas separator akan dapat menaikkan
efisiensi pemompaan terutama bagi sumur yang banyak mengandung gas. Beberapa sumur
memproduksikan gas yang cukup besar yang dapat menyebabkan pompa berputar sendiri, yang
dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi pompa.
4. Pump Unit
Pompa pada ESP adalah jenis pompa Sentrifugal Multistage, yang terdiri dari multi stage
(tingkat) dimana dalam setiap tingkat terdiri dari satu pasang impeller dan diffuser. ESP dibuat
dengan stage bertingkat, dan setiap stage terdiri dari satu impeller yang dikunci dengan shaft
yang merupakan bagian yang berputar, yang berfungsi untuk memindahkan fluida dari satu
tempat ketempat yang lainnya. Kemudian setiap stage juga terdiri dari diffuser yang merupakan
bagian yang tidak berputar dan berfungsi untuk mengarahkan fluida ke stage berikutnya.
20
Prinsip kerja pompa ini, yaitu fluida yang masuk kedalam pompa melalui intake yang akan
diterima oleh stage paling bawah dari pompa kemudian impeller akan mendorongnya masuk,
sebagai akibat proses centrifugal, maka fluida tersebut akan terlempar keluar dan diterima oleh
diffuser. Oleh diffuser,tenaga kinetis (velocity) fluida akan diubah menjadi tenaga potensial
(tekanan) dan diarahkan ke stage selanjutnya.
5. Check Valve
Check valve biasanya dipasang pada tubing (2 – 3 joint) diatas pompa. Bertujuan untuk menjaga
fluida tetap berada di atas pompa. Jika check valve tidak dipasang maka akan ada kebocoran
fluida dari tubing (kehilangan fluida) yang melalui pompa yang dapat menyebabkan aliran balik,
sebab aliran balik (back flow) tersebut membuat putaran impeller berbalik arah, dan dapat
menyebabkan motor terbakar atau rusak. Jadi umumnya check valve digunakan agar tubing tetap
terisi penuh dengan fluida sewaktu pompa mati dan mencegah supaya fluida tidak turun
kebawah. Pada kondisi gas lock, check valve dipasang 6 join diatas pompa. Jika check valve
tidak digunakan maka biasanya butuh waktu sekitar 30 menit agar fluida turun sebelum motor
direstart.
6. Bleeder Valve
Bleeder valve dipasang satu joint di atas check valve, mempunyai fungsi mencegah minyak
keluar pada saat tubing dicabut. Fluida akan keluar melalui bleeder valve.
7. Electric Cable
Cable merupakan komponen penting dalam menyalurkan arus listrik dari permukaan ke pompa
di dasar sumur. Untuk ESP dibuat dari tembaga dan alumunium, kabel Al lebih murah dan tahan
korosi, tetapi lebih mudah patah dan sukar disambung kembali. Bentuknya ada 2 macam yaitu
bulat dan flat. Yang bulat diletakkan pada tubing sedangkan yang flat untuk sekitar pompa dan
protector kearah motornya.
8. Centralizer
Berfungsi untuk menjaga kedudukan pompa agar tidak bergeser atau selalu di tengah-tengah
pada saat pompa beroperasi, sehingga kerusakan kabel karena gesekan dapat dicegah.
21
5.3. Dasar-Dasar Perhitungan Pompa
Pada prinsipnya perencanaan atau desain suatu unit pompa benam listrik untuk sumur-sumur
dengan WC tinggi adalah sama seperti perencanaan unit pompa benam listrik biasa, dimana dengan
maksimalnya laju produksi yang diinginkan maka maksimal juga produksi air yang terproduksi.
Kontrolnya dengan menghitung laju kritis dimana besarnya laju produksi minyak yang diinginkan
lebih besar dari laju kritis sehingga terjadi water coning. Produksi tersebut terus dilakukan karena
masih bernilai ekonomis dan terjadinya water coning bersifat wajar untuk sumur-sumur tua yang
mempunyai water cut yang lebih besar dari 90%.
Laju produksi suatu sumur yang diinginkan harus sesuai dengan produktifitas sumur. Pada
umumnya fluida yang mengalir dari formasi ke lubang sumur lebih dari satu fasa, untuk aliran
fluida dua fasa, Vogel membuat grafik kinerja aliran fluida dari formasi ke lubang sumur
berdasarkan data uji produksi. Sedangkan untuk aliran tiga fasa, yaitu gas, minyak dan air, maka
dalam pengembangan kelakuan aliran tiga fasa dari formasi ke lubang sumur dapat menggunakan
analisis regresi dari metode Pudjo Sukarno seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
Static fluid level pada sumur dalam keadaan mati (tidak diproduksikan), sehingga tidak ada
aliran, maka tekanan didepan perforasi sama dengan tekanan statik sumur. Sehingga
kedalaman permukaan fluida di annulus (SFL, ft) adalah :
Ps Pc
SFL = D mid perf – ( + ) , feet
Gf Gf
B. Working Fluid Level
Bila sumur diproduksikan dengan rate produksi sebesar q (bbl/D, dan tekanan alir dasar
sumur adalah Pwf (Psi), maka ketinggian (kedalaman bila diukur dari permukaan)
fluida di annulus adalah :
22
Pwf Pc
WFL = D mid perf – ( + ) , feet
Gf Gf
Dimana :
Pwf = Tekanan Alir dasar sumur, psi. Gf = Gradient Fluida sumur, psi/ft
Suction head adalah silinder atau torak yang semula berada dipermukaan cairan (dalam
bak) air akan naik mengikuti torak sampai pada mencapai ketinggian Hs, dimana :
144 ×P
Hs =
ρ
Dimana:
Tekanan absolut pada cairan pada suatu titik didalam pompa berada dibawah tekanan
saturasi (Pb) pada temperatur cairan, maka gas semula terlarut dalam cairan terbebaskan.
Gelembung-gelembung gas ini akan mengalir bersama-sama dengan cairan sampai pada
daerah yang memiliki tekanan tinggi akan dicapai dimana gelembung tadi akan mengecil.
Fenomena ini disebut sebagai kavitasi yang dapat menurunkan efisiensi dan merusak
pompa.
Kejadian ini berhubungan dengan kondisi penghisapan dan apabila kondisi penghisapan
berada diatas Pb, maka kavitasi tidak terjadi. Kondisi minimum yang dikehendaki untuk
mencegah kavitasi pada suatu pompa disebut Net Positive Suction Head (NPHS). NPHS
adalah tekanan absolut diatas tekanan saturasi yang diperlukan untuk menggerakkan fluida
masuk kedalam fluida.
Pada umumnya pemilihan tipe pompa didasarkan pada besarnya rate produksi yang
diharapkan pada rate pengangkatan yang sesuai dan ukuran casing (Check clearances).
Terproduksinya gas bersama-sama dengan cairan memberikan pengaruh dalam pemilihan pompa,
karena sifat kompresibilitas gas yang tinggi, menyebabkan perbedaan volume fluida yang cukup
besar antara intake pompa dan discharge pompa. Hal ini akan mempengaruhi efisiensi pompa ESP
itu sendiri.
23
5.3.3. Perkiraan Pump Setting Depth
Perkiraan pump setting depth merupakan suatu batasan umum untuk menentukan letak
kedalaman pompa dalam suatu sumur adalah bahwa pompa harus ditenggelamkan didalam fluida
sumur. Sebelum perhitungan perkiraan setting depth dilakukan, terlebih dahulu diketahui parameter
yang menentukannya, yaitu Static Fluid Level (SFL) dan Working Fluid Level (WFL) dimana untuk
menentukannya digunakan alat sonolog atau dengan operasi wireline, bila sumur tersebut tidak
menggunakan packer.
Untuk menghitung jumlah tingkat pompa (stage), sebelumnya dihitung dahulu Total
Dynamic Head (TDH, ft) pada laju produksi yang diinginkan. Diambil suatu harga rate produksi V,
maka h akan berubah pada saat cairan melewati pompa.
Pemilihan motor baik single motor maupun tandem didasarkan pada tabel yang di sediakan
oleh pabrik pembuatnya terlampir. Besarnya horse power yang dibutuhkan motor pada hasil
perhitungan jika tidak tersedia dalam tabel, maka dipilih motor yang memiliki horse power lebih
besar yang mendekati.
Menentukan switchboard yang akan dipakai perlu diketahui terlebih dahulu berapa besarnya
voltage yang akan bekerja pada switchboard tersebut. Besarnya tegangan yang bekerja dapat dihitung
dari persamaan berikut ini :
Vs = Vm + Vc, Volt
Keterangan :
Menentukan besarnya tegangan transformer yang diperlukan dihitung dengan persamaan berikut :
Vs × Im ×1.73
T=
1000
Keterangan :
24
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan selama pelaksanaan Kerja Praktik di PT
Pertamina EP Pusat, berikut ini merupakan beberapa hal yang dapat disimpulkan:
1. Pompa yang digunakan pada sumur X yaitu pompa ESP TD750 mengalami down thrust
karena memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan laju alir yang
dihasilkan.
2. Pompa ESP TD 750 diganti menjadi pompa ESP TD460
3. Penambahan frekuensi pompa dari 47 hz ke 56 hz dan penambahan jumlah stages dari
265 ke 295 menaikan laju alir menjadi 512 STB/D
6.2 Saran
Adapun saran yang dapat saya berikan yaitu agar melakukan pergantian pompa dari ESP
TD750 yang memiliki minimum flowrate 560 bbl/d menjadi ESP TD460 yang memiliki
minimum flowrate sebesar 300 bbl/d serta menaikan frekuensi dari 47 Hz menjadi 56 hz dan
penambahan stages dari 265 menjadi 295 stages sehingga menghasilkan laju alir sebesar 512
STB/D.
25
DAFTAR PUSTAKA
Brown, KE. (1980) “The Technology of Artificial Lift Methods”, Volume 2B, Petroleum Publishing
Company, Tulsa Oklahoma.
Brown, KE. (1984) “The Technology of Artificial Lift Methods”, Volume 4, Petroleum Publishing
Company, Tulsa Oklahoma.
Widartono, Msc, “Diktat Kuliah Teknik Produksi Lanjut”, Jurusan Teknik Perminyakan, Universitas
Trisakti, Jakarta, 1998.
Boyun Guo, William C Lyons dan Ali Ghalambor, 2007, “Petroleum Production Engineering”,
Lavayette: Elseveir Science &Technology Books.
Bandera, Alwan Bate, 2013, ”Pengenalan Peralatan ESP”, Indramayu:Akamigas Balongan.
26
LAMPIRAN
27