Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan
Kebidanan Kegawatdaruratan pada ibu hamil dengan Anemia, Tetanus dan Epiepsi. Tidak
lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Dalam makalah ini penulis membahas mengenai penyakit yang biasa bahkan sering
kali dijumpai pada kehidupan sehari hari khususnya pada ibu hamil yaitu penyakit anemia
serta membahas tentang penyebab,proses perjalanan penyakit tersebut serta cara
mengurangi resiko terjadinya penyakit tersebut khususnya pada ibu hamil.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca sehingga dapat
membantu menunjang proses belajar para pembaca dan menjadi referensi bagi pembaca.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga tercipta pendidikan yang
sempurna.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Angka kematian ibu di Indonesia cukup tinggi yaitu 379/100.000 kelahiran hidup.
Anemia pada kehamilan merupakan penyebab tidak langsung AKI. Anemia merupakan
gangguan medis yang paling umum ditemui pada masa hamil, mempengaruhi sekurang-
kurangnya 20 % wanita hamil. Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang terhadap ibu
hamil merupakan predisposisi anemia defisiensi ibu hamil di Indonesia. Kebanyakan
anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan
tidak jarang keduanya saling berinteraksi.
Anemia ringan mungkin tidak secara langsung merupakan penyebab kematian akan
tetapi dapat mengakibatkan resiko perdarahan. Dibanding wanita sehat, wanita anemia
akan mengalami keadaan fatal apabila terjadi perdarahan.
Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi berparisi kira-kira ¼ kasus prekuensi
bangkitan akan meningkat terutama pada trimester terakhir, ¼ lagi menurun dan
separuhnya lagi tidak mengalami perubahan selama kehamilan. Pengobatan wanita
epilepsi yang hamil pada umumnya dilakuakn menurut prinsif yang sama seperti pada
pasien tidak hamil.
Resiko yang dialami janin karena bangkitan yang dialami oleh ibu mungkin sama
besar dengan yang disebabkan obat anti epilepsy. Mal formasi yang disebabkan epilepsi
akan terjadi pada 4-8 minggu pertama dalam pertumbuhan janin
B. TUJUAN
Makalah ini di susun bertujuan untuk :
- Memenuhi tugas makalah Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
- Sebagai refrensi bagi temen-teman yang ingin mengetahui materi mengenai
kegawatdaruratan anemia, tetanus dan epilepsy.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penataklaksanaan kegawatdaruratan pada ibu hamil anemia ?
2. Bagaimana penataklaksanaan kegawatdaruratan pada ibu hamil tetanus ?
3. Bagaimana penataklaksanaan kegawatdaruratan pada ibu hamil epilepsy ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANEMIA
1. Definisi
Anemi pada ibu hamil didefinisikan bila kadar HB di bawah 11 gr/dl.
2. Essential Diagnosis
Hb kurang dari 11 gr/dL pada trisemester 1 dan 3, dan Hb kurang dari 10,5 gr/dL
pada trisemester 2
3. Diagnosa
Anemia defisiensi besi
4. Anamnesis
a. Rasa lelah dan palpitasi
b. Mual dan muntah
c. Anoreksia yang bertambah berat
d. Riwayat intake makanan selama kehamilan (kurang konsusi sayuran dan protein
hewani)
e. Adanya perdarahan selama masa kehamilan
f. Penyakit kronis yang diderita (seperti : penyakit ginjal, usus inflamatorik, SLE,
malignansi)
g. Riwayat penggunakan obat (seperti : pada penderita G6PD yang mengkonsumsi
kina)
5. Factor Resiko
Factor resiko anemia defisiensi besi pada kehamilan adalah kurangnya
asupan besi dalam diet.
6. Komplikasi
Komplikasi perinatal dari anemia yang tidk tertangani adalah infeksi
maternal dan bayi berat lahir rendah.
7. Pemeriksaan fisik
a. Kulit dan selaput lender terlihat pucat
b. Takikardi
c. Hiportermi
d. Kuku jadi berbentuk sendok (spoon nail) pada ADB
e. Perubahan pada gambaran lidah (atrofil, lidah), ceilosis, stomastitis, angularis
8. Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Anemia definisi besi
a. Besi serum turun
b. Ferritin serum turun
c. Saturasi turun
d. Total iron binding capacity (TIBC) naik
e. Sediaan apus darah tepi mikrositik hipokromik
12. Menejemen
a. Anemia defisiensi besi
Pemberian preprat besi proral dengan sulfat ferrous, fefo fumarat atau
fero glukonat
b. Anemia akibat kehilangan darah akut
Penarahan yang massif memerlukan penggantian yang segera dengan
darah lengkap dalam jumlah yang cukup untuk memeulihkan dan
mempertahankan perfusi organ-organ penting secara memedai.
Setelah hipovolemia teratasi dan tindakan hemostasis sudah tercapai
maka anemia yang masih tersisa harus diobati dengan pemberian zat besi.
c. Anemia pada penyakit kronis
Anemia ini tidak dapat dikoreksi dengan pemberian-pemberian zat besi,
asam folat dan vitamin B12 atau preparat hemitinik lainnya. Walaupun begitu
terapi profilaksi dengan zat besi dan asam folat biasanya dilakukan untuk
mengatasi defisiensi yang ditimbulkan oleh kehamilan.
d. Anemia megaloblastik
Pemberian preprat asam folat, makanan yng bergizi dan penambahan zat
besi. Pemberian asam folat 1mg sekali sehari sudah memeberikan hasil yang
mengesankan. Untuk profilaksi pada kehamilan dosis asam folat 200-500µg
setiap hari.
13. Edukasi /Prognosis
a. Prevensi
Anemia defisiensi besi :
Kebutuhan total pada ibu hamil (800 mg) tidak akan terpenuhi hanya
dengan diet. Disarankan pemberian besi pada semua kehamilan 65 mg perhari
paling tidak sejak minggu ke 20 kehamilan. Preparat ferrous lebih disarankan
dibandingkan ferrit karena diabsorsi lebih baik.
b. Rehabilitasi
Pasien dapat dirawat sebagai pasien rawat jalan.
c. Prognosis
1) Anemia defisiensi besi :
Gejala dari anemia akan membaik dengan perbaikan anemia.
Perbaikan gejala dengan preparat besi parenteral hanya sedikit berbeda
dibandingkan besi oral pada anemia defisiensi besi.
2) Anemia defisiensi asam folat :
Jarang terjadi berat kecuali bersama dengan infeksi sistemik atau
eklamsia-preeklamsia. Jika diagnosis dibuat sebelum 4 minggu sebelum
term, biasanya Hb dapat dinaikan. Remisi terjadi spontan setelah kelahiran.
Anemia terjadi lagi pada saat pasien hamil.
3) Anemia hemolitik :
Membaik dengan terapi
4) Anemia sel sabit :
Tranfusi memperaikinyeri saat gejala dan memeberikan keuntungan
pada fetus secara tidak langsung. Tanpa penaganan obstetric yang maksimal,
50% pasien dapat berakhir pada kematian.
B. TETANUS
1. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit
ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan
tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat
dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus
hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem
saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot. Clostridium tetani
merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya
kurang lebih 0,4 x 6 μm.
Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium
tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan.
Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan
terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.
Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis
tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada
ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
2. Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya
penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama
berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin
yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan
tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20
tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada
hewan. Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani
menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut :
a. Masuk ke dalam otot Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau
sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden
melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
b. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan
secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem
limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
c. Penyebaran ke dalam pembuluh darah. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah
terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di
sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting
sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar
toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk
dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal
yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf
pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu
hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke
organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung
meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
d. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan
penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui
sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu
anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung
dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor. Hubungan antar bentuk
manifestasi klinis dengan penyebaran toksin: Tetanus lokal Pada bentuk ini,
penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang masuk ke
dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di
sekitar luka.Tetanus sefal Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti
trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi
oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis.
Ascending Tetanus Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk
lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh
tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak
dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP. Tetanus umum Pada keadaan ini
toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian
masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian
mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan
panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek
adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai
daerah lain sesuai urutan panjang saraf.
7. Penatalaksanaan
a. Dasar
1) Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Antibiotik Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman
tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta
laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-
lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol,
aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Penisilin G dengan dosis 1
juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV
selama 10-14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15
mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan,
kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G. Rauscher
(1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15
mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus
setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang
pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Pada
penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin
dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan
diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan
metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis
yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari. Perawatan luka Luka
dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka
dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti
toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan
betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
2) Netralisasi toksin
a) Anti tetanus serum Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah
50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan
setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes
hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan
10.000 unit IV. Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus
serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan
meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada
beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan
pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun
dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.
b) Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG) Human tetanus imunoglobulin
merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit
secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding
(1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-
2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan
dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. Namun penelitian yang
dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian
immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan
secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai
efektivitas yang sama. Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles
(1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30-
300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan
kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
3) Menekan efek toksin pada SSP
a) Benzodiazepin Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang
sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti
kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal
mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan
fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks
polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama
terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan
pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia
(1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali
sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV
setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral,
sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24
jam.
b) Barbiturat Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis
30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila
dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan.
Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB,
kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut
relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-
sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui
selang nasogastrik. Fenotiazin Klorpromazin diberikan dengan dosis 50
mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg
IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan
secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita
dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.
c) Umum Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang
yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang
minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan.
Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat
dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan
elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50
ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan
bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya.
Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung
dan mulut harus dikerjakan. Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas
atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat
hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2
bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakhea. Bantuan ventilator diberikan pada : Semua penderita
dengan tetanus derajat IV Penderita dengan tetanus derajat III dimana
spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 terjadi
komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
4) Berdasarkan tingkat penyakit tetanus.
Tetanus ringan Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi
pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan
perawatan suportif seperti diatas. Tetanus sedang Penanganan umum seperti
diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan
selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila
perlu diberikan nutrisi secara parenteral. Tetanus berat Penanganan umum
tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi
atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan
cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan
setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat
diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.
C. EPILEPSY
1. Pengertian
Epilepsy merupakan maslah system saraf pusat yang ditandai dengan kejang
berulang; sebagian besar kasus idipatik dan penyebabnya tidak diketahui. Epilepsy
merupakan masalah neurologis yang paling sering menyulitkan kehamilan dan
menyerang sekitar 0.5% wanita usia subur ( Nelson,-Piercy,2002). Jenis kejang
yang berpotensi menyebabkan penyakit kritis adalah kejang tonik-klonik umum
dan status epileptikus. Jika terjadi kejang lama, wanita penderita epilepsy tidak
mengalami peningkatan resiko komplikasi obstetric apabila perawatan yang tepat
tersedia selama periode kahamilan, persalinan, dan pascanatal (royal collage of
midwifes ,1997; richomond et al,2004) sebagian besar bayi lahir tanpa anomaly,
terutama dengan penatalaksanaan prenatal yang tepat termasuk suplementasi asam
folat(5mg per hari) dan penggunaan obat antiepilepsi tunggal (royal collage
midwifes,1997)
Carhuapoma et,al (1999) menyatakan bahwa sepertiga wanita mengalami
peningkatan frekuensi kejang dan sisanya tidak mengalami perubahn frekuensi
kejang atau penurunan frekuensi kejang.. konrol yang buruk sebelum kehamilan
dan penggunaan medikasi yang buruk menyebabkan peningkatan risiko kejang.
Perubahan fisiologis kehamilan yang dapat menurunkan medikasi dibawah kadar
terapeutik adlah peningkatan volume darah, peningkatan pengikatan serum dan
penuruna absorpsi usus. Selain itu beberapa wanita lebih sering mengalami pemicu
kejang, seperti kurang tidur, hiperventilasi dan stress fisik serta emosi selama
periode persalinan. Carhuapoma et al. (19990 menyimpulkan bahwa “seperti satu
rumus , semakin dikit kejang terjadi pada 9 bulan sebelum konsepsi ,semakin kecil
risiko perburukan epilepsy selama kehamilan dan hanya 1-2 % wanita yang
mengalami epilepsy yang tidak terkontrol mengalami kejang tonik-klonik selama
kehamilan (royal collage of midwifes,1997)
2. Gambaran klinis dan pemeriksaan
Kejang pertama jarang terjadi pada kehamilan,tanpa penyebab nyata dan
biasanya terdapat riwayat epilepsy idiopatiksebelumnya. Diagnose diferensial
mencakup eklamsia,tumor serebri, ensefalitis , ketidakseimbangan elektrolit,
toksisitas atau putus obat dan hipoksia atau hemoragri serebri
Kejang harus diperiksa . pemeriksaan untuk kejang antara lain (nelson –
piercy,2002)
a. Tekanan darah, urinalisi , asam urat,hitung trombosit,dan film darah untuk
skrinning pembekuan
b. Glukosa darah, kalsium serum,natrium serum dan tes fungsi hati
c. Ct atau MRI otak dan elektroensefalogram
3. Komplikasi
Komplikasi kejang, terutama berkaitan dengan hipoksia akibat
ketidakefektifan kerja otot pernapasan selama fase tonik dan klonik. Regurgitasi
dan inhalasi isi lambung merupakan resiko lain , terutama pada periode setengah
sadar pasca kejang segera, yang membuat CEMD pada periode tiga tahunan 1994-
1996 merekomendasikan bahwa kerabat diberi penggunaan posisi pemulihan
(department of health 1998). Hemoragi pasca partum merupakan resikom potensial
karena obat antiepilepsi menurunkan kadar factor pembekuan yang bergantung
vitamin- k. resiko tersebut menurun dengan penggunaan suplemen vitamin K
sebagai profilaksi sebesar 10-20 mg per oral setiap hari pada empat minggu terakhir
kehamilan yang juga menurunkan resiko penyakit hemoragi pada bayi baru lahir
(Crawford,2002;nelson-piercy,2002)
Minta bantuan dari bidan lain , ahli Bantuan multidisiplin diperlukan untuk
obstetric dan ahli pediatric penatalkasanaan optimum
Selama kejang pindahkan objek yang Untuk mencegah cidera
terletak di dekat pasien (missal
kursi,dan meja)dan jangan melakukan
restrain
Segera setelah kejabg ,kaji jalan Untuk mempertahankan oksigenasi maternal
napas dan pernapasn . beri oksigen (dari janin)
melalui masker wajah dengan
kecepatan 6-10 L/ menit
Atur posis pemulihan atau miring kiri Untuk mempertahankan jalan napas dan
mencegah hipotensi telentang serta inhalasi
regurgitasi isi lambung
Beri medikasi seperti Diazemu l5- Untuk mencegah kejang berikutnya
10mg intravena
Pantau tanda vital ibu Untuk mengkaji kesejahteraan ibu
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. 2005. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3: 209-213. Bandung: FKUP/RSHS.
Rauscher LA. 1991. Tetanus. Dalam : Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical
Neurology. , 865-871 Behrman. Edinburg : Churchill Livingstone.
Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson. 2004. Textbook
of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company.
Udwadia FE. 1993. Tetanus. 305. Bombay: Oxford University Press.
Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Edisi pertama ; 13-19. Yogyakarta : Nuha
Medika.