Anda di halaman 1dari 5

Berkeley mengembangkan suatu pandangan tentang pengenalan visual tentang jarak dan ruang.

[1]
Selain itu, ia juga mengembangkan sistem metafisik yang serupa dengan idealisme untuk melawan
pandangan skeptisisme.[1]

Inti pandangan filsafat Berkeley adalah tentang "pengenalan".[2] Menurut Berkeley, pengamatan terjadi
bukan karena hubungan antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati.[2] Pengamatan justru
terjadi karena hubungan pengamatan antara pengamatan indra yang satu dengan pengamatan indra
yang lain.[2] Misalnya, jika seseorang mengamati meja, hal itu dimungkinkan karena ada hubungan
antara indra pelihat dan indra peraba.[2] Indra penglihatan hanya mampu menunjukkan ada warna
meja, sedangkan bentuk meja didapat dari indra peraba.[2] Kedua indra tersebut juga tidak
menunjukkan jarak antara meja dengan orang itu, sebab yang memungkinkan pengenalan jarak adalah
indra lain dan juga pengalaman.[2] Dengan demikian, Berkeley mengatakan bahwa pengenalan hanya
mungkin terhadap sesuatu yang kongkret.

Empirisisme

Empirisisme merupakan suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empririsisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.[3]

Empirisisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman
inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut lagi, aliran ini mengatakan
bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi. Aliran ini sangat
perperan penting bagi pengetahuan, malah merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu
pengetahuan menurut aliran ini.[4]

Aliran empirisisme memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
[5] Pengalaman adalah keseluruhan totalitas pengamatan yang disimpan di dalam ingatan atau
digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada
masa lalu.[6]

Paham ini, empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah
maupun lahiriah, akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah
bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.[7]
Tokoh-Tokoh Empirisisme

Adapun tokoh-tokoh empirisisme yang akan dibahas, ialah Berkeley dan Hume, sebagai berikut:

George Berkeley

George Berkeley (1685-1753). Berkeley adalah orang irlindia serta menjadi anggota trinity college, di
Dublin, pada usia 20 tahun. Dia berencana untuk membangun sebuha perguruan tinggi di Bermuda,
berbekal rencana ini, ia pergi ke Amerika. Selama 3 tahun di Rhode Island, kemudia ia pulang dan
membatalkan pembangunan tersebut. Yang karena itulah kota di california kemudian ia diberikan
sebuah nama berkeley. [8]

Sejak dari muda ia telah mempunyai keyakinan bahwa jika ilmu dan filsafat dibebaskan dari abstraksi-
abstraksi tanpa arti dan kata-kata yang kabur sehingga dapat diakhiri pertengkaran antara keyakinan
dan pengetahuan manusia. Ia berusaha keras untuk menyadarkan manusia kembali kepada pengalaman
langsung dan intuisi.

Ia berpendapat bahwa objek-objek material sebagai benda-benda yang tampak kepada manusia adalah
semuanya bergantung kepada pikiran dan karena itu tidak ada benda alam semesta yang diluar
kenyataan pikiran. Ia beranggapan bahwa kebenaran yang terbukti dengan sendirinya bahwa benda
yang membentuk bangunan di dunia ini tidak mempunyai suatu kehadiran yang sesungguhnya kecuali
yang ditangkap oleh pancaindera.[9]

Dalam artian, bahwa suatu objek yang ada, pasti ada serta dapat dipersepsi oleh pikiran. Semua
pandangan metafisis tentang adanya realita-realita yang tidak dapat dipersepsi oleh pikiran adalah
omong kosong. Jadi, sebenarnya dunia material di luar kesadaran itu, substansi material, tidak ada. Yang
ada hanya idea atau penangkapan persepsi manusia. Karena itu, being is being perceived sama dengan
being is seeming, atau duniaku adalah duniaku.[10]

Kata Berkeley, bahwa pengalaman adalah hal yang inheren dalam diri subjek, karena kita masing-masing
secara langsung menyadari keberadaan kita sebagai subjek itu, yakni subjek yang memiliki pengalaman.
Namun tidak pernah dapat mempunyai landasan apa pun untuk percaya bahwa pengalaman-
pengalaman ini melekat pada objek lain yang bukan kita. Maka, jika kita mau konsisten dengan
empirisisme, akan sampai pada kesimpulan bahwa yang ada hanyalah pikiran dan segala isinya, atau
subjek-subjek pengalaman mereka.

Berkeley menyelaraskan argumen itu dengan konsep bahwa seluruh realitas ada dalam pikiran Tuhan,
suatu roh tak terbatas yang telah menciptakan kita, roh-roh yang terbatas, dan yang berkomunikasi
dengan kita melalui pengalaman-pengalaman kita. Dengan sudut pandang ini, segala yang ada hanya
mungkin ada di dalam pikiran kita atau ada di dalam pikiran Tuhan atau, jika tidak, tentu adalah diri kita
atau adalah Tuhan.[11]

Menurut pemikirannya, ide-ide yang membuat melihat suatu dunia material. Dan bagaimana
dengannya? Dirinya mengakui merupakan suatu substansi ruhani. Ia mengakui adanya Allah, sebab Allah
lah yang merupakan asal-usul ide-ide yang dilihat. Jika manusia mengatakan Allah menciptakan dunia,
yang dimaksud adalah bukan berarti ada suatu dunia di luar manusia, melainkan bahwa Allah memberi
petunjuk ide-ide kepada manusia.[12]

Misalnya, dalam bioskop, gambar-gambar film pada layar putih dilihat para penonton sebagai benda-
benda yang riil dan hidup. Jikalau manusia memahami perbandingan wujud ini dengan film seperti tadi,
maka boleh manusia teruskan bahwasanya Allah lah yang memutar film itu dalam batin manusia.

Pandangan berkeley ini sekilas seperti rasionalisme karena memutlakkan subjek. Jika diperhatikan lebih
lagi pandangan ini termasuk empirisisme, sebab pengetahuan subjek itu diperoleh lewat pengalaman,
bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman itu adalah pengalaman batin. Selanjutya, ia
menegaskan tentang adanya sesuatu yang sama dengan pengertiannya dalam diri subjek dan juga ia
beranggapan bahwa dunia adalah ide-ide dalam pikiran.[13]

David Hume

David Hume adalah filsuf Skotlandia yang menyempurnakan empirisisme.[14] Ia dilahirkan di Edinburgh
pada tanggal 07 Mei 1711 dan meninggal pada tanggal 25 Agustus 1776.[15]
Empirisnya bertolak dari Locke dan Berkeley, bahwa tidak dapat diketahui sesuatu apapun, baik
mengetahui Allah maupun hakikat orang lain. Dikarenakan semua pengetahuan manusia terbatas pada
pengalaman-pengalaman inderawi, jadi pada kesan-kesan yang diterima melalu pancaindera.[16]

Hume membentah Berkeley pada prinsip Berkeley sendiri. Siapa gerangan yang pernah bisa mengamati
dirinya sendiri? Jika direnungkan, yang direnungkan sesungguhnya adalah pengalaman-pengalaman kita,
yakni pikiran, ingatan, emosi, yang berlangsung sekejap. Kita tidak pernah berhadapan dengan diri yang
mengalami itu sendiri. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip bahwa kita tidak dapat menyatakan
keberadaan sesuatu yang tidak ditemukan dalam pengalaman, kita tak punya alasan sedikitpun untuk
menganggap bahwa diri yang mengalami itu ada, dalam artian bahwa tersebut hanya sebuah khayal
belaka. Jadi, pertanyaan siapa atau apakah “aku”, satu-satunya jawaban yang dapat dibuktikan oleh
pengalaman dan pengamatan adalah “aku adalah sekumpulan kesan”.[17]

Ia menganggap bahwa pengalaman adalah sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran.
Dan juga sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi yang meliputi pengertian. Semua
kebenaran bersifat faktual dalam arti berdasarkan adanya kesan inderawi atau data pengalaman yang di
alami.[18]

Hume membagi kesan menjadi dua: kesan sensasi dan kesan refleksi. Kesan sensasi adalah kesan-kesan
yang masuk ke dalam jiwa yang tidak diketahui sebab penyebabnya. Misalnya, ada sebuah meja kayu.
Benda yang dilihat di depan adalah meja. Kesan refleksi adalah hasil dari gagasan. Gagasan jika muncul
kembali ke dalam jiwa akan membentuk kesan-kesan baru. Kesan baru hasil pencerminan dari ide
sebelumnya inilah yang disebut denga kesan refleksi. Misalnya, kita melihat sebuah meja dari besi Maka
dapat ditentukan bahwa itu meja walaupun terbuat dari bahan yang berbeda, karena sebelumnya sudah
ada kesan sensasi terhadap meja kayu.

Sedangkan ia menolak tentang kausalitas dan menurutnya bahwa pengalaman hanya memberi urutan
gejala, tetapi tidak memperhatikan urutan sebab akibatnya. Ia lebih suka menyebut urutan kejadian. Jika
berbicara tentang hukum alam atau sebab merupakan gagasan saja, yang lebih didikte oleh seseorang
kebiasaan atau perasaan saja.[19]

Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat.
Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti
api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya “daya aktif” yang mendidihkan air. Daya
aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa
digunakan untuk menetapkan suatu peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa terdahulu.[20]

Kita tidak pernah mengetahui apapun, kita memang bisa menduga berharap, memperkirakan, tapi itu
sama sekali bukan pengetahuan. Misalnya, mungkin suau saat nanti kejadiannya akan berbeda . selama
ribuan tahun semua angsa yang pernah diamati oleh orang Eropa selalu berwarna putih, maka langsung
menerima fakta tersebut begitu saja angsa berwarna putih. Namun ketika mereka menemukan benua
Australia, mereka menemukan angsa berwarna hitam.

Berapa pun banyaknya pengamatan tentang angsa berwarna putih tidak dapat pernah menjamin bahwa
semua angsa berwarna putih. Prinsip ini berlaku kepada segala jenis pengamatan.[21]

Anda mungkin juga menyukai