Anda di halaman 1dari 47

BAB IV

HIDROLIKA LUMPUR PEMBORAN

Optimasi pemboran akan melibatkan beberapa penentuan kondisi yang


diperlukan pada suatu kedalaman tertentu tanpa harus mengorbankan faktor
keamanan, perlindungan lingkungan, informasi yang mencukupi untuk penetrasi
formasi dan produktifitas. J.L. Lummus menyatakan bahwa lumpur pemboran
sangat dimungkinkan penting sebagai variable yang musti dipertimbangkan dalam
usaha optimasi, yaitu dengan hidrolika lumpur pemboran. Dimana lumpur yang
diseleksi dan digunakan berdasarkan kemampuan relatifnya dalam pemboran
diharapkan mampu menghasilkan efektifitas hole cleaning dan wellbore
stabilization.
Program desain hidrolika lumpur pemboran yang tepat merupakan suatu
keberhasilan yang sangat vital untuk komplesi suatu sumur. Lumpur pemboran
merupakan media yang meneruskan horsepower yang ada di permukaan ke bit,
dimana bit akan memberihkan bottomhole yang akan meningkatkan rate
penetration. Pembersihan dasar lubang sumur tersebut dilakukan dengan jalan
mensirkulasikan lumpur pemboran sambil membawa serbuk bor ke permukaan.
Untuk itu dibutuhkan pompa lumpur dengan daya

(Total Horse Power) dan

perhitungan velocity lumpur tertentu. Yang mana total horse power tersebut
merupakan fungsi sari kehilangan tekanan diseluruh sistim sirkulasinya, untuk
mendapatkan tekanan maksimum yang diteruskan ke bit, maka kehilangan
tekanan diusahakan seminimal mungkin terjadi. Untuk mengetahui hal ini, maka
terlebih dahulu harus mengetahui rheologi dari lumpur pemboran.
Faktor-faktor dasar yang mempengaruhi optimasi pemboran berkaitan
dengan hidrolika lumpur pemboran untuk menaikkan penetration rate antara lain :
1. Bit hydraulic.
Perkembangan yang paling signifikan dalam meningkatkan efisiensi
pemboran adalah pemakaian jet bit. Kendall dan Goins memberikan suatu

kontribusi penting untuk dijetahui dalam usaha peningkatan efisiensi bit


hydraulic yaitu : (1) melakukan aplikasi hidrolika rotary drilling dengan
memperhatikan distribusi tekanan di seluruh permukaan melalui
keseimbangan laju aliran lumpur, (2) penentuan luas nozzle untuk
meningkatkan maksimum jet velocity, bit hydraulic dan jet impact.
Dua langkah mendasar untuk mendesain program hydraulic adalah :
o Penentuan horsepower bit hydraulic untuk menyeimbangkan
tingkat energi dari berat bit dan kecepatan rotasi.
o Maksimalisasi horsepower bit hydraulic terhadap kemampuan daya
horsepower di permukaan.
Metode perkiraan optimasi berat bit dan kecepatan rotasi untuk meperoleh
drilling rate yang besar diasumsikan dengan ketersediaan horsepower di
permukaan. Kurva hydraulic drillability ditunjukkan pada Gambar 4.3.,
dimana ketersediaan daya horsepower yang didistribusikan dapat
meningkatkan drilling rate.

Gambar 4.3.
Kurva Hydraulic Drillability4)

Manufaktur bermacam-macam bit yang digunakan oleh perusahaanperusahaan minyak, dalam usaha meningkatkan bottomhole cleaning,
sekarang ini telah dilengkapi dengan two-cone insert bit dengan

pengembangan nozzle untuk soft-formation diperlihatkan pada Gambar


4.4., dimana diperlihatkan adanya luas nozzle dibuat sedemikian rupa
untuk membersihkan bottomhole pada hydraulic bit.

Gambar 4.4.
Two-cone Insert Bit dengan Pengembangan Luas Nozzle untuk Soft-formation
Optimasi Bottomhole Cleaning4)

Tipe program hydraulic yang umum digunakan adalah metode maximum


bit hydraulic horsepower dan metode maximum jet impact seperti yang
dikemukakan oleh Kendall dan Goins.
2. Sifat-sifat lumpur pemboran.
Umumnya sifat-sifat lumpur pemboran yang berpengaruh terhadap
optimasi pemboran khususunya adalah meningkatkan penetration rate,
adalah (1) densitas, (2) viskositas, dan (3) kandungan padatan.
Adanya densitas yang tinggi menyebabkan differential pressure antara
tekanan hidrostatik dengan tekanan formasi. Sehingga mengakibatkan
pecahan-pecahan (chip) batuan yang dihasilkan oleh bit cenderung akan
mengendap di bottomhle dan akan sulit untuk dibawa ke permukaan,

dimana kcepatan mengangkat pecahan-pecahan batuan tersebut akan


membantu meningkatkan efektifitas drilling rate.
Kandungan padatan berkaitan dengan densitas dan viskositas lumpur.
Partikel-partikel yang berukuran halus atau sub-micron akan

lebih

menganggu ketimbang partikel yang berukuran lebih besar. Dimana


partikel halus akan menyumbat atau menutup kembali fracture yang telah
dihasilkan oleh bit, sehingga akan memperlambat pemerataan tekanan dan
menimbulkan penggerusan kembali oleh bit (regrinding) kemudian akan
memperlambat drilling rate.
Kenaikan viskositas lumpur pemboran menyebabkan kehilangan tekanan
yang telah dipompakan dalam sirkulasi lumpur, yang mana berdampak
turunnya horsepower bit hydraulic dan menurunkan kemampuan
bottomhole cleaning. Dari hasil penelitian para ahli diungkapkan bahwa
viskositas lumpur yang tinggi tidak begitu baik dalam membersihkan
pacahan-pacahan batuan (chips) di bottomhole dibandingkan dengan
viskositas lumpur yang rendah.
Para engineer menyatakan bahwa kombinasi antara kondisi hidrolik dan
sifat lumpur pemboran berpengaruh besar terhadap optimasi penetration
rate pemboran dibandingkan variable-variabel lainnya.
3. Sifat formasi yang ditembus.
Secara umum, penetration rate untuk hidrolika pemboran berbanding
terbalik dengan compressive strength. Harga compressive strength batuan
tertentu tidak dapat digunakan sebagai ukuran sebenarnya rock drillability.
Sifat hardness dan abrasive batuan berpengaruh terhadap umur bit.
Kelebihan berat bit dan kecepatan rotasi dapat mengakibatkan gigi bit
patah jika mengebor pada formasi yang keras.
Umumnya kekuatan batuan meningkat dengan meningkatnya kedalaman,
hal ini disebabkan oleh naiknya tekanan overburden. Laju pemboran lebih
cepat pada batuan yang porous daripada batuan yang memadat atau tidak
porous. Zona yang porous-pun pada formasi yang sama biasanya memiliki

compressive strength yang rendah dibandingkan bagian yang kurang


porous.
Tingkat pemerataan tekanan hidrostatik dan tekanan formasi meningkat
dengan adanya batuan yang permeable. Laju pemboran semakin cepat jika
menemui formasi yang permeable karena tekanan yang melewati
ketebalan chips dapat diratakan secara lebih cepat. Formasi yang
mengandung fluida incompressible respon pemerataan tekanannya lebih
cepat dan biasanya pemborannya lebih cepat daripda formasi yang tidak
mengandung interstitial fluida atau memiliki tekanan pori yang rendah.
Formasi clay dan shale merupakan campuran yang mudah lengket dan
bersifat plastic ketika bertemu dengan water-base mud bersifat wetting.
Campuran tersebut akan melekat membentuk lapisan (embedded) pada
sela-sela gigi bit dan mengurangi drilling rate. Beberapa formasi shale
cenderung menjadi plastic pada kondisi dengan tekanan kolom lumpur
yang tinggi dan pada formasi dengan temperatur yang tinggi.

4.1. Rheologi Fluida Pemboran


Rheologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk dan aliran dari
suatu fluida. Apabila gaya dikenakan pada suatu fluida, maka fluida tersebut akan
mengalir. Rheologi lumpur pemboran berkaitan dengan tekanan geser (shear
stress) dan laju geser aliran lumpur (shear rate) yang berpengaruh terhadap
karakteristik lumpur pemboran menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
(deformation). Ada dua pengertian dasar dari dalam sistem aliran lumpur
pemboran :
1. Laminar flow regime, yang berlaku pada aliran velocity rendah, dimana
aliran teratur (orderly) dan hubungan antara pressure-velocity merupakan
hanya fungsi dari sifat viskositas lumpur saja.
2. Turbulent flow regime, yang berlaku pada aliran velocity tinggi, dimana
aliran tidak teratur (disorderly) yang terbentuk oleh inersia sifat lumpur
yang mengalami pergerakan.

Gambar 4.1.
Grafik Rejim Aliran Laminar dan Turbulent11)

Persamaan aliran laminar berhubungan dengan perilaku aliran terhadap


karakteristik lumpur berdasarkan model aliran tertentu, yaitu fluida Newtonian
dan fluida Non-Newtonian (Bingham Plastic dan Power Law). Umumnya lumpur
pemboran tidak memenuhi dari kedua model aliran tersebut, tapi lumpur dapat
diprediksikan dengan akurasi yang cukup baik untuk aplikasi di lapangan. Model
aliran biasanya diilustrasikan dengan harga rata-rata kurva konsistensi alirannya,
yang merupakan hasil darin plotting tekanan (shear stress) versus laju aliran
(shear rate), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2.
Kurva Ideal Model Aliran11)

Konsep yang melibatkan shear stress dan shear rate dan pengukurannya
memungkinkan dilakukannya deskripsi secara matematis aliran lumpur pemboran.
Besarnya tenaga yang dikenakan pada fluida akan menentukan besarnya shear
rate, yang mana diistilahkan dengan laju aliran (flow rate) fluida melalui
konfigurasi geometris tertentu. Tahanan fluida yang berlaku saat shear rate terjadi
disebut shear stress, yang kemudian diistilahkan melalui analogi tekanan pompa.
Besarnya shear rate tergantung pada konfigurasi geometris pipa atau annulus,
velocity lumpur keseluruhan, dan sifat viskositas lumpur. Shear rate () dapat
dituliskan secara matematis :

dv
dr ..............................................................................................(4.1)

dimana v adalah velocity dan r adalah jarak dari dinding pipa. Sedangkan shear
stress () ditentukan dengan persamaan berikut :

F
A ...............................................................................................(4.2)

dimana F adalah tenaga yang dilakukan dan A adalah luas permukaan yang
melakukan tenaga. Shear rate dan shear stress merupakan dua ukuran dasar yang
sering digunakan untuk industri perminyakn dan hubungannya terhadap
penentuan tipa aliran fluida.

4.1.1. Sifat Aliran Lumpur Pemboran


Rheologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perubahan bentuk
(deformation) dan aliran padatan, cair dan gas (fuida). Fluida akan mengalir jika
dikenai gaya yang mengakibatkan fluida mengalami deformasi. Denagn adanya
perubahan bentuk tersebut, maka fluida akan mengalami pergerakan sehingga
fluida dapat mengalir. Perilaku aliran lumpr berkembang dengan adanya flow
regime, yang berhubungan antara tekanan dan velocity. Seperti tampak pada
Gambar 4.1., kenaikan tekanan dengan kenaikan velocity akan semakin cepat
bertambah ketikan aliran tersebut adalah turbulent jika dibandingkan aliran
laminar. Jenis aliran fluida dalam pipa dibagi dua, yaitu :
1. Aliran laminar, yang identik dengan velocity rendah yang merupakan
fungsi dari sifat viscous lumpur.
2. Aliran turbulent, berkembang dengan adanya sifat inersia lumpur dan
secara tidak langsung tidak dipengaruhi oleh viskositas lumpur.
Sifat aliran lumpur pemboran memainkan peranan vital dalam keberhasilan suatu
operasi pemboran, terutama dalam usaha optomasi peningkatan laju penetrasi
pemboran.

4.1.1.1.

Aliran Laminar
Merupakan aliran dimana masing-masing partikel dalam fluida bergerak

silindris maju dalam suatu garis lurus dan pararel antara satu dengan yang lainnya.
Kecepatan pada dinding adalah nol dan kecepatan masing-masing partikel yang
semakin jauh dari dinding semakin bertambah hingga mencapai maksimum pada
pusat aliran. Aliran ini mempunyai pola yang tenang, dimana tahanan gesek
disebabkan adanya kerja gesek dan tak tergantung pada kekasaran dari pipa.
Aliran laminar ini menimbulkan kecepatan satu arah, yaitu komponen
longitudinal.
Perbedaan velocity pada masing-masing partikel yang dibatasi oleh jarak
disebut shear rate, sedangkan gaya aksial yang dikenakan pada seluruh luasan
fluida disebut shear stress. Dan perbandingan antara shear stress terhadap shear
rate disebut viscosity, yaitu ketahanan fluida untuk mengalir dalam satuan poise,
adalah gaya shear stress sebesar 1 dynes/cm2. Aliran laminar di sekitar pipa
digambarkan sebagai concentric cylinder, dimana velocity silindris naik dari nol
pada dinding pipa dan bernilai maksimum pada pusat pusat axis pipa sehingga
menghasilkan bentuk profil aliran laminar, yaitu parabolic velocity profile, seperti
tampak pada Gambar 4.5. berikut ini.

Gambar 4.5.
Profil Parabolik Velocity Aliran Laminar11)

Plotting antara shear stress versus shear rate dikenal dengan consistency
curve, seperti tampak pada Gambar 4.2.. Fluida yang tidak mengandung partikel

lebih besar dari ukuran molekul (misalnya air, larutan garam, minyak dan
glycerine) memiliki consistency curve yang relatif lurus dari titik semula, fluida
ini disebut Fluida Newtonian. Viskositas fluida Newtonian ditentukan dengan
menghitung slope kurva konsitensinya.
Suspensi fluida seperti halnya lumpur pemboran yang mengandung
partikel lebih besar daripada ukuran molekul tidak mengikuti kaidah fluida
Newtonian lagi, tapi dikelompokkan sebagai fluida Non-Newtonian Hubungan
antara shear stress sengan shear rate tergantung pada komposisi fluidanya. Teori
Bingham (selanjutnya dikenal dengan Bingham Plastic) menggunakan dua
parameter untuk mendeskripsikan fluida tersebut, yaitu yield point dan plastic
viscosity. Shear stress yang dikenakan pada shear rate fluida Non-Newtonian
menghasilkan plastic viscosity atau apparent viscosity atau effective viscosity,
perhatikan Gambar 4.2.
Lumpur pemboran yang mengandung polymer dan sedikit atau tidak sama
sekali partikel padatan memiliki shear rate yang besar meskipun juga memiliki
yield point, namun dapat diabaikan, dan kenyataannya bahwa consistency curve
dimulai pada titik mulanya, bukan dihitung setelah yield point. Perilkau ini
pseudo plastic fluida ini dideskripsikan dengan Power Law yang menyatakan
bahwa :
ShearStress K ShearRate ......................................................(4.3)
n

Parameter K adalah ukuran konsistensi sifat viscous fluida. Sedangkan parameter


n disebut flow-behavior index, merupakan ukuran penurunan plastic viscosity
dengan bertambahnya shear rate, dimana kecilnya harga n menunjukkan besarnya
harga penurunan plastic viscosity. Jika n = 1, fluida mempunyai sifat sama dengan
fluida Newtonian, dan K sama dengan viskositasnya.
Umumnya lumpur pemboran mempunyai sifat intermediate antara fluida
Ideal Bingham Plastic dan Ideal Power Law. Karena gaya antar partikelpartikelnya, n dan K tidak konstan pada shear rate rendah. Lumpur mepunyai
yield point tak tentu (indefinite) yang bernilai lebih kecil dari perkiraan dengan
ekstrapolasi shear stress yang diukur pada shear rate yang tinggi. Gambar 4.2.
membedakan consistency curve ketiga model aliran tersebut.

4.1.1.2. Aliran Turbulent


Pada aliran turbulent, fluida bergerak dengan kecepatan aliran yang lebih
besar dan partikel-partikel fluida bergerak pada garis-garis tak teratur, sehingga
menghasilkan aliran yang berputar. Fluida aliran turbulent merupakan fluktuasi
velocity dan arah lokal yang acak. Velocity rata-rata bertambah dari nol pada
dinding pipa hingga bernilai maksimum pada pusat axis pipa. Aliran turbulent
dimulai ketika velocity melampaui harga kritisnya, sehingga dihasilkan tiga rejim
aliran dalam pipa, yaitu : aliran laminar didekat dinding pipa, aliran turbulent di
pusat bagian tengah pipa dan aliran transisi diantara dua rejim aliran tersebut.
Aliran turbulent terjadi ketika velocity yang terlalu besar melebihi harga
kritis sehingga menyebabkan perubahan velocity lokal dan arah alirannya.
Velocity kritis untuk aliran turbulent akan menurun dengan naiknya diameter pipa,
dengan naiknya densitas dan dengan turunnya viskositas, yang diekspresikan
dengan dimensionless number yang dikenal dengan Reynolds Number. Biasanya
lumpur pemboran memiliki harga kritis velocity Reynolds number berkisar antara
2000 dan 3000. Kehilangan tekanan oleh fluida pada aliran turbulent dipengaruhi
oleh faktor inersia dan sedikit dipengaruhi oleh viskositas fluida. Kehilangan
tekanan meningkat dengan kuadrat velocity, dan densitas serta dimesionless
number yang dikenal dengan Fanning Friction Factor, dimana merupakan fungsi
Reynolds number dan kekasaran dinding pipa.
Gambar 4.6. menunjukkan adanya profil velocity aliran turbulent yang
menunjukkan velocity rata-rata fluida dalam diameter pipa. Karena velocity aktual
bersifat acak maka slope profil tidak merepresentasikan shear rate, sehingga tidak
diperoleh kehilangan tekanan (P) yang pasti dari gaya shear stress, tidak seperti
aliran laminar. Untuk itu dikenal istilah-istilah dalam aliran turbulent, antara lain :
1. Fanning friction factor.
f

gD P
2V 2 L ..........................................................................................(4.4)

dimana g adalah standard gravity, D adalah diameter pipe (in), P adalah


kehilangan tekanan dalam pipa (psi), V adalah velovity lokal rata-rata (ft/sec),
L adalah panjang pipa (ft) dan adalah densitas fluida (gr/cm2). Fanning

friction factor merupakan resistensi aliran terhadap dinding pipa, hal ini
berkaitan dengan Reynolds number seperti yang dinyatakan Karman.
2. Reynold number.

1
A log N Re
f

f C

......................................................................(4.5)

Harga konstanta A dan C tergantung pada kdinding pipa dan harus ditentukan
secara eksperimen. Gambar 4.7. menunjukkan kurva berdasarkan persamaan
Karman diatas pada berbagai grade pipa. Tekanan aliran turbulent dapat
ditentukan dengan memprediksikan perhitungan Reynolds number-nya (N Re),
kemudian ditentukan Fanning friction factor (f) berdasarkan Gambar 4.7.,
selanjutnya kehilangan tekanan (P) dengan Persamaan (4.4). Perlu
diperhatikan bahwa tekanan aliran turbulent hanya bisa ditentukan jika
Reynolds number diketahui.

Gambar 4.7.
Kurva Hubungan Antara Reynolds Number dengan Fanning Friction Factor 11)

Dengan menarik kesimpulan dari Persamaan (4.4) dan (4.5) antara Fanning
friction factor (f) dan Reynolds number (Nre) diperoleh persamaan baru :
f

16
N Re ...........................................................................................(4.6)

Gambar 4.6.
Profil Velocity Aliran Turbulent11)

Pada operasi pemboran, aliran turbulent harus dihindari sedapat mungkin,


karena turbulensi dapat menyebabkan erosi lubang yang parah, sehingga dapat
menyebabkan pula pembesaran lubang bor.
Untuk menentukan sifat aliran fluida pemboran tersebut laminar atau
turbulen, maka digunakan Reynold Number :
o Untuk aliran dalam pipa :
Nre 928

Vdi
...............................................................................(4.7)

o Untuk aliran annulus :


Nre 928

V D do

....................................................................(4.8)

Dimana :
Nre = bilangan Reynold, tidak berdimensi.

= densitas lumpur, gr/cm2.

= kecepatan aliran fluida, feet per second.

= viskositas, cp

= diameter lubang, in

do

= diameter luar pipa, in

di

= diameter dalam pipa

Dari hasil percobaan diketahui bahwa untuk Nre > 3000 adalah aliran
turbulen dan Nre < 2000 adalah aliran laminar, sedangkan diantaranya adalah
aliran transisi.
Selain dengan bilangn Reynold diatas, untuk menentukan sifat aliran fliuda
pemboran dapat pula dengan menggunakan konsep velocity kritis, yaitu apabila
velocity kritisnya lebih kecil daripada velocity rata-rata fluida, maka alirannya
adalah turbulent. Sedangkan bila velocity kritisnya lebih besar dari velocity ratarata fluidanya, maka alirannya adalah laminar.
Kecapatan atau velocity rata-rata fluida (V) dalam feet per seconds,
umumnya ditentukan dari laju sirkulasi (Q) dalam gallon per minute dan diameter
pipa dalam inc. Secara matematis dinyatakan :
V

Q
A ..............................................................................................(4.9)

o Untuk aliran dalam pipa :


V

Q
2,448 di 2 ...................................................................................(4.10)

o Untuk aliran di annulus :


V

Q
2,448 D 2 do 2 .......................................................................(4.11)

Sedangkan kecepatan kritis (Vc) untuk fluida Bingham Plastic, secara


matematis dapat dinyatakan :
o Untuk aliran dalam pipa :

1,078 P 1,078 P 12,34 di 2 y


Vc
di

0 ,5

...................................(4.12)

o Untuk aliran di annulus :

1,078 P 1,078 P 9,256 D do y


Vc
D do
2

0 ,5

........................(4.13)

Bila digunakan pada jenis fluida Newtonian, maka diberikan harga y = 0


dan harga P = , dimana y adalah yield point (lb/100 ft2) dan p adalah
viscositas plastic (cp).
Dengan demikian untuk menetukan sifat aliran fluida pemboran dengan
konsep kecepatan kritis digunakan ketentuan sebagai berikut :
o V > Vc = aliran fluida bersifat turbulen
o V < Vc = aliran fluida bersifat laminar

4.1.2. Klasifikasi Fluida Pemboran


Berdasarkan hubungan antara shear stress dan shear rate, maka fluida
pemboran dibagi menjdai dua, yaitu fluida Newtonian dan fluida non Newtonian.
4.1.2.1. Fluida Newtonian
Fluida Newtonian adalah fluida dimana viscositasnya hanya dipengaruhi
oleh tekanan dan temperature, misalnya : air, gas, dan minyak encer. Dalam hal
ini viscositas, pada persamaan 4.3. dianggap sebagai K, dapat dinyatakan dalam
persamaan baru dengan perbandingan antara tegangan geser (shear stress) dan laju
regangan geser (shear rate), dimana perbandingan ini adalah tetap.
Secara matematik dapat dinyatakan :

g c dVr / dr .............................................................................(4.14)
Dimana :

= tegangan geser(shear stress), 1 dynes/cm2 = 5.1 x lb/100ft2

= viscositas, cp

dVr/d = shear rate, sec-1


g

= konstanta gravitasi, 32.2 lbm ft/lbf sec2

atau jika konstanta diabaikan, dapat dituliskan lagi :

................................................................................................(4.15)

dimana adalah shear rate (sec-1).


4.1.2.2. Fluida Non Newtonian
Merupakan fluida yang mempunyai viscositas tidak konstan, dimana
viscositasnya tergantung pada besarnya shear rate yang terjadi. Pada setiap shear
rate tertentu fluida mempunyai viscositas yang disebut apparent viscosity atau
plastic viscosity atau effective viscosity pada shear rate tersebut. Contoh dari
fliuda jenis ini adalah lumpur dan semen.
Fluida non newtonian terdiri dari tiga model, yaitu bingham plastic, power
fluids dan modified power law.

4.1.2.2.1. Bingham-plastic Model


Umumnya fluida pemboran dapat dianggap sebagai model Bingham
plastic, dalam hal ini sebelum ada aliran harus ada minimum shear stress yang
disebut yield point (y) atau dinotasikan sebagai YP, perhatikan Gambar 4.2..
Setelah yield point terlampaui maka setiap penambahan shear stress dan shear rate
sebanding dengan membentuk slope plastic viscosity (P) atau PV dari pada
model fluida ini.
Secara matematik fluida Bingham plastic dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut :
PV YP ....................................................................................(4.16)

Fluida Bingham plastic dengan memasukkan harga yield point (YP) dan plastic
viscosity (PV) yang menghasilkan slope, dapat digambarkan dengan pengukuran
600 dan 300 rpm pada alat ukur standard viscometer. Konsep pengukuran yield
point dan plastic viscosity pada lumpur pemboran dan deskripsi rotasi pada
viscometer dikemukakan oleh Melrose dan Lilienthal, dimana keuntungan
utamanya adalah perhitungan model Bingham plastic dapat dilakukan dengan
sederhana.
PV R600 R300 ..............................................................................(4.17)
YP R300 PV ................................................................................(4.18)

Plastic viscosity diperoleh dengan pengurangan harga dial reading pada 600 rpm
oleh harga dial reading 300 rpm, sedangkan yield point diperoleh dengan
pengurangan harga dial reading pada 300 oleh yield point.

Penentuan Plastic Viscosity (p)


Penetuan daripada Plastic Viscosity menggunakan persamaan Bingham plastic
dengan menghitung perbandingan antara shear stress () dengan shear rate ().
Agar harga viscositas nantinya diperoleh dalam satuan centipoises (cp), maka
harga shear stress dan shear rate dibuat persamaan sebagai beriku :

1.067 C .........................................................................................(4.19)
1.704 RPM ...................................................................................(4.20)

Dimana :

= shear stress, dyne/cm2

= shear rate, second -1

C = dial reading Fann VG viscometer, derajat


RPM = rotation per minute dari rotor
Dari persamaan diatas, menurut Model Bingham Plastic diturunkan
persamaan sebagai berikut :
p

600 300
600 300 .....................................................................................(4.21)

Dengan menggunakan Persamaan (4.19) dan Persamaan (4.20) kedalam


Persamaan (4.21) maka diperoleh persamaan sebagai berikut :

p C 600 C 300 ....................................................................................(4.22)


Dimana :
p

= Plastic Viscosity, cp

C600

= dial reading pada 600 RPM, derajat

C300

= dial reading pada 300 RPM, derajat

Penentuan Yield Point (y).


Dari Persamaan (4.19) dan Persamaan (4.20) diatas maka untuk yield point
(y) dapat juga diturunkan persamaan menurut Bingham Plastic, yaitu :

y C 300 p

..................................................................................(4.23)

4.1.2.2.2. Power Law Model


Model Power law merupakan model fluida yang paling mendekati
keakuratan untuk sifat lumpur pemboran pada range yang terjadi pada annulus di
lubang bor. Perhatikan Gambar 4.2., fluida Power law ini menunjukkan sifat
dimana shear stress akan naik sebagai fungsi pangkat n dari shear rate. Secara
matematik dinyatakan :
K n .............................................................................................(4.24)
dimana :
K =

indeks konsistensi (tidak berdimensi), yang merupakan tetapan


kekentalan dari fluida.

power indeks yang nilainya 0 - 1

jika harga n pada Persamaan (4.24) bernilaki 1, maka persamaan berubah menjadi
Persamaan (4.15), yang berarti bahwa fluidanya adalah Newtonian, dimana harga
K sama dengan harga -nya.

Penentuan n dan K
Persamaan (4.24) dapat dipresentasikan dalam bentuk logaritma berikut ini :
log n log log K ............................................................................(4.25)

Plot logaritma versus digambarkan sebagai garis lurus pseudoplastic


seperti ditunjukkan pada Gambar 4.8., dengan slope n ,dan K adalah garis
intercept pada = 1.0 sec-1. Harga n merupakan ukuran derajat deviasi
perilaku fluida Newtonian, dimana jika harga n turun maka harga
pseudoplastic semakin tipis. Harga n dapat dihiyung dengan persamaan :

n 3.32 log

C 600
C 300 ...................................................................................(4.26)

Sedangkan harga K adalah consistency index sebagai indikasi kemampuan


pompa atau ketebalan seluruh fluida yang sebanding dengan viskositas fluida
pada = 1.0 sec-1. Harga K juga dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
K

C 600
1022 n , lb/100 ft2.........................................................................(4.27)

Gambar 4.8.
Logaritma Consistency Curve Fluida Power Law11)

4.2. Faktor Hidrolika Lumpur


Faktor

hydrolika

merupakan

salah

satu

faktor

terpenting

yang

mempengaruhi penetration rate, yang efeknya terutama dari segi pembersihan


cutting dari bawah pahat dan horse power. Kalau dimasa-masa lalu penggunaan

jet bit belum meluas, dewasa ini jet bit telah mencapai 60 70% dari semua bit.
Dahulu orang berfikir bahwa penggunaan bit mengharuskan penambahan tekanan
pompa. Hal ini dapat mempercepat kerusakan pompa. Tetapi pengontrolan sifatsifat fluida akan memperbaiki keadaan ini. Penggunaan jet bit didukung oleh
hasil-hasil praktek dimana jet bit mempertinggi penetration rate, karena adanya
pembersihan dasar lubang dengan baik dan cepat. Sehingga penggunaan jet bit
memerlukan perencanaan hidrolika yang lebih baik, yang berhubungan dengan
pembersihan cutting.
Untuk membersihkan cutting di dasar lubang dan mengangkatnya ke
permukaan dilakukan dengan cara mensirkulasikan lumpur pemboran dari
permukaan masuk ke dalam drill string, keluar dari dalam pahat kemudian melalui
annulus antara dinding luar drill stringdan dinding dalam lubang bor terus
membawa cutting dan kotoran lainnya.
Untuk itu sebelum membahas tentang perencanaan hidrolika, akan kami
bahas dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi pengangkatan cutting, yaitu pada:
o Kecepatan fluida di annulus antara drill pipa dengan dinding lubang bor.
o Kapasitas untuk menahan dari fluida pemboran tersebut, yang mana
merupakan fungsi dari density, distribusi aliran(laminar atau turbulen), dan
viscositasnya.
Didalam pekerjaan pemboran, besarnya kecepatan di annulus berkisar
antara 100 120 fpm telah diras cukup,akan tetapi kadang-kadang bisa mencapai
200fpm untuk suatu keadaan tertentu. Sirkulasi pemboran ini dilakukan pada
suatu rate yang tertentu dengan peralatan yang ada. Analisa pengangkatan serpih
ini memang jarang sekali dilakukan. Karena bila jumlah cutting terasa cukup
yang terangkat ke permukaan hal ini dianggap cukup aman.
Dari penyelidikan yang telah dilakukan, ternyata pengangkatan cutting ini
terutama dipengaruhi oleh kecepatan lumpur di annulus. William dan Bruce
melaporkan bahwa bila air merupakan fluida pemboran, kecepatan fluida
diannulus sebesar 120 fpm dengan distribusi aliran turbulen ini telah cukup untuk
mengangkat cutting yang ukurannya normal. Kecepatan ini sedikit lebih kecil
dari yang umum digunakan dalam praktek, walaupun fluida dalam praktek adalah

bukan air yang tentunya dengan kecepatan yang lebih rendah telah biasa untuk
menaikkan cutting.
Untuk mempelajari pengangkatan cutting perlu diperkenalkan konsep slip
velocity(kecepatan menggelincir), dimana dapat diterangkan sebagai berikut :
Bila suatu partikel (cutting) dengan density kira-kira 20,8 sampai 22 lb/gal
dimasukkan ke dalam ember air (density 8,33 lb/gal), maka dia akan turun ke
bawah dengan kecepatan mula-mula, makin lama makin cepat, lalu setelah
mencapai kecepatan tertentu (terminal velocity) akan jatuh dengan kecepatan
tetap. Kecepatan yang tetap ini disebut slip velocity.
Padahal air dalam kasus diatas diam, tetapi bilamana ia bergerak ke atas,
konsep diatas masih berlaku. Dengan catatan bahwa turunnya cutting terhadap
fluida mempunyai rate seperti slip velocity dan rate turun terhadap dinding adalah
kecepatan naikknya fluida dikurangi slip velocitynya. Untuk di annulus secara
matematis kecepatan partikel dinyatakan :
V P VF Vs .....................................................................................(4.28)
dimana :
Vp = kecepatan naik partikel, ft/det = fps
Vf = kecepatan fluida, fps
Vs = slip velocity partikel, fps
Karena Vf dapat dikontrol dengan rate pompa, maka dalam menganalisa hal
tersebut persoalan yang utama adalah terletak pada penentuan Vs.
Walaupun adanya gravitasi akan menyebabkan cutting ini bergerak ke arah
dasar (merupakan slip velocity), jika kecepatan di annulus (ke arah atas) ini cukup
untuk mengatasi slip velocity, maka cutting dapat terangkat ke atas. Agar cutting
dapat mencapai permukaan, maka slip velocity harus lebih dari kecepatan rata-rata
aliran di annulus, dimana tergantung pada ukuran lubang out-put pompa serta
ukuran drill pipe dan drill collarnya.
Dengan pengangkatan cutting secara cepat ke permukaan, hal ini
mempunyai pertimbangan-pertimbangan pada efisiensi pemboran serta laju
pemboran itu sendiri.

Effisiensi pengangkatan cutting ini dipengaruhi oleh

kapasitas dari fluida untuk membawa cutting dan tergantung dari beberapa factor,

yaitu : densitas, viskositas dan gel strength, distribusi kecepatan di annulus,


densitas dan bentuk partikel, serta efek rotasi dari drillpipe.
4.2.1. Densitas Lumpur Pemboran
Kenaikan dari densitas lumpur ini akan memperbesar daya apung
(buoyancy force) dari tiap-tiap partikel dengan arah yang berlawanan terhadap
arah gravitasi. Kenaikan kapasitas pengangkatan dari lumpur dapat dilihat seperti
yang ditunjukkan dalam Gambar 4.9. pada rate sirkulasi yang sama. Dapat dilihat
bahwa dengan densitas lumpur yang tinggi, maka kemampuan lumpur dalam
mengangkat partikel-partikel, sebagai particle recovery (per cent), menjadi lebih
besar dengan waktu sirkulasi (menit), yang relatif lebih cepat.

Gambar 4.9.
Pengaruh Densitas Lumpur terhadap Pengangkatan Cutting4)

4.2.2. Viskositas dan Gel Strength


Pengaruh vsicositas dan gel strength terhadap pengangkatan cutting
ditunjukkan dalam Gambar 4.10. Lumpur pemboran yang mempunyai viscositas
dan gelstrength yang rendah ternyata mempunyai kapasitas pengangkatan cutting,
dalam persen, lebih besar dibandingkan dengan lumpur yang mempunyai
viscositas tinggi dengan gel strength rendah pada rate sirkulasi yang sama.

Gambar 4.10.

Pengaruh Viskositas dan Gel Sttrength Lumpur terhadap Pengangkatan Cutting 4)

Menurut Williams dan Bruce, lumpur dengan viskositas dan gel strength
yang rendah akan mempunyai kapasitas mengangkat cutting yang besar, dan akan
menjadi lebih optimal jika sirkulasi menggunakan model aliran turbulent.
Sirkulasi aliran turbulent akan cenderung meminimalisasi efek terselipnya cutting
(slippage) di dekat dinding pipa atau lubang sumur, karena sifat aliran turbulent
mampu yang berputar hingga menjangkau sisi-sisi yang tidak bisa dijagkau aliran
laminar, terutama pada sisi luar pusat axial aliran lumpur.

4.2.3. Distribusi Kecepatan di Annulus


Kapasitas pengangkatan cutting akan lebih besar bilamana distribusi aliran
fluida pemboran di annulus merupakan aliran turbulent dibandingkan dengan
aliran laminar. Dalam aliran laminar, distribusi kecepatan di annulus lebih besar
dibandingkan aliran turbulent, akan tetapi aliran laminar kurang baik untuk
pengangkatan cutting. Hal ini disebabkan karena cutting cenderung menuju pusat
yang merupakan titik kecepatan yang maksimum, sehingga akan mencapai
permukaan dengan cepat, tetapi ada aliran dekat dinding lubang bor kecepatannya
nol sampai kecil, sehingga gerak naik dari cutting cukup lambat dan partikel yang
berbentuk plat akan cenderung bergerak berputar, seperti pada Gambar 4.11.
Kecenderungan dalam pergerakan ini disebabkan adanya kecepatan fluida
yang tidak sama. Sehingga dapat dikatakan cutting di daerah ini mengalami slip
velocity yang lebih besar dibandingkan di daerah pusat. Adanya aliran turbulent
akan cenderung memperkecil cutting page (cutting alami slip) pada daerah dekat
dinding lubang bor.
Kenaikan viscositas akan mengangkat cutting lebih baik (pada aliran
laminar),

akan

tetapi

keburukan-keburukan

karena

tingginya

viscositas

menyebabkan usaha ini jarang dilakukan, kecuali bila tidak ada jalan lain.
Didalam fluida pemboran yang mempunyai viscositas rendah, untuk memperoleh
kapasitas membawa cutting sebesar maksimum ini dicapai bila system alirannya
turbulen serta jika kondisi sumur diijinkan.

Gambar 4.11.
Distribusi Kecepatan Partikel dalam Viscous Flow di Annulus4)

4.2.4. Densitas dan Bentuk Partikel


Untuk perhitungan diperlukan data-data densitas dan bentuk partikel.
Seperti kita ketahui bahwa bit didesain untuk menentukan ukuran dan bentuk dari
cutting yang akan dihasilkan, dan banyaknya cutting yang terangkat juga
dipengaruhi oleh ukuran serta bentuk dari cutting tersebut. William dan Bruce
mennyatakan bahwa cutting yang mempunyai perbandingan ketebalan dengan
diameter kurang dari 0.3 ternyata lebih sulit untuk diangkat, karena cenderung
bergerak pada bagian sisinya.

4.2.5. Efek Rotasi dari Drill Pipe


Rotasi drill pipe ini ternyata dapat menaikkan kapasitas pengangkatan
cutting oleh fluida pemboran. Pengaruh ini akan lebih pasti bila lumpur yang
digunakan mempunayi aliran yang viscous daripada aliran turbulent, karena
cutting akan cenderung terlempar ke daerah yang mempunyai viscous tinggi
karena pengaruh gaya centrifugal yang diakibatkan oleh rotasi drill pipe, seperti
terlihat pada Gambar 4.12.

Gambar 4.12.
Pengaruh Rotasi Drillpipe terhadap Pengangkatan Cutting4)

Sehingga dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembersihan dasar


lubang ini tergantung dari kemampuan fluida pemboran didalam mengangkat
cutting untuk mencegah bit balling (penggumpalan partikel pada pahat). Karena
cutting yang diahasilkan secara kontinyu oleh aksi bit dan agar pembersihan
lubang ini berlangsung secara cepat dan abik, maka lumpur harus mempunyai
kapasitas maksimum dalam pengangkatan cutting.

4.5. Kehilangan Tekanan pada Sistem Sirkulasi


Dalam setiap aliran suatu fluida, kehilangan tekanan akan selalu terjadi.
Dimana dengan mengetahui besarnya kehilangan tekanan pada sistim sirkulasi
fluida pemboran, maka dapat ditentukan besarnya tenaga pompa (hydraulic horse
power) yang dibutuhkan.
Untuk menghitung besarnya kehilangan tekanan dalam sistim sirkulasi
dengan cara praktis yang biasa dipakai di lapangan, yaitu dengan menghitung
kehilangan tekanan disetiap segmen lalu dijumlahkan secara total.

4.5.1. Kehilangan Tekanan pada Surface Connection


Kehilangan tekanan pada peralatan permukaan (flow line, stand pipe, hose,
swivel, kelly) dihitung berdasarkan equivalensi atau perbandingan pressure loss
yang terjadi pada drill pipe. Kombinasi alat-alat tersebut dibagi menjadi empat
kelas da masing-,asing diberi equivalensi terhadap panjang drill pipe seperti yang
tercantung dalam Table IV.1.

Tabel IV-1.
Equivalensi Panjang Peralatan di Permukaan16)

Pressure loss pada surface connection adalah ekuvalensi panjang surface


connection dikalikan dengan pressure loss pada drill pipe.

Sebagai contoh,

misalkan pressure loss pada drill pipe adalah 0.1 psi/ft dan kombinasi no 4 dengan
drill pipe5 OD 19.5 lb/ft yang digunakan, maka pressure loss dipermukaan
adalah :
579 x 0.1 = 57.9 psi

4.5.2. Kehilangan Tekanan pada Drillstring (DP dan DC)


Kehilangan tekanan pada aliran fluida di dalam drill string dibagi menjadi
dua, yaitu kehilangan tekanan pada aliran laminar dan kehilangan tekanan pada
aliran turbulen.
1. Kehilangan tekanan pada aliran laminer
Besarnya kehilangan tekanan untuk fluida Newtonian adalah sebagai
berikut:
dP

32LV
gcD 2 .................................................................................(4.29)

dimana:
dP

= kehilangan tekanan pada drill string, psi

= kecepatan fluida, fps

= viscositas absolut, cp

= panjang pipa, ft

= diameter dalam pipa, in

gc

= konstanta gravitasi, 3.22 lbm ft/lbf sec2

Dalam satuan lapangan (Engineering English Unit):


dP

LV
1500D 2 ...................................................................................(4.30)

dimana:
dP

= kehilangan tekanan pada drill string, psi

= kecepatan fluida, fps

= viscositas absolut, cp

= panjang pipa, ft

= diameter dalam pipa, in

1500 = konstanta konversi unit


Sedangkan untuk fluida bingham plastic, kehilangan tekanannya dalam
konsisten unit adalah :
dP

32VL 16yL

3D .......................................................................(4.31)
gc D2

atau dalam unit lapangan :


dP

VL
yL

2
225 D .....................................................................(4.32)
1500 D

dimana :
dP

= kehilangan tekanan pada drill string, psi

= kecepatan fluida, fps

= viscositas absolut, cp

= panjang pipa, ft

= diameter dalam pipa, in

= yield point, lb/100 ft2

2. Kehilangan Tekanan Pada Aliran Turbulen

Kehilangan tekanan pada aliran ini, untuk fluida bingham plastic maupun
newtonian dalam unit lapangan adalah sebagai berikut :

fLV 2
dP
25,8 D ....................................................................................(4.33)
dimana :
dP

= kehilangan tekanan pada drill string, psi

= kecepatan fluida, fps

= viscositas absolut, cp

= densitas fluida, ppg

= diameter dalam pipa, in

= fanning friction factor, tidak berdimensi

4.5.3. Kehilangan Tekanan pada Annulus DP dan DC


Kehilangan tekanan pada annulus juga dapat terjadi pada pola aliran
laminar maupun turbulen.
1. Kehilangan Tekanan Pada Aliran Laminer
Untuk fluida bingham plastic, kehilangan tekanan di anulus dapat
dihitung dalam unit lapangan dengan persamaan :
dP

VL
yL

2
200 Do Di .............................................(4.34)
1000 Do di

Apabila persamaan diatas digunakan untuk fluida Newtonian maka harga


y = 0 dan harga p = , sehingga persamaannya diubah menjadi :
dP

VL
2
1000 Do di .......................................................................(4.35)

dimana :
dP

= kehilangan tekanan pada drill string, psi

= viscositas absolut, cp

= viscositas plastic

= panjang pipa, ft

Do

= diameter dalam terluar anulus, in

Di

= diameter luar pipa bagian dalam annulus, in

= yield point, lb/100 ft2

2. Kehilangan Tekanan Pada Aliran Turbulen


Untuk kehilangan tekanan pada fluida bingham plastic dapat dihitung
dalam unit lapangan dengan persamaan :

dP

fLV 2
25,8 Do Di .........................................................................(4.36)

dimana :
dP

= kehilangan tekanan pada drill string, psi

= kecepatan fluida, fps

= densitas fluida, ppg

= panjang pipa, ft

Do

= diameter dalam terluar anulus, in

Di

= diameter luar pipa bagian dalam annulus, in

= funning frictiom factor, tidak berdimensi

4.5.3. Kehilangan Tekanan pada Bit


Kehilangan tekanan pad asirkulasi lumpur bor di bit dalam operasi
pemboran, harus diperhatikan juga. Kehilangan tekanan pada mata bor
dipengaruhi oleh friction loss dan energi mekanik bit. Untuk menghitung
kehilangan energi mekanik perlu diperhatikan pula kecepatan fluidanya.
Kecepatan fluida di nozzle bit memiliki kecepatan yang sangat tinggi (jet
velocity), sehingga untuk menghitungnya perlu dikoreksi terlebih dahul terhadap
Cd (Coefisien Of Discharge) yang berkisar antara0.95 sampai 0.98 untuk jet bit.
Sedangkan untuk yang bukan jet bit Cd berharga 0.85. Persamaan yang digunakan
untuk menghitung kecepatan fluida adalah sebagai berikut :
2 gc
v Cd
P1 P2

Dimana :

0,5

..................................................................(4.37)

Cd

= Coefisien of Discharge

P1

= Tekanan dalam pipa, psi

P2

= Tekanan didalam ruang nozzle, psi

Dengan menggunakan kecepatan fluida pada rumus tersebut, maka dapat


dihitung pressure loss di bit dengan menggunakan persamaan berikut :
dP

Q 2
2 gcCd 2 A 2 ..............................................................................(4.38)

dimana :
dP

= kehilangan tekanan pada drill string, psi

= densitas fluida, ppg

= laju sirkulasi, gpm

= luas nozzle, in2

gc

= konstanta gravitasi

Untuk unit lapangan digunakan rumus :


dP

Q 2
12032Cd 2 A 2 ..........................................................................(4.39)

Kehilangan tekanan khususnya di bit merupakan parameter terpenting


dalam perencanaan hidrolika. Sehingga kehilangan tekanan dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kehilangan tekanan pada seluruh sistim sirkulasi kecuali pada
bit yang disebut Parasitic Pressure Loss (Pp) karena tidak menghasilkan apa-apa,
hanya hilang energinya karena gesekan fluidan saja. Sedangkan yang kedua
disebut sebagai Bit Pressure Loss (Pb) adalah besarnya tekanan yang dihabiskan
untuk menumbuk batuan formasi oleh pancaran fluida lumpur pemboran di bit.

4.4. Kapasitas Pengangkatan Cutting


Dalam operasi pemboran, lumpur yang baru disirkulasikan lewat bagian
dalam pipa dan keluar ke permukaan lewat annulus sambil mengangkat cutting.

Kecepatan pengangkatan cutting ke permukaan lewat annulus dihitung dengan


pendekatan konsep slip velocity.
Dimana partikel cutting dapat terangkat apabila kecepatan fluida pemboran
yang bergerak ke atas membawa cutting ke permukaan lebih besar daripada
kecepatan slip partikel cutting (slip velocity) yang bergerak ke bawah. Secara
matematik konsep velocity dapat ditulis sebagai berikut :
V p V f Vs

.....................................................................................(4.40)

dimana :
Vp

= kecepatan partikel cutting, fpm

Vf

= kecepatan fluida pemboran, fpm

Vs

= kecepatan slip, fpm

Dari persamaan diatas terlihat bahwa Vf dan Vs arahnya berlawanan.


Untuk mengimbangi Vs, maka Vf harus diperbesar agar partikel cutting dapat
terangkat. Sehingga pada konsep ini boleh dikatakan bahwa Vs (slip velocity)
merupakan cutting atau kecepatan minimum dimana cutting mulai terangkat.

Gambar 4.13.
Pengangkatan Partikel Cutting di Annulus16)

Untuk menentukan besarnya slip velocity, berlaku persamaan :


o Untuk aliran turbulent
D p p f

Vs 113 ,4

1,5 f

0,5

............................................................(4.41)

o Untuk aliran laminar


D p p f

Vs 86 ,5

0 ,5

..............................................................(4.42)

atau :
Vs 175

D p p f
f

0 ,667

0 , 333

0 ,333

...............................................................(4.43)

dimana:
Vs

= slip velocity, fpm

= densitas lumpur, ppg

= densitas cutting, ppg

Dp

= diameter cutting, in

1,5

= koefisien drag aliran turbulen

= apparent viscositas yang ditentukan dengan Persamaan (4.44), cp

2,4Vm 2 N 1

D do 3 N

200 K D do
Vm
............................................(4.44)

dimana :
N 3,32 log
K

2 p
p .......................................................................(4.45)

p
511N ......................................................................................(4.46)

= yield point, lb/100 ft2

= viscositas plastic, cp

Vm

= kecepatan aliran Lumpur dianulus, fpm

= diameter lubang, in

Do

= diameter luar pipa, in

= indeks kelakuan aliran

= konsisten indeks

Sedangkan kecepatan aliran dianulus ditentukan dengan persamaan :


Vm

24,51Q
D 2 do 2 ................................................................................(4.47)

Dengan mengetahui besarnya slip velocity, maka dapat diusahakan cutting


terangkat dengan baik pada rate pompa tertentu.
Bila kita menggunakan pompa piston, maka rate pompa minimum pada
kondisi yang biasa ditemui dalam operasi pemboran (aliran dianulus laminar)
dapat dihitung dengan persamaan :

ROP
Qm 86 ,5 D p p / f 1 0 ,5
A
2
1 dp / dh Ca

.....................(4.48)

sedangkan rate maksimum dengan persamaan :

Q 0,00679SN 2 D 2 d 2 e ............................................................(4.49)
dimana :
Qm

= rate minimum, gpm

ROP = kecepatan penembusan, ft/hr


Ca

= fraksi volume cutting di annulus

dp

= diameter pipa, in

dh

= diameter lubang, in

= luas annulus, ft2

= panjang stroke, in

= rotasi per menit, rpm

= diameter tangki piston, in

= diameter liner, in

= efisiensi volumetric

4.5. Metode Optimasi Hidrolika Lumpur Pemboran


Faktor

hidrolika

merupakan

salah

mempengaruhi penetration rate optimum.

satu

faktor

terpenting

yang

Pengontrolan sifat fluida dan pola

aliran akan memperbaiki keadaan tersebut, dimana pemakaian jet bit akan
mempertinggi penetration rate sebab adanya pembersihan lubang yang lebih baik
sehingga tidak terjadi regrinding.
Pada jet bit dipasang nozzle, yaitu lubang yang mempunyai diameter
keluaran lebih kecil daripada masukkan sehingga mempertinggi rate. Penentuan
ukuran nozzle yang merupakan fungsi fari densitas lumpur, rate optimum dan
kehilangan tekanan pada bit dijabarkan dalam persamaan berikut :

Q 2 opt
A m

10858 Pb

0.5

.........................................................................(4.50)

Diameter nozzle bersatuan 1/32 inch. Kerja aliran lumpur yang keluar dar bit
menuju batuan formasi merupakan pokok pembicaraan dalam sub bab ini, yang
disebut konsep bit hydraulic. Dimana dalam usaha mengoptimalisasi hidrolika ini
ada tiga metode, yaitu :
o Bit Hydraulic Horse Power (BHHP)
o Bit Hidraulic Impact (BHI)
o Jet Velocity (JV)
Dalam optimasi hidrolika ini pembicaraannya meliputi beberapa
perhitungan yang berkaitan denan :
o Kecepatan jet nozzle, yaitu kecepatan aliran pada nozzle.
o Impact force, yaitu besarnya kecepatan gaya lumpur dalam menumbuk
dasar lubang bor.
o Bit hydraulic horse power, yaitu tenaga lumpur yang keluar dari bit karena
pembersihan cutting tergantung dari energi lumpur yang keluar dari bit.

4.5.1. Konsep Bit Hydraulic Horse Power (BHHP)


Prinsip dasar dari metode ini menganggap bahwa semakin besar daya yang
disampaikan

fluida

terhadap

batuan,

maka

akan

semakin

besar

efek

pembersihannya. Sehingga metode ini digunakan untuk mengotimasikan horse


power (daya) yang dipakai di bit dari horse power yang tersedia di permukaan.
Sebelum melakukan perhitungan, terlebih dahulu harus ditentukan
besarnya faktor pangkat (z) dan konstanta kehilangan tekanan (Kp) dengan
menggunakan persamaan-persamaan (4.50), (4.51), (4.52), (4.53), antara lain ;

log Pp1 / Pp 2
log Q1 / Q2 ...........................................................................(4.51)

log Pp2 / Pp1


log Q2 / Q1 ...........................................................................(4.52)

Kp Pp2 Q2
Kp

..............................................................................(4.53)

Pp1
z

Q1 .........................................................................................(4.54)

Selain itu perlu diketahui terlebih dahulu rate minimum (Qmin), rate
maksimum (Qmax), daya maksimum pompa dan densitas lumpur.
Langkah-langkah utnuk menentukan optimasi perhitungan adalah sebagai
berikut :
A. Kondisi Tekanan Maksimum (Pmax).
1. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan
Pb

z
Pm
z 1
.................................................................................(4.55)

2. Hitung rate optimum dengan persamaan


Qopt

Pm

z 1 K p

1/ z

.......................................................................(4.56)

3. Perhatikan apakan Qopt lebih besar dari rate minimum (Qmin), Qopt > Qmax.

Jika tidak terpenuhi, Qopt = Qmin

Pb Pm K p Q z opt

........................................................................(4.57)

4. Perhatikan apakah Qopt lebih kecil dari rate maksimum (Qmax), Qopt < Qmax.
Jika tidak terpenuhi, Qopt = Qmax

Pb Pm K p Q z opt

........................................................................(4.58)

5. Hitung daya yang diperlukan dipermukaan (HPs)


HPs

Pm Qopt
1714

...............................................................................(4.59)

6. Perhatikan apakah daya yang diperlukan dipermukaan (HP s) < daya


maksimum pompa (HPm).
Jika tidak terpenuhi, bisa dicoba dengan kondisi yang lain.
7. Hitung luas nozzle total yang optimum dengan persamaan

Q 2 opt
A m

10858 Pb

0.5

.........................................................................(4.50)

B. Kondisi Daya Maksimum (HPmax).


1. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan :

Pb 1714

HPm
K p Q z min
Qmin
...........................................................(4.60)

2. Hitung rate optimum (Qopt ) dengan persamaan :


Qopt Qmin

3. Hitung tekanan yang diperlukan di permukaan (Ps)

Ps

1714 HPm
Qmin
..............................................................................(4.61)

4. Perhatikan apakah Ps < Pm


Jika tidak coba dengan metode lain
5. Hitung luas nozzle total yang optimum dengan Persamaan (4.50)

C. Kondisi Pertengahan
1. Hitung rate optimum (Qopt ) dengan persamaan :

Qopt

1714 HPm
Pm
...........................................................................(4.62)

2. Hitung kehilanan tekanan di bit dengan menggunakan persamaan ;


Pb Pm Q z opt

.................................................................................(4.63)

3. Hitung luas nozzle total yang optimum dengan Persamaan (4.50)


Untuk lebih jelasnya perhitungan, maka dapat dilihat pada Gambar 4.14 mengenai
diagram alirnya.
Untuk mengetahui apakah hasil optimasi yang telah dilakukan betul-betul
mempunyai efektifitas yang baik. Evaluasi pada konsep BHHP dapat dilakukan
melalui Horse Power per Square Inches (HSI) di bit. Yaitu dengan persamaan :
HSI

Pb Qopt
1714 Ab .............................................................................(4.64)

dikonversikan dengan kondisi lapangan :


HSI

Pb Qopt
1346 Ab .............................................................................(4.65)

Gambar 4.14.
Diagram Alir Konsep BHHP19)

4.5.2. Konsep Bit Hydraulic Impact (BHI)


Prinsip dasar dari metode ini, menganggap bahwa semakin besar impact
(tumbukan sesaat) yang diterima batuan formasi dari lumpur yang dipancakan dari
bit maka semakin besar pula efek pembersihannya, sehingga metode ini berusaha
untuk mengoptimumkan impact pada bit.

Langkah menentukan optimasi dalam konsep BHI adalah sebagai berikut :


A. Kondisi Tekanan Maksimum (Pmax).
1. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan persamaan :
Pb

Z
Pm
Z 2
................................................................................(4.66)

2. Hitung rate optimum dengan persamaan :


Qopt

2 Pm

z 2 K p

.......................................................................(4.67)

3. Perhatikan apakah Qopt < Qmax


Jika tidak terpenuhi, Qopt = Qmax

Pb Pm K p Q z opt

........................................................................(4.68)

4. Perhatikan apakah Qopt >Qmax


Jika tidak, maka Qopt = Qmin, hitung Pb dengan persamaan (4.68)
5. Hitung daya yang diperlukan di permukaan :
HPs

Pm Qopt
1714

...............................................................................(4.69)

6. Perhatikan apakah HPs < HPm, jika tidak coba dengan kondisi lain.
7. Hitung luas nozzle total yang optimum dengan persamaan :

m Q 2 opt
A

10858 Pb

0. 5

.........................................................................(4.50)

B. Kondisi Daya Maksimum (Pmax).


1. Hitung rate optimum dengan menggunakan persamaan :
Qopt

1714 HPm

z 2 K p

z 1

................................................................(4.70)

2. Hitung kehilangan tekanan di bit dengan menggunakan persamaan :


Pb

z 1 1714 HPm

z 2
Qopt

.................................................................(4.71)

3. Periksa apakah Qopt < Qmax, jika tidak terpenuhi maka Qopt = Qmax

1714 HPm
z
K p Q max
Qmax

Pb

.....................................................(4.72)

4. Periksa apakah Qopt > Qmin, jika tidak terpenuhi maka Qopt = Qmin

1714 HPm
z
K p Q min
Q

min

Pb

.....................................................(4.73)

5. Hitung tekanan yang diperlukan dipermukaan (Ps)


Ps

1714 HPm
Qopt

..............................................................................(4.74)

6. Perhatikan apakah Ps < Pm, jika tidak coba dengan kondisi lain.
7. Hitung luas nozzle total optimum dengan Persamaan (4.50)
C. Kondisi Pertengahan
1. Hitung rate optimum dengan persamaan

Qopt

1714 HPm
Pm
...........................................................................(4.75)

2. Hitung kehilangan tekanan di bit


1714 HPm
Pb Pm K p

Pm

...........................................................(4.76)

3. Hitung luas nozzle total optimum dengan Persamaan (4.50)


Untuk lebih jelasnya perhitungan perhatikan Gambar 4.15 mengenai diaram alir
konsep BHI.
Dalam mengevaluasi hasil optimasi pada konsep BHI, dilakukan dengan
menghitung Bit Impact (BIF).
0.5

BIF Ki Q Pb ..........................................................................(4.77)
dikonversikan dengan kondisi lapangan menjadi :
BIF 1.73 10 2 Q m Pp

0. 5

.................................................(4.78)

Gambar 4.15.
Diagram Alir Konsep BHI19)

4.5.3. Konsep Jet Velocity

Metode ini berprinsip, semakin besar rate yang terjadi pad abit akan berarti
semakin besar efektifitas pembersihan dasar lubang. Maka metode ini berusaha
untuk mengoptimalkan rate pompa supaya rate di bit maksimum.
Langkah-langkah utnuk menentukan optimasi dalam konsep Jet Velocity
hanya dibagi menjadi diua bagian, yaitu :
A. Kondisi Tekanan Maksimum (Pmax).
1. Tentukan dengan rate optimum dengan persamaan :
Qopt Qmin

.......................................................................................(4.79)

2. Tentukan kehilangan tekanan di bit dengan persamaan

Pb Pm K p Q z min

.......................................................................(4.80)

3. Hitung daya yang diperlukan di permukaan dengan persamaan

HPs

Pm Qmin
1714 ..............................................................................(4.81)

4. Periksa apakah HPs < HPm pompa, jika tidak terpenuhi coba dengan
kondisi lain.
5. Hitung luas nozzle total dengan menggunakan Persamaan :
m Qopt
A

10858 Pb

0.5

.........................................................................(4.50)

B. Kondisi Daya Maksimum (HPmax).


1. tentukan rate optimum dengan menggunakan persamaan
Qopt Qmin

.......................................................................................(4.82)

2. Tentukan kehilangan tekanan di bit dengan menggunakan persamaan :

Pb

1714 HPm
K p Q z min
Qmin
.........................................................(4.83)

3. Hitung tekanan yang diperlukan dipermukaan dengan persamaan

Ps

1714 HPm
Qmin
..............................................................................(4.84)

4. Perhatikanapakah Ps < Pm pompa, jika tidak maka kondisi Jet Velocity


tidak tercapai.
5. Hitung luas nozzle dengan menggunakan persamaan :
Q 2 opt
A m

10858 Pb

0.5

.........................................................................(4.50)

Dalam konsep Jet Velocity ini, evaluasi bisa dilakukan melalui kecepatan
aliran di bit (Vb).

Vb K v Pb

0.5

..................................................................................(4.85)

dikonversikan dengan kondisi lapangan, menjadi :


Vb 0.321

Qopt
An ................................................................................(4.86)

Untuk mempermudah perhitungan konsep ini, maka dapat dilihat diagam


ali konsep Jet Velocity pada Gambar 4.16.

Gambar 4.16.

Diagram Alir Konsep JV19)

Keterangan :
Qopt

= laju optimum, gpm

Qmax

= laju maksimum, gpm

Qmin

= laju minimum, gpm

= densitas lumpur, ppg

Pb

= kehilangan tekanan pada bit, psi

Pm

= tekanan maksimum, psi

HPs

= daya pompa yang diperlukan dipermukaan , hp

Hpm = daya maksimum pompa, hp


A

= luas total nozzle, 1/32 in

Setelah kita mengetahui total luas nozzle, maka dapat dipilih masingmasing diameter nozzle dengan Tabel IV-2.
Tabel IV-2.
Optimasi Diameter Nozzle19)

Hasil evaluasi yang didapat hanya dapat dipakai utnuk membandingkan


satu kasus yang sama yang dikerjakan dengan metode yang sama antara kondisi
lapangan yang sedang dipakai dengan perhitungan optimasi yang didapat.
Sedangkan untuk membandingkan tiap konsep dengan konsep lainnya tidak dapat
dilakukan, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa masing-masing konsep
mempunyai kelebihan-kelebihan.

Anda mungkin juga menyukai