Anda di halaman 1dari 14

ZINA DALAM HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANA

Syifa Nahdiyatul Uyun


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto
syifanahdia2@gmail.com

Abstracts
This research is motivated by the recent rise of children bron out of wedlock or adultery. This
article discusses about adultery in Islamic law and the book of law and criminal. By using
the comparative analysis method found a difference between Islamic law and the book of law
and criminal in terms define adultery as well as legal consequence.

Keywords: Zina, Hukum Islam, KUHP

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya akhir-akhir ini anak lahir diluar nikah atau anak
zina. Artikel ini membahas tentang zina dalam hukum Islam dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Dengan menggunakan metode analisis komparatif ditemukan
perbedaan antara hukum Islam dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam
mendefinisikan istilah zina serta konsekuensinya.

Kata kunci: Zina, Hukum Islam, KUHP

A. Latar Belakang

Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang
sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena kepemilikan (budak). Secara garis
besar pengertian ini telah di sepakati oleh para ulama Islam, meskipun mereka masih
berselisih pendapat tentang penerapan hukumnya.1

Maraknya kasus perzinaan yang terjadi di setiap tahunnya terus meningkat


entah itu pada kalangan remaja maupun orang dewasa yang belum menikah maupun
sudah menikah. Dari perbuatan para pezina ini juga mengakibatkan kerusuhan bagi
masyarakat. Karena di khawatirkan akan merusak moral seseorang, dan di takutkan
akan terjadinya penularan penyakit HIV atau AIDS. Di dalam agama Islam kasus

1
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 37.
perzinaan di anggap perbuatan yang sangat keji dan sangat di benci oleh Allah SWT.
Agama Islam dengan tegas melarang perzinaan seperti halnya firman Allah SWT
dalam al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 32:
‫ َوسا َ َء َسبِ ْْیال‬،ً‫َوالتَ ْق َربُُوا ال ِّز نى اِ َّن ھُ َكانَ فَا ِح َشة‬

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah


salah satu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (Q.S al-Isra’:32).

Dalam agama Islam zina di bagi menjadi dua yaitu zina muhsan dan zina
ghairu muhsan. Zina muhsan adalah zina yang di lakukan oleh orang yang telah
menikah atau telah memiliki suami atau istri yang sah. Untuk hukuman zina muhsan,
jika pelakunya sudah menikah dan melakukan perbuatan ini dengan sukarela mereka
di hukum cambuk 100 kali dan di rajam. Zina ghairu muhsan adalah zina yang di
lakukan oleh orang yang belum pernah menikah. Dan untuk hukuman zina gahiru
muhsan ini jika pelakunya ini belum menikah maka mereka di cambuk 100 kali dan di
asingkan selama satu tahun.

Menurut fuqaha dari kalangan madhzab Syafi’i, zina adalah masuknya ujung
kemaluan laki-laki meskipun sebagiannya ke dalam kemaluan wanita yang haram,
dalam keadaan syahwat yang alami tanpa syubhat. Asy-syairazi dalam madhzab
assyafi’iyah mendefinisikan zina adalah hubungan seksual yang di lakukan oleh
seorang laki-laki dari penduduk darul-islam kepada seorang perempuan haram
baginya, yaitu tanpa akad nikah atau syibhu akad atau budak wanita yang di miliki,
dalam keadaan berakal, bisa memilih dan tahu akan keharamannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang dapat diambil,
sebagai berikut:
1. Apa itu zina?
2. Bagaimana hukum zina dalam prespektif Islam?

3. Bagaimana kedudukan anak hasil hubungan zina menurut hukum islam dan
hukum positif?

C. Tujuan

1. Mengetahui tentang pengertian zina.


2. Mengetahui hukum zina di dalam hukum Islam.

3. Mengetahui kedudukan anak dari hasil hubungan zina menurut hukum Islam
dan hukum positif.
Z ina dalam Prespektif Islam

Zina menurut fiqh adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada
ikatan perkawinan yang sah, yaitu memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam kelamin
perempuan, minimal sampai batas hasyafah (kepala zakar).

Persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina adalah persetubuhan di dalam farji,
di mana zakar di dalam farji seperti batang celak atau seperti timba di dalam sumur.
Persetubuhan dianggap zina, minimal dengan terbenamnya hasyafah (pucuk zakar) pada farji,
atau yang sejenis hasyafah jika zakar tidak mempunyai hasyafah dan menurut pendapat yang
kuat zakar tidak diisyaratkan ereksi.

Zina merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukum hudud atau had, yakni
suatu hukuman yang diberlakukan terhadap pelanggaran yang menyangkut hak Allah.
Dengan demikian, hukuman tindak pidana zina telah diatur oleh Al-Qur’an karena
merupakan hak Allah swt. secara mutlak. Ada dua macam perbuatan zina yang mendapat
hukuman wajib bagi pelakunya yaitu: zina ghair muhsan dan zina muhsan. Zina ghair muhan
adalah suatu zina yang dilakukan oleh orang yang belum belum pernah melangsungkan
perkawinan yang sah. Dan untuk hukuman yang dibebankan oleh pelaku zina ghair muhsan
adalah didera seratus kali dan juga diasingkan selama setahun. Sementara zina muhsan adalah
suatu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah baligh, berakal, merdeka dan sudah pernah
bercampur secara sah dengan orang lain jenis kelaminnya. Hukuman bagi pelaku zina
muhsan adalah di rajam. Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari dengan batu. 2
Sedangkan zina menurut hukum positif yaitu dijelaskan dalam pasal 284 KUHP tidak
dengan jelas mendefinisikan tentang zina, tetapi cenderung memaparkantentang kriteria
pelaku yang dapat dijerat oleh pasal perzinaan. Pada penejlasan pasal ini diatikan sebagai
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang tealah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan isterinya atau suaminya. Sedangkan yang dimaksud
dengan persetubuhan ialah perpaduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang
biasa dijalankan untuk mendapatkan anak. Penegrtian ini relative sama dengan istilah
adultery dalam bahasa Inggris yang diartikan sebagai “Voluntary sexual intercourse by a
married person with one who is not his or her spouse”. Jika diterjemahkan kedalam bahasa
2
Huda, S. (2015). Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana. HUNAFA: Jurnal
Studia Islamika, 12(2), 377-397.
Indonesia bearti “Hubungan seksual sukarela oleh seseorang yang terikat perkawinan dengan
orang yang bukan suami atau isterinya”.3

Kriteria Zina dalam Hukum Islam

Hukum bagi pelaku zina dapat ditetapkan apabila memenuhi unsurunsur perbuatan
zina dengan beberapa kriteria. Pertama, melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah
dan disengaja. Selain itu pelaku juga mengetahui bahwa persetubuhan yang mereka lakukan
adalah haram. Dalam tindak pidana zina, pelaku zina laki-laki maupun perempuan
diisyaratkan mempunyai kesengajaan atau niat melawan hukum. Niat melawan hukum
dianggap terpenuhi jika pelaku tahu bahwa ia menyetubuhi perempuan yang haram baginya.
Juga kalau perempuan yang berzina menyerahkan dirinya dan tahu bahwa orang yang
menyetubuhinya tidak halal baginya.

Kedua, pelaku adalah mukallaf. Islam menetapkan setiap mukallaf dapat dijerat
hukuman hudud jika terbukti berbuat zina terlepas apakah sudah menikah atau belum
menikah. Bila seorang anak kecil atau orang gila yang melakukan hubungan seksual di luar
nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar’i, begitu juga bila dilakukan oleh
seorang idiot yang paramedis mengakui kekurangan tersebut.

Ketiga, zina adalah persetubuhan yang dilakukan dalam kondisi sadar tanpa
paksaan,artinya si antar pelaku telah setuju untuk melakukannya. Persetubuhan yang
dipaksakan adalah pemerkosaan. Jika salah satu pihak ternyata dipaksa, maka dai bukanlah
pelaku melainkan korban. Dalam kasus pemerkosaan ini, pelaku tetap dijatuhi hukuman had,
sedangkan korban tidak.

Keempat, terdapat bukti-bukti telah terjadi perzinaan. Ada tiga alat bukti untuk
pembuktian zina yaitu: saksi, pengakuan, dan qarinah (indikasi).4

Analisis Hukum Islam Tentang Perbuatan Zina

Menurut pandangan Islam bahwa konsep zina menurut pasal 284 KUHP jauh lebih
sempit bila dibandingkan dengan konsep zina dalam pandangan Islam. Hal ini disebabkan
karena konsep zina dalam pasal 284 KUHP itu hanya pelaku persetubuhan yang sudah terikat
perkawinan yang dapat disebut sebagai pezina. Jika keduanya sudah menikah, maka
3
Hadiwijaya, A. (2020). ZINA DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.
4
Huda, S. (2015). Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana. HUNAFA: Jurnal
Studia Islamika, 12(2), 377-397.
keduanya adalah pezina. Jika salah satu saja yang sudah terikat perkawianan, maka yang
belum terikat itu disebut sebagai peserta zina saja.

Apabila keduanya belum menikah, maka tidak ada pezina diantara mereka. Sedangkan
di dalam hukum Islam, bahwa zina itu bukan saja dilakukan oleh orang yang telah
berkeluarga, tetapi juga orang yang belum berkeluarga yang melakukan hubungan kelamin di
luar nikah. Selanjutnya reaksi hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana zina sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 284 KUHP terlalu ringan, hanya diancam hukuman dengan pidana
selama-lamanya sembilan bulan. Akibatnya, hukum tidak membuat orang jera atau takut
melakukan tindak pidana. Dengan demikian sanksi pidana yang tercantum di dalam pasal 284
KUHP itu tidak berlaku dengan semestinya.

Oleh karena itu, perlu dikonfirmasikan unsur-unsur hukum Islam dalam perumusan
delik zina serta sanksi pidananya dalam rangka konstruksi pikiran terhadap pasal 284 KUHP
tentang perbuatan zina dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Zina menurut hukum
Islam bukan saja sebagai perbuatan dosa besar, tetapi juga menimbulkan efek negatif
terhadap kesehatan jasamani, yaitu timbulnya penyakit kelamin. Disamping itu juga zina
bertentangan dengan moral, sifat kemuliaan, merusak struktur kehidupan masyarakat dan
keluarga, mengacaukan keturunan, seta merusak pendidikan anak dengan kata lain
dampak/akibat buruk zina meliputi bidang moral, agama, jasmani, kemasyarakatan, dan
keluarga.

Kemudian tindak pidana zina ini juga dianggap membawa efek negatif lain dan
terkadang menimbulkan tindak pidana lain, mislanya perempuan tersebut melakukan
tindakan aborsi, yakni pelanggaran pasal 346 KUHP, dan pembunuhan bayi yang lahir akibat
perbuatan zina tersebut, hal ini pelanggaran pasal 341 KUHP.

Secara tegas pelanggaran zina erat kaitannya dengan upaya menegakkan moral atau
akhlak mulia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu,
Allah melaknat perbuatan zina itu dengan firmannya di dalam Al-qur’an surah Al-Isra (17)
ayat 32 yang Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. Al-Isra (17):32)

Kata “La taqrabuzzina” berarti, dan jangan mendekati, mengandung makna larangan
untuk terjerumus dalam rayuan sesuatu yang berpotensi mengarah kepada langkah
melakukannya. Zina itu adalah “fahisyatun wa saa a sabila” sesuatu perbuatan amat keji
yang melampaui batas, maka diancam dengan hukum had, yakni hukuman yang telah
ditentukan oleh syara’ dan menjadi hak Allah.

Dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia tentunya tidak lepas dari politik
hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu di laksanakan terhadap
hukum yang ada sehingga nantinya dapat memenuhi kebutuhan baru di masyarakat. Politik
hukum tersebut memberikan arah perkembangan titik hukum dari “ius constitutum” yang
bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada penyusunan “ius
constituendum” atau hukum akan dicita-citakan.5

Kompirasi antara Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam Terhadap Perbedaan
Pendapat Saksi Jarimah Zina

Pembuktian jarimah zina dalam hukum positif berdasar kepada KUHP pasal 183 yaitu
adanya dua alat bukti yang disertai dengan keyakinan hakim. Hukum positif tidak
memberikan syarat terhadap jumlah saksi yang harus dihadirkan di persidangan, ketika syarat
minimum adanya dua alat bukti serta keyakinan hakim terpenuhi, maka vonis sudah dapat
dijatuhkan kepada tersangka.

Dalam hukum positif, apabila suatu tindak pidana merupakan tindak pidana berlanjut,
maka perbedaan keterangan saksi mengenai waktu, tempat kejadian perkara, tidak membuat
keterangan saksi ditolak sepanjang waktu, tindak pidana tersebut tidak melebihi batas empat
hari. Akan tetapi, jika perbedaan keterangan dua orang saksi terjadi pada tindak pidana yang
berdiri sendiri (zelfstanding Delict) maka dalam hal ini keterangan saksi tidak dapat diterima.
Sementara dalam hukum pidana Islam faktor hubungan waktu dan tempat (jarak antara satu
perbuatan) sangat sempit, meski tidak ada batasan waktu yang jelas disebutkan oleh para
ulama, tapi dapat disimpulkan dari beberapa pendapat ulama bahwa batasan waktu
dikembalikan kepada kebiasaan durasi waktu saat berhubungan badan. Dalam hukuman
pidana Islam, hukuman bagi pelaku jarimah zina itu sangat berat, berbanding lurus dengan
syarat pembuktian yang sangat ketat, syarat saksi jarimah zina dalam hukum Islam adalah
adanya empat orang saksi laki-laki yang menyaksikan secara langsung peristiwa zina,
keempat saksi juga harus memberikan kesaksian terhadap tindakan yang sama. Jika terjadi

5
Azzahra, F. (2020). ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PERBUATAN ZINA DALAM PASAL 284
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA.
perbedaan keterangan pada keempat saksi, maka semua pendapat saksi tidak dapat diterima
kecuali jika perbedaan pendapat mengenai waktu dan tempat tidak berjauhan.6

Kedudukan Anak Hasil Hubungan Zina Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

A. Beberapa Akibat Negatif dari Zina

Islam menganggap zina sebagai tindak pidana (jarimah) yang sudah ditentukan saksi
hukumannya. Ketentuan ini suddah pasti mempunyai tujuan. Salah satu tujuannya yaitu agar
manusai tidak terjerumus kepada perbuatan terkutuk yang di murkai oleh Allah.

Sayid Sabiq dalam fiqh sunnah memberikan alasan dijadikannya zina sebagai tindak
pidana yaitu:

1. Zina dapat menghilangkan nasab dan secara otomatis menyiak-nyiakan


harta warisan ketika orangtuanya meninggal.
2. Zina dapat menyebabkan penularan peyakit yang berbahaya kepada yang
melakukannya dan anaknya.
3. Zina merupakan salah satu sebab terjadinya pembunuhan, karena rasa
cemburu merupakan rasa yang ada pada smua umat manusia.
4. Zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan
eksisitensinya.
5. Zina hanya sekedar hubungan yang sementara, tidak ada masa depan dan
kealanjutannya.

B. Status Anak di Luar Nikah


1. Pengertian anak luar nikah

Menurut pendapat Hassanain, anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari
hubungan yang tidak sah. Apabila tela trejadi perkawinan antara suami istri secara sah,
kemudain istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari
kesahan anak itu apabila:

a. Istri melahirkan anak sebelum cukup masa kehamilan.


b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari
masa perceraian.
6
Sugiyanto, E., & Pujiyono, B. W. (2016). Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
Perzinahan. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1-10
Jumhur fuqaha memberikan batas minimal masa kehamilan selama enam bulan,
berdasarkan pada ayat al-Ahqaf ayat 15. Dalam surah al-Ahqaf ayat 15 ini dijelaskan bahwa
mengandung dan menyapih yaitu 30 bulan. Sedangkan dalam surat Luqman ayat 14
dijelaskan batas maksimal menyapih adalah dua tahun (24 bulan). Jadi masa mengandung
yang sedikit adalah 30 bulan dikurangi 24 bulan yaitu 6 bulan.

Sedangkan batas maksimal kehamilan menurut Imam Malik adalah 5 tahun. Imam
Syafi’I memberikan batasan 4 tahun, sedangkan Hanafiyah memberikan batasan 2 tahun.
Terlepas dari perbedaan diatas, kenyataannya masa hamil pada umumnyaberkisar Sembilan
bulan sampai satu tahun.

Dengan demikian, data dikatakan bahwa apabila seorang istri melahirkan anaknya
kurang dari enam bulan masa kehamilannya, maka suami bisa mengajukan keberatan atas
anak yang akan dilahirakn itu. Bahkan secara yuridis anak itu bukan lagi dianggap sebagai
anak yang sah. Begitu pula hanya seorang wanita telah diceari, kemudian ia melahirkan anak
pada masa yang lebih dari Sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak itu bukan anak
suaminya.

1. Akibat anak yang tidak sah

Apabila seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak sah, maka ia disebut sebagai
anak luar kawin (anak alam). Sebagai akibatnya ia tidak dapat dihubungkan dengan ayahnya,
melainkan hanya kepada ibunya. Ketentuan ini terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan Hukum Islam.

Namun demikian dalam KUHP ada sebuah ketentuan, bahwa anak tersebut dapat
dianggap sebagai anak yang sah setelah daikui sebagai anak sekaligus disahkan sebagai anak.
Akibat dari pengakuan dan pengesahan anak ini, timbul hak dan keawjiban timbal balik
antara anak dan orangtuanya.

Sedangkan dalam hukum Islam tetap tidak dianggap sebagai anak yang sah, oleh
karena itu berakibat hukum sebagai berikut:

a. Tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya


seacara tidak sah.
b. Tidak ada saling mewarisi.
c. Tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.7

2. Kewarisan Anak Zina dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Perdata
1. Pengertian waris anak zina

Kata waris diambil dari bahasa Arab yaitu warista-yaritsu-wartsan yang berarti
“mempusakai”. Waris adalah ketentuan tentang pembagian harta pusatka, orang yang berhak
menerima waris serta jumlahnya. Kata waris berarti orang yang berhak menerima pusaka
(harta peninggalan) orang yang telah meninggal.

Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan anak-anak yang lahir karena
perbuatan zina. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga
pendapat sebagai berikut:

a. Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i berpendapat bahwa anak tersebut dapat
mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat
mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui.
Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali r.a.
b. Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina
dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang
mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, “Jika anda ingin mengetahui
ashabah anak li’an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang
menjadi ashabah anak li’an”.
c. Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak yang lahir karena
perbuatan zina adalah ibunya karena bagi mereka seperti kedua orangtua,
yakni ayah dan ibu. Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang
menjadi ashabah itu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi’in,
diantaranya Hasan dan Ibnu Sirin.
2. Status hak waris anak zina dan li’an dalam Kompilasi Hukum Islam

Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam (KHI) meneybutkan:

“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris
dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.”

7
Mohtarom, A. (2018). Kedudukan Anak Hasil Hubungan Zina Menurut Hukum Islam dan Hukum
Positif. AL MURABBI, 3(2), 193-202.
Dalam Islam, apabila seseorang telah terang ada hubungan darah dengan ibu
bapaknya, maka di mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tak ada
suatu penghalang pusaka dan selama syarat-syarat pusaka telah cukup sempurna dan tidak
dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang
ibu.

Kedudukan anak menurut hukum Islam sebagaimana yang termuat dalam Kompilasi
Hukum Islam pada prinsipnya memiliki pandangan yang sama dengan UU perkawinan,
karena pasal 100 Kompilasi Hukum Islam mengandung rumusan yang tidak berbeda dengan
pasal 43 ayat (1) UU perkawinan, dimana seorang anak luar kawin hanya memiliki hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.8

Yang dapat dipandang ada ialah hubungan darah dengan ibu saja tidak dengan bapak.
Seperti pada anak zina dan anak li’an. Syara’ telah menetapkan bahwa kedua-dua anak ini
dibangsakan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh
karenyanya, tidak ada hubungan kekrabatan antara anak itu dengan ayahnya.9

3. Konsep Perwalian Anak Zina Dalam Tatanan Hukum Islam dan Undang-Undang

Perwalian anak zina dalam kompilasi hukum Islam dan UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Jika diteliti secara mendalam, Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara
khusus dan pasti tentang pengelompokkan yang terdapat dalam hukum perdata umum.
Apabila dalam kasus bahwa anak yang lahir akibat dari perbuatan zina tersebut ternyata
wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetik)
tersebut tidak berhak atau tidak sah untuk menikahkannya (menjadi wali nikah).
Sebagaimana ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam pasal 19 Kompilasi Hukum Islam:

a. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
b. Yang bertindak sebagi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat
hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.

8
Elfrida, R. (2017). PERLINDUNGAN ANAK HASIL ZINA MENURUT PRESPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Doctoral dissertation, IAIN Raden Intan Lampung).
9
Mustaghfir, A. (2018). Kewarisan Anak Zina Dalam Tinjauan Hukum Islam dan KUH Perdata
(Doctoral dissertation, IAIN Ponorogo).
c. Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan terhadap anak luar nikah
tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar
pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.

Undang-undang No.1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak diluar nikah dalam pasal
43, yaitu: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya
akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Perkembangan hukum terbaru yang terjadi di Indonesia saat ini adalah ketika seorang
ibu melahirkan bayinya akibat dari hubungan badan diluar nikah dengan seorang laki-laki,
maka anak yang dilahirkan tersebut juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah
biologisnya sepanjang dapat dibuktikan bahwa anak tersebut adalah anak biologis dari laki-
laki yang menghamili ibunya. Apabila hubungan badan tersebut mengakibatkan kehamilan,
maka anak yang dilahirkan tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya.10

Kesimpulan

10
Mawardi, M. (2020). KONSEP PERWALIAN PERNIKAHAN ANAK ZINA DALAM TATANAN
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG. Qiyas: Jurnal Hukum Islam dan Peradilan, 5(2).
Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah,
bukan karena syubhat, dan bukan pula karena kepemilikan (budak). Secara garis besar
pengertian ini telah di sepakati oleh para ulama Islam, meskipun mereka masih berselisih
pendapat tentang penerapan hukumnya.

Dalam agama Islam zina di bagi menjadi dua yaitu zina muhsan dan zina ghairu
muhsan. Zina muhsan adalah zina yang di lakukan oleh orang yang telah menikah atau telah
memiliki suami atau istri yang sah. Untuk hukuman zina muhsan, jika pelakunya sudah
menikah dan melakukan perbuatan ini dengan sukarela mereka di hukum cambuk 100 kali
dan di rajam. Zina ghairu muhsan adalah zina yang di lakukan oleh orang yang belum pernah
menikah. Dan untuk hukuman zina gahiru muhsan ini jika pelakunya ini belum menikah
maka mereka di cambuk 100 kali dan di asingkan selama satu tahun.

Persamaan dan perbedaan perlindungan hak anak hasil zina adalah persamaan dalam
Hukum Islam dan Hukum Positif bahwa anak zina memiliki hak dari orang tuanya yakni hak
kekuasaan orangtua, hak pemeliharaan dan pendidikan anak, hak mewarisi, dan hak keluarga.
Sedangkan perbedaannya terletak pada hubungan keperdataan anak zina tersebut Hukum
Islam berpendapat bahwa anak zina memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan pihak
keluarga ibunya, dan hukum positif berpendapat bahawa anak zina memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dan ayah biologisnya yang dapat dibuktikan
dengan alat buti sesuai hukum yang berlaku.

Daftar Pustaka
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 37.
Huda, S. (2015). Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang Undang Hukum
Pidana. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 12(2), 377-397.
Hadiwijaya, A. (2020). ZINA DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF.
Huda, S. (2015). Zina dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang Undang Hukum
Pidana. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 12(2), 377-397.
Sugiyanto, E., & Pujiyono, B. W. (2016). Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya
Penanggulangan Tindak Pidana Perzinahan. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1-10
Mohtarom, A. (2018). Kedudukan Anak Hasil Hubungan Zina Menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif. AL MURABBI, 3(2), 193-202.
Elfrida, R. (2017). PERLINDUNGAN ANAK HASIL ZINA MENURUT PRESPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Doctoral dissertation, IAIN Raden Intan
Lampung).
Mustaghfir, A. (2018). Kewarisan Anak Zina Dalam Tinjauan Hukum Islam dan KUH
Perdata (Doctoral dissertation, IAIN Ponorogo).
Mawardi, M. (2020). KONSEP PERWALIAN PERNIKAHAN ANAK ZINA DALAM
TATANAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG. Qiyas: Jurnal Hukum Islam dan
Peradilan, 5(2).

Anda mungkin juga menyukai