Disusun Oleh:
Swiny Anniza
NIM. I4061192041
Pembimbing:
dr. Ivan Lumban Toruan, Sp.PD, KHOM
dr. Ivan Lumban Toruan, Sp. PD, KHOM Swiny Anniza, S.Ked
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Etiologi
Penyebab thrombosis dibagi menjadi dua yaitu yang terkait dengan
imobilisasi dan yang berhubungan dengan hiperkoagulasi baik yang
berhubungan dengan faktor genetik atau didapat. Trombosis vena adalah
penyakit dengan penyebab yang multiple dengan beberapa faktor risiko sering
terjadi bersama-sama pada suatu waktu. Seringkali faktor risiko thrombosis
bersifat herediter dan sudah berlangsung lama, kemudian diperberat oleh adanya
faktor risiko yang didapat. Beberapa faktor risiko thrombosis yang didapat
sangat tinggi, dan menyebabkan risiko trombosis vena lebih dari 50%. Kondisi-
kondisi dengan faktor risiko yang tinggi tersebut adalah operasi ortopedik,
neurosurgical, intervensi di daerah abdomen, trauma mayor dengan fraktur yang
multiple, kateter vena sentral, kanker metastase khususnya adenokarsinoma.
Faktor risiko sedang adalah anthiphospholipid antibody syndrome, puerperium,
bedrest yang lama. Kanker non metastase, kehamilan, penggunaan kontrasepsi
oral, dalam terapi hormone tertentu, kegemukan dan perjalanan yang jauh
merupakan faktor risiko yang ringan.
Defesiensi protein C dan S yang homozigot berpotensi untuk
menyebabkan terjadinya purpura fulminan yang fatal setelah lahir. Defesiensi
antitrombin dan faktor V Leiden merupakan faktor risiko genetik yang terkuat
dengan risiko trombosis vena sebanyak 20 – 50 kali lipat. Defesiensi protein C
dan S yang heterozigot merupakan fektor risiko sedang yang meningkatkan
risiko thrombosis 10 kali lipat. Peningkatan ringan risiko trombosis terjadi pada
kondisi gangguan sistem koagulasi dengan sumber yang tidak jelas seperti
peningkatan faktor prokoagulasi seperti fibrinogen, II, von Willebrand’s factor,
VIII, IX, X dan XI, dan antifibrinolytic factor (TAFI) dan kadar yang rendah
dari anticoagulant factors (TFPI).3
Tabel 1. Etiologi berdasarkan faktor resiko DVT4
c. Epidemiologi
Insiden DVT pada populasi 2 juta penduduk setiap tahunnya di Amerika
akibat trombosis arteri, vena, atau komplikasinya. Angka baru pada DVT
yang baru berkisar 50 orang per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia
lebih dari 70 tahun, diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.1 Venous
thromboembolism (VTE) incidence increases sharply with age (Figure 1) and appears
steady over the last 25 years, despite preventive strategies.1 Women are more often
affected at younger ages; this ratio reverses in the elderly.2 Incidence is similar in
Blacks but lower in Asians.3 Almost two-thirds of VTE cases are isolated deep vein
thromboses (DVTs), and 80% are proximal.4 In patients with DVT without PE, short-
term mortality rates of 2–5% were reported, more frequent in proximal than distal
DVT.7 Recurrence risk is high, especially within first 6 months.8 Long-term
complications include post-thrombotic syndrome (PTS), defined as chronic venous
symptoms and/or signs secondary to DVT. It represents the most frequent chronic DVT
complication, occurring in 30–50% of patients within 2 years after proximal DVT.9 In
5–10% of cases, PTS is severe.9 Previous ipsilateral DVT, proximal location (ilio-
femoral >popliteal), and residual veins obstruction are most significant PTS risk
factors. Obesity and poor INR control during the first 3-months treatment are additional
independent risk factors.10
d. Faktor Risiko
Sekitar 50-70% pasien memiliki faktor risiko yang dapat diidentifikasi seperti
pada table di bawah ini.
Tabel 2. Faktor Resiko pada DVT.6
Resiko rendah : Operasi minor pada pasien usia <40 tahun tanpa faktor resiko
tambahan
Resiko sedang : Operasi minor pada pasien dengan faktor resiko tambahan, operasi
bukan mayor pada pasien 40-60 tahun tanpa faktor resiko tambahan, operasi mayor
pada pasien <40 tahun tanpa faktor resiko tambahan
Resiko tinggi : Operasi bukan mayor pada pasien >60 tahun atau dengan faktor
resiko tambahan, operasi mayor pada pasien >40 tahun atau dengan faktor resiko
tambahan
Resiko sangat tinggi : Operasi mayor pada pasien >40 tahun dengan + riwayat
tromboemboli vena, kanker, atau hypercoagulable state molecular, artroplasti
panggul atau lutut, operasi fraktur panggul, trauma mayor, cedera tulang belakang.1
e. Patofisiologi
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses
terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):
1. Stasis vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di daerah
yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu mekanisme
pembersihan aktivitas faktor pembekuan darah, dan membatasi aksesbilitas
thrombin di vena kemudian menempel ke trombomodulin, sehingga
memudahkan terbentuknya trombosis. Penelitian ultrastruktural menunjukkan
bahwa setelah trauma ditempat jauh, leukosit melekat diantara intercellular
junction endotel pada daerah statis vena. Hal ini menjadi nidus untuk
pembentukkan thrombus. Bila nidus thrombus mulai terdapat di daerah statis,
maka substansi yang dapat meningkatkan agregasi trombosit, yaitu factor X
teraktivasi, thrombin, fibrin dan katekolamin tetap dalam konsentrasi tinggi di
daerah tersebut. Stasis juga memberikan kontribusi tambahan, yaitu membentuk
thrombin dengan cara merusak katup vena yang avaskuler. Sebaliknya katup
tergantung pada darah lumen untuk oksigenasi dan nutrisi, sedangkan aliran
darah stasis.5
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan
trombosis vena, melalui:
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan
b. Aktivasi sel endotel oleh sitokin (interleukin-1 dan tumor necrosis factor)
yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan dan proses
peradangan.
Koagulasi darah dapat diaktifkan melalui rangsangan intravaskuler yang
dilepaskan dari tempat jauh (misal kerusakan vena femoralis saat operasi
panggul) atau oleh sitokin yang terinduksi rangsangan endotel yang utuh.
Sitokinin ini merangsang sel endotel untuk mensintesis tissue factor dan
plasminogen activator inhibitor-1 dan mengakibatkan reduksi trombodulin,
sehingga membalikkan kemampuan protektif endotel yang normal. Trombodulin
(TM) adalah reseptor membran sel endotel untuk thrombin. Bila thrombin terikat
pada TM maka kemampuan memecah fibrinogen menurun. Sebaliknya
kemampuan mengaktifasi antikoagulan, protein C meningkat. Protein C dengan
kofaktornya protein S menginaktifasi bentuk aktif kofaktor prokoagulan, faktor
Va dan VIIIa. Protein C aktif juga meningkatkan fibrinolisis. Endotel vena
mengandung activator yang mengkonversi plasminogen ke plasmin kemudian
plasmin melisis fibrin. Setelah pembedahan dan cedera, sistem fibrinolisis akan
dihambat kemudian aktivitas vena ekstemitas bawah lebih berkurang dibanding
dengan ekstremitas atas.5
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecenderungan trombosis terjadi apabila aktivitas
pembekuan darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun. DVT sering
terjadi pada kasus aktivitas pembekuan darah meningkat, seperti pada
hiperkoagulasi, defisiensi anti-trombin III, defisiensi protein-C, defisiensi
protein S, dan kelainan plasminogen.5
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme
protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi:1
1. Gangguan sel endotel
2. Terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel
3. Aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau
faktor von Willebrand
4. Aktivasi koagulasi
5. Terganggunya fibrinolisis
6. Statis
Mekanisme protektif terdiri dari:1
1. Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh
2. Netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel
3. Hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor
4. Pemecahan faktor pembekuan oleh protease
5. Pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trobosit yang beragregasi
oleh aliran darah
6. Lisisnya trombus oleh system fibrinolysis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena aliran
yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis,
sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari
eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit.1
f. Tipe DVT
DVT di pelvis dan ekstremitas bawah diklasifikasikan menjadi DVT jenis
sentral (DVT iliac dan DVT femoralis), yang terjadi pada vena di atas vena
poplitea, dan DVT tipe perifer (DVT tungkai bawah), yang terjadi pada vena
poplitea dan distal pembuluh darah. Tanda dan gejala drainase vena anomali
akut termasuk pembengkakan, nyeri, dan perubahan warna kulit pada pasien
dengan tipe DVT sentral. Pada pasien dengan DVT iliaka dengan oklusi difus,
vena nekrosis akibat perfusi arteri yang buruk berkembang secara akut tahap.
Meskipun DVT tipe perifer biasanya menyebabkan nyeri, banyak pasien
asimtomatik. Temuan penting dari pemeriksaan fisik antara lain adanya vena
thrombosis atau nyeri tekan saat palpitasi (temuan langsung) dan otot tungkai
bawah yang keras (temuan tidak langsung). DVT berulang selama fase kronis,
pasien menunjukkan ciri tanda dan gejala baik yang akut maupun kronis fase
DVT. 5
g. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang. Keluhan
utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat menjadi
berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT umumnya timbul
karena faktor risiko tertentu, tetapi dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT). Namun, DVT masif sering muncul dengan pembengkakan
paha yang ditandai, nyeri tekan, dan eritema. Edema paha kiri berulang terutama
pada wanita muda meningkatkan kemungkinan Sindrom May-Thurner, dengan
kompresi arteri iliaka proksimal kanan.7,16
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena
di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke
bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak
spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan
sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika penderita berbaring, terutama jika
posisi tungkai ditinggikan.8
2. Pembengkakan.
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka
lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah
trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak
ditinggikan.8
h. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan
TVD adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya
merupakan hal penting karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat
trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga
merupakan hal penting. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik
tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik TVD adalah edema tungkai unilateral,
eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda
Homan yang positif (sakit di betis atau di belakang lutut saat dalam posisi
dorsoflexi).1,7
2. Skor Well’s
Gejala yang paling umum pada DVT adalah kram atau "charley horse" di betis
bagian bawah yang menetap dan meningkat selama beberapa hari. Kriteria Wells
Point Score membantu memperkirakan kemungkinan klinis DVT dan PE. Pasien
dengan kemungkinan DVT atau PE rendah hingga sedang harus menjalani
evaluasi diagnostik awal dengan pengujian d-dimer saja tanpa tes pencitraan
wajib. Namun, pasien dengan kemungkinan klinis yang tinggi dari VTE harus
melewati pengujian d-dimer dan menjalani pencitraan sebagai langkah
berikutnya dalam algoritme diagnostik. Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes
non-invasif diharapkan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat
mengurangi kebutuhan investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan
kemungkinan DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT
sedang, dan skor 3 atau lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi.7,16,17
3. D-dimer assay
D-dimer merupakan hasil dari degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin.
Test ini menunjukkan aktivitas secara umum dari koagulasi dan fibrinolisis.
Merupakan biomarker yang terbaik dari suatu VTE. Kombinasi dari clinical
probability model dan test D-dimer dapat menyingkirkan sebanyak 25% pasien
yang dengan gejala klinis meyerupai DVT tanpa perlu pemeriksaan lebih lanjut.
Bahkan pada pasien dengan VTE yang rekuren kombinasi ini (clinical
probability dan D-dimer) terbukti cukup baik untuk menyingkirkan adanya
trombosis, terutama pada pasien dengan clinical prtetest probabilitynya yang
rendah.
Pemeriksaan D-dimer sangat sensitif (> 80%) tetapi specifisitinya rendah.
Nilai negative prediction value D-dimer adalah hampir 100%. D-dimer kurang
sensitif untuk DVT daripada untuk PE karena ukuran trombus DVT lebih kecil.
Hasil positif palsu dari D-dimer adalah pada inflamasi, malignansi, infark
miokard, pneumonia, sepsis, dan keadaan pasca operasi dan pada trimester
kedua atau ketiga kehamilan. Oleh karena itu, d-dimer jarang memiliki peran
yang berguna di antara pasien yang dirawat di rumah sakit, karena kadarnya
sering meningkat karena penyakit sistemik. Peningkatan D-dimer dapat dipakai
seagai prediksi outcome yang buruk pada anak-anak dengan kejadian trombosis
yang akut. Negatif palsu dari D-dimer juga bisa terjadi pada penderita yang
menggunakan heparin. Oleh karena itu disarankan untuk test D-dimer sebaiknya
dilakukan sebelum memberikan heparin.1,3,7
4. Venous ultrasonography
Venous ultrasonography merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien
dengan kemungkinan DVT. Bersifat non-invasive, aman, mudah didapat, dan
relatif murah. Kriteria ultrasonografi mayor adanya trombosis adalah gagalnya
penekanan lumen vena dengan tekanan yang cukup dengan probe USG.
Keunggulan lain dari venous ultrasound ini adalah dapat mendeteksi adanya
Baker’s cyst, hematoma dalam otot atau di daerah yang lebih superfisialis,
lymphadenopathy, aneurisma femoralis, tromboplebitis superfisialis dan abses.
Pengunaan alat ini memiliki keterbatasan untuk mendeteksi trombus didaerah
distal. Penekanan vena dengan probe USG ini memiliki kekurangan pada pasien-
pasien yang gemuk, edema, dan nyeri di lokasi vena yang diperiksa. Penggunaan
alat USG yang lebih baru seperti compression B-mode ultrasonography dengan
atau tanpa color Duplex imaging mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas
96% untuk proximal DVT yang simtomatik. Trombosis di betis memiliki
sensitivitas 73%.13,16
Pada DVT akut, vena kehilangan kompresibilitasnya karena distensi
pasif oleh trombus akut. Diagnosis DVT akut bahkan lebih aman jika trombus
divisualisasikan secara langsung. Tampaknya homogen dan memiliki
ekogenisitas rendah. Vena tersebut seringkali tampak sedikit melebar, dan
saluran kolateral mungkin tidak ada. Dinamika aliran vena dapat diperiksa
dengan pencitraan Doppler. Biasanya, kompresi betis manual menyebabkan
augmentasi pola aliran Doppler. Hilangnya variasi pernapasan normal
disebabkan oleh DVT yang menyumbat atau obstruksi lain di dalam panggul.3,7
syndrome yang biasanya ditandai dengan nyeri, kaku, edema, parestesi, eritema,
dan edema. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena pasien
dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur (bed rest), meninggikan posisi kaki,
drest, tujuan bed rest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya
emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan tungkai yang
mengalami DVT dapat membuat bekuan (clot) terlepas dan “berjalan” ke paru.
Penggunaan compression stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3
minggu ketika diagnosis DVT ditegakkan dapat menurunkan risiko post-
trombosis syndrome. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien
dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.5
Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan emboli paru dapat dicegah dengan
antikoagulan dan fibrinolitik. Prinsip pemberian anti-koagulan adalah safe dan
efektif. Safe artinya antikoagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya
dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan
emboli. Berikut tatalaksana secara farmakologis:10
1) Unfractionated Heparin
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi
berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai
APTT yang diinginkan adalah 1,5-2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama
heparin adalah:
Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan
Melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah.
Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan
infus 18 IU/ kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan
jumlah trombosit harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama
pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, riwayat operasi sebelumnya,
kondisi-kondisi seperti peptic ulcer disease, penyakit hepar, kanker, dan
risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency). Efek samping perdarahan dan
trombositopeni. Pada terapi awal risiko perdarahan kurang lebih 7%,
tergantung dosis, usia, penggunaan bersama antitrombotik atau trombolitik
lain. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Heparin dapat
dihentikan setelah empat sampai lima hari pemberian kombinasi dengan
warfarin jika International Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0.10,16
l. Pencegahan
Faktor risiko trombosis vena dalam tidak sepenuhnya dapat dieliminasi, namun
menit, terutama pasien yang baru menjalani pembedahan mayor atau melakukan
perjalanan jauh. Pada penerbangan lama, setiap orang harus melakukan
peregangan dan berjalan-jalan setiap 2 jam.8
Untuk mencegah tromboemboli vena, dapat diberikan Low Dose Unfractioned
Heparin, yaitu UFH 5000 IU subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai 1-2 jam
sebelum operasi ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai sekitar +- 3.500
IU disesuaikan +- 500 IU dengan target nilai APTT normal tinggi atau
LMWH/heparinoid yang dapat diberi sesuai dengan jenis operasi resiko
tromboemboli prosedur tersebut.1
Tabel 8. Pencegahan tromboemboli vena pada pasien yang dirawat.7
m. Prognosis
Rekurensi trombosis pada kaki yang lainnya yang sebelumnya tidak
terjadi DVT, menunjukkan bahwa faktor risikonya adalah perubahan sistemik
bukan disebabkan oleh sisa kerusakan pembuluh darah lokal. Namun hanya
beberapa faktor risikonya yang diketahui seperti faktor V Leiden, prothrombin
20210A, peningkatan faktor koagulasi VIII, IX dan XI, defisiensi protein C dan
protein S. Beberapa faktor risiko yang didapat seperti pembedahan, imobilisasi
dan kanker meningkatkan risiko trrombosis rekuren seperti pada thrombosis
pada kasus pertama kali.5
Prognosis DVT jangka pendek di panggul dan bawah ekstremitas
tergantung pada ada/tidaknya dan beratnya akut drainase vena anomali, PTE
akut, dan emboli arteri. Drainase vena anomali akut sering mereda di dalam
beberapa bulan setelah onset. PTE akut adalah kondisi yang paling serius dan
membutuhkan pencegahan primer dan sekunder. Pada penderita emboli arteri,
ada/tidaknya paten foramen ovale harus dikonfirmasi. Sementara tu, jangka
panjang prognosis DVT tergantung pada ada/tidaknya dan beratnya sindrom
pasca trombotik, DVT rekuren, PTE kronis, dan emboli arteri. Sindrom pasca-
trombotik berkembang pada sekitar 40% pasien dengan tipe sentral DVT, dan
disebabkan oleh katup abnormal pada arteri yang berlubang dan vena superfisial.
Saat DVT kambuh, manifestasi akut diamati, dan kejadian PTE dan sindrom
pasca-trombotis meningkat. Pengobatan dini memperbaiki prognosis pasien
dengan DVT. Pasien dengan DVT berulang terapi antikoagulasi harus dinilai
untuk trombofilia. Untuk memastikan pencegahan DVT berulang, pasien harus
melanjutkan olah raga dan juga terapi kompresi terapi antikoagulasi untuk
jangka waktu yang sesuai. Durasi terapi antikoagulasi harus ditentukan
mempertimbangkan reversibilitas faktor risiko dan apakah kondisi terebut
idiopatik atau permanen.5
2.2 Emboli Paru Akibat DVT
Emboli paru adalah kondisi akut dan serius yang dapat mengancam nyawa
secara langsung. Emboli terjadi ketika arteri di paru-paru diblokir oleh zat yang
telah berjalan dari bagian tubuh lain melalui aliran darah. Zat ini biasanya hasil
dari bekuan darah di kaki atau panggul. Penyumbatan arteri yang memasok
paru-paru, menyebabkan kerusakan parah, mengganggu kelancaran operasi dan
dapat, tergantung pada pentingnya arteri yang tersumbat, secara langsung
menyebabkan kematian. Bentuk emboli yang paling umum yang menyebabkan
emboli paru adalah bekuan darah yang dari daerah distal. Emboli paru masif
menyumbang 5-10% kasus, dan ditandai dengan trombosis ekstensif yang
mempengaruhi setidaknya setengah dari pembuluh darah paru. Dispnea, sinkop,
hipotensi, dan sianosis merupakan tanda emboli paru masif. Pasien dengan
emboli paru masif dapat mengalami syok kardiogenik dan dapat meninggal
karena kegagalan organ multisistem. Emboli paru submassive terjadi pada 20-
25% pasien, dan ditandai dengan disfungsi ventrikel kanan meskipun tekanan
arteri sistemik normal. Kombinasi gagal jantung kanan dan pelepasan biomarker
jantung menunjukkan risiko tinggi kerusakan klinis. Emboli paru risiko rendah
merupakan sekitar 65-75% kasus. Pasien-pasien ini memiliki prognosis yang
sangat baik.7,14
a. Epidemiologi
Trombosis vena dalam sebagian besar merupakan faktor sekunder akibat
faktor predisposisi yang umum dengan emboli paru (PE). DVT distal (di
bawah lutut) lebih sering dikaitkan dengan situasi sementara sedangkan
yang proksimal ke kondisi kronis. Dalam 25-50% dari kasus pertama
Episode DVT, tidak ada faktor predisposisi yang diidentifikasi. Emboli
paru dapat menyebabkan <300.000 kematian per tahun di AS, peringkat
tertinggi di antara penyebab kematian kardiovaskular. Di enam negara
Eropa dengan total populasi 454,4 juta, lebih dari 370.000 kematian
terkait dengan VTE pada tahun 2004, seperti yang diperkirakan pada
dasar dari model epidemiologi. Dari pasien ini, 34% meninggal
mendadak atau dalam beberapa jam setelah kejadian akut, sebelum terapi
dapat dimulai atau diterapkan. Di antara pasien lainnya, kematian akibat
Emboli paru akut yang didiagnosis setelah kematian pada 59% dan
hanya 7% dari pasien yang meninggal dini yang didiagnosis dengan
benar PE sebelum meninggal.7,11
b. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis PE akut tidak spesifik. Di sebagian besar kasus, PE
dicurigai pada pasien dengan dispnea, nyeri dada, presinkop atau sinkop,
atau hemoptisis. Ketidakstabilan hemodinamik adalah bentuk presentasi
klinis yang jarang tetapi penting, seperti yang diindikasikan PE sentral atau
ekstensif dengan hemodinamik yang sangat berkurang. Bisa terjadi sinkop,
dan dikaitkan dengan prevalensi ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi
RV yang lebih tinggi. PE akut mungkin sering ditemukan pada pasien
dengan sinkop (17%). Dalam beberapa kasus, PE mungkin asimtomatik atau
ditemukan secara kebetulan selama pemeriksaan diagnostik untuk penyakit
lain. Sesak bisa akut dan parah pada PE sentral; pada PE perifer kecil, sering
ringan dan mungkin sementara.
Pada pasien dengan gagal jantung atau penyakit paru yang sudah ada
sebelumnya, dispnea yang memburuk dapat terjadi menjadi satu-satunya
gejala yang menunjukkan PE. Nyeri dada merupakan gejala PE yang sering
terjadi dan biasanya disebabkan oleh iritasi pleura akibat distal emboli yang
menyebabkan infark paru. Pada PE sentral, bisa nyeri dada memiliki
karakter angina yang khas, mungkin mencerminkan iskemia RV, dan
membutuhkan diagnosis banding dari sindrom koroner akut atau diseksi
aorta. Selain gejala, pengetahuan tentang faktor predisposisi untuk VTE
penting dalam menentukan probabilitas klinis dari penyakit, yang meningkat
dengan jumlah faktor predisposisi menyajikan; Namun, pada 40% pasien PE,
tidak ada fakto predisposisi yang ditemukan.
Hipoksemia sering terjadi, tetap <_40% pasien memiliki saturasi oksigen
arteri (SaO2) normal dan 20% memiliki gradien oksigen alveolararterial
normal. Hipokapnia juga sering hadir. Foto rontgen dada seringkali tidak
normal dan, meskipun demikian temuannya biasanya tidak spesifik pada PE,
mungkin berguna untuk tidak termasuk penyebab dispnea atau nyeri dada
lainnya.11,12,15
Tabel 9. Geneva Score untuk emboli paru.11,15
c. Patofisiologi
Jika bekuan vena terlepas dari posisi pembentukannya, maka emboli
berjalan ke pembuluh sirkulasi paru atau mengikuti sirkulasi sistemik arteri
(emboli paradoks, diamati pada kasus foramen ovale terbuka). Telah dibuktikan
dengan penelitian bahwa ketika 60% dari jaringan vaskular arteri pulmonalis
tersumbat, maka penurunan tekanan darah yang parah dan tikungan akut dari
ventrikel kanan (kor pulmonal akut) disebabkan. Dalam kasus di mana
penyumbatan mencapai 80% dari jaringan vaskular, terjadi kematian mendadak.
Efek hemodinamik jantung pada emboli paru bergantung pada laju oklusi
pembuluh darah paru, jarak jaringan ini dan pelepasan zat vasomotor yang
menyebabkan bronkospasme diikuti dengan penurunan lebih lanjut perfusi paru
dan peningkatan VD (adanya dead space). 14
Penyakit jantung paru akut disebabkan oleh peningkatan tekanan rata-
rata arteri pulmonalis secara tiba-tiba, dalam konsentrasi yang lebih besar dari
40 mmHg karena peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Efek emboli paru
oleh sistem kardiovaskular dapat berupa jantung paru akut, iskemia miokard,
kegagalan sirkulasi akut, dan kegagalan sisi kiri serta paru-paru, hipoksia, dan
atelektasis.14 Pada defisiensi akut, tekanan di ventrikel kanan meningkat,
mengakibatkan perpindahan septum ke kiri, menurunkan evendotitas ventrikel
kiri, disfungsi kedua ventrikel, penurunan curah jantung dan penurunan tekanan
darah. Insufisiensi koroner akibat emboli paru dikaitkan dengan penurunan
curah jantung yang signifikan, penurunan tekanan aorta, hipoksia, dan
kemungkinan adanya refleks melalui vagal yang mengurangi lebar pembuluh
koroner.14
Infark paru muncul sebagai paru hemoragik yang menebal ketika arteri
paru berukuran normal tidak tersumbat akibat gagal jantung kiri dan penurunan
tekanan pada sirkulasi sistemik. Infark paru hanya terjadi pada 10% kasus
emboli paru karena parenkim paru teroksigenasi secara memuaskan melalui
bronkus. Nasib tromboemboli di paru-paru akan menentukan perjalanan
penyakit selanjutnya. Beberapa mekanisme dapat memulihkan sirkulasi arteri
pulmonalis, kecuali episode emboli berulang. Ketika emboli yang terlalu besar
menyumbat sirkulasi paru, dapat menyebabkan sinkop transien, tetapi kemudian
dapat dihancurkan dan dilarutkan dalam beberapa 24 jam, sebaliknya jika tetap,
emboli akan menyusut dan menyatu dengan dinding pembuluh darah.
Gambar 6. Patofisiologi Emboli Paru.11,12
d. Diagnosis
a. Tes D-Dimer
Karena sejumlah tes D-dimer tersedia, dokter harus menyadari kinerja
diagnostik dari tes yang digunakan di rumah sakit mereka sendiri. Uji
imunosorben terkait enzim (ELISA) atau uji turunan ELISA memiliki
sensitivitas diagnostik>-95%, dan dapat digunakan untuk mengecualikan
PE pada pasien dengan probabilitas pra-uji rendah atau menengah. Di
unit gawat darurat, ELISA D-dimer negatif dapat, dalam kombinasi
dengan probabilitas klinis, menyingkirkan penyakit tanpa pengujian
lebih lanjut pada 30% pasien dengan dugaan PE. Hasil studi
menunjukkan bahwa risiko tromboemboli 3 bulan adalah <1% pada
pasien dengan probabilitas klinis rendah atau sedang yang tidak diobati
berdasarkan hasil tes negatif.11,12
b. Computed tomographic pulmonary angiography
Multidetector CTPA adalah metode pilihan untuk pencitraan pembuluh
darah paru pada pasien dengan dugaan PE. Hal ini memungkinkan
visualisasi yang memadai dari arteri pulmonalis sampai ke tingkat
subsegmental. Studi Investigasi Prospektif Pada Pulmonary Embolism
Diagnosis (PIOPED) II mengamati sensitivitas 83% dan spesifisitas 96%
untuk (terutama empat detektor) CTPA dalam diagnosis PE. PIOPED II
juga menyoroti pengaruh probabilitas klinis pra-uji pada nilai prediksi
multidetektor CTPA. Pada pasien dengan probabilitas klinis PE rendah
atau menengah, CTPA negatif memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi
untuk PE (96 dan 89%, masing-masing), tetapi nilai prediksi negatifnya
hanya 60% jika probabilitas pra-tes tinggi. Sebaliknya, nilai prediksi
positif dari CTPA positif tinggi (9296%) pada pasien dengan probabilitas
klinis sedang atau tinggi, tetapi jauh lebih rendah (58%) pada pasien
dengan kemungkinan pre-test rendah dari PE. Oleh karena itu, dokter
harus pertimbangkan pengujian lebih lanjut jika terjadi ketidaksesuaian
antara penilaian klinis dan hasil CTPA. 11,12
c. Lung scintigraphy
Ventilasi planar / perfusi [V / Q (skintigrafi paru)] adalah tes diagnostik
yang mapan untuk dugaan PE. Tujuan pemindaian ventilasi adalah untuk
meningkatkan spesifisitas: pada PE akut, ventilasi diharapkan normal
pada segmen hipoperfusi (tidak sesuai). Sebagai prosedur hemat radiasi
dan kontras medium, V / Q scan dapat diterapkan pada pasien rawat jalan
dengan probabilitas klinis rendah dan rontgen dada normal, pada pasien
muda (terutama wanita), pada wanita hamil, pada pasien dengan riwayat
kontras anafilaksis yang diinduksi media, dan pasien dengan gagal ginjal
berat. 11,12
d. Pulmonary angiography
CT dada dengan kontras (lihat di atas) hampir menggantikan angiografi
paru invasif sebagai tes diagnostik. Tes diagnostik berbasis kateter
invasif disediakan untuk pasien dengan CT dada yang secara teknis tidak
memuaskan dan untuk mereka yang direncanakan akan menjalani
prosedur intervensi seperti trombolisis yang diarahkan ke kateter.
Diagnosis pasti PE memerlukan visualisasi dari defek pengisian
intraluminal pada lebih dari satu proyeksi. Tanda-tanda sekunder PE
termasuk oklusi mendadak ("cut-off") pembuluh darah, oligemia
segmental atau avaskularisasi, dan fase arteri yang berkepanjangan
dengan pengisian yang lambat, dan pembuluh perifer yang berliku-liku
dan meruncing. 11,12
e. Magnetic resonance angiography
Magnetic resonance angiography (MRA) telah dievaluasi selama
beberapa tahun terkait dugaan PE. Namun, hasil penelitian skala besar
menunjukkan bahwa teknik ini, meskipun menjanjikan, belum siap untuk
praktik klinis karena sensitivitasnya yang rendah, proporsi tinggi dari
pemindaian MRA yang tidak meyakinkan, dan ketersediaannya yang
rendah di sebagian besar keadaan darurat. Hipotesis bahwa MRA negatif,
dikombinasikan dengan tidak adanya DVT proksimal pada kompresi
ultrasonografi (CUS), dapat dengan aman menyingkirkan PE yang
signifikan secara klinis saat ini sedang diselidiki dalam studi hasil
multisenter yang sedang berlangsung. 11,12
f. Echocardiography
Ekokardiografi bukanlah alat pencitraan diagnostik yang dapat
diandalkan untuk PE akut karena kebanyakan pasien PE memiliki
ekokardiogram yang normal. Namun, ekokardiografi adalah alat
diagnostik yang sangat berguna untuk mendeteksi kondisi yang mirip
dengan PE, seperti infark miokard akut, tamponade perikardial, dan
diseksi aorta. Ekokardiografi transthoracic jarang menggambarkan
trombus secara langsung. Tanda tidak langsung PE yang paling terkenal
pada ekokardiografi transthoracic adalah tanda McConnell: hipokinesis
dinding bebas RV dengan gerakan normal atau hiperkinetik apeks RV.
Ekokardiografi transesofageal harus dipertimbangkan ketika fasilitas CT
scan tidak tersedia atau ketika pasien mengalami gagal ginjal atau alergi
kontras yang parah yang menghalangi pemberian kontras meskipun
premedikasi dengan steroid dosis tinggi. Modalitas pencitraan ini dapat
mengidentifikasi pelana, induk kanan, atau induk kiri. 11,12
g. Compression venous ultrasonography
Pada sebagian besar kasus, PE berasal dari DVT di ekstremitas bawah,
dan jarang dari DVT ekstremitas atas (kebanyakan setelah kateterisasi
vena). Dalam sebuah penelitian yang menggunakan venografi, DVT
ditemukan pada 70% pasien dengan PE yang terbukti. Saat ini, CUS
ekstremitas bawah telah banyak menggantikan venografi untuk
mendiagnosis DVT. CUS memiliki sensitivitas> 90% dan spesifisitas
95% untuk DVT simtomatik proksimal. CUS menunjukkan DVT pada
30-50% pasien dengan PE, dan menemukan DVT proksimal pada pasien
yang diduga menderita PE dianggap cukup untuk menjamin pengobatan
antikoagulan tanpa pengujian lebih lanjut. Namun, pasien yang PE secara
tidak langsung dikonfirmasi dengan adanya DVT proksimal harus
menjalani penilaian risiko untuk keparahan PE dan risiko kematian dini.
11,12
inflamasi luas, badai sitokin, dan disfungsi endotel luas yang pada akhirnya
memicu berbagai kaskade protrombotik. Virus SARS-CoV-2 masuk pada sel
melalui ikatan dengan reseptor angiotensin- converting enzyme 2 (ACE-2) yang
diekspresikan dalam jumlah besar pada sel epitel alveolar, miosit jantung, sel
endotel pembuluh, ginjal, saluran pencernaan dan sel lain. Replikasi dan
pelepasan virus yang terjadi dalam sel endotel maupun sel epitel kemudian
memicu respon imun awal yang tinggi dimana beberapa sitokin proinflamasi
disekresikan dalam jumlah besar diantaranya IL-6, IL-1β, dan IL-2.21,22
Pada kasus berat, respon inflamasi yang berlebihan ini menyebabkan
terjadinya badai sitokin dimana respon proinflamasi yang dihasilkan oleh sitokin
menyebabkan kerusakan lokal pada jaringan paru yang ditandai dengan adanya
berada pada platelet, leukosit, dan sel endotel saat terjadi inflamasi. Peningkatan
Antikoagulan profilaksis
IDI memberikan kriteria inklusi dan eksklusi untuk pemberian profilaksis
antikoagulan untuk pasien COVID-19 kritis atau yang dirawat di ICU. Dalam
rekomendasi IDI, obat profilaksis antikoagulan yang dianjurkan adalah low molecular
weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH). Secara umum LMWH
lebih direkomendasikan dibandingkan UFH. Dosis LMWH yang direkomendasikan
oleh IDI adalah 40 mg subkutan satu kali sehari untuk dosis standar. Pada pasien anak
dosis yang direkomendasikan adalah 1 mg/kgBB/12 jam diberikan secara subkutan.
Sedangkan untuk UFH dosis standar yang direkomendasikan adalah 5000 unit dua kali
sehari diberikan secara subkutan.24,25
IDI dan Thrombosis UK juga merekomendasikanpengaturan dosis berdasarkan
klirens kreatinin (CrCl) pasiendengan nilai batas CrCl 30mL/menit. Namun Thrombosis
UK merekomendasikan dosis UFH yang lebih rendah antikoagulan terapeutik apabila
nilai D-dimer naik secara signifikan >2000-4000 μg/L.Berdasarkan InaSTH, obat yang
dapat digunakan sebagai antikoagulan terapeutik diantaranya adalah enoxaparin,
nadroparin, fondaparinux, dan UFH. Untuk keperluan terapeutik, dosis yang digunakan
secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan profilaksis. Antikoagulan
terapeutik diberikan selama 3 bulan bila pasien dapat mentoleransi terapi dengan baik
tanpa perdarahan yang serius.23,25
Monitoring terapi
Dalam rekomendasi IDI disebutkan bahwa monitoring laboratorium hemostasis
secara rutin tidak diperlukan kecuali terjadi efek samping berupa perdarahan,
perkembangan penyakit ke arah DIC, atau jika terdapat pertimbangan khusus. Dalam
rekomendasi National Institute for Public Health of the Netherlands direkomendasikan
untuk mengevaluasi D-dimer secara rutin berdasarkan nilai D-dimer pasien saat masuk.
Sedangkan, ISTH merekomendasikan monitoring terapi dengan mempertahankan
jumlah platelet di atas 25x109/L pada pasien yang tidak mengalami perdarahan dan
mempertahankan nilai platelet di atas 50x109/L, nilai fibrinogen diatas 1,5g/L, dan rasio
PT <1,5 pada pasien yang mengalami perdarahan.23,24,25
BAB III
KESIMPULAN
1. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi 6. Editor: Sudoyo, A.W., Bambang
Setioyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: 2014: 2818-2822
2. Frits R Rosendaal, Harry R Buller. Venous thrombosis. In: Dan L Longo,
editor. Horrison’s hematology and oncology. New York: Mc-Grow Hill
Company; 2010.p.246-53.
3. IWL Adnyana, K Suega, IM Bakta, Trombosis Vena Dalam. Divisi
Hemato Onkologi. Universitas Udayana. 2013
4. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll
Cardiol. 2010; 56:1-7
5. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis.
Circ J. 2011; 75: 1258-81
6. Ahmed M, Elshrif H, Masoud A, Altaher A. Deep Vein Thrombosis.
Sebha Medical Journal, 2013; 12(2):6-11.
7. Goldhaber S. Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism.
Editor: Kasper, D. L., Fauci A., Longo. In: Harrison's Principles of
Internal Medicine 20th Ed., The Mc Grawhill Companies, United Statesof
America. 2018. Pg 273-274.
8. Jayanegara, AP. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis. CDK.
2016: 244. Vol. 43 No. 9.
9. David L, Erica P, James D, Mark B. Diagnosis and management of
iliofemoral deep vein thrombosis: Clinical practice guideline. CMAJ.
2015;23: 1-9
10. Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson
MD, et al Diagnosis of DVT: Antithrombotic therapy and prevention of