Anda di halaman 1dari 49

REFERAT

DEEP VEIN THROMBOSIS

Disusun Oleh:
Swiny Anniza
NIM. I4061192041

Pembimbing:
dr. Ivan Lumban Toruan, Sp.PD, KHOM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR. SOEDARSO
PONTIANAK
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan kasus dengan judul :

“DEEP VEIN THROMBOSIS”

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Pontianak, Januari 2021

Pembimbing Disusun oleh:

dr. Ivan Lumban Toruan, Sp. PD, KHOM Swiny Anniza, S.Ked
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


DVT terjadi akibat adanya bentuk bekuan darah (trombi) pada vena dalam yang
sering ditemukan pada vena di tungkai bawah (seperti vena pada betis, vena femoral
atau vena pollitea) atau vena pada rongga pelvis. Ketepatan diagnosis DVT sangat
penting dalam mengurangi risiko terjadinya komplikasi seperti emboli paru,
postthrombotic syndrome dan hipertensi pulmonar. Insiden DVT pada populasi 2 juta
penduduk setiap tahunnya di Amerika akibat trombosis arteri, vena, atau komplikasinya.
Angka baru pada DVT yang baru berkisar 50 orang per 100.000 penduduk, sedangkan
pada usia lebih dari 70 tahun, diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.1
Gejala dari trombosis vena sering tidak spesifik, oleh karena itu diagnosisnya
menjadi sulit dan memerlukan test yang objektif untuk menegakkannya. Komplikasi
utama trombosis ini adalah postthrombotic syndrome dan kematian akibat PE yang
fatal. Pengobatan dengan antikoagulan seharusnya tepat dan adekuat untuk mengurangi
mortalitasnya. Beberapa faktor risiko trombosis ini banyak diketahui, semuanya terkait
dengan imobilisasi atau hiperkoagulasi. Pencegahan terjadinya trombosis diperlukan
pada kondisi dimana terdapat beberapa faktor risiko trombosis yang pada pasien.
Banyak protokolprotokol yang ada yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk
pencegahan ini. Trombosis vena memiliki kecenderungan untuk kambuh. Seringkali
faktor risiko trombosis yang pertama kali berbeda dengan trombosis yang ulangan dan
sebagian besar faktor tersebut tidak diketahui. Kecenderungan trombosis pada usia
muda juga sering terjadi terutama pada penderita dengan riwayat trombosis di keluarga
atau trombofilia herediter.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trombosis vena dalam


a. Definisi
Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah.
Trombus atau bekuan darah dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung, atau
mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli.
Trombus adalah bekuan abnormal dalam pembuluh darah yang terbentuk
walaupun tidak ada kebocoran. Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan
penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah dalam.
Terhambatnya aliran pembuluh balik merupakan penyebab yang sering
mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau
imobilisasi lama dari anggota gerak.1

b. Etiologi
Penyebab thrombosis dibagi menjadi dua yaitu yang terkait dengan
imobilisasi dan yang berhubungan dengan hiperkoagulasi baik yang
berhubungan dengan faktor genetik atau didapat. Trombosis vena adalah
penyakit dengan penyebab yang multiple dengan beberapa faktor risiko sering
terjadi bersama-sama pada suatu waktu. Seringkali faktor risiko thrombosis
bersifat herediter dan sudah berlangsung lama, kemudian diperberat oleh adanya
faktor risiko yang didapat. Beberapa faktor risiko thrombosis yang didapat
sangat tinggi, dan menyebabkan risiko trombosis vena lebih dari 50%. Kondisi-
kondisi dengan faktor risiko yang tinggi tersebut adalah operasi ortopedik,
neurosurgical, intervensi di daerah abdomen, trauma mayor dengan fraktur yang
multiple, kateter vena sentral, kanker metastase khususnya adenokarsinoma.
Faktor risiko sedang adalah anthiphospholipid antibody syndrome, puerperium,
bedrest yang lama. Kanker non metastase, kehamilan, penggunaan kontrasepsi
oral, dalam terapi hormone tertentu, kegemukan dan perjalanan yang jauh
merupakan faktor risiko yang ringan.
Defesiensi protein C dan S yang homozigot berpotensi untuk
menyebabkan terjadinya purpura fulminan yang fatal setelah lahir. Defesiensi
antitrombin dan faktor V Leiden merupakan faktor risiko genetik yang terkuat
dengan risiko trombosis vena sebanyak 20 – 50 kali lipat. Defesiensi protein C
dan S yang heterozigot merupakan fektor risiko sedang yang meningkatkan
risiko thrombosis 10 kali lipat. Peningkatan ringan risiko trombosis terjadi pada
kondisi gangguan sistem koagulasi dengan sumber yang tidak jelas seperti
peningkatan faktor prokoagulasi seperti fibrinogen, II, von Willebrand’s factor,
VIII, IX, X dan XI, dan antifibrinolytic factor (TAFI) dan kadar yang rendah
dari anticoagulant factors (TFPI).3
Tabel 1. Etiologi berdasarkan faktor resiko DVT4

c. Epidemiologi
Insiden DVT pada populasi 2 juta penduduk setiap tahunnya di Amerika
akibat trombosis arteri, vena, atau komplikasinya. Angka baru pada DVT
yang baru berkisar 50 orang per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia
lebih dari 70 tahun, diperkirakan 200 per 100.000 penduduk.1 Venous
thromboembolism (VTE) incidence increases sharply with age (Figure 1) and appears
steady over the last 25 years, despite preventive strategies.1 Women are more often
affected at younger ages; this ratio reverses in the elderly.2 Incidence is similar in
Blacks but lower in Asians.3 Almost two-thirds of VTE cases are isolated deep vein
thromboses (DVTs), and 80% are proximal.4 In patients with DVT without PE, short-
term mortality rates of 2–5% were reported, more frequent in proximal than distal
DVT.7 Recurrence risk is high, especially within first 6 months.8 Long-term
complications include post-thrombotic syndrome (PTS), defined as chronic venous
symptoms and/or signs secondary to DVT. It represents the most frequent chronic DVT
complication, occurring in 30–50% of patients within 2 years after proximal DVT.9 In
5–10% of cases, PTS is severe.9 Previous ipsilateral DVT, proximal location (ilio-
femoral >popliteal), and residual veins obstruction are most significant PTS risk
factors. Obesity and poor INR control during the first 3-months treatment are additional
independent risk factors.10

d. Faktor Risiko
Sekitar 50-70% pasien memiliki faktor risiko yang dapat diidentifikasi seperti
pada table di bawah ini.
Tabel 2. Faktor Resiko pada DVT.6

Resiko tromboemboli pada pasien yang menjalani operasi tanpa


tromboprofilaksis digambarkan pada tabel berikut
Tabel 3. Faktor resiko akibat operasi tanpa profilaksis.1
Tabel 2. Resiko Tromboemboli pada Pasien yang Menjalani Operasi Tanpa Profilaksis
Derajat Resiko TVD Betis (%) TVD Proksimal (%) Pencegahan
Resiko rendah 2 0,4 Tidak ada terapi khusus

Resiko sedang 10-20 2-4 LDUH / 12 jam

Resiko tinggi 20-40 4-8 LDUH / 8 jam

Resiko sangat tinggi 40-80 10-20 LMWH

Resiko rendah : Operasi minor pada pasien usia <40 tahun tanpa faktor resiko
tambahan
Resiko sedang : Operasi minor pada pasien dengan faktor resiko tambahan, operasi
bukan mayor pada pasien 40-60 tahun tanpa faktor resiko tambahan, operasi mayor
pada pasien <40 tahun tanpa faktor resiko tambahan
Resiko tinggi : Operasi bukan mayor pada pasien >60 tahun atau dengan faktor
resiko tambahan, operasi mayor pada pasien >40 tahun atau dengan faktor resiko
tambahan
Resiko sangat tinggi : Operasi mayor pada pasien >40 tahun dengan + riwayat
tromboemboli vena, kanker, atau hypercoagulable state molecular, artroplasti
panggul atau lutut, operasi fraktur panggul, trauma mayor, cedera tulang belakang.1

e. Patofisiologi
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses
terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):
1. Stasis vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di daerah
yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu mekanisme
pembersihan aktivitas faktor pembekuan darah, dan membatasi aksesbilitas
thrombin di vena kemudian menempel ke trombomodulin, sehingga
memudahkan terbentuknya trombosis. Penelitian ultrastruktural menunjukkan
bahwa setelah trauma ditempat jauh, leukosit melekat diantara intercellular
junction endotel pada daerah statis vena. Hal ini menjadi nidus untuk
pembentukkan thrombus. Bila nidus thrombus mulai terdapat di daerah statis,
maka substansi yang dapat meningkatkan agregasi trombosit, yaitu factor X
teraktivasi, thrombin, fibrin dan katekolamin tetap dalam konsentrasi tinggi di
daerah tersebut. Stasis juga memberikan kontribusi tambahan, yaitu membentuk
thrombin dengan cara merusak katup vena yang avaskuler. Sebaliknya katup
tergantung pada darah lumen untuk oksigenasi dan nutrisi, sedangkan aliran
darah stasis.5
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan
trombosis vena, melalui:
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan
b. Aktivasi sel endotel oleh sitokin (interleukin-1 dan tumor necrosis factor)
yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan jaringan dan proses
peradangan.
Koagulasi darah dapat diaktifkan melalui rangsangan intravaskuler yang
dilepaskan dari tempat jauh (misal kerusakan vena femoralis saat operasi
panggul) atau oleh sitokin yang terinduksi rangsangan endotel yang utuh.
Sitokinin ini merangsang sel endotel untuk mensintesis tissue factor dan
plasminogen activator inhibitor-1 dan mengakibatkan reduksi trombodulin,
sehingga membalikkan kemampuan protektif endotel yang normal. Trombodulin
(TM) adalah reseptor membran sel endotel untuk thrombin. Bila thrombin terikat
pada TM maka kemampuan memecah fibrinogen menurun. Sebaliknya
kemampuan mengaktifasi antikoagulan, protein C meningkat. Protein C dengan
kofaktornya protein S menginaktifasi bentuk aktif kofaktor prokoagulan, faktor
Va dan VIIIa. Protein C aktif juga meningkatkan fibrinolisis. Endotel vena
mengandung activator yang mengkonversi plasminogen ke plasmin kemudian
plasmin melisis fibrin. Setelah pembedahan dan cedera, sistem fibrinolisis akan
dihambat kemudian aktivitas vena ekstemitas bawah lebih berkurang dibanding
dengan ekstremitas atas.5
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecenderungan trombosis terjadi apabila aktivitas
pembekuan darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun. DVT sering
terjadi pada kasus aktivitas pembekuan darah meningkat, seperti pada
hiperkoagulasi, defisiensi anti-trombin III, defisiensi protein-C, defisiensi
protein S, dan kelainan plasminogen.5
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme
protektif terganggu. Faktor trombogenik meliputi:1
1. Gangguan sel endotel
2. Terpaparnya subendotel akibat hilangnya sel endotel
3. Aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau
faktor von Willebrand
4. Aktivasi koagulasi
5. Terganggunya fibrinolisis
6. Statis
Mekanisme protektif terdiri dari:1
1. Faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh
2. Netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel
3. Hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor
4. Pemecahan faktor pembekuan oleh protease
5. Pengenceran faktor pembekuan yang aktif dan trobosit yang beragregasi
oleh aliran darah
6. Lisisnya trombus oleh system fibrinolysis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena aliran
yang cepat, terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis,
sedangkan trombus vena terutama terbentuk di daerah stasis dan terdiri dari
eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit.1

f. Tipe DVT
DVT di pelvis dan ekstremitas bawah diklasifikasikan menjadi DVT jenis
sentral (DVT iliac dan DVT femoralis), yang terjadi pada vena di atas vena
poplitea, dan DVT tipe perifer (DVT tungkai bawah), yang terjadi pada vena
poplitea dan distal pembuluh darah. Tanda dan gejala drainase vena anomali
akut termasuk pembengkakan, nyeri, dan perubahan warna kulit pada pasien
dengan tipe DVT sentral. Pada pasien dengan DVT iliaka dengan oklusi difus,
vena nekrosis akibat perfusi arteri yang buruk berkembang secara akut tahap.
Meskipun DVT tipe perifer biasanya menyebabkan nyeri, banyak pasien
asimtomatik. Temuan penting dari pemeriksaan fisik antara lain adanya vena
thrombosis atau nyeri tekan saat palpitasi (temuan langsung) dan otot tungkai
bawah yang keras (temuan tidak langsung). DVT berulang selama fase kronis,
pasien menunjukkan ciri tanda dan gejala baik yang akut maupun kronis fase
DVT. 5

g. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang. Keluhan
utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat menjadi
berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT umumnya timbul
karena faktor risiko tertentu, tetapi dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT). Namun, DVT masif sering muncul dengan pembengkakan
paha yang ditandai, nyeri tekan, dan eritema. Edema paha kiri berulang terutama
pada wanita muda meningkatkan kemungkinan Sindrom May-Thurner, dengan
kompresi arteri iliaka proksimal kanan.7,16
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena
di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke
bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak
spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang ringan
sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika penderita berbaring, terutama jika
posisi tungkai ditinggikan.8
2. Pembengkakan.
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan, maka
lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah
trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak
ditinggikan.8

3. Perubahan warna kulit


Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada
17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadang- kadang berwarna
ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan dingin pada perabaan merupakan
tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme arteri, disebut
flegmasia alba dolens.8
Gambar 1. Tungkai kiri yang membengkak dan memerah akibat DVT pada
Vena Iliofemoral.8

h. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Keluhan utama pasien dengan
TVD adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya
merupakan hal penting karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat
trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga
merupakan hal penting. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik
tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik TVD adalah edema tungkai unilateral,
eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda
Homan yang positif (sakit di betis atau di belakang lutut saat dalam posisi
dorsoflexi).1,7
2. Skor Well’s
Gejala yang paling umum pada DVT adalah kram atau "charley horse" di betis
bagian bawah yang menetap dan meningkat selama beberapa hari. Kriteria Wells
Point Score membantu memperkirakan kemungkinan klinis DVT dan PE. Pasien
dengan kemungkinan DVT atau PE rendah hingga sedang harus menjalani
evaluasi diagnostik awal dengan pengujian d-dimer saja tanpa tes pencitraan
wajib. Namun, pasien dengan kemungkinan klinis yang tinggi dari VTE harus
melewati pengujian d-dimer dan menjalani pencitraan sebagai langkah
berikutnya dalam algoritme diagnostik. Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes
non-invasif diharapkan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat
mengurangi kebutuhan investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan
kemungkinan DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT
sedang, dan skor 3 atau lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi.7,16,17

Tabel 4. Well’s Score.7

3. D-dimer assay
D-dimer merupakan hasil dari degradasi cross-linked fibrin oleh plasmin.
Test ini menunjukkan aktivitas secara umum dari koagulasi dan fibrinolisis.
Merupakan biomarker yang terbaik dari suatu VTE. Kombinasi dari clinical
probability model dan test D-dimer dapat menyingkirkan sebanyak 25% pasien
yang dengan gejala klinis meyerupai DVT tanpa perlu pemeriksaan lebih lanjut.
Bahkan pada pasien dengan VTE yang rekuren kombinasi ini (clinical
probability dan D-dimer) terbukti cukup baik untuk menyingkirkan adanya
trombosis, terutama pada pasien dengan clinical prtetest probabilitynya yang
rendah.
Pemeriksaan D-dimer sangat sensitif (> 80%) tetapi specifisitinya rendah.
Nilai negative prediction value D-dimer adalah hampir 100%. D-dimer kurang
sensitif untuk DVT daripada untuk PE karena ukuran trombus DVT lebih kecil.
Hasil positif palsu dari D-dimer adalah pada inflamasi, malignansi, infark
miokard, pneumonia, sepsis, dan keadaan pasca operasi dan pada trimester
kedua atau ketiga kehamilan. Oleh karena itu, d-dimer jarang memiliki peran
yang berguna di antara pasien yang dirawat di rumah sakit, karena kadarnya
sering meningkat karena penyakit sistemik. Peningkatan D-dimer dapat dipakai
seagai prediksi outcome yang buruk pada anak-anak dengan kejadian trombosis
yang akut. Negatif palsu dari D-dimer juga bisa terjadi pada penderita yang
menggunakan heparin. Oleh karena itu disarankan untuk test D-dimer sebaiknya
dilakukan sebelum memberikan heparin.1,3,7
4. Venous ultrasonography
Venous ultrasonography merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien
dengan kemungkinan DVT. Bersifat non-invasive, aman, mudah didapat, dan
relatif murah. Kriteria ultrasonografi mayor adanya trombosis adalah gagalnya
penekanan lumen vena dengan tekanan yang cukup dengan probe USG.
Keunggulan lain dari venous ultrasound ini adalah dapat mendeteksi adanya
Baker’s cyst, hematoma dalam otot atau di daerah yang lebih superfisialis,
lymphadenopathy, aneurisma femoralis, tromboplebitis superfisialis dan abses.
Pengunaan alat ini memiliki keterbatasan untuk mendeteksi trombus didaerah
distal. Penekanan vena dengan probe USG ini memiliki kekurangan pada pasien-
pasien yang gemuk, edema, dan nyeri di lokasi vena yang diperiksa. Penggunaan
alat USG yang lebih baru seperti compression B-mode ultrasonography dengan
atau tanpa color Duplex imaging mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas
96% untuk proximal DVT yang simtomatik. Trombosis di betis memiliki
sensitivitas 73%.13,16
Pada DVT akut, vena kehilangan kompresibilitasnya karena distensi
pasif oleh trombus akut. Diagnosis DVT akut bahkan lebih aman jika trombus
divisualisasikan secara langsung. Tampaknya homogen dan memiliki
ekogenisitas rendah. Vena tersebut seringkali tampak sedikit melebar, dan
saluran kolateral mungkin tidak ada. Dinamika aliran vena dapat diperiksa
dengan pencitraan Doppler. Biasanya, kompresi betis manual menyebabkan
augmentasi pola aliran Doppler. Hilangnya variasi pernapasan normal
disebabkan oleh DVT yang menyumbat atau obstruksi lain di dalam panggul.3,7

Gambar 2. Gambaran USG Vena pada yang terkompresi dan tidak.7

Pemeriksaan ulang venous ultrasound hanya diindikasikan pada pasien


gejala DVT tetapi hasil pemeriksaan awal normal atau pada penderita yang
seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan metode lain tetapi mempunyai
kontraindikasi untuk pemeriksaan dengan metode tersebut atau fasilitas yang
tidak tersedia. Untuk pasien dengan USG vena yang secara teknis buruk atau
nondiagnostik, seseorang harus mempertimbangkan modalitas pencitraan
alternatif untuk DVT, seperti computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging.Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada pasien yang
berdasarkan kriteria Wells unlikely dan test D-dimer negatif.3,7,16
Tabel 5. Klasifikasi diagnosis dan derajat DVT berdasarkan USG Vena.5

5. Pencitraan magnetic resonance (MR) (contrast-enhanced)


Ketika ultrasonografi samar-samar, venografi MR dengan kontras
gadolinium adalah modalitas pencitraan yang sangat baik untuk
mendiagnosis DVT. Angiografi paru MR dapat mendeteksi PE proksimal
yang besar, tetapi tidak dapat diandalkan untuk PE segmental dan
subsegmental yang lebih kecil. MRI umumnya digunakan untuk
mendiagnosis TVD pada perempuan hamil atau TVD di daerah pelvis,
iliaka, dan vena kava dimana duplex scanning pada ekskremitas bawah
menunjukkan hasil negative.7,17
6. Compression stockings
Bukti terkini menunjukkan efek menguntungkan dari penerapan awal
stoking kompresi elastis pada PTS dan oklusi vena sisa (bukti level C).
Dalam studi IDEAL DVT, stoking kompresi yang dikenakan selama
minimal 6 bulan sampai skor Villalta menurun menjadi 4 atau kurang pada
dua pembacaan berturut-turut, dibandingkan dengan 2 tahun, tidak inferior
untuk mencegah PTS pada pasien dengan DVT proksimal akut. Dalam sub-
studi yang telah ditentukan sebelumnya dari studi IDEAL DVT, kompresi
akut kaki dalam waktu 24 jam setelah diagnosis DVT, dibandingkan dengan
tanpa kompresi, dikaitkan dengan penurunan obstruksi vena sisa.13,16
i. Tatalaksana
Non-farmakologis
Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi

morbiditas pada serangan akut serta mengurangi insidens post-trombosis

syndrome yang biasanya ditandai dengan nyeri, kaku, edema, parestesi, eritema,
dan edema. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena pasien
dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur (bed rest), meninggikan posisi kaki,

dan dipasang compression stocking dengan tekanan kira-kira 40 mmHg.13


Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada be

drest, tujuan bed rest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya
emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan tungkai yang
mengalami DVT dapat membuat bekuan (clot) terlepas dan “berjalan” ke paru.
Penggunaan compression stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3
minggu ketika diagnosis DVT ditegakkan dapat menurunkan risiko post-
trombosis syndrome. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien
dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.5

Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan emboli paru dapat dicegah dengan
antikoagulan dan fibrinolitik. Prinsip pemberian anti-koagulan adalah safe dan
efektif. Safe artinya antikoagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya
dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan
emboli. Berikut tatalaksana secara farmakologis:10
1) Unfractionated Heparin
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi
berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai
APTT yang diinginkan adalah 1,5-2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama
heparin adalah:
 Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan
 Melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah.
Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan
infus 18 IU/ kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan
jumlah trombosit harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama
pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, riwayat operasi sebelumnya,
kondisi-kondisi seperti peptic ulcer disease, penyakit hepar, kanker, dan
risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency). Efek samping perdarahan dan
trombositopeni. Pada terapi awal risiko perdarahan kurang lebih 7%,
tergantung dosis, usia, penggunaan bersama antitrombotik atau trombolitik
lain. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Heparin dapat
dihentikan setelah empat sampai lima hari pemberian kombinasi dengan
warfarin jika International Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0.10,16

Tabel 6. Dosis Heparin10

2) Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)


Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH lebih
menguntungkan karena waktu paruh biologis lebih panjang, dapat diberikan
subkutan satu atau dua kali sehari, dosisnya pasti dan tidak memerlukan
pemantauan laboratorium. Pada pasien DVT, heparin subkutan tidak kurang
efektif dibandingkan unfractionated heparin infus kontinyu. Seperti halnya
unfractionated heparin, LMWH dikombinasi dengan warfarin selama empat
sampai lima hari, dihentikan jika kadar INR mencapai 2 atau lebih.
Enoxaparin disetujui oleh FDA (U.S. Food and Drug Administration) untuk
pengobatan DVT dengan dosis 1 mg/ kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg
sekali sehari. Dalteparin disetujui hanya untuk pencegahan DVT. Pada
penelitian klinis, dalteparin diberikan dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis
tunggal atau dosis terbagi dua kali sehari). FDA telah menyetujui
penggunaan tinzaparin dengan dosis 175 IU/kg/hari untuk terapi DVT.8,17
Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang
dibanding pada penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara
lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastasis ke central nervous
system (CNS), kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam
tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. LMWH diekskresikan melalui
ginjal, pada penderita gangguan fungsi ginjal, dosisnya harus disesuaikan
atau digantikan oleh UFH.8,17

Tabel 7. Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT 10


3) Fondaparinux
Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat
faktor Xa dan trombin. Diberikan subkutan, bioavailabilitasnya 100%,
dengan konsentrasi plasma puncak 1,7 jam setelah pemberian. Dapat
digunakan sebagai profilaksis dan terapi kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB
<50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau 10 mg (BB >100 kg) subkutan, sekali
sehari.7
4) Warfarin
Warfarin adalah antagonis vitamin K yang mencegak aktivasi karboksilasi
dari koagulasi faktor II, VII, XI, dan X. merupakan obat pilihan untuk
antikoagulasi akut. Pemberian warfarin segera setelah diagnosis DVT
ditegakkan, namun kerjanya memerlukan satu minggu atau lebih. Oleh
karena itu, LMWH diberikan bersamaan ebagai terapi penghubung hingga
warfarin mencapai dosis terapeutiknya. Untuk pasien yang mempunyai
kontraindikasi enoxaparin (contohnya: gagal ginjal), heparin intravena dapat
digunakan sebagai tindakan pertama. Tindakan ini memerlukan perawatan di
rumah sakit.
Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh
hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. INR diusahakan antara
1,5-2,0, meskipun masih menjadi pertentangan. Pada sebuah penelitian, INR
lebih dari 1,9 didapat rata-rata 1,4 hari setelah dosis 10 mg. Dosis warfarin
dipantau dengan waktu protrombin atau INR. Untuk DVT tanpa komplikasi,
terapi warfarin direkomendasikan tiga sampai enam bulan. Kontraindikasi
terapi warfarin, antara lain perdarahan di otak, trauma, dan operasi yang
dilakukan baru-baru ini.
Pada pasien dengan faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi
antitrombin III, protein C atau S, activated protein C resistance, atau dengan
lupus antikoagulan/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral dapat
diberikan lebih lama, bahkan seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur
hidup juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali
episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker aktif. 10
5) Antikoagulan Novel Oral
Antikoagulan Novel Oral diberikan dalam dosis tetap, membentuk
antikoagulasi yang efektif dalam beberapa jam setelah konsumsi, tidak
memerlukan pemantauan koagulasi laboratorium, dan memiliki sedikit
interaksi antara obat-obat atau obat-makanan. Betrixaban, inhibitor faktor Xa
direk, telah disetujui oleh FDA pada tahun 2017 untuk profilaksis VTE pada
pasien medis yang sakit parah selama rawat inap dan berlanjut selama total
durasi 5 hingga 6 minggu. Rivaroxaban dan apixaban, penghambat faktor Xa
direk, disetujui sebagai terapi tunggal untuk pengobatan DVT dan PE akut
dan berkepanjangan, tanpa antikoagulan “penghubung” parenteral.
Dabigatran, inhibitor trombin direk, dan edoxaban, inhibitor faktor Xa,
disetujui untuk pengobatan VTE setelah pemberian antikoagulasi parenteral
selama 5 hari.7
6) Filter Vena Cava Inferior
Dua indikasi utama untuk pemasangan filter IVC adalah perdarahan aktif
yang menghalangi antikoagulasi dan trombosis vena berulang meskipun
antikoagulasi telah diberikan secara intensif. Pencegahan PE berulang pada
pasien dengan gagal jantung kanan yang bukan kandidat untuk fibrinolisis
dan profilaksis pasien berisiko sangat tinggi adalah indikasi yang "lebih
ringan” untuk penempatan filter. Filter itu sendiri bisa gagal dengan
membiarkan gumpalan tetap ada. Trombus besar dapat menyebabkan emboli
ke arteri pulmonalis melalui vena kolateral.7,17
Ironisnya dengan menyediakan nidus untuk pembentukan gumpalan, filter
vena cava dapat meningkatkan laju DVT, meskipun mencegah PE. Oleh
karena itu, komplikasi yang umum adalah DVT rekuren atau trombosis
dengan pembengkakan kaki. Filter yang dapat diambil sekarang dapat
ditempatkan untuk pasien dengan gangguan perdarahan sementara yang
diantisipasi untuk pasien dengan risiko tinggi PE, seperti individu yang
menjalani operasi bariatrik yang memiliki riwayat PE perioperatif
sebelumnya. Filter dapat diambil selama berbulan-bulan setelah penyisipan,
kecuali trombus terbentuk dan terperangkap di dalam filter. Filter yang dapat
diambil menjadi permanen jika tetap di tempatnya atau jika, karena alasan
teknis seperti endotelisasi cepat sehingga filter tidak dapat dilepas.7,17
7) Terapi Trombolitik
Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan lisisnya

trombus secara langsung dengan peningkatan produk plasmin melalui

aktivasi plasminogen. Obat-obat trombolitik yang direkomendasikan FDA

meliputi streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA),


dan urokinase.7,13,16
Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru terbentuk
dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan.
Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-
directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT
dapat menurunkan risiko rekurensi dan post-thrombotic syndrome (PTS).
Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko
perdarahan juga tinggi. Risiko perdarahan pada penggunaan trombolitik
lebih besar dibanding penggunaan heparin. Indikasi trombolisis antara lain
trombosis luas dengan risiko tinggi emboli paru, DVT proksimal, threatened
limb viability, ada predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis baik (usia
18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak
ada kontraindikasi. Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding diathesis/
trombositopeni, risiko perdarahan spesifik organ (infark miokard akut,
trauma serebrovaskuler, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma),
gagal hati atau gagal ginjal, keganasan (metastasis otak), kehamilan, stroke
iskemi dalam 2 bulan, hipertensi berat tidak terkontrol (SBP>180 mmHg,
DBP>110 mmHg).1,8
8) Trombektomi
Terapi open surgical thrombectomy direkomendasikan untuk DVT yang

memiliki kriteria di antaranya adalah DVT iliofemoral akut, tetapi terdapat


kontraindikasi trombolitik atau trombolitik ataupun mechanical
thrombectomy gagal, lesi tidak dapat diakses oleh kateter, trombus sukar
dipecah dan kontraindikasi antikoagulan. Setelah tindakan pembedahan,
heparin diberikan selama 5 hari, pemberian warfarin harus dimulai 1 hari
setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan sesudahnya. Untuk hasil
maksimal pembedahan sebaiknya dilakukan dalam 7 hari setelah onset DVT.
Pasien phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan
dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi.1
j. Algoritma pemeriksaan DVT
Gambar 3. Algoritma untuk pencitraan diagnosis.7

Gambar 4. Algoritma menentukan diagnosis DVT.15


k. Komplikasi
Post-thrombotic syndrome
Post-thrombotic syndrome terjadi akibat inkompetensi katup vena yang terjadi
pada saat rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena sisa
trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan nyeri
berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun setelah kejadian
trombosis vena dalam, pada 50% pasien. Pada beberapa pasien dapat terjadi
ulserasi (venous ulcer), biasanya di daerah perimaleolar tungkai. Ulserasi dapat
diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah ulkus sembuh pasien harus
menggunakan compressible stocking untuk mencegah berulangnya post
thrombotic syndrome. Penggunaan compressible stocking dapat dilanjutkan
selama pasien mendapatkan manfaat tetapi harus diperiksa berkala.7,13
Gambar 5. Kaki pasien sindrom post-trombosis.7

Pulmonary Embolism (PE)


Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau percabangannya akibat
bekuan darah yang berasal dari tempat lain. Tanda dan gejalanya tidak khas,
seringkali pasien mengeluh sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk
sampai hemoptoe, palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat
mengalami penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku
penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan
membutuhkan tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode diagnosis
klinis, pemeriksaan D-Dimer dan CT angiografi.7

l. Pencegahan
Faktor risiko trombosis vena dalam tidak sepenuhnya dapat dieliminasi, namun

dapat diturunkan. Misalnya, menekuk dan meluruskan lutut 10 kali setiap 30

menit, terutama pasien yang baru menjalani pembedahan mayor atau melakukan
perjalanan jauh. Pada penerbangan lama, setiap orang harus melakukan
peregangan dan berjalan-jalan setiap 2 jam.8
Untuk mencegah tromboemboli vena, dapat diberikan Low Dose Unfractioned
Heparin, yaitu UFH 5000 IU subkutan setiap 8-12 jam yang dimulai 1-2 jam
sebelum operasi ADH yaitu UFH subkutan setiap 8 jam, mulai sekitar +- 3.500
IU disesuaikan +- 500 IU dengan target nilai APTT normal tinggi atau
LMWH/heparinoid yang dapat diberi sesuai dengan jenis operasi resiko
tromboemboli prosedur tersebut.1
Tabel 8. Pencegahan tromboemboli vena pada pasien yang dirawat.7
m. Prognosis
Rekurensi trombosis pada kaki yang lainnya yang sebelumnya tidak
terjadi DVT, menunjukkan bahwa faktor risikonya adalah perubahan sistemik
bukan disebabkan oleh sisa kerusakan pembuluh darah lokal. Namun hanya
beberapa faktor risikonya yang diketahui seperti faktor V Leiden, prothrombin
20210A, peningkatan faktor koagulasi VIII, IX dan XI, defisiensi protein C dan
protein S. Beberapa faktor risiko yang didapat seperti pembedahan, imobilisasi
dan kanker meningkatkan risiko trrombosis rekuren seperti pada thrombosis
pada kasus pertama kali.5
Prognosis DVT jangka pendek di panggul dan bawah ekstremitas
tergantung pada ada/tidaknya dan beratnya akut drainase vena anomali, PTE
akut, dan emboli arteri. Drainase vena anomali akut sering mereda di dalam
beberapa bulan setelah onset. PTE akut adalah kondisi yang paling serius dan
membutuhkan pencegahan primer dan sekunder. Pada penderita emboli arteri,
ada/tidaknya paten foramen ovale harus dikonfirmasi. Sementara tu, jangka
panjang prognosis DVT tergantung pada ada/tidaknya dan beratnya sindrom
pasca trombotik, DVT rekuren, PTE kronis, dan emboli arteri. Sindrom pasca-
trombotik berkembang pada sekitar 40% pasien dengan tipe sentral DVT, dan
disebabkan oleh katup abnormal pada arteri yang berlubang dan vena superfisial.
Saat DVT kambuh, manifestasi akut diamati, dan kejadian PTE dan sindrom
pasca-trombotis meningkat. Pengobatan dini memperbaiki prognosis pasien
dengan DVT. Pasien dengan DVT berulang terapi antikoagulasi harus dinilai
untuk trombofilia. Untuk memastikan pencegahan DVT berulang, pasien harus
melanjutkan olah raga dan juga terapi kompresi terapi antikoagulasi untuk
jangka waktu yang sesuai. Durasi terapi antikoagulasi harus ditentukan
mempertimbangkan reversibilitas faktor risiko dan apakah kondisi terebut
idiopatik atau permanen.5
2.2 Emboli Paru Akibat DVT
Emboli paru adalah kondisi akut dan serius yang dapat mengancam nyawa
secara langsung. Emboli terjadi ketika arteri di paru-paru diblokir oleh zat yang
telah berjalan dari bagian tubuh lain melalui aliran darah. Zat ini biasanya hasil
dari bekuan darah di kaki atau panggul. Penyumbatan arteri yang memasok
paru-paru, menyebabkan kerusakan parah, mengganggu kelancaran operasi dan
dapat, tergantung pada pentingnya arteri yang tersumbat, secara langsung
menyebabkan kematian. Bentuk emboli yang paling umum yang menyebabkan
emboli paru adalah bekuan darah yang dari daerah distal. Emboli paru masif
menyumbang 5-10% kasus, dan ditandai dengan trombosis ekstensif yang
mempengaruhi setidaknya setengah dari pembuluh darah paru. Dispnea, sinkop,
hipotensi, dan sianosis merupakan tanda emboli paru masif. Pasien dengan
emboli paru masif dapat mengalami syok kardiogenik dan dapat meninggal
karena kegagalan organ multisistem. Emboli paru submassive terjadi pada 20-
25% pasien, dan ditandai dengan disfungsi ventrikel kanan meskipun tekanan
arteri sistemik normal. Kombinasi gagal jantung kanan dan pelepasan biomarker
jantung menunjukkan risiko tinggi kerusakan klinis. Emboli paru risiko rendah
merupakan sekitar 65-75% kasus. Pasien-pasien ini memiliki prognosis yang
sangat baik.7,14
a. Epidemiologi
Trombosis vena dalam sebagian besar merupakan faktor sekunder akibat
faktor predisposisi yang umum dengan emboli paru (PE). DVT distal (di
bawah lutut) lebih sering dikaitkan dengan situasi sementara sedangkan
yang proksimal ke kondisi kronis. Dalam 25-50% dari kasus pertama
Episode DVT, tidak ada faktor predisposisi yang diidentifikasi. Emboli
paru dapat menyebabkan <300.000 kematian per tahun di AS, peringkat
tertinggi di antara penyebab kematian kardiovaskular. Di enam negara
Eropa dengan total populasi 454,4 juta, lebih dari 370.000 kematian
terkait dengan VTE pada tahun 2004, seperti yang diperkirakan pada
dasar dari model epidemiologi. Dari pasien ini, 34% meninggal
mendadak atau dalam beberapa jam setelah kejadian akut, sebelum terapi
dapat dimulai atau diterapkan. Di antara pasien lainnya, kematian akibat
Emboli paru akut yang didiagnosis setelah kematian pada 59% dan
hanya 7% dari pasien yang meninggal dini yang didiagnosis dengan
benar PE sebelum meninggal.7,11
b. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis PE akut tidak spesifik. Di sebagian besar kasus, PE
dicurigai pada pasien dengan dispnea, nyeri dada, presinkop atau sinkop,
atau hemoptisis. Ketidakstabilan hemodinamik adalah bentuk presentasi
klinis yang jarang tetapi penting, seperti yang diindikasikan PE sentral atau
ekstensif dengan hemodinamik yang sangat berkurang. Bisa terjadi sinkop,
dan dikaitkan dengan prevalensi ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi
RV yang lebih tinggi. PE akut mungkin sering ditemukan pada pasien
dengan sinkop (17%). Dalam beberapa kasus, PE mungkin asimtomatik atau
ditemukan secara kebetulan selama pemeriksaan diagnostik untuk penyakit
lain. Sesak bisa akut dan parah pada PE sentral; pada PE perifer kecil, sering
ringan dan mungkin sementara.
Pada pasien dengan gagal jantung atau penyakit paru yang sudah ada
sebelumnya, dispnea yang memburuk dapat terjadi menjadi satu-satunya
gejala yang menunjukkan PE. Nyeri dada merupakan gejala PE yang sering
terjadi dan biasanya disebabkan oleh iritasi pleura akibat distal emboli yang
menyebabkan infark paru. Pada PE sentral, bisa nyeri dada memiliki
karakter angina yang khas, mungkin mencerminkan iskemia RV, dan
membutuhkan diagnosis banding dari sindrom koroner akut atau diseksi
aorta. Selain gejala, pengetahuan tentang faktor predisposisi untuk VTE
penting dalam menentukan probabilitas klinis dari penyakit, yang meningkat
dengan jumlah faktor predisposisi menyajikan; Namun, pada 40% pasien PE,
tidak ada fakto predisposisi yang ditemukan.
Hipoksemia sering terjadi, tetap <_40% pasien memiliki saturasi oksigen
arteri (SaO2) normal dan 20% memiliki gradien oksigen alveolararterial
normal. Hipokapnia juga sering hadir. Foto rontgen dada seringkali tidak
normal dan, meskipun demikian temuannya biasanya tidak spesifik pada PE,
mungkin berguna untuk tidak termasuk penyebab dispnea atau nyeri dada
lainnya.11,12,15
Tabel 9. Geneva Score untuk emboli paru.11,15

c. Patofisiologi
Jika bekuan vena terlepas dari posisi pembentukannya, maka emboli
berjalan ke pembuluh sirkulasi paru atau mengikuti sirkulasi sistemik arteri
(emboli paradoks, diamati pada kasus foramen ovale terbuka). Telah dibuktikan
dengan penelitian bahwa ketika 60% dari jaringan vaskular arteri pulmonalis
tersumbat, maka penurunan tekanan darah yang parah dan tikungan akut dari
ventrikel kanan (kor pulmonal akut) disebabkan. Dalam kasus di mana
penyumbatan mencapai 80% dari jaringan vaskular, terjadi kematian mendadak.
Efek hemodinamik jantung pada emboli paru bergantung pada laju oklusi
pembuluh darah paru, jarak jaringan ini dan pelepasan zat vasomotor yang
menyebabkan bronkospasme diikuti dengan penurunan lebih lanjut perfusi paru
dan peningkatan VD (adanya dead space). 14
Penyakit jantung paru akut disebabkan oleh peningkatan tekanan rata-
rata arteri pulmonalis secara tiba-tiba, dalam konsentrasi yang lebih besar dari
40 mmHg karena peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Efek emboli paru
oleh sistem kardiovaskular dapat berupa jantung paru akut, iskemia miokard,
kegagalan sirkulasi akut, dan kegagalan sisi kiri serta paru-paru, hipoksia, dan
atelektasis.14 Pada defisiensi akut, tekanan di ventrikel kanan meningkat,
mengakibatkan perpindahan septum ke kiri, menurunkan evendotitas ventrikel
kiri, disfungsi kedua ventrikel, penurunan curah jantung dan penurunan tekanan
darah. Insufisiensi koroner akibat emboli paru dikaitkan dengan penurunan
curah jantung yang signifikan, penurunan tekanan aorta, hipoksia, dan
kemungkinan adanya refleks melalui vagal yang mengurangi lebar pembuluh
koroner.14
Infark paru muncul sebagai paru hemoragik yang menebal ketika arteri
paru berukuran normal tidak tersumbat akibat gagal jantung kiri dan penurunan
tekanan pada sirkulasi sistemik. Infark paru hanya terjadi pada 10% kasus
emboli paru karena parenkim paru teroksigenasi secara memuaskan melalui
bronkus. Nasib tromboemboli di paru-paru akan menentukan perjalanan
penyakit selanjutnya. Beberapa mekanisme dapat memulihkan sirkulasi arteri
pulmonalis, kecuali episode emboli berulang. Ketika emboli yang terlalu besar
menyumbat sirkulasi paru, dapat menyebabkan sinkop transien, tetapi kemudian
dapat dihancurkan dan dilarutkan dalam beberapa 24 jam, sebaliknya jika tetap,
emboli akan menyusut dan menyatu dengan dinding pembuluh darah.
Gambar 6. Patofisiologi Emboli Paru.11,12

d. Diagnosis
a. Tes D-Dimer
Karena sejumlah tes D-dimer tersedia, dokter harus menyadari kinerja
diagnostik dari tes yang digunakan di rumah sakit mereka sendiri. Uji
imunosorben terkait enzim (ELISA) atau uji turunan ELISA memiliki
sensitivitas diagnostik>-95%, dan dapat digunakan untuk mengecualikan
PE pada pasien dengan probabilitas pra-uji rendah atau menengah. Di
unit gawat darurat, ELISA D-dimer negatif dapat, dalam kombinasi
dengan probabilitas klinis, menyingkirkan penyakit tanpa pengujian
lebih lanjut pada 30% pasien dengan dugaan PE. Hasil studi
menunjukkan bahwa risiko tromboemboli 3 bulan adalah <1% pada
pasien dengan probabilitas klinis rendah atau sedang yang tidak diobati
berdasarkan hasil tes negatif.11,12
b. Computed tomographic pulmonary angiography
Multidetector CTPA adalah metode pilihan untuk pencitraan pembuluh
darah paru pada pasien dengan dugaan PE. Hal ini memungkinkan
visualisasi yang memadai dari arteri pulmonalis sampai ke tingkat
subsegmental. Studi Investigasi Prospektif Pada Pulmonary Embolism
Diagnosis (PIOPED) II mengamati sensitivitas 83% dan spesifisitas 96%
untuk (terutama empat detektor) CTPA dalam diagnosis PE. PIOPED II
juga menyoroti pengaruh probabilitas klinis pra-uji pada nilai prediksi
multidetektor CTPA. Pada pasien dengan probabilitas klinis PE rendah
atau menengah, CTPA negatif memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi
untuk PE (96 dan 89%, masing-masing), tetapi nilai prediksi negatifnya
hanya 60% jika probabilitas pra-tes tinggi. Sebaliknya, nilai prediksi
positif dari CTPA positif tinggi (9296%) pada pasien dengan probabilitas
klinis sedang atau tinggi, tetapi jauh lebih rendah (58%) pada pasien
dengan kemungkinan pre-test rendah dari PE. Oleh karena itu, dokter
harus pertimbangkan pengujian lebih lanjut jika terjadi ketidaksesuaian
antara penilaian klinis dan hasil CTPA. 11,12
c. Lung scintigraphy
Ventilasi planar / perfusi [V / Q (skintigrafi paru)] adalah tes diagnostik
yang mapan untuk dugaan PE. Tujuan pemindaian ventilasi adalah untuk
meningkatkan spesifisitas: pada PE akut, ventilasi diharapkan normal
pada segmen hipoperfusi (tidak sesuai). Sebagai prosedur hemat radiasi
dan kontras medium, V / Q scan dapat diterapkan pada pasien rawat jalan
dengan probabilitas klinis rendah dan rontgen dada normal, pada pasien
muda (terutama wanita), pada wanita hamil, pada pasien dengan riwayat
kontras anafilaksis yang diinduksi media, dan pasien dengan gagal ginjal
berat. 11,12
d. Pulmonary angiography
CT dada dengan kontras (lihat di atas) hampir menggantikan angiografi
paru invasif sebagai tes diagnostik. Tes diagnostik berbasis kateter
invasif disediakan untuk pasien dengan CT dada yang secara teknis tidak
memuaskan dan untuk mereka yang direncanakan akan menjalani
prosedur intervensi seperti trombolisis yang diarahkan ke kateter.
Diagnosis pasti PE memerlukan visualisasi dari defek pengisian
intraluminal pada lebih dari satu proyeksi. Tanda-tanda sekunder PE
termasuk oklusi mendadak ("cut-off") pembuluh darah, oligemia
segmental atau avaskularisasi, dan fase arteri yang berkepanjangan
dengan pengisian yang lambat, dan pembuluh perifer yang berliku-liku
dan meruncing. 11,12
e. Magnetic resonance angiography
Magnetic resonance angiography (MRA) telah dievaluasi selama
beberapa tahun terkait dugaan PE. Namun, hasil penelitian skala besar
menunjukkan bahwa teknik ini, meskipun menjanjikan, belum siap untuk
praktik klinis karena sensitivitasnya yang rendah, proporsi tinggi dari
pemindaian MRA yang tidak meyakinkan, dan ketersediaannya yang
rendah di sebagian besar keadaan darurat. Hipotesis bahwa MRA negatif,
dikombinasikan dengan tidak adanya DVT proksimal pada kompresi
ultrasonografi (CUS), dapat dengan aman menyingkirkan PE yang
signifikan secara klinis saat ini sedang diselidiki dalam studi hasil
multisenter yang sedang berlangsung. 11,12
f. Echocardiography
Ekokardiografi bukanlah alat pencitraan diagnostik yang dapat
diandalkan untuk PE akut karena kebanyakan pasien PE memiliki
ekokardiogram yang normal. Namun, ekokardiografi adalah alat
diagnostik yang sangat berguna untuk mendeteksi kondisi yang mirip
dengan PE, seperti infark miokard akut, tamponade perikardial, dan
diseksi aorta. Ekokardiografi transthoracic jarang menggambarkan
trombus secara langsung. Tanda tidak langsung PE yang paling terkenal
pada ekokardiografi transthoracic adalah tanda McConnell: hipokinesis
dinding bebas RV dengan gerakan normal atau hiperkinetik apeks RV.
Ekokardiografi transesofageal harus dipertimbangkan ketika fasilitas CT
scan tidak tersedia atau ketika pasien mengalami gagal ginjal atau alergi
kontras yang parah yang menghalangi pemberian kontras meskipun
premedikasi dengan steroid dosis tinggi. Modalitas pencitraan ini dapat
mengidentifikasi pelana, induk kanan, atau induk kiri. 11,12
g. Compression venous ultrasonography
Pada sebagian besar kasus, PE berasal dari DVT di ekstremitas bawah,
dan jarang dari DVT ekstremitas atas (kebanyakan setelah kateterisasi
vena). Dalam sebuah penelitian yang menggunakan venografi, DVT
ditemukan pada 70% pasien dengan PE yang terbukti. Saat ini, CUS
ekstremitas bawah telah banyak menggantikan venografi untuk
mendiagnosis DVT. CUS memiliki sensitivitas> 90% dan spesifisitas
95% untuk DVT simtomatik proksimal. CUS menunjukkan DVT pada
30-50% pasien dengan PE, dan menemukan DVT proksimal pada pasien
yang diduga menderita PE dianggap cukup untuk menjamin pengobatan
antikoagulan tanpa pengujian lebih lanjut. Namun, pasien yang PE secara
tidak langsung dikonfirmasi dengan adanya DVT proksimal harus
menjalani penilaian risiko untuk keparahan PE dan risiko kematian dini.
11,12

Gambar 7. Algoritma penentuan Emboli Paru.15


e. Tatalaksana
a. Heparin
Heparin merupakan obat yang terkait dengan antithromboni III
meningkatkan aktivitasnya sendiri. Ini mencegah peningkatan ukuran
trombus yang ada dan memfasilitasi pembubaran sistem fibrinolitik
endogen. Setelah pemberian heparin selama 5-7 hari, stabilisasi trombus
terjadi di endotel vena atau arteri pulmonalis. Heparin tidak
menyebabkan pelarutan bekuan yang ada. Dosis: Awal pengobatan
dengan heparin dilakukan setelah pasien mengontrol keberadaan lokasi
perdarahan yang signifikan dan setelah pemeriksaan rektum, agar
perdarahan mikroskopis dari saluran pencernaan disingkirkan. Awalnya,
5000 - 10.000 unit obat diberikan dalam dosis tunggal dan kemudian
1000-1500 unit per jam diberikan dengan injeksi intravena terus
menerus. Tingkat terapeutik heparin diamankan ketika waktu
tromboplastin parsial pasien setidaknya dua kali waktu kontrol.
Komplikasi: Efek samping utama heparin adalah pendarahan. Jika
perdarahan intrakranial berbahaya bagi kehidupan, obat dihentikan dan
protamine sulfate diberikan. Pada pasien yang menjalani pengobatan
jangka panjang dengan heparin, osteopenia, osteoporosis, dan patah
tulang patologis dapat terjadi. Tes fungsi hati yang abnormal sering
terjadi, tetapi jarang dikaitkan dengan toksisitas yang signifikan secara
klinis. 11,12,14
b. Warfarin
Merupakan antagonis vitamin K dan menghambat aktivasi faktor
koagulasi II, VII, IX dan X, melalui cdekarboksilasi. Untuk manifestasi
dari efek penuhnya, seringkali, periode lima hari diperlukan, bahkan
ketika waktu protrombin (di mana tindakan dikendalikan) diperpanjang
dalam waktu yang lebih singkat. Ketika administrasi dimulai selama
kondisi trombotik aktif, kadar protein C dan S menurun, sehingga
trombogenesis lebih disukai. Penggunaan heparin secara bersamaan
selama lima hari mengkompensasi tindakan warfarin ini. Dosis: Awalnya
diberikan dengan dosis 7,5-10mg. Biasanya, bagaimanapun, setelah
beberapa hari, dosisnya harus dikurangi. Dalam kasus pasien dengan
status gizi buruk, atau pasien yang telah menerima pengobatan jangka
panjang dengan antibiotik dan mungkin menunjukkan beberapa derajat
avitaminosis K, dosis awal warfarin harus lebih sedikit, misalnya 2.5mg.
Komplikasi: Seperti pada kasus heparin, komplikasi yang paling umum
adalah perdarahan. Jika perdarahan yang mengancam jiwa muncul,
plasma beku baru (biasanya dua titik) diberikan untuk mencapai
hemostasis. Durasi antikoagulasi. Setelah menghentikan pengobatan
dengan antikoagulan, tingkat kekambuhan emboli paru sangat tinggi.
Pasien kanker atau obesitas berat mungkin harus mengonsumsi
antikoagulan seumur hidup. Untuk pasien lain, antikoagulasi
direkomendasikan untuk satu episode trombosis vena tungkai selama tiga
bulan, untuk trombosis vena jaringan kaki vena proksimal selama 6
bulan dan untuk emboli paru selama 1 tahun. 11,12,14
c. Trombolisis
Trombolisis segera membalikkan gagal jantung kanan dan dengan
demikian mengurangi mortalitas dan laju rekurensi emboli paru. Dengan
metode ini tercapai:
1. Disolusi sebagian besar bekuan yang menyumbat pembuluh paru
2. Penghambatan sekresi serotonin dan faktor neurohumoral lainnya,
yang dapat memperburuk hipertensi paru
3. Pembubaran bekuan darah di vena panggul atau di sistem vena dalam
kaki, sehingga mengurangi tingkat kekambuhan emboli paru
4. Pemberian aktivator rekombinan 100mg dari jaringan plasminogen,
sebagai infus intravena kontinyu dari vena perifer selama periode 2 jam,
lebih disukai. Pasien merespon trombolisis bahkan 14 hari setelah
terjadinya emboli paru.
5. Metode kontraindikasi adalah adanya penyakit intrakranial,
pembedahan atau cedera yang baru terjadi. Perdarahan intrakranial
terjadi pada 1%. Metode terbaik untuk mencegah komplikasi perdarahan
adalah dengan memantau pasien untuk kondisi yang merupakan
kontraindikasi trombolisis, sebelum penerapan metode.
6. Tromboendarterektomi. Pasien yang mengalami hipertensi paru akibat
emboli paru mungkin mengalami dispnea parah saat istirahat atau dengan
tingkat kebugaran yang rendah. Penerapan tromboembolektomi, secara
substansial mengurangi, dan dalam beberapa kasus, menyembuhkan
hipertensi pulmonal.
7. Pencegahan. Pencegahan emboli paru sangat penting, karena sulit
untuk didiagnosis dan mahal pengobatannya. Untungnya, ada sejumlah
besar metode pencegahan yang menunjukkan keberhasilan yang
memuaskan. Antikoagulasi dengan heparin dan warfarin adalah tindakan
pencegahan sekunder kekambuhan emboli paru. Pengobatan penyakit ini
melibatkan pembubaran gumpalan atau pengangkatannya dengan
embolektomi. 11,14,15

2.3 DVT Pada Pasien Kanker


Pasien kanker menunjukkan peningkatan risiko VTE empat hingga tujuh
kali lipat (penyebab kematian kedua). VTE insidental semakin terdiagnosis dan
dikaitkan dengan kelangsungan hidup keseluruhan yang lebih buruk. Risiko
VTE bervariasi dari diagnosis kanker melalui pengobatan, dengan tingkat
kejadian tahunan 0,5-20% sesuai dengan lokasi dan jenis kanker, status
metastasis, pengobatan (pembedahan, kemoterapi), penggunaan kateter vena
sentral, rawat inap, dan faktor terkait pasien. Model penilaian risiko dapat
membantu stratifikasi risiko VTE individu dan menyesuaikan terapi yang
memadai. VTE terkait kanker berisiko tinggi kambuh dan perdarahan selama
pengobatan, risiko kematian meningkat hingga delapan kali lipat setelah VTE
akut dibandingkan dengan pasien non-kanker. 13,19
Tabel 10. Score Constan dan Khorana untuk DVT pada kanker.13

LMWH direkomendasikan untuk pengobatan awal (kemanjuran yang


serupa dan keamanan yang lebih tinggi dari UFH). Fondaparinux pada pasien
dengan riwayat trombositopenia yang diinduksi heparin, dan UFH pada kasus
gagal ginjal adalah alternatif yang valid. Filter vena cava dan trombolisis hanya
boleh dipertimbangkan berdasarkan kasus per kasus. Untuk pengobatan jangka
panjang, keunggulan LMWH dibandingkan heparin jangka pendek yang diikuti
oleh VKA didokumentasikan dengan baik. LMWH digunakan setidaknya
selama 3 dan sampai 6 bulan jika dibandingkan dengan VKA secara signifikan
mengurangi kekambuhan VTE dengan profil keamanan yang serupa. Setelah 6
bulan, penghentian atau kelanjutan antikoagulan harus dievaluasi secara
individual: rasio manfaat-risiko, tolerabilitas, preferensi pasien, dan aktivitas
kanker. Dalam gejala trombosis terkait kateter, antikoagulasi direkomendasikan
setidaknya selama 3 bulan. LMWH disarankan meskipun VKA juga dapat
digunakan (tidak tersedia perbandingan langsung). Central-veincatheter dapat
dipertahankan jika berfungsi, tidak terinfeksi, dan ada resolusi trombosis yang
baik. Durasi antikoagulasi optimal belum ditentukan, namun, durasi 3 bulan
tampaknya dapat diterima dalam analogi dengan DVT ekstremitas atas
(UEDVT).13,19,20
Untuk kekambuhan VTE di bawah antikoagulasi yang tepat (INR, antiXa
dalam kisaran terapeutik), 3 opsi direkomendasikan: (i) beralih dari VKA ke
LMWH pada pasien yang diobati dengan VKA; (ii) meningkatkan dosis LMWH
yang disesuaikan dengan berat badan sebesar 20-25%; (iii) penggunaan filter
vena cava, meskipun tidak ada hasil spesifik yang tersedia untuk pasien kanker.
Tidak ada perbandingan langsung DOAC dengan LMWH yang tersedia saat ini.
Namun demikian, data dari uji coba VTE besar baru-baru ini menunjukkan
noninferioritas dalam hal kemanjuran dan keamanan DOAC dibandingkan
dengan AVK pada pasien kanker yang termasuk dalam penelitian.13,19,20

2.4 DVT pada pasien hamil


VTE tetap menjadi penyebab utama kematian ibu di dunia industri.
Validitas aturan prediksi klinis DVT pada kehamilan belum diuji secara
prospektif. Meskipun D-dimer meningkat selama kehamilan, nilai normal
mengecualikan VTE dengan kemungkinan mirip dengan wanita tidak hamil.
VUS adalah tes pencitraan utama. Kecuali kontraindikasi, antikoagulasi harus
dimulai sampai pengujian objektif. Jika VUS negatif tetapi kecurigaan klinis
tinggi, pengujian harus dilakukan berulang. Jarang, venografi CT atau MRI
dapat dipertimbangkan. 13
Pengobatan didasarkan pada antikoagulasi heparin (tidak ada
penyilangan plasenta dan tidak ditemukan secara signifikan dalam ASI). LMWH
aman dalam kehamilan, pemantauan anti-Xa, dan adaptasi dosis tidak dapat
direkomendasikan secara rutin, tetapi dapat dipertimbangkan pada wanita yang
ekstrim. berat badan atau penyakit ginjal. Apakah antikoagulasi dosis penuh
awal dapat dikurangi menjadi dosis menengah untuk pencegahan sekunder
selama kehamilan yang sedang berlangsung masih belum jelas. Pengurangan
dosis harus dipertimbangkan untuk wanita dengan risiko tinggi perdarahan,
osteoporosis, atau risiko kekambuhan VTE rendah. Bukti tidak cukup untuk
merekomendasikan od atau b.i.d. LMWH, tapi b.i.d. mungkin lebih cocok secara
perinatal untuk menghindari tingkat anti-Xa yang tinggi pada saat melahirkan.
Antikoagulasi harus dilanjutkan setidaknya selama 6 minggu postnatal dan
sampai setidaknya total 3 bulan pengobatan.13,18

2.5 DVT pada Ekskremitas Atas


DVT ekstremitas atas (UEDVT) menyumbang 10% dari semua DVT
dengan insiden tahunan 0,4–1,0/10.000 orang. Insiden meningkat karena
peningkatan penggunaan kateter vena sentral, jantung. alat pacu jantung, dan
defibrillator. Komplikasi serupa, meskipun lebih jarang, dengan DVT
ekstremitas bawah. Sekitar 20-30% UEDVT merupakan komplikasi primer yang
disebabkan oleh kelainan anatomi atau setelah upaya fisik berkelanjutan. DVT
sekunder termasuk komplikasi terkait kateter vena dan perangkat, kanker,
kehamilan, dan operasi atau trauma lengan / bahu baru-baru ini. Presentasi klinis
yang paling umum meliputi nyeri, bengkak, dan perubahan warna kulit. D-
Dimer menunjukkan nilai prediksi negatif yang baik pada DVT bergejala. VUS
adalah ujian pilihan pertama untuk diagnosis. Algoritma diagnostik,
menggunakan skor Constans, D-dimer, dan VUS diusulkan. Kontras-, CT-, dan
MR-venografi tidak direkomendasikan untuk diagnosis tetapi terbatas pada
kasus tertentu yang tidak terselesaikan. Antikoagulasi mirip dengan DVT
ekstremitas bawah. Trombolisis tidak direkomendasikan secara rutin tetapi
terbatas pada kasus berat tertentu. Skor prognostik yang mengidentifikasi pasien
DVT risiko rendah yang dapat dirawat dengan aman di rumah telah diusulkan
tetapi belum di alidasi secara eksternal.13, 16
2.6 DVT Pada Tempat Yang Tidak Biasa
a. Trombosis vena serebral
Presentasi trombosis vena serebral (CVT) yang paling umum meliputi sakit
kepala parah, kejang, defisit neurologis fokal, dan kesadaran yang berubah.
Untuk diagnosis dan pengobatan, lihat Materi tambahan online, hanya
bagian.13
b. Trombosis vena splanknikus
Trombosis vena splanknikus dapat muncul sebagai onset nyeri perut yang
tiba-tiba dengan atau tanpa gejala perut non-spesifik lainnya. Perdarahan
gastrointestinal atas atau asites mendadak yang memburuk dapat terjadi pada
pasien sirosis, perdarahan gastrointestinal bagian bawah, atau abdomen akut
dapat terjadi pada pasien dengan trombosis vena mesenterika.13

2.7 DVT Pada Pasien Infeksi Covid-19


Saat ini mekanisme pasti penyebab trombosis pada COVID- 19 belum

diketahui. Patogenesis pneumonia COVID-19 dikaitkan dengan adanya

inflamasi luas, badai sitokin, dan disfungsi endotel luas yang pada akhirnya
memicu berbagai kaskade protrombotik. Virus SARS-CoV-2 masuk pada sel
melalui ikatan dengan reseptor angiotensin- converting enzyme 2 (ACE-2) yang
diekspresikan dalam jumlah besar pada sel epitel alveolar, miosit jantung, sel
endotel pembuluh, ginjal, saluran pencernaan dan sel lain. Replikasi dan
pelepasan virus yang terjadi dalam sel endotel maupun sel epitel kemudian
memicu respon imun awal yang tinggi dimana beberapa sitokin proinflamasi
disekresikan dalam jumlah besar diantaranya IL-6, IL-1β, dan IL-2.21,22
Pada kasus berat, respon inflamasi yang berlebihan ini menyebabkan

terjadinya badai sitokin dimana respon proinflamasi yang dihasilkan oleh sitokin

menyebabkan kerusakan lokal pada jaringan paru yang ditandai dengan adanya

kerusakan alveolar difus, kerusakan epitel, apoptosis sel endotel, disregulasi

koagulasi, dan fibrinolisis. Adanya disfungsi endotel akibat infeksi COVID-19


didukung oleh studi patologi dimana ditemukan adanya gambaran endotelitis
limfositik pada paru, jantung, ginjal, hati, dan usus halus. Selain itu juga
ditemukan adanya badan inklusi virus serta akumulasi sel inflamatorik dalam sel
endotel. Disfungi endotel telah diketahui berperan dalam terjadinya disfungsi
mikrovaskuler sehingga pembuluh cenderung mengalami vasokonstriksi,
iskemia, inflamasi, dan berada dalam kondisi prokoagulasi.21,22
Mekanisme terjadinya trombosis akibat inflamasi atau infeksi

diantaranya diperankan oleh adanya peningkatan faktor jaringan (TF) yang

berada pada platelet, leukosit, dan sel endotel saat terjadi inflamasi. Peningkatan

TF memicu aktivasi jalur ekstrinsik dan intrinsik yang berperan dalam


pembentukan trombin. Trombin kemudian berikatan dengan reseptornya untuk
memicu pembentukan fibrin dari fibrinogen, aktivasi dan stabilisasi sumbat
platelet. Selain itu akibat dari inflamasi terjadi penurunan fibrinolisis karena
peningkatan plasminogen-activator inhibitor-1 (PAI-1).23
Pada pasien COVID-19 sering terjadi hipoksia. Hipoksia diketahui

menyebabkan terjadinya vasokonstriksi dan penurunan aliran darah yang


berkontribusi pada disfungsi endotel. Pada kasus berat seperti yang telah
dilaporkan pada pasien dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
kondisi hipoksia juga memicu terjadinya perubahan fenotipe endotel yang
bersifat antitrombotik dan anti-inflamatorik menjadi prokoagulan dan pro-
inflamatorik dengan menginduksi hypoxia-inducible factor (HIF) yang
menginduksi TF dan PAI-1.23,24
Dengan adanya berbagai faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa
terjadinya trombosis pada COVID-19 terkait dengan adanya penurunan aliran
darah karena vasokonstriksi maupun stasis, cidera pada endotel, serta kondisi
hiperkoagulasi. Ketiga faktor ini termasuk dalam Trias Virchow yang
merupakan faktor risiko signifikan terjadinya trombosis vena.
Gambar 7. Alur patofisiologi covid-19 pada pasien dengan DVT.25

Antikoagulan profilaksis
IDI memberikan kriteria inklusi dan eksklusi untuk pemberian profilaksis
antikoagulan untuk pasien COVID-19 kritis atau yang dirawat di ICU. Dalam
rekomendasi IDI, obat profilaksis antikoagulan yang dianjurkan adalah low molecular
weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH). Secara umum LMWH
lebih direkomendasikan dibandingkan UFH. Dosis LMWH yang direkomendasikan
oleh IDI adalah 40 mg subkutan satu kali sehari untuk dosis standar. Pada pasien anak
dosis yang direkomendasikan adalah 1 mg/kgBB/12 jam diberikan secara subkutan.
Sedangkan untuk UFH dosis standar yang direkomendasikan adalah 5000 unit dua kali
sehari diberikan secara subkutan.24,25
IDI dan Thrombosis UK juga merekomendasikanpengaturan dosis berdasarkan
klirens kreatinin (CrCl) pasiendengan nilai batas CrCl 30mL/menit. Namun Thrombosis
UK merekomendasikan dosis UFH yang lebih rendah antikoagulan terapeutik apabila
nilai D-dimer naik secara signifikan >2000-4000 μg/L.Berdasarkan InaSTH, obat yang
dapat digunakan sebagai antikoagulan terapeutik diantaranya adalah enoxaparin,
nadroparin, fondaparinux, dan UFH. Untuk keperluan terapeutik, dosis yang digunakan
secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan pengobatan profilaksis. Antikoagulan
terapeutik diberikan selama 3 bulan bila pasien dapat mentoleransi terapi dengan baik
tanpa perdarahan yang serius.23,25

Monitoring terapi
Dalam rekomendasi IDI disebutkan bahwa monitoring laboratorium hemostasis
secara rutin tidak diperlukan kecuali terjadi efek samping berupa perdarahan,
perkembangan penyakit ke arah DIC, atau jika terdapat pertimbangan khusus. Dalam
rekomendasi National Institute for Public Health of the Netherlands direkomendasikan
untuk mengevaluasi D-dimer secara rutin berdasarkan nilai D-dimer pasien saat masuk.
Sedangkan, ISTH merekomendasikan monitoring terapi dengan mempertahankan

jumlah platelet di atas 25x109/L pada pasien yang tidak mengalami perdarahan dan

mempertahankan nilai platelet di atas 50x109/L, nilai fibrinogen diatas 1,5g/L, dan rasio
PT <1,5 pada pasien yang mengalami perdarahan.23,24,25
BAB III
KESIMPULAN

DVT merupakan penyakit yang cukup sering terjadi, dengan angka


kejadian mendekati 1 : 1000 populasi. DVT mempunyai risiko besar emboli paru
yang dapat menimbulkan kematian. Faktor terjadinya trombosis dapat
dikelompokkan menjadi kelainan pembuluh darah, aliran darah, dan komponen
pembekuan darah. Faktor risiko DVT antara lain usia tua, imobilitas lama, trauma,
hiperkoagulabilitas, obesitas, kehamilan, dan obat-obatan.
Manifestasi klinis DVT cenderung tidak spesifik, biasanya pasien
mengeluh nyeri, bengkak, dan perubahan warna kulit. Diagnosis DVT ditegakkan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, juga pemeriksaan penunjang. Prinsip
pengobatan adalah mengurangi morbiditas dan terutama mencegah emboli paru.
Terapi yang dianjurkan adalah heparin dilanjutkan dengan anti-koagulan oral.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam edisi 6. Editor: Sudoyo, A.W., Bambang
Setioyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: 2014: 2818-2822
2. Frits R Rosendaal, Harry R Buller. Venous thrombosis. In: Dan L Longo,
editor. Horrison’s hematology and oncology. New York: Mc-Grow Hill
Company; 2010.p.246-53.
3. IWL Adnyana, K Suega, IM Bakta, Trombosis Vena Dalam. Divisi
Hemato Onkologi. Universitas Udayana. 2013
4. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll
Cardiol. 2010; 56:1-7
5. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and
prevention of pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis.
Circ J. 2011; 75: 1258-81
6. Ahmed M, Elshrif H, Masoud A, Altaher A. Deep Vein Thrombosis.
Sebha Medical Journal, 2013; 12(2):6-11.
7. Goldhaber S. Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism.
Editor: Kasper, D. L., Fauci A., Longo. In: Harrison's Principles of
Internal Medicine 20th Ed., The Mc Grawhill Companies, United Statesof
America. 2018. Pg 273-274.
8. Jayanegara, AP. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis. CDK.
2016: 244. Vol. 43 No. 9.
9. David L, Erica P, James D, Mark B. Diagnosis and management of
iliofemoral deep vein thrombosis: Clinical practice guideline. CMAJ.
2015;23: 1-9
10. Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson
MD, et al Diagnosis of DVT: Antithrombotic therapy and prevention of

thrombosis. 9th ed. American College of chest physicians. Evidence-based


clinical practice guidelines. Chest 2012; 141(2)(Suppl):351–418. doi:
10.1378/chest.11-2299.
11. Konstantinides, et al. 2019 ESC Guidelines for the diagnosis and
management of acute pulmonary embolism developed in collaboration
with the European Respiratory Society (ERS). European Heart Journal.
(2019). 41. 10.1093/eurheartj/ehz405.
12. Konstantinides, Stavros. (2014). 2014 ESC Guidelines on the diagnosis
and management of acute pulmonary embolism. European Heart Journal.
35. 3145-3146. 10.1093/eurheartj/ehu393.
13. Mazzolai L, et al. Diagnosis and management of acute deep vein
thrombosis: a joint consensus document from the European Society of
Cardiology working groups of aorta and peripheral vascular diseases and
pulmonary circulation and right ventricular function. Eur Heart J. 2018
Dec 14;39(47):4208-4218. doi: 10.1093/eurheartj/ehx003. PMID:
28329262.
14. Kourkouta, Lambrini & Konstantinos, Koukourikos & Christos, Iliadis &
Petros, Ouzounakis & Areti, Tsaloglidou. (2018). Pulmonary Embolism: A
Literature Review. 10.11648/j.ajns.s.2018070301.19.
15. Streiff, Michael B et al. “Guidance for the treatment of deep vein
thrombosis and pulmonary embolism.” Journal of thrombosis and
thrombolysis vol. 41,1 (2016): 32-67. doi:10.1007/s11239-015-1317-0
16. Kruger PC, Eikelboom JW, Douketis JD, Hankey GJ. Deep vein
thrombosis: update on diagnosis and management. Med J Aust. 2019
Jun;210(11):516-524. doi: 10.5694/mja2.50201. Epub 2019 Jun 2. PMID:
31155730.
17. Osman, A., W. Ju, Dahui Sun and Baochang Qi. “Deep venous thrombosis
: a literature review.” (2018).
18. Thomsen A, Greer I. Thromboembolic disease in pregnancy and the
puerperium: acute management (Green-top guideline no. 37b). R Coll
Obstetr Gynaecol 2015;1–32.
19. Farge-Bancel, Dominique et al. “Implementing thrombosis guidelines in
cancer patients: a review.” Rambam Maimonides medical journal vol. 5,4
e0041. 2014, doi:10.5041/RMMJ.10175
20. Sheth, Rahul A et al. “Thrombosis in cancer patients: etiology, incidence,
and management.” Cardiovascular diagnosis and therapy vol. 7,Suppl 3
(2017): S178-S185. doi:10.21037/cdt.2017.11.02
21. Price LC, McCabe C, Garfield B, et al. Thrombosis and COVID-19
pneumonia: the clot thickens! Eur Respir J 2020; 56: 2001608.
22. Poissy J, Goutay J, Caplan M, et al. Pulmonary Embolism in Patients With
COVID-19. Circulation 2020; 142: 184–186.
23. Barnes GD, Burnett A, Allen A, et al. Thromboembolism and
anticoagulant therapy during the COVID-19 pandemic: interim clinical
guidance from the anticoagulation forum. J Thromb Thrombolysis 2020;
50: 72–81.
24. Cuker A, Tseng EK, Nieuwlaat R, et al. ASH 2020 guidelines on the use
of anticoagulation in patients with COVID-19: Draft recommendations.
American Society of Hematology,
https://www.hematology.org/education/clinicians/g uidelines-and-quality-
care/clinical-practice- guidelines/venous-thromboembolism-
guidelines/ash-guidelines-on-use-of- anticoagulation-in-patients-with-
covid-19 (diakses 11 Januari 2021).
25. Sunggoro AJ, et al. Trombosis pada corona virus disease (COVID-19)
Jurnal Kedokteran Syiah KualaVolume 20, Number 3, Desember 2020
Pages: 191-198

Anda mungkin juga menyukai