Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan
Kebidanan Kegawatdaruratan pada ibu hamil dengan Anemia, Tetanus dan Epiepsi. Tidak
lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Dalam makalah ini penulis membahas mengenai penyakit yang biasa bahkan sering
kali dijumpai pada kehidupan sehari hari khususnya pada ibu hamil yaitu penyakit anemia
serta membahas tentang penyebab,proses perjalanan penyakit tersebut serta cara
mengurangi resiko terjadinya penyakit tersebut khususnya pada ibu hamil.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca sehingga dapat
membantu menunjang proses belajar para pembaca dan menjadi referensi bagi pembaca.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga tercipta pendidikan yang
sempurna.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Angka kematian ibu di Indonesia cukup tinggi yaitu 379/100.000 kelahiran hidup.
Anemia pada kehamilan merupakan penyebab tidak langsung AKI. Anemia merupakan
gangguan medis yang paling umum ditemui pada masa hamil, mempengaruhi sekurang-
kurangnya 20 % wanita hamil. Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang terhadap ibu
hamil merupakan predisposisi anemia defisiensi ibu hamil di Indonesia. Kebanyakan
anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan
tidak jarang keduanya saling berinteraksi.
Anemia ringan mungkin tidak secara langsung merupakan penyebab kematian akan
tetapi dapat mengakibatkan resiko perdarahan. Dibanding wanita sehat, wanita anemia
akan mengalami keadaan fatal apabila terjadi perdarahan.
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi berparisi kira-kira ¼ kasus prekuensi
bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir, ¼ lagi menurun dan
separuhnya lagi tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Pengobatan wanita
epilepsi yang hamil pada umumnya dilakuakn menurut prinsif yang sama seperti pada
pasien tidak hamil.
Resiko yang dialami janin karena bangkitan yang dialami oleh ibu mungkin sama
besar dengan yang disebabkan obat anti epilepsy. Mal formasi yang disebabkan epilepsi
akan terjadi pada 4-8 minggu pertama dalam pertumbuhan janin

B. TUJUAN
Makalah ini di susun bertujuan untuk :
- Memenuhi tugas makalah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
- Sebagai refrensi bagi temen-teman yang ingin mengetahui materi mengenai
kegawatdaruratan anemia, tetanus dan epilepsy.

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penataklaksanaan kegawatdaruratan pada ibu hamil anemia ?
2. Bagaimana penataklaksanaan kegawatdaruratan pada ibu hamil tetanus ?
3. Bagaimana penataklaksanaan kegawatdaruratan pada ibu hamil epilepsy ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. ANEMIA
1. Definisi
Anemi pada ibu hamil didefinisikan bila kadar HB di bawah 11 gr/dl.

2. Essential Diagnosis
Hb kurang dari 11 gr/dL pada trisemester 1 dan 3, dan Hb kurang dari 10,5 gr/dL
pada trisemester 2

3. Diagnosa
Anemia defisiensi besi

4. Anamnesis
a. Rasa lelah dan palpitasi
b. Mual dan muntah
c. Anoreksia yang bertambah berat
d. Riwayat intake makanan selama kehamilan (kurang konsusi sayuran dan protein
hewani)
e. Adanya perdarahan selama masa kehamilan
f. Penyakit kronis yang diderita (seperti : penyakit ginjal, usus inflamatorik, SLE,
malignansi)
g. Riwayat penggunakan obat (seperti : pada penderita G6PD yang mengkonsumsi
kina)

5. Factor Resiko
Factor resiko anemia defisiensi besi pada kehamilan adalah kurangnya
asupan besi dalam diet.

6. Komplikasi
Komplikasi perinatal dari anemia yang tidk tertangani adalah infeksi
maternal dan bayi berat lahir rendah.

7. Pemeriksaan fisik
a. Kulit dan selaput lender terlihat pucat
b. Takikardi
c. Hiportermi
d. Kuku jadi berbentuk sendok (spoon nail) pada ADB
e. Perubahan pada gambaran lidah (atrofil, lidah), ceilosis, stomastitis, angularis
8. Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Anemia definisi besi
a. Besi serum turun
b. Ferritin serum turun
c. Saturasi turun
d. Total iron binding capacity (TIBC) naik
e. Sediaan apus darah tepi mikrositik hipokromik

9. Anemia Akibat Kehilangan Darah Akut


Anemia akut mungkin tidak memberikan efek langsung pada konsentrasi
hemoglobin bahkan kalau perdarahan tersebut menimbukan hipovolemia yang
berate, sehingga terjadi kolaps kardiovaskuer. Dalam awal kehamila, anemia yang
disebabkan oleh perdarahan akut sering dijumpai pada kasus abortus, kehamilan
ektopik dan mola hidatidosa.

10. Anemia Pada Penyakit Kronis


a. Serum besi turun
b. TIBC turun
c. Apusan darah tepi eritrosit normositik atau mikrositik, normokromik
d. Sitologis sumsum tulang belakang

11. Anemia Megaloblastik


a. Sediaan apus darah tepi erisrosit makrositik, kadang terlihat eritrosit berinti
dalam darah tepi
b. Morfologis dini definisi asam folat hipersegmentasi sebagian neutrophil

12. Menejemen
a. Anemia defisiensi besi
Pemberian preprat besi proral dengan sulfat ferrous, fefo fumarat atau
fero glukonat
b. Anemia akibat kehilangan darah akut
Penarahan yang massif memerlukan penggantian yang segera dengan
darah lengkap dalam jumlah yang cukup untuk memeulihkan dan
mempertahankan perfusi organ-organ penting secara memedai.
Setelah hipovolemia teratasi dan tindakan hemostasis sudah tercapai
maka anemia yang masih tersisa harus diobati dengan pemberian zat besi.
c. Anemia pada penyakit kronis
Anemia ini tidak dapat dikoreksi dengan pemberian-pemberian zat besi,
asam folat dan vitamin B12 atau preparat hemitinik lainnya. Walaupun begitu
terapi profilaksi dengan zat besi dan asam folat biasanya dilakukan untuk
mengatasi defisiensi yang ditimbulkan oleh kehamilan.
d. Anemia megaloblastik
Pemberian preprat asam folat, makanan yng bergizi dan penambahan zat
besi. Pemberian asam folat 1mg sekali sehari sudah memeberikan hasil yang
mengesankan. Untuk profilaksi pada kehamilan dosis asam folat 200-500µg
setiap hari.
13. Edukasi /Prognosis
a. Prevensi
Anemia defisiensi besi :
Kebutuhan total pada ibu hamil (800 mg) tidak akan terpenuhi hanya
dengan diet. Disarankan pemberian besi pada semua kehamilan 65 mg perhari
paling tidak sejak minggu ke 20 kehamilan. Preparat ferrous lebih disarankan
dibandingkan ferrit karena diabsorsi lebih baik.
b. Rehabilitasi
Pasien dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan.
c. Prognosis
1) Anemia defisiensi besi :
Gejala dari anemia akan membaik dengan perbaikan anemia.
Perbaikan gejala dengan preparat besi parenteral hanya sedikit berbeda
dibandingkan besi oral pada anemia defisiensi besi.
2) Anemia defisiensi asam folat :
Jarang terjadi berat kecuali bersama dengan infeksi sistemik atau
eklamsia-preeklamsia. Jika diagnosis dibuat sebelum 4 minggu sebelum
term, biasanya Hb dapat dinaikan. Remisi terjadi spontan setelah kelahiran.
Anemia terjadi lagi pada saat pasien hamil.
3) Anemia hemolitik :
Membaik dengan terapi
4) Anemia sel sabit :
Tranfusi memperaikinyeri saat gejala dan memeberikan keuntungan
pada fetus secara tidak langsung. Tanpa penaganan obstetric yang maksimal,
50% pasien dapat berakhir pada kematian.

B. TETANUS
1. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit
ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan
tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat
dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus
hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem
saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot. Clostridium tetani
merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya
kurang lebih 0,4 x 6 μm.
Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium
tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan.
Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan
terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.
Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis
tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada
ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

2. Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya
penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama
berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin
yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan
tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20
tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada
hewan. Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani
menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut :
a. Masuk ke dalam otot Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau
sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden
melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
b. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan
secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem
limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
c. Penyebaran ke dalam pembuluh darah. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah
terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di
sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting
sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar
toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk
dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal
yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf
pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu
hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke
organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung
meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
d. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan
penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui
sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu
anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung
dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor. Hubungan antar bentuk
manifestasi klinis dengan penyebaran toksin: Tetanus lokal Pada bentuk ini,
penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang masuk ke
dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di
sekitar luka.Tetanus sefal Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti
trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi
oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis.
Ascending Tetanus Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk
lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh
tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak
dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP. Tetanus umum Pada keadaan ini
toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian
masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian
mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan
panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek
adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai
daerah lain sesuai urutan panjang saraf.

3. Mekanisme Kerja Toksin Tetanus


a. Jenis toksin Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin.
Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek
kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus
manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik,
penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan
toksin tersebut.
b. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf Toksin tetanus berkaitan
dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular
junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas
belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil
mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang
mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan
dengan sel saraf. Tetanus toxin Normal: Inhibitory interneuron Glycine blocks
excitation & acetylcholine release muscle relaxation Tetanus toxin: Blocks
glycine release inhibition at acetylcholine release irreversible contraction
Spastic paralysis
c. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter Tempat kerja utama toksin adalah
pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah
pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid
(GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls
saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan
glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua
neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi
sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

4. Perubahan Akibat Toksin Tetanus


a. Susunan saraf pusat Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan
terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of
pathological enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls
dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan
kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang
terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus
kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan
jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas
kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi
toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin. Rasa sakit Rasa sakit timbul
dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic pain
yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit
ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel
pada kornu posterior dan interneuron. Fungsi Luhur Kesadaran penderita pada
umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan dengan
seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan
metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
b. Aktifitas neuromuskular perifer Toksin tetanus menyebabkan penurunan
pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini
tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila
efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara
cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada
tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih
sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.
5. Efek Lain Toksin Tetanus Terhadap Aktivitas Neuromuskular Perifer Berupa
a. Neuropati perifer
b. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah sembuh.
c. Denervasi parsial dari otot tertentu.
d. Perubahan pada sistem saraf autonom Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas
sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya
ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi
sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun
hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula
spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai
berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi
kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah
satu organ tertentu.
e. Gangguan Sistem pernafasan Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
1) Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen;
otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila
kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan
rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering
mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia.
Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat
persarafan yang tidak terkena efek toksin. Ketidakmampuan untuk
mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan
kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan
dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang
dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis. Kelainan
paru akibat iatrogenik.
2) Gangguan mikrosirkulasi pulmonal Kelainan pada paru bahkan dapat
ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti
pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS.
ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik
seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus. Gangguan pusat pernafasan
Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat
pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa
kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis
tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita
mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia. Observasi klinis yang
menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita
tetanus adalah adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas
yang berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme
dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam
beberapa menit sampai ½-1 jam. Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya
berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan)
dan akhirnya meninggal. Henti nafas akut dan mati mendadak. Sekalipun
demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder
seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau
spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat
gangguan keseimbangan asam basa.
3) Gangguan hemodinamika Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan
penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat.
Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang
dilakukan karena,kendala etik perjalanan penyakit tetanus sering diperberat
oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan
gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi
sistem kardio-respirasi. Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian
obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil penelitian.
4) Gangguan metabolik Metabolik rate pada tetanus secara bermakna
meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas
berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi
oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan
pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta
penurunan serum protein terutama fraksi albumin. Peninggian katekolamin
meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi
kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya.
Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan
menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP,
keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali
toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi
yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada
penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan
terhadap toksin.
5) Gangguan Hormonal Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang
otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar
ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan
adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan
dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis
hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang
sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan
FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan
balik hipofise-kelenjar endokrin.
6) Gangguan pada sistem lain Berbagai percobaan pada hewan percobaan
ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus
gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik
terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi
mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah
kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas
traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh
karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan
metabolik yang terganggu. Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan
evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan
keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat
batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis,
parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan
mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

6. Manifestasi Klinis Dan Diagnosis


Manifestasi Klinis Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot
setempat, trisbmus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus
sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
a. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
1) Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang
menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus
lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
2) Tetanus sefal
tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya
berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan
prognosisnya biasanya jelek.
3) Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa
berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan
perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit
dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan
rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang
tetap baik. Tetanus neonatorum Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir,
disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan
tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat.
Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek,
kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik :
trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang
berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi
pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari
mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a) Derajat I (ringan) Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum,
spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan
respirasi.
b) Derajat II (sedang) Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya
sebentar, takipneu dan disfagia ringan
c) Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu,
apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem
otonomi
d) Derajat IV (sangat berat)
e) Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan
bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak
berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik. Bila
pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka
derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
b. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat
imunisasi:
1) Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka. - Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
2) Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan
otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
3) Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
4) Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun
spontan dimana kesadaran tetap baik.
c. Temuan laboratorium
1) Lekositosis ringan
2) Trombosit sedikit meningkat
3) Glukosa dan kalsium darah normal
4) Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
5) Enzim otot serum mungkin meningkat
6) EKG dan EEG biasanya normal
7) Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
8) Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
d. Diagnosis banding Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah
1) Meningitis bakterialis
2) Rabies
3) Poliomielitis
4) Epilepsi
5) Ensefalitis
6) Tetani
7) Keracunan striknin
8) Sindrom Shiffman
9) Efek samping fenotiazin
10) Peritonsiler abses
e. Komplikasi Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,
bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada
sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena
dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas
dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada
sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung,
hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau
kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan
saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis
metabolik.

7. Penatalaksanaan
a. Dasar
1) Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman
tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta
laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-
lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol,
aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Penisilin G dengan dosis 1
juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV
selama 10-14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15
mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan,
kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G. Rauscher
(1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15
mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus
setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang
pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Pada
penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin
dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan
diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan
metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis
yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari. Perawatan luka Luka
dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti
toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan
betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
2) Netralisasi toksin
a) Anti tetanus serum Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah
50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan
setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes
hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan
10.000 unit IV. Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus
serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan
meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada
beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan
pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun
dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.
b) Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG) Human tetanus imunoglobulin
merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit
secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding
(1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-
2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan
dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. Namun penelitian yang
dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian
immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan
secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai
efektivitas yang sama. Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles
(1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30-
300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan
kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
3) Menekan efek toksin pada SSP
a) Benzodiazepin Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang
sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti
kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal
mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan
fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks
polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama
terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan
pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia
(1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali
sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV
setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral,
sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24
jam.
b) Barbiturat Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis
30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila
dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan.
Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB,
kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut
relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-
sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui
selang nasogastrik. Fenotiazin Klorpromazin diberikan dengan dosis 50
mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg
IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan
secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita
dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.
c) Umum Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang
yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang
minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan.
Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat
dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan
elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50
ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan
bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya.
Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung
dan mulut harus dikerjakan. Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas
atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat
hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2
bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakhea. Bantuan ventilator diberikan pada : Semua penderita
dengan tetanus derajat IV Penderita dengan tetanus derajat III dimana
spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 terjadi
komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
4) Berdasarkan tingkat penyakit tetanus.
Tetanus ringan Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi
pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan
perawatan suportif seperti diatas. Tetanus sedang Penanganan umum seperti
diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan
selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila
perlu diberikan nutrisi secara parenteral. Tetanus berat Penanganan umum
tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi
atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan
cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan
setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat
diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.

C. EPILEPSY
1. Pengertian
Epilepsy merupakan maslah system saraf pusat yang ditandai dengan kejang
berulang; sebagian besar kasus idipatik dan penyebabnya tidak diketahui. Epilepsy
merupakan masalah neurologis yang paling sering menyulitkan kehamilan dan
menyerang sekitar 0.5% wanita usia subur ( Nelson,-Piercy,2002). Jenis kejang
yang berpotensi menyebabkan penyakit kritis adalah kejang tonik-klonik umum
dan status epileptikus. Jika terjadi kejang lama, wanita penderita epilepsy tidak
mengalami peningkatan resiko komplikasi obstetric apabila perawatan yang tepat
tersedia selama periode kahamilan, persalinan, dan pascanatal (royal collage of
midwifes ,1997; richomond et al,2004) sebagian besar bayi lahir tanpa anomaly,
terutama dengan penatalaksanaan prenatal yang tepat termasuk suplementasi asam
folat(5mg per hari) dan penggunaan obat antiepilepsi tunggal (royal collage
midwifes,1997)
Carhuapoma et,al (1999) menyatakan bahwa sepertiga wanita mengalami
peningkatan frekuensi kejang dan sisanya tidak mengalami perubahn frekuensi
kejang atau penurunan frekuensi kejang.. konrol yang buruk sebelum kehamilan
dan penggunaan medikasi yang buruk menyebabkan peningkatan risiko kejang.
Perubahan fisiologis kehamilan yang dapat menurunkan medikasi dibawah kadar
terapeutik adlah peningkatan volume darah, peningkatan pengikatan serum dan
penuruna absorpsi usus. Selain itu beberapa wanita lebih sering mengalami pemicu
kejang, seperti kurang tidur, hiperventilasi dan stress fisik serta emosi selama
periode persalinan. Carhuapoma et al. (19990 menyimpulkan bahwa “seperti satu
rumus , semakin dikit kejang terjadi pada 9 bulan sebelum konsepsi ,semakin kecil
risiko perburukan epilepsy selama kehamilan dan hanya 1-2 % wanita yang
mengalami epilepsy yang tidak terkontrol mengalami kejang tonik-klonik selama
kehamilan (royal collage of midwifes,1997)
2. Gambaran klinis dan pemeriksaan
Kejang pertama jarang terjadi pada kehamilan,tanpa penyebab nyata dan
biasanya terdapat riwayat epilepsy idiopatiksebelumnya. Diagnose diferensial
mencakup eklamsia,tumor serebri, ensefalitis , ketidakseimbangan elektrolit,
toksisitas atau putus obat dan hipoksia atau hemoragri serebri
Kejang harus diperiksa . pemeriksaan untuk kejang antara lain (nelson –
piercy,2002)
a. Tekanan darah, urinalisi , asam urat,hitung trombosit,dan film darah untuk
skrinning pembekuan
b. Glukosa darah, kalsium serum,natrium serum dan tes fungsi hati
c. Ct atau MRI otak dan elektroensefalogram

Klasifikasi kejang Karakteristik kejang


Kejang tonik klonik Terjadi pada 1-2% wanita yang mengalami epilepsy.
(grand mal) Selama fase tonik, otot pernapasan kontraksi dan
menganggu keadekuatan oksigenasi maternal, terjadi
kehilangan tonus otot mendadak, sianosis ,serta kekakuan
tonik dan kedutan klonik pada ekstremitas . reflex
penggosongan kadung kemih dan usus dapat terjadi (
National society for epilepsy ,2002). Dapat terjadi
hipoksia janin dan bradikardi yang menyebabkan asfiksia
Status epileptikus Aktivitas kejang yang terus –menerus berlangsung lebih
dari 30 menit atau kejang berulang tanpa pengembalian.
Kesadaran sempurna diantara episode aktivitas kejang
(Carhuapomaet al,1999). Risiko kejang ini rendah sekitar
1%(nelson –piercy2002),tetapi angka kehilangan janin
sekitar 50%( donalds,1995)

3. Komplikasi
Komplikasi kejang, terutama berkaitan dengan hipoksia akibat
ketidakefektifan kerja otot pernapasan selama fase tonik dan klonik. Regurgitasi
dan inhalasi isi lambung merupakan resiko lain , terutama pada periode setengah
sadar pasca kejang segera, yang membuat CEMD pada periode tiga tahunan 1994-
1996 merekomendasikan bahwa kerabat diberi penggunaan posisi pemulihan
(department of health 1998). Hemoragi pasca partum merupakan resikom potensial
karena obat antiepilepsi menurunkan kadar factor pembekuan yang bergantung
vitamin- k. resiko tersebut menurun dengan penggunaan suplemen vitamin K
sebagai profilaksi sebesar 10-20 mg per oral setiap hari pada empat minggu terakhir
kehamilan yang juga menurunkan resiko penyakit hemoragi pada bayi baru lahir
(Crawford,2002;nelson-piercy,2002)

4. Perawatan Dan Penatalaksanaan


a. Pencegahan Kejang Tonik-Klonik Dan Status Epileptikus
Tindakan ini merupakan prinsip penting [erawatan dan memastiakn wanita
terus mendapat obat resep karena resiko teratogenesis lebih rendah dari resiko
akibat kejang, yang dapat membahayakan kesejahteraan ibu dan janin.
Pengkajian bulanan terhadap kadar obat hanya direkomendasikan jika kejang
meningkat atau bagi wanita yang mengalami kejang regular (national institute
for clinical excellence 2002:nelson-piercy,2002). Selama persalinan ,medikasi
harus diberikan seperi biasa:medikasi intravena mungkin perlu diberikan saat
persalinan jika muntah terjadi. Bidan berperan penting dalammembantu wanita
mengidentifikasi dan mencegah factor pemicu, seperti deprivasi tidur dan stress
seperti diatas. Lingkungan yang panas dan lembap juga dapat bekerja sebagai
pemicu kejang. Tiga dari Sembilan kematian akibat epilepsy dilaporkan dalam
CEMD 1997-1999 disebkan tenggelam di bak mandi sehingga rekomendasi
untuk mandi hanya air dangkal dengan ditemani salah atu anggota keluarga di
rumah (lewis,2001). Selama persalinan ,factor pemicu,seperti cahaya terang,
suara bising, dan hiperventilasi harus diminimalkan . wanita memerlukan
bantuandan dukungan konstan dari bidann, alat pengisapan serta oksigen harus
tersedia.
b. Perawatan Dan Penatalaksanaan Selama Dan Setelah Kejang Tonik-
Klonik
Tindakan rasional

Minta bantuan dari bidan lain , ahli Bantuan multidisiplin diperlukan untuk
obstetric dan ahli pediatric penatalkasanaan optimum
Selama kejang pindahkan objek yang Untuk mencegah cidera
terletak di dekat pasien (missal
kursi,dan meja)dan jangan melakukan
restrain
Segera setelah kejabg ,kaji jalan Untuk mempertahankan oksigenasi maternal
napas dan pernapasn . beri oksigen (dari janin)
melalui masker wajah dengan
kecepatan 6-10 L/ menit
Atur posis pemulihan atau miring kiri Untuk mempertahankan jalan napas dan
mencegah hipotensi telentang serta inhalasi
regurgitasi isi lambung
Beri medikasi seperti Diazemu l5- Untuk mencegah kejang berikutnya
10mg intravena
Pantau tanda vital ibu Untuk mengkaji kesejahteraan ibu

Lakukan kardiotokografi kontinu Untuk mengkaji keejahteraan janin . mungkin


terjadi bradikardi janin sementara, nilai dasar
variabilitas dan deselerasi berkurang selama
30 harisetelah kejan(crawfor,2002)

Tindakan lanjutan dalam Intervensi


pengobtan status epileptikus
Pantau kondisi maternal dan Nadi,tekana darah dan napas ibu, denyut jantung
janin janin/pengggunaan kardiokortografi(ctg). Ctg selama
30 menit harus dilakukan jika terjadi konvulsi mayor
yang mengakibatkan sianosis (royal collage of
midwifes 1997).Oksimetri nadi harus ndigunakan
untuk memantau saturasi oksigen
Tindakan pengontrolan kejang Obat antikonvulsan intarvena harus diberikan
misalnya benzodiazepine dan fenitoin. Jika kejang
berlanjut walaupun dilakukan pemberian
glukosa,oksigen,cairan dan antikonvulsan . selain itu
intubasi endotrakea dan intubsasi mungkin diperlukan
(carhuapoma et al,1999)
Pemeriksaan lanjutan Glukosa darah ,kalsium serum natrium serum dan tes
fugsi hati
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. 2005. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3: 209-213. Bandung: FKUP/RSHS.
Rauscher LA. 1991. Tetanus. Dalam : Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical
Neurology. , 865-871 Behrman. Edinburg : Churchill Livingstone.
Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson. 2004. Textbook
of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company.
Udwadia FE. 1993. Tetanus. 305. Bombay: Oxford University Press.
Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Edisi pertama ; 13-19. Yogyakarta : Nuha
Medika.

Anda mungkin juga menyukai

  • Absen Mitra Bestari Dan Peserta
    Absen Mitra Bestari Dan Peserta
    Dokumen6 halaman
    Absen Mitra Bestari Dan Peserta
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Penatalaksanaan Medis
    Penatalaksanaan Medis
    Dokumen3 halaman
    Penatalaksanaan Medis
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Penatalaksanaan Medis
    Penatalaksanaan Medis
    Dokumen3 halaman
    Penatalaksanaan Medis
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Penatalaksanaan Medis
    Penatalaksanaan Medis
    Dokumen3 halaman
    Penatalaksanaan Medis
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Penatalaksanaan Medis
    Penatalaksanaan Medis
    Dokumen3 halaman
    Penatalaksanaan Medis
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Sistem Rujukan Kebidanan
    Sistem Rujukan Kebidanan
    Dokumen21 halaman
    Sistem Rujukan Kebidanan
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • LPJ Kewirausahaan
    LPJ Kewirausahaan
    Dokumen9 halaman
    LPJ Kewirausahaan
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Dasar Teori KPD
    Dasar Teori KPD
    Dokumen8 halaman
    Dasar Teori KPD
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • KEWIRAUSAHAAN
    KEWIRAUSAHAAN
    Dokumen17 halaman
    KEWIRAUSAHAAN
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Daftar Riwayat
    Daftar Riwayat
    Dokumen2 halaman
    Daftar Riwayat
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Konbel ANAMNESA
    Konbel ANAMNESA
    Dokumen6 halaman
    Konbel ANAMNESA
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Contoh Surat Lamaran
    Contoh Surat Lamaran
    Dokumen1 halaman
    Contoh Surat Lamaran
    Yusant - Azz
    Belum ada peringkat
  • Askeb BBL New
    Askeb BBL New
    Dokumen11 halaman
    Askeb BBL New
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • LP Perawatan Payudara Nifas
    LP Perawatan Payudara Nifas
    Dokumen2 halaman
    LP Perawatan Payudara Nifas
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Gadar Anemia
    Gadar Anemia
    Dokumen3 halaman
    Gadar Anemia
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • MATERI AJAR Barisan Dan Deret
    MATERI AJAR Barisan Dan Deret
    Dokumen4 halaman
    MATERI AJAR Barisan Dan Deret
    Ilzam Qomaruzzaman
    Belum ada peringkat
  • Persalinan Lama
    Persalinan Lama
    Dokumen13 halaman
    Persalinan Lama
    Lufi Ditia Prabandari
    100% (1)
  • Makalah Martabat, Tanggungjawab DanHakikat
    Makalah Martabat, Tanggungjawab DanHakikat
    Dokumen14 halaman
    Makalah Martabat, Tanggungjawab DanHakikat
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • MTBM
    MTBM
    Dokumen13 halaman
    MTBM
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Memandikan Bayi
    Memandikan Bayi
    Dokumen3 halaman
    Memandikan Bayi
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Kasus Partograf
    Kasus Partograf
    Dokumen2 halaman
    Kasus Partograf
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Topologi Bus
    Topologi Bus
    Dokumen2 halaman
    Topologi Bus
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Atom
    Atom
    Dokumen29 halaman
    Atom
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Nama Kelompok
    Nama Kelompok
    Dokumen6 halaman
    Nama Kelompok
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Atom
    Atom
    Dokumen29 halaman
    Atom
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat
  • Atom
    Atom
    Dokumen29 halaman
    Atom
    Lufi Ditia Prabandari
    Belum ada peringkat