Proposal Tesis
Disusun Oleh :
Raudatul Jannah
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ADHIRAJASA RESWARA SANJAYA
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Penulis,
Raudatul Jannah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Rumah sakit sebagai institusi yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan dan instalasi gawat darurat. Setiap rumah sakit memiliki
kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat, membuat, melaksanakan dan
menjaga standar pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam
melayani pasien. Dalam lingkup pelayanan di rumah sakit, pelayanan di
instalasi gawat darurat menjadi hal yang sangat vital, karena Instalasi Gawat
Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya pasien gawat darurat.
Intalasi Gawat Daurat (IGD) rumah sakit adalah salah satu bagian di
rumah sakit yang menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita
sakit dan cedera, yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya. IGD rumah
sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan
asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan darurat, bagi
pasien yang datang dengan gawat darurat medis. Pelayanan pasien gawat
darurat adalah pelayanan yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat,
tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan. Salah satu
indikator mutu pelayanan adalah waktu tanggap. (Depkes RI, 2006).
Instalasi Gawat Darurat merupakan pelayanan yang ada di rumah sakit
yang dibutuhkan oleh pasien dalam rangka menyelamatkan jiwanya. Konsep
IGD ini didasarkan pada waktu pelayanannya. Waktu merupakan hal
terpenting pada IGD karena sangat berkaitan dengan penyelamatan jiwa
pasien. Kemampuan rumah sakit dalam menangani pasien dapat dilihat dari
bagaimana rumah sakit memberikan pelayanannya di IGD rumah sakit
tersebut (Kelly, 2005).
Pasien yang ditangani di Instalasi Gawat Darurat yaitu peserta Jaminan
Kesehatan Sosial dan Non Jaminan Kesehatan Sosial. Asuransi Kesehatan
merupakan lembaga sosial yang bergerak di bidang pengusahaan jaminan
1
pelayanan kesehatan dan mengatur hak dan kewajiban peserta. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan salah satu jenis asuransi.
BPJS merupakan lembaga penyelenggara jaminan sosial yang
mencakup seluruh penduduk Indonesia dengan memberikan pelayanan
kesehatan yang komprehensif dengan prinsip asuransi sosial, dimana
peserta yang mampu membayar iuran, yang miskin dan tidak mampu
dibayar iurannya oleh pemerintah.
Pada Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan yang dikeluarkan oleh
BPJS Kesehatan tahun 2014 menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, maka
peserta BPJS Kesehatan dapat dilayani di fasilitas kesehatan yang bekerjasama
maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS kesehatan. Pelayanan harus
segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan. Jika keadaan gawat
daruratnya sudah teratasi dan pasien BPJS Kesehatan dalam kondisi dapat
dipindahkan, maka pasien mendapat pelayanan di fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS kesehatan.
Pada buku Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional dinyatakan
bahwa pada tahun 2014, pemerintah menargetkan sebanyak 121,6 juta
oenduduk akan diberikan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Jumlah
dimaksud diasumsikan berasal dari program Jamkesmas )96,4 juta jiwa),
peserta yang dikelola oleh PT Akses (Persero) (17,2 juta jiwa), peserta
Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) Jamsostek (5,5 juta jiwa) dan peserta
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU) dari pemerintah
daerah (2,5 juta jiwa). Berdasarkan data dari BPJS pada tanggal 04 November
2016 jumlah pengguna BPJS di Indonesia mencapai 170.235.178 jiwa
(71,63%) dari total penduduk Indonesia pada tahun 2010 yaitu 237.641.334
jiwa. Selanjutnya pada tahun 2019, pemerintah menargetkan seluruh
masyarakat yaitu sebanyak 275,5 juta jiwa akan dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Berdasarkan rilis hasil survey yang disampaikab oleh Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) yang mencatat jumlah laporan komplain
masyarakat terhadap layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
kesehatan sangat banyak. Laporan itu menunjukan bahwa layanan yang
2
diberikan BPJS tidak maksimal. Menurut YLKI, program jaminan kesehatan
nasional yang dikelola BPJS sesunnguhnya baik akan tetapi secara aplikatif
program itu tidak sesuai harapan (Fajarudin,2015).
Ketidakmaksimalan dari program BPJS adalah banyaknya jumlah peserta
yang berbanding terbalik dengan jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia.
Sebagian besar fasilitas kesehatan terutama rumah sakut yaitu 1.720 dari 2.302
tergabung dalam jaminan kesehatan. Kendala lain yaiut pada pencairan klaim
banyak tertunda sehingga menyebabkan banyak Rumah Sakit swasta yang
tidak tertarik bergabung dalam BPJS (Fajarudin, 2915). Hal ini menyebabkan
penumpukan peserta BPJS di Rumah Sakit negri, sehingga peserta BPJS
kesehatan memerlukan perawatan secara cepat harus menunggu antrean yang
lama (Fajarudin, 2015).
Pasien merupakan sumber pendapatan rumah sakit baik secara langsung
(out of pocket) maupun melalui asuransi misalkan pasien BPJS. Oleh sebab itu
rumah sakit perlu untuk mempertahankan dan meningkatkan kunjungan pasien
dengan menampilkan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Putri Asmita,
2011).
Tingkat kepuasan pelanggan sangat ditentukan oleh komponen kualitas
pelayanan yang ada. Strategi usaha yang ditetapkan pada komponen kualitas
pelayanan secara otomatis akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam
menarik dan mempertahankan pelanggan dalam hal ini pasien yang
mendapatkan di IGD. Konsekuensinya bagi penyedia layanan jasa termasuk
pelayanan jasa kesehatan gawat darurat rumah sakit harus memberikan suatu
prioritas perbaikan dalam kinerja usaha melalui peningkatan kualitas
pelayanan.
Pemerintah menuntut setiap rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan
pasien sebagai strategi utama yang berorientasi kepada pasien (Riskesdas,
2013)
Berdasarkan data diatas maka peneliti tertarik untuk mengathui pengaruh
kualitas pelayanan instalasi gawat darurat terhadap pasien peserta BPJS di
RSUD Ciamis.
3
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh kualitas pelayanan di instalasi gawat darurat
terhadap tingkat kepuasan pasien peserta BPJS di RSUD Ciamis?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kualitas pelayanan gawat darurat dengan tingkat kepuasan pasien pengguna
BPJS Kesehatan di IGD RSUD Ciamis
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kualitas pelayanan gawat darurat terhadap pengguna BPJS
Kesehatan di IGD RSUD Ciamis
2. Mengidentifikasi tingkat kepuasan klien pengguna BPJS Kesehatan di IGD
RSUD Ciamis
3. Menganalisa hubungan antara kualitas pelayanan gawat darurat dengan
tingkat kepuasan antara pengguna BPJS Kesehatan di IGD RSUD Ciamis
4
BAB II
TEORI-TEORI PENDUKUNG
2.1 Kualitas pelayanan
Menurut Kotler (2009:428) definisi pelayanan (service) adalah setiap
tindakan atau kegiatan yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain, yang
pada dasarnya tidak berwujud (intangible) dan tidak mengakibatkan
kempemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada
suatu produk fisik.
(1) Wujud fisik (Tangibles) adalah faktor yang dapat dilihat, didengar dan
disentuh.
Tergambar dalam:
5
c. Kemampuan petugas memberikan pelayanan
d. Ketepatan petugas dalam memenuhi jadwal pelayanan.
(3) Ketanggapan (Responsiveness) adalah kemampuan karyawan membantu
dan melaksanakan tugas dengan segera.
Tergambar dalam:
6
Berdasarkan komponen-komponen di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
output jasa serta cara penyampaiannya (pelayanannya) adalah faktor yang
dipergunakan dalam menilai kualitas jasa.
7
transportasi serta proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan
(Kathleen, 2008).
8
1. Tangible (bukti fisik)
Suatu service tidak dapat dilihat, dicium dan diraba, maka aspek tangible
atau bukti fisik menjadi penting sebagai ukuran terhadap pelayanan. Pelanggan
akan menggunakan indra penglihatan untuk menilai suatu kualitas pelayanan.
Contoh tampilan fisik fasilitas seperti kebersihan, penerangan dan kebisingan;
tampilan fisik tenaga seperti kerapian pakaian; dan tampilan fisik alat. Pasien
akan mempunyai persepsi bahwa rumah sakit mempunyai pelayanan kesehatan
yang baik apabila bangunan terlihat mewah. Bukti fisik yang baik akan
mempengaruhi presepsi pasien (Irwan, 2009).
2. Reliability (kehandalan)
Dimensi reliability yaitu dimensi yang mengukur kehandalan dari
perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggannya. Ada 2 aspek
dari dimensi ini. Pertama adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan seperti yang dijanjikan. Kedua adalah seberapa jauh perusahaan
mampu memberikan pelayanan yang akurat atau tidak error. Sebuah rumah
sakit misalnya dikatakan tidak “reliable” ketika perawat melakukan kesalahan
dalam memberikan perawatan (Irwan, 2009).
9
loket, mendapat pelayanan medis, apotik atau laboratorium (Irwan, 2009).
Aplikasi dari kualitas daya tanggap adalah memberikan penjelasan secara
bijaksana, mendetail, dan mengarahkan terkait pelayanan yang dihadapi serta
membujuk orang yang dilayani apabila menghadapi suatu permasalahan
(Nursalam, 2015).
4. Assurance (jaminan)
Penyampaian pelayanan harus disertai rasa hormat dan sopan sehingga
dapat menimbulkan rasa percaya dan yakin akan jaminan kesembuhan.
Terdapat 4 aspek dari dimensi ini yaitu (Irwan, 2009):
10
2.2 Konsep IGD
2.2.2 Pengertian Instalasi Gawat Darurat
Menurut keputusan menteri kesehatan RI No. 856/Menkes/SK/IX/2009,
instalasi gawat darurat (IGD) adalah salah satu bagian dirumah sakit yang
menyediakan penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cedera, yang
dapat mengancam kelangsungan hidupnya. Kementerian Kesehatan telah
mengeluarkan kebijakan mengenai Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
Sakit untuk mengatur standarisasi pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Guna
meningkatkan kualitas IGD di Indonesia perlu komitmen Pemerintah Daerah
untuk membantu Pemerintah Pusat dengan ikut memberikan sosialisasi kepada
masyarakat bahwa dalam penanganan kegawatdaruratan dan life saving tidak
ditarik uang muka dan penanganan gawat darurat harus dilakukan 5 (lima) menit
setelah pasien sampai di IGD. Di IGD dapat ditemukan dokter dari berbagai
spesialisasi bersama sejumlah perawat. Pelayanan gawat darurat adalah bagian
dari pelayanan kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera
untuk menyelamatkan hidupnya. Pelayanan instalasi gawat darurat adalah salah
satu unjuk tombak pelayanan kesehatan sebuah rumah sakit. Setiap rumah sakit
pasti memiliki IGD yang melayani pelayanan media 24 jam (Günthardt et al.,
2018)
Prosedur pelayanan di suatu rumah sakit, pasien yang akan berobat akan
diterima oleh petugas kesehatan setempat baik yang berobat di rawat inap, rawat
jalan (poliklinik) maupun di IGD untuk yang penyakit darurat/emergency dalam
suatu prosedur pelayanan rumah sakit. Prosedur ini merupakan kunci awal
pelayanan petugas kesehatan rumah sakit dalam melayani pasien secara baik atau
11
tidaknya, dilihat dari sikap yang ramah, sopan, tertib, dan penuh tanggung jawab
(Depkes RI, 2006).
Latar belakang pentingnya diatur standar IGD karena pasien yang masuk
ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat untuk itu
perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan
kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan
gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat.
Semua itu dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan sarana, prasarana,
sumberdaya manusia dan manajemen IGD Rumah Sakit sesuai dengan standar.
Disisi lain, desentralisasi dan otonomi telah memberikan peluang daerah untuk
mengembangkan daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya serta
siap mengambil alih tanggung jawab yang selama ini dilakukan oleh pusat. Untuk
itu daerah harus dapat menyusun perencanaan di bidang kesehatan khususnya
pelayanan gawat darurat yang baik dan terarah agar mutu pelayanan kesehatan
tidak menurun, sebaliknya meningkat dengan pesat. Oleh karenanya Depkes perlu
membuat standar yang baku dalam pelayanan gawat darurat yang dapat menjadi
acuan bagi daerah dalam mengembangkan pelayanan gawat darurat khususnya di
Instalasi Gawat Darurat RS.
1. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki
kemampuan : melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat dan
melakukan resusitasi dan stabilitasi (life saving).
4. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus gawat
darurat.
12
5. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 ( lima ) menit setelah
sampai di IGD.
13
Rama (2011) menyatakan bahwa kepuasan pasien akan terpenuhi apabila
proses penyampaian jasa pelayanan kesehatan kepada konsumen sudah sesuai
dengan yang mereka harapkan atau dipersepsikan. Terpenuhinya kebutuhan
pasien akan mampu memberikan gambaran terhadap kepuasan pasien, oleh karena
itu tingkat kepuasan pasien sangat tergantung pada persepsi atau harapan mereka
pada pemberi jasa pelayanan.
14
terutama perawat, informasi yang diberikan oleh petugas, komunikatif,
responatif, suportif, dan cekatan dalam melayani pasien. Terbinanya
hubungan perawat dengan pasien yang baik adalah salah satu dari
kewajiban etik yang sangat diharapkan setiap pasiennya secara pribadi
seperti menampung dan mendengarkan semua keluhan, serta menjawab
dan memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang segala hal ingin
diketahui oleh pasien.
3. Aspek kompetensi, meliputi keberanian bertindak, pengalaman, gelar, dan
terkenal. Secara umum disebut semakin tinggi tingkat pengetahuan dan
kompetensi teknik tersebut, maka makin tinggi pula mutu pelayanan
kesehatan.
4. Aspek biaya, meliputi keterjangkauan biaya pelayanan oleh pasien dan ada
tidaknya keringanan yang diberikan kepada pasien. Harga merupakan
aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna
mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi
pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga
perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar.
2.3.3 Klasifikasi Kepuasan Pasien
Tingkat kepuasan pasien dapat diukur baik secara kuantitatif ataupun
kualitatif. Dalam melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan,
pengukuran tingkat kepuasan pasien ini mutlak diperlukan sehingga dapat
diketahui sejauh mana dimensi mutu pelayanan kesehatan yang telah
diselenggarakan dapat memenuhi harapan pasien. Jika belum sesuai dengan
harapan pasien, maka hal tersebut akan menjadi suatu masukan bagi organisasi
pelayanan kesehatan agar berupaya memenuhinya (Pohan, 2007).
15
5. Sangat puas
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien yang
menggambatkan pelayanan kesehatan sepenuhnya atau sebagian besar sesuai
kebutuhan atau keinginan pasien dengan bobotnya 5 (Sugioyono, 2007).
6. Puas
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien yang
menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai
dengan kebutuhan atau keinginan pasien dengan bobotnya 4 (Sugioyono, 2007).
7. Cukup puas
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien yang
menggambarkan pelayanan kesehatan tidak sepenuhnya atau sebagian sesuai
dengan kebutuhan atau keinginan pasien atau dianggap biasa saja oleh pasien
dengan bobotnya 3.
8. Tidak puas
Diartikan sebagai ukuran subjektif hasil penilaian perasaan pasien yang
menggambatkan pelayanan kesehatan tidak sesuai dengan kebutuhan atau
keinginan pasien dengan bobotnya 2.
16
layanan yang telah diberikan, evaluasi yang dilakukan adalah membandingkan
antara harapan dan yang dirasakan (kenyataan).
Menurut Kotler (2005), salah satu dari nilai utama yang diharapkan oleh pelanggan
adalah kualitas produk dan jasa yang tinggi. Kebanyakan pelanggan tidak
mentoleransi kinerja kualitas yang biasa-biasa saja. Dengan demikian akan
terdapat hubungan yang erat antara kualitas dengan kepuasan pasien.
Karena suatu bentuk jasa tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium dan tidak bisa
diraba maka aspek bukti fisik menjadi penting sebagai ukuran dari pelayanan.
Pelanggan akan menggunakan indera penglihatan untuk menilai suatu kulitas
pelayanan.
KL : Kenyamanan lingkungan
Hubungan bukti fisik dengan kepuasan konsumen adalah bukti fisik mempunyai
pengaruh positif terhadap kepuasan konsumen. Semakin baik persepsi konsumen
terhadap bukti fisik maka kepuasan konsumen juga akan semakin tinggi. Dan jika
17
persepsi konsumen terhadap bukti fisik buruk maka kepuasan konsumen juga akan
semakin rendah.
18
Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Barry (1988), (Fandy dan Gregorius
Chandra, 2005) daya tanggap (responsiveness) berkenaan dengan kesediaan dan
kemampuan para karyawan untuk membantu para konsumen dan merespons
permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan
kemudian memberikan jasa secara cepat. Tingkat kesediaan atau kepedulian ini
akan dilihat sampai sejauh mana pihak perusahaan berusaha dalam membantu
konsumennya. Adapun bentuknya bisa dilakukan dengan penyampaian informasi
yang jelas, tindakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pelanggan. Sedangkan
Kotler (2001:616) mendefinisikan daya tanggap sebagai kemauan untuk
membantu konsumen dan memberikan jasa dengan cepat.
19
meliputi beberapa komponen antara lain komunikasi (communication),
kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan
sopan santun (courtesy). Variabel jaminan dan kepastian dapat ditampilkan
dengan indikator-indikator sebagai berikut:
20
paling penting. Variabel empati dapat ditampilkan dengan indikator- indikator
sebagai berikut :
Menurut Kotler (2005), salah satu dari nilai utama yang diharapkan oleh
pelanggan adalah kualitas produk dan jasa yang tinggi. Kebanyakan pelanggan
tidak mentoleransi kinerja kualitas yang biasa-biasa saja. Dengan demikian
akan terdapat hubungan yang erat antara kualitas dengan kepuasan pasien.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
Variable terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kepuasan pasien pengguna BPJS
Kesehatan di IGD.
a. Editing
Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih dahulu
dengan tujuan untuk mengkoreksi data yang meliputi
kelengkapan pengisian jawaban, konsisten atas jawaban,
kesalahan jawaban, dan jumlah kuesioner yang telah diisi
sehingga dapat diperbaiki jika dirasakan masih ada kesalahan
dan keraguan data.
22
b. Pengkodean (Coding)
Memberikan kode pada jawaban yang ada untuk mempermudah
dalam proses pengelompokan dan pengolahan data dengan
memberi angka pada setiap jawaban.
c. Penilaian (Skoring)
Dilakukan dengan pedoman nilai yang telah ditentukan
sebelumnya.
d. Entry Data
Memasukan data yang diperoleh dengan menggunakan
komputer.
e. Tabulation
Data kemudian dimasukan ke dalam tabel yang sesuai dengan
kriteria, dalam hal ini juga menggunakan fasilitas komputer.
f. Prosentase
Menurut Istijanto (2009), prosentase memberikan gambaran
yang mudah dalam membandingkan atau untuk mengetahui data
yang terbanyak. Setelah seluruh data yang dibutuhkan
terkumpul, kemudian masing-masing data responden tersebut
akan diukur kemudian diberikan pembobotan dengan cara
dijumlahkan dan dibandingkan dengan jumlah skor tertinggi lalu
dikalikan 100%.
a. Analisa Univariat
23
informasi yang berguna. Analisa univariat digunakan untuk
menjabarkan secara deskriptif mengenai distribusi frekuensi dan
proporsi masing-masing variabel bebas maupun variabel terikat dalam
penelitian ini, yaitu berupa distribusi frekuensi dan persentase dari
karakteristik responden, mutu pelayanan BPJS Kesehatan berdasarkan
5 dimensi mutu pelayanan, dan kepuasan pasien.
b. Analisa Bivariat
24
DAFTAR PUSTAKA
25