Anda di halaman 1dari 5

PLATON: DEMOKRASI ITU REZIM UANG

 
Wawancara Redaksi Jurnal Pesantren Ciganjur
dengan Dr. A. Setyo Wibowo,
(pengajar Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta)
 
Dimuat di situs Pusat Kajian Islam Tradisional:
http://pkitgusdur.blogspot.co.id/2014/01/platon-demokrasi-itu-rezim-uang.html
(Kamis, 16 Januari 2014)
 
Negeri ini punya sejarah demokrasi yang cukup panjang, meski belum bisa dikatakan telah matang.
Lima belas tahun yang lalu, Mei 1998, orang boleh tenggelam dalam euforia keterbukaan kran
reformasi politik. Namun, perkembangan selanjutnya justru memperlihatkan bahwa agenda reformasi
telah lumpuh. Demokrasi kita justru semakin mengarah pada apa yang jauh-jauh hari telah menjadi
sasaran kritik keras dari Platon, sang filsuf Yunani, yaitu bahwa demokrasi adalah
rezim epithumia, rezim uang.
Berikut ini adalah wawancara Redaksi Jurnal Pesantren Ciganjur dengan Dr. A. Setyo Wibowo, pakar
Filsafat Yunani jebolan Universitas Sorbonne Prancis.
 
Apa pengertian Platon tentang negara, atau masyarakat politik?
Pengertian Platon tentang negara, saya kira begini. Judul buku Platon, Politeia, itu artinya konstitusi,
undang-undang dasar, juga fondasi sebuah masyarakat. Nah, apa pandangannya tentang
masyarakat, tentang negara dalam Politeia itu? Di satu sisi, dia mengkritik zamannya. Dia mengkritik
situasi Athena yang saat itu demokratis tapi disabotase oleh, katakanlah, sophisme, oleh kaum
sophis. Akhirnya, dalam demokrasi itu, orang-orang yang tidak kompeten mengambil alih posisi-posisi
yang sebetulnya bukan tugas mereka. Dari sini terlihat bagaimana pandangan Platon tentang hidup
bernegara atau politeia yang ideal. Yang diharapkan, tentu saja, adalah sebuah kondisi di mana
negara itu, politeia-nya yang paling dasar adalah keadilan (justice). Artinya simpel, yaitu ketika setiap
orang menjalankan fungsinya masing-masing. Ini definisi keadilan yang luar biasa sederhana. Bagi
Platon, situasi yang adil, yang benar, yang tegak itu adalah bila tiap orang sesuai dengan bakatnya
masing-masing menjalankan apa yang terbaik sesuai bakatnya itu, yaitu menjalankan fungsinya. Kira-
kira, itulah idealisme Platon tentang hidup bermasyarakat.
 
Jadi, sedari awal, manusia tidak dianggap setara?
Ya. Persis. Bagi kita, orang modern, demokrasi Yunani maupun omongannya Platon memang
agak shocking. Untuk demokrasi Yunani sendiri, kita harus sadar bahwa demokrasi Yunani itu tidak
diisi oleh semua orang yang tinggal di Athena. Demokrasi atau politik hanya menjadi hak bagi citizen.
Siapa itu citizen di Athena? Yaitu laki-laki dari bapak-ibu warga Athena, berumur delapan belas tahun
ke atas, dan memiliki reputasi baik. Jadi kalau orang itu terkenal pemabuk, suka main wanita, atau
dikenal sebagai pengecut dalam pertempuran, maka tidak menjadi citizen. Kalau tidak
menjadi citizen, itu artinya tidak bisa dipilih menjadi anggota dalam dewan pengadilan, dewan rakyat
atau Majelis Ekklesia, atau fungsi lembaga-lembaga demokratis di Athena saat itu. Maka, karena
demokrasi itu dipraktikkan oleh citizen, bisa kita bayangkan orang yang punya hak berpartisipasi
politik aktif itu di Athena itu sedikit. Karena, sebagian masyarakat Athena itu perempuan dan anak-
anak. Mereka tidak punya hak sama sekali. Juga warga negara asing. Athena saat itu adalah kota
yang kosmopolit. Banyak sophis datang dari mana-mana dan mereka tidak punya hak apapun. Dan,
bagian terbesar dari Athena adalah budak. Budak itu siapa? Yaitu orang Yunani dari kota lain yang
dikalahkan oleh Athena maupun orang Barbar, yaitu orang non-Yunani yang kalah perang atau yang
mereka beli di pasar-pasar budak.
Jadi, de facto demokrasi di zaman Platon sudah seperti itu; didasarkan pada ketidaksetaraan.
Delapan puluh persen warga tidak punya hak apa-apa. Dua puluh persen, yang citizen itu, berhak
masuk dalam lembaga-lembaga demokratis kala itu. Nah, dari Platon yang merupakan warga Athena
saat itu tidak bisa diharapkan sebuah kesadaran orang-orang modern seperti kita yang mengatakan
bahwa manusia itu diciptakan sama, dilahirkan sama, biar berkulit hitam, putih, kuning, biar kakinya
satu, tiga, ataupun dua. Semua punyak hak yang sama. Orang modern berpikir begitu. Tapi Platon
tidak. Ia anak zamannya. Maka, bagi dia, fakta bahwa ada  manusia itu berbeda-beda itu diterima.
Hanya, masalahnya ialah dia tidak mengikuti zamannya. Kalau ada perbedaan dalam masyarakat itu,
maka boleh. Tapi, dilandaskan pada bakat alamiah masing-masing. Ini penting. Maka, dia
mengatakan, politik itu baik jika diurus orang yang memang punya bakat natural philosopher, “filsuf
alamiah”. Yaitu, anak-anak yang sejak lahir teramati punya bakat filsuf; cerdas, memori baik, cepat
mengerti, pemberani, tahan duduk dan tahan belajar. Sehingga, nantinya keutamaan-keutamaan
mereka yang diperlukan untuk jadi seorang negarawan.
Nah, kalau orang yang bakatnya adalah menjadi tentara, dia harus jadi tentara. Kalau bakatnya jadi
pedagang, kan ada itu anak-anak yang suka bermain, tidak suka belajar, suka ngumpulin barang,
kalau ada yang bakatnya jadi petani atau pedagang, ya sudah, dikerjakan saja sebaik-baiknya.
Karena polis kan butuh. Satu hal yang revolusioner, tentu saja, meskipun Platon melanjutkan
ketidaksetaraan dalam idealisme tentang polis. Yang menarik adalah Platon waktu itu sudah
mengatakan bahwa wanita juga bisa menjadi filsuf pemimpin. Ini radikal ya. Sekarang
saya kan sedang memberi kuliah tentang Politeia dan masuk pada buku lima. Nah, pada buku lima ini,
Platon harus menghadapi keberatan-keberatan introduksi wanita dalam kelas philosopher-kings, filsuf-
filsuf raja. Plural ya. Jadi, tidak ada satu filsuf-raja bagi Platon, tapi plural, yang saya sebut kelas
punggawa.
 
Apakah itu bagian dari kritik Platon terhadap demokrasi spesifik dalam konteks Athena, atau itu secara
esensial? 
Saya kira secara esensial ya. Satu, tentu Athena waktu itu memang mempraktikkan demokrasi,
dibanding yang lain seperti Sparta, misalnya, yang juga demokratis tapi lebih oligarkis. Dia
(Platon, red) menunjukkan kelemahan esensial demokrasi, yaitu di situ tiada justice. Jadi, setiap orang
merasa bisa mengokupasi fungsi atau tugas yang bukan bakatnya, tapi hanya karena keinginan saja,
karena mungkin ia kelebihan uang. Misalnya kelas pedagang, karena kelebihan uang, lalu punya ide
macam-macam; “wah, kayaknya saya bisa nih jadi pemimpin”, maka dengan uangnya dia
mengusahakan diri supaya terpilih menjadi pemimpin. Atau seorang pedagang tiba-tiba bilang; “wah,
kayaknya enak ya jadi jendral. Saya ingin juga mimpin ekspedisi militer”. Lalu, dengan uangnya ia
pengaruhi sana-sana agar dipilih memimpin ekspedisi militer. Padahal bakatnya berdagang. Inilah
yang dibilang Platon, secara esensial demokrasi itu adalah rezim uang. Ini yang menarik kalau kita
kontekskan dengan kondisi kita sekarang. Berbeda jauh, tentu. Tapi kalau kita bilang secara esensial,
apa yang Platon kritik dari demokrasi itu adalah bahwa demokrasi itu rezim uang, atau
rezim epithumia. Epithumia itu nafsu-nafsu makan-minum dan seks, yang kata kuncinya bagi Platon
adalah uang. Jadi, demokrasi adalah rezim epithumia, artinya rezim uang. Kalau uang itu, katakanlah,
jadi pemimpin dalam hidup, bukan hanya dalam hidup bersama, tapi bayangannya, analoginya juga
dalam hidup individu. Jadi bayangkan seseorang itu hanya disetir epithumia-nya, oleh uangnya.
 
Tapi, Romo, pemimpin itu kan pembuat hukum, dan akan ada penyalahgunaan hukum bila pemimpin itu
tidak cakap.
Ya. Tentu saja.
 
Jadi akan berbeda masalahnya jika, misalnya, administrasinya sudah teratur.
Jangan lupa di sana, di Dewan Kerajaan, ada banyak keputusan. Atau di pengadilan Helalia, atau
pengadilan Sokrates itu ya, itu voting lho. Struktur, aturan memang ada, lengkap. Tapi kehadiran para
sophis, yang melatih orang-orang berargumentasi, berpikiran cerdas, tapi keblinger, pokoknya asal
kelihatan rasional, ini membuat banyak hal kacau. Karena lalu, seperti keluhannya Demosthenes
yang hidup di lingkungan demokrasi anarkis yang kacau itu, suara terbanyak itu yang memimpin.
Akhirnya, orang-orang yang kompeten, misalnya jadi pemimpin ekspedisi perang, gak bisa apa-apa.
Karena semua aturan di voting di situ, dan bahkan kadang-kadang aturan yang melanggar konstitusi.
Dengan argumen simpel, “lho, kita kan wakil rakyat, yang bikin konstitusi wakil rakyat, bisa kita
ubah dong sewaktu-waktu”. Jadi, banyak aturan waktu itu yang, de facto menurut keluhan
Demosthenes, ngawur. Di zaman kita, perda-perda syariat yang sebenarnya ini apa? Kok bisa? Tapi,
argumen dari daerah kan begitu, “ini kan otonomi daerah”, “ini kan kehendak rakyat”. Ya bullshit lah.
Yang namanya aturan kan harus ngikuti yang pokok. Jadi, situasi anarkis seperti itu ya, ketika uang
mendominasi kepemimpinan, akhirnya tidak dilandaskan pada wisdom, kebijaksanaan, atau
pengetahuan, kalau Platon bilang. Jadi, kepemimpinan disabotase sama uang. Nah, kalau sudah
disabotase uang, ya sudah.
 
Apakah demikian juga dengan demokrasi liberal?
Saya tidak bisa bicara demokrasi liberal dalam konteks luar ya. Karena, kalau itu Indonesia, mungkin
iya. Saya berani bilang, demokrasi kita kan primitif tho. Parpol kayak gitu. Dan kita, rakyat, sebenarnya
tidak ada yang terlibat dengan partai politik kan. Kalau kita mau riil ya. Rakyat itu kan hanya
disuguhkan dengan apa-apa kalau pas mau Pemilu. Seolah-olah lalu, “oh, itu orang [partai-red]
Demokrat itu orang peduli”. Tapi, dalam kesehariannya kan enggak. Ini suatu yang lain dari di luar
negeri di mana komite-komite parpol itu kerja, aktif dalam program, ngontrol pemerintah. Demokrasi
liberal seperti yang kita lihat di Perancis itu menarik. Makanya, saya gak berani komentar secara
umum untuk demokrasi liberal, karena lebih canggih, lebih subtil. Tapi, kalau untuk Indonesia, saya
kira kritikan Platon ini pas banget, karena sekarang rezim kita memang rezim uang. Di luar, kamu tidak
bisa terang-terangan rezim uang begitu. Tidak bisa. Karena idealisme masih tinggi. Orang berpolitik
tidak cari uang. Tapi mereka cari reputasi, cari nama besar.
Kalau kamu jadi manusia, kamu nanti dicatat dalam sejarah bahwa kamu pernah membuat monumen
ini, membuat program ini untuk masyarakat, kamu menciptakan undang-undang ini untuk membantu
masyarakat. Ya, rezim thumos lah. Saya kira juga ada rezim uang, tapi tidak terlalu. Memang kalau
dalam kritik filsuf-filsuf Perancis kiri, seperti Alain Badiou, atau juga muridnya, Slavoj Zizek, mereka
bilang demokrasi liberal itu sekarang menjadi parlementaro-capitalism, di mana kekuatan bisnis
mondial itulah praktis yang mendikte semua undang-undang yang divoting oleh parlemen. Jadi,
parlemen atau wakil rakyat itu sebenarnya tangannya terikat, gak bisa apa-apa. Tapi itu kan kritik
ekstrem dari orang marginal lah. Tidak ada satu partai politik pun yang mengadopsi pemikiran
mereka. Gak ada.
 
Lalu, supremasi hukumnya di mana, ketika demokrasi sudah anarkis seperti itu?  
Sama seperti pertanyaan kita di Indonesia saat ini. Supermasi hukum itu di mana? Ketika seorang
Walikota Bogor bisa tidak peduli pada putusan MA (Mahkamah Agung-red), misalnya. Sama kan
pertanyaan kita: di negara ini, hukum itu apa sih, kok tidak ada orang yang melaksanakan? Hukum
itu kan sebuah tatanan yang ada pelaksananya, namanya polisi atau tentara atau siapa pun. Yang
memiliki privilege kekerasan. Mereka yang berhak menggunakan kekerasan, karena memang di bayar
negara untuk itu. Tapi, kalau hukum tidak diterapkan, mereka tidak bergerak juga, begitu kan? Lalu
apa? Ya sudah, kita berada dalam situasi kayak gamang begitu. Lalu yang kita buat ini apa
sebenarnya?
 
Dalam konteks demokrasi Yunani, apa ada hubungannya dengan kebebasan?
Platon memang berbicara tentang kebebasan. Jadi, masuknya sofisme itu kan salah satu pengaruh
buruk sofisme adalah mereka itu menjungkirbalikkan tatanan dengan pola pikir rasional. Tapi
memang bikin orang lalu tidak percaya apa-apa. Misalnya, hukum itu kan tidak ada kodratnya, itu
kesepakatan atau konvensi saja. Di Athena, hukumnya begini, tetapi pada hal yang sama di tempat
lain hukumnya lain. Pada hal yang sama. Jadi, tidak ada yang kodratiah dalam hukum. Ada cerita lain
misalnya anekdot-anekdot, ini cerita dari Aristopanes. Aristopanes itu kan lawannya Sokrates. Ia
mengkritik Sokrates. Sokrates dianggap sophis. Ini salah satu tuduhan orang sophis. Saya tidak yakin
itu ya. Tapi, baiklah. Dalam cerita itu dikatakan, Sokrates juga seorang sophis. Ada seorang Yunani
ingin anaknya sukses, seperti orang-orang Athena saat itu. Sukses artinya menjadi hakim. Maka dia
kirim anaknya ke sekolah para sophis. Karena yang punya sekolah itu kaum sophis. Dia jual tanah
dan sapinya. Dia seorang petani. Tujuannya agar anaknya pinter, sehingga nasibnya bisa lebih baik
dari dia.
Si anak akhirnya bersekolah di tempat para sophis. Setelah keluar, dia pulang dan langsung memukul
bapaknya. Bapaknya kaget. “Apa-apaan kamu, kok malah mukul, kan gak boleh? Kamu harus
menghormati orang tua” kata si bapak. Anaknya bilang, “Saya di sekolah diajari, yang namanya
hukum itu buatan manusia. Tidak ada yang mutlak di balik hukum. Jadi, kalau dari dulu Bapak diajari
hukum untuk hormat pada orang tua, sekarang akan saya ubah. Boleh anak-anak memukul orang
tua”. Bapaknya cuma garuk-garuk kepala. “Kok jadi seperti ini anak saya. Disekolahkan, malah bikin
hukum baru yang membolehkan anak-anak memukul orang tuanya”.  Si bapak berpikir,”Tapi, kalau
dipikir-pikir, usia saya yang sudah tua begini dengan anak saya yang sudah pinter, barangkali
memang dia yang benar”. Jadi, ini mau menunjukkan kekacauan situasi di Athena ketika orang tidak
mengerti lagi ini sebenarnya bagaimana sih, tatanan kita seharusnya bagaimana karena ada
argumentasi-argumentasi rasional. Itu tadi yang diomongkan kan rasional, bahwa hukum hanya
buatan manusia. Jadi, siapa pun berhak membuat hukum. Ini yang disebut relativisme. Nah,
relativisme ini memang terkenal dengan tokoh-tokoh seperti Protagoras, dan lain-lain. Sophis-sophis
yang mengajar di Athena. Protagoras terkenal dengan ucapannya bahwa manusia adalah ukuran
untuk segala sesuatu.
Jadi, nah, kebebasan-kebebasan tadi itu akhirnya membuat semua orang, siapa pun, tidak peduli
kapasitas dan bakatnya, merasa bisa apa saja. Maka, Platon mengatakan, tidak bisa begitu. Dalam
politik, kalau kita mau bikin sesuatu yang ideal, politik yang ideal, kita harus serahkan lagi pada fungsi
dan bakat masing-masing. Jadi, setiap bakat kelihatan betul fungsinya. Nah, dari seleksi terhadap
bakat inilah, nanti orang-orang yang memiliki kemampuan, bukan hanya mampu
mengendalikan epithumia dan thumos, tapi lebih-lebih juga mempunyai pemikiran yang bijak, orang
seperti inilah yang nanti harus jadi pemimpin. Dan orang seperti ini yang membuat hukum dan yang
lainnya itu taat kepada hukum yang dibuat orang-orang itu. Kalau seperti ini lalu diandaikan, ini
andaian Platon, akan ada polis yang adil. Karena, semua lalu, seperti saya bilang tadi, semua
menjalankan fungsinya masing-masing. Epithumia taat pada rasio. Thumos, tentara, juga taat pada
rasio. Nah, rasio bekerja dengan membuat law.
Jadi, kritik Platon pada demokrasi adalah pada rezim epithumia, rezim uang. Nah, kebebasan yang
seperti itu adalah dampak dari rezim uang tadi. Jadi, saya kira, tidak ada kritik esensial Platon pada
kebebasan atau kesetaraan (equality) dalam dirinya sendiri. Karena, pada zaman itu pun, yang
namanya kebebasan atau pun equality tidak ada. Sudut pandang kita berbeda. Kita, orang modern,
berpikir kalau demokrasi itu dasarnya adalah kesetaraan dan kebebasan. Di Yunani, tak ada satu
orang pun berpikir begitu. Demokrasi hanyalah untuk citizen. Dan citizen adalah orang yang bebas.
Sementara itu, wanita, orang asing, anak-anak, budak, yang merupakan delapan puluh persen dari
populasi, mereka sama sekali tidak equal, sama sekali tidak bebas. Jadi, kita harus hati-hati. Harus
dipilah.
 
Platon juga menggambarkan beberapa jenis pemerintahan. Dari timokrasi, demokrasi, kemudian berakhir
dengan tirani. Bagaimana mungkin dari demokrasi yang begitu mengagungkan kebebasan kemudian
menjadi tirani?
Menjadi anarki dulu. Jadi, demokrasi menjadi anarkis. Ketika anarkis kan menjadi anormal. Tiap orang
mengerti bahwa kebebasan yang dinikmati tidak seindah yang dibayangkan. Kalau sudah seperti itu
akan ada kekacauan dan dalam keadaan kacau tentu akan ada orang atau kelompok yang,
“sudahlah, kayaknya lebih enak dipimpin Soeharto”. Dipimpin orang seperti Soeharto yang agak
keras sedikit, tapi kita semua aman. Godaan manusia kan seperti itu?! Dalam situasi chaos, kita akan
mengatakan, “Sudahlah, daripada tidak ada, siapa pun saja yang penting bikin kita tenang”. Entah
preman, entah penjahat.
 
Tapi, bukankah demokrasi justru menghendaki kekuasaan dibatasi? 
Atas dasar apa kamu ngomong begitu?
 
Ya, misalnya masa berkuasa dibatasi setahun. Jadi tidak ada yang berkuasa penuh.
Ini yang mana? Di Athena atau masa modern? Kalau ngomong demokrasi modern, iya. Teori
demokrasi modern memang begitu. Kan ada dua landasan demokrasi modern: pemilu atau
pergantian pemimpin secara reguler dan penegakan hukum. Itu saja. Nah, dalam penegakan hukum
itu ada human rights, equality, dan segala macam. Teorinya begitu. Tapi, misalnya, yang terjadi dengan
demokrasi terpimpin Soekarno. Meskipun pemilu itu membatasi, bahwa pemilihan pemimpin harus
dibatasi, kita punya pengalaman berapa kali dia dipilih. Kita punya pengalaman dengan Soeharto
dalam Demokrasi Pancasila. Berapa kali Soeharto dipilih menjadi presiden. Jadi, sistem demokrasi
modern dalam dirinya sendiri tidak menjamin apa-apa. Yang terjadi di Rusia sekarang, misalnya.
Medvedev sama Putin sekarang. Itu kan cuma pergantian saja di antara dua orang itu. Ada konstitusi
yang mengatakan presiden dua kali memimpin. Putin dua kali memimpin tho. Saya jadi perdana
menteri dulu, kamu jadi presiden. Tapi next time, tahun depan Putin akan naik lagi jadi Presiden. Jadi,
tidak ada jaminan apa-apa dalam kata-kata demokrasi bahwa lalu seperti yang dikehendaki.
 
Tapi seharusnya kan…
Ya, seharusnya. Saya setuju seharusnya. Tapi kalau kita bicara fakta? Apalagi kita orang Indonesia.
Kita punya dua pengalaman lho, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Dari pengalaman
itu, apa yang menjamin bahwa pergantian pemimpin akan terjadi secara reguler ? Tidak ada. Kalau
saya melihat, itu sebenarnya tergantung mental kita. Kalau kita bermental Orde Lama, kita akan
memilih Soekarno terus. Kalau kita bermental zaman Demokrasi Pancasila atau Orde Baru, kita akan
memilih Soeharto terus. Dan tidak ada yang bisa disalahkan. Nah, dengan reformasi ini, kalau kita
bisa menjaga spirit, kalau kita betul-betul seorang demokrat tulen, artinya kita percaya pada ide
kebebasan, kita percaya betul pada ide kesetaraan, maka ini kita kawal. Yang namanya pemilu rutin.
Dan pembatasan kekuasaan. Jadi, kalau nanti ada upaya-upaya menyabot, atau misalnya konstitusi
diubah, atau ada upaya nepotisme, atau bagaimana, maka harus dilawan. Tergantung kita kok. Kalau
mental kita sungguh percaya pada demokrasi, kita bertarung di situ. Tapi tidak ada jaminan teoritik
apapun bahwa demokrasi akan berjalan seperti yang dikehendaki tadi itu.
 
Kembali pada Platon. Ada yang menyebut bahwa negara ideal Platon itu sebagai negara despotis terbesar.
Ya, tuduhan paling keras itu dari Popper. Dia mengatakan bahwa Politeia adalah asal-usul ide
filosofis pertama yang menjadi pendasaran bagi pemerintahan totaliter. Itu tuduhan paling keras. Bisa
dikatakan, menghabisi Platon lah. Platon seolah-olah dijadikan pendahulu Hitler, semua rezim
totaliter, dalam bentuk nazisme maupun komunisme. Tuduhan Popper tentu berat sebelah dan dia
lebih banyak berbicara mengenai situasi dia, Perang Dunia di mana dia harus lari dikejar
pemerintahan Nazi dan akhirnya meninggal di pengasingan. Jadi, pada Perang Dunia II, momok
Hitler itu bagi dia selalu hidup. Sehingga, analisis filosofisnya melihat Platon ke situ. Tapi kalau kita
baca lebih teliti, bukan pendapat saya, tapi kata pengarang lain, mungkin Platon mengidealkan
negara semacam Sparta. Jadi, agak disiplin, jelas, teratur.
Namun, bila kita lihat teks bukunya Platon sendiri, yang menarik tentu Platon berbicara mengenai
model pendidikan, model berpolitik, tapi kita ingat bahwa Platon selalu mengingatkan bahwa ini
semua hanyalah logos, semuanya kata-kata. Di akhir buku sembilan, dia dengan jelas, ketika ditanya
oleh Glaukon, “Platon, semua yang kamu omongkan ini baik, ideal. Tapi kenyataannya di mana?
Mungkin tidak diaplikasikan dalam kenyataan”. Platon menjawab, “Apakah politik semacam ini suatu
hari akan lahir, apakah polis yang saya wacanakan ini suatu hari akan muncul, bukan itu
persoalannya”. Jadi, Platon tidak peduli. Ada orang yang merasa tidak menerapkan, itu bukan urusan.
Tetapi, kalau ada orang mulai percaya dengan kata-kata ini, kita bisa berharap polis ideal semacam
itu akan mulai muncul. Begitu ya. Makanya, beberapa pengarang yang cukup teliti akan mengatakan
bahwa politik yang diidealkan dalam Politeia adalah city in speech, “kota dalam kata-kata”.
Filsafat kan begitu.
 
Sering dikatakan bahwa pandangan politik Platon pada buku keduanya lebih realistis dari yang di Politeia.
Bagaimana perbedaan kedua buku ini?
Ya. Yang kedua, Laws, memang berisi pasal-pasal, aturan-aturan. Tentang perbedaan itu, saya belum
berani banyak omong. Karena saya belum baca teliti Laws. Baru baca Politeia. Tetapi Laws saya baru
baca pengantarnya saja tetapi detailnya, undang-undang isisnya apa. Karena itukan proyek
kontitusinya, aristoteles juga punya tho kontitusi Athena. Platon membuat kontitusi itu dibuku Nomoi.
Tetapi saya tidak berani banyak komentar karena belum baca secara utuh buku itu.
 
Platon juga mengritik demokrasi, yaitu bahwa ia tidak pernah mengajak orang untuk menjadi seorang
negarawan.
Ya. Bagi Platon, demokrasi itu anarki.
 
Setiap demokrasi begitu?
Kalau melihat kritik esensial Platon terhadap demokrasi sebagai rezim uang, iya. Bagi Platon jelas,
demokrasi itu rezim uang. Makanya, kritik itu bisa kena di Indonesia. Telak.

Anda mungkin juga menyukai