Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PASIEN SYOK SEPSIS DAN AKI

Oleh :

Arie Zainul Fatoni

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS-2 KONSULTAN INTENSIF CARE

LABORATORIUM/ SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG

2019
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan kondisi klinis yang disebabkan oleh respon sistemik


tubuh terhadap infeksi. Menurut Surviving Sepsis Campaign (SSC) tahun 2016,
sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh
respon disregulasi dari host terhadap infeksi. Secara global insiden sepsis mengalami
peningkatan dengan angka kematian yang terus bertambah. Sekitar 27 hingga 30 juta
orang mengalami sepsis tiap tahunnya, dan 7 hingga 9 juta orang meninggal. Ini
artinya setiap 3,5 detik satu orang meninggal dikarenakan sepsis. Di US, insiden
sepsis terjadi pada 5,9 % pasien yang ada di rumah sakit, dengan mortalitas di dalam
rumah sakit sekitar 15,6 – 30 %. Sepsis yang tidak tertangani dengan baik akan
berkembang menjadi multiple organ dysfunction syndrome (MODS) dan gangguan
pada sistem kardiovaskular sampai terjadi syok septik. Hal ini akan meningkatkan
mortalitas pada pasien syok sepsis menjadi 50 – 70 %. 1,2,3
Sepsis dan syok sepsis merupakan proses inflamasi yang diawali oleh proses
infeksi. Respon inflamasi ini tergantung pada patogen penyebab dan host
(karakterisitik gen dan penyakit penyerta. Penyebab patogen/infeksi terbanyak
berasal dari bakteri, tetapi dapat juga disebabkan oleh jamur, virus, dan parasit.
Respon imun yang disregulasi dari host terhadap bakteri dapat menyebabkan MODS
dengan angka mortalitas yang tinggi. Infeksi primer pada sepsis biasanya berasal dari
organ paru paru, abdomen, kateter arteri/vena, traktus urinarius dan kulit serta
jaringan ikat. Walaupun sumber infeksi bisa berasal dari manapun tetapi sumber
infeksi terbanyak ialah dari paru – paru (penumonia) dan abdomen (infeksi intra
abdomen).4,5,6
Sepsis sebagai respon sistemik terhadap infeksi dapat mempengaruhi
hampir setiap sistem organ. Acute kidney injury (AKI) akibat sepsis ditandai dengan
penurunan kemampuan filtrasi dan eliminasi hasil metabolisme nitrogen yang terjadi
secara progresif, biasanya terjadi selama beberapa jam sampai beberapa hari setelah
onset sepsis. AKI adalah komplikasi organ yang paling sering pada sepsis. AKI
terjadi pada sekitar 22 – 45 % pasien sepsis, dengan tingkat mortalitas sekitar 41%.
Sedangkan pada syok sepsis, angka kejadian AKI meningkat menjadi 60 % dengan
angka kematian yang lebih tinggi yaitu 50-60%.6,7,8 Oleh sebab itu pada laporan
kasus ini, kami ingin memaparkan kasus tentang syok sepsis dan AKI
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama : Ny S
Umur : 53 tahun
Suku : sunda
Pekerjaan : IRT
No Med Rec- : 01751882
MRS : 18/03/2019
Masuk ICU : 19/03/2019
Keluar ICU : 26/03/2019

Anamnesis (18/03/2019)
Keluhan utama : Nyeri di seluruh perut
Nyeri perut memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, kembung, mual,
muntah, demam. Tidak BAB, tidak buang angin sejak 3 hari yang lalu.
Nyeri perut hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu.
Riwayat penyakit dahulu: Sakit seperti ini sebelumnya (-), DM (+), HT (-)
Riwayat penyakit autoimun disangkal, tumor atau keganasan (-).
Riwayat penyakit keluarga: Sakit keluhan serupa (-), Tumor/Ca (-)
Pemeriksaan fisik
Status interna
Keadaan umum : tampak sakit berat
Tekanan Darah : 100/80 mmHg
Nadi : 120 x/mnt
Laju pernafasan : 28 x/mnt, NK 3 lpm SpO2 97%
Temperatur aksila : 38,5 °C
Mata : Conjungtiva : anemis (-/-), icterus (-/-)
Leher : Massa (–), kelenjar tiroid (N)
Thoraks, Jantung : S1 S1 tunggal, murmur (–) Paru : Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen : Distended, tegang, nyeri tekan+, nyeri lepas+ , Defans +,
Bising usus menurun
Ekstrimitas : Edema -, anemis (-) , akral hangat
Lain lain : Produksi urin 100 cc pekat dalam 6 jam
Laboratorium:
DL 12 / 35,2/15.170/550.000
Gds : 553 226 Laktat : 3,9
Ur/cr : 95,6 / 3,48
Na / K/Cl/ : 125 / 6,4/114 Na/K : 134/5,4
AGD : 7.414/21,9/77,2/14,1/99,2%/ - 7,9
PT/APTT/INR : 11.4 / 24.4 / 1.02
Pada pemerikasaan foto BNO 2 posisi didapatkan gambaran Ileus obstruktif letak
tinggi disertai pneumoperitoneum dan pada foto thoraks didapatkan gambaran
bronkopneumoni kanan
Assesmen : Sepsis e.c peritonitis diffusa (susp perforasi hollow viscus/ perforasi
gaster)
Pneumonia CAP
AKI gr II
Imbalance elektrolit (hiponatremia, hiperkalemia)
DM type 2 (hiperglikemia)
Planning : Loading NaCl 0.9% 1000 cc
Kultur darah dan sputum
Ceftriaxon 1x2 gr
Metronidazole 3x750 mg
Pasang NGT
Ranitidin 50 mg
Insulin 10 iu + D40% + Ca glukonas 2 g
Cek laboratorium ulang
Explorasi laparotomi dengan anestesi umum
Pasca operasi di ICU
Laporan Anestesi dan operasi :
Anestesi umum selama ± 5 jam; cairan masuk : RL 1500 cc; Cairan keluar : Urine ±
150 cc / 5 jam, perdarahan ± 200 cc. Ditemukan cairan peritoneum bercampur pus ±
800 cc, ditemukan ruptur abses hepar lobus kiri segmen 2, organ hollow viskus intak
Perawatan di ICU
Hari Pertama (19/03/19)
Pasien pasca operasi, MAP < 65 mmHg sehingga diberikan norepineprin dan
vasopressin. Pasien dengan kondisi sudah terintubasi dan dalam pengaruh sedasi,
gerakan dinding dada simetris, tekanan darah 120/80 mmHg dengan laju nadi 100 -
130 kali per menit dengan irama ECG monitor sinus takikardi dengan support
norepineprin 14 mcg/menit, Vasopressin 0.04 iu/menit, dan saturasi 99%. Suhu
tubuh 38,8, rr 18 – 22 x/menit, CVP 12 cmH20 dan Balance cairan + 700 ml. Mode
ventilator yang kemudian digunakan adalah CPAP-PS 8, PEEP 5, FiO2 60% dengan
hasil evaluasi AGD arteri: pH 7,4/ pCO2 30/ PO2 114/HCO3 19/BE -3,6/ SO2 97%,
Hb 9.5 / Hct 28.9/ Leukosit 25.900/ Trombosit 474.000; Gds : 200, Ur/cr : 105 / 3,
SGOT/SGPT : 113 / 43, Albumin : 1,1, Na / K/Cl/Ca/Mg : 138 /6.0/114/ 3.6/1.7,
Laktat: 2.2, PT/APTT/ANR : 10,8/25,9/0,96
bilirubin T/D/I : 0.7/0.6/0.1
CXR : Tampak gambaran pneumonia d
Kardiomegali tanpa bendungan paru
Hasil Echocardiografi : CO : 6,8 liter/menit;
CI : 3,93 L/menit/m3, SV: 48 ml/beat, SVR 835, IVC max 19,2 mm (DI : 13%),
LVOT VTI variability 19% (suggestive not fluid responsive)
Diagnosa : Syok Sepsis e.c peritonitis diffusa (ruptur abses hepar)
Pneumonia CAP
AKI gr II
Imbalance elektrolit (hiperkalemia)
DM type 2
Terapi pada hari pertama difokuskan pada support respirasi, hemodinamik dan
antibiotika untuk syok sepsis. Terapi hari pertama : Inj meropenem 3 x 1 g,
metronidazol 1 x 1500 mg, Paracetamol 1 g i.v k/p, Omeprazol 2 x 40 i.v, Ca
gluconas 2 g, insulin bolus 10 iu + D40%, syringe midazolam 3 mg/jam dan fentanyl
30 mcg/jam. Direncanakan kultur, evaluasi ulang elektrolit
Hari Kedua (20/03/19)
Hari kedua perawatan kesadaran pasien E3M4Vt (somnolen), dengan menggunakan
mode ventilator CPAP-PS 6, PEEP 5, FiO2 50% dengan tekanan darah 100 -130/60-
70 mmHg dengan laju nadi 100-90, dengan irama ECG monitor sinus rhytm, suhu 37
- 37,8, nilai CVP 12 - 10 cmH2O, balance cairan -300 cc, RR 10-18 kali per menit
SpO2 99 %, masih, hasil evaluasi AGD arteri: pH 7,4, PCO2 33,1 PO2 119, SpO2
99, HCO3 21, BE -2.4, AGD Vena sentral: pH 7,41, PCO2 37 PO2 50, SpO2 68
Hasil pemeriksaan Laboratorium: Gds : 180 Na 137 K 5,7 Cl 113 Mg 1.7 Ca 4,6
Laktat 1,2
Diagnosa : Syok Sepsis e.c peritonitis diffusa (abses hepar), Pneumonia CAP,
AKI gr II, Imbalance elektrolit (hiperkalemia), DM type 2
Terapi : Test feeding, Syringe norepineprin 14 – 7 mcg/menit, vasopressin 0.04
iu/menit, Inj meropenem 3 x 1 g, metronidazol 1 x 1500 mg, Paracetamol 1 g i.v k/p,
Omeprazol 2 x 40 i.v, Ca gluconas 2 g, insulin bolus 10 iu + D40%, syringe
midazolam 3 mg/jam dan fentanyl 30 mcg/jam. Direncanakan penyesuain dosis
vasopressor dan evaluasi ulang elektrolit
Hari Ketiga (21/03/19)
Hari ketiga perawatan keadaan umum pasien membaik tetapi masih dibawah
pengaruh sedasi dengan kesadaran pasien E3M5Vt, dengan menggunakan mode
ventilator CPAP-PS 6-5, PEEP 5, FiO2 60% dengan tekanan darah stabil tanpa
support vasopressor 110 -125/60-65 mmHg dengan laju nadi 72-90, irama ECG
monitor sinus rhytm, suhu 36 - 37, nilai CVP 12 - 11 cmH2O , balance cairan -700
cc, , RR 10-18 kali per menit SpO2 99 %,
Hasil pemeriksaan Laboratorium: AGD arteri: pH 7,4/ pCO2 30.1/ PO2 137/HCO3
16/BE -7,4/ SO2 98%, Hb 8 Hct 24 Leukosit 23000 trombosit 350000, Na 134 K 4.9
Cl 115 Mg 1.7 Ca 4,7, ureum 128, kreatinin 2.7, Albumin : 1.1 Gds : 125
Diagnosa : Syok Sepsis perbaikan, Pnemumonia CAP, AKI gr II, Imbalance
elektrolit (hiperkalemia), DM type 2
Terapi : Test feeding, Inj meropenem 3 x 1 g, metronidazol 1 x 1500 mg,
Paracetamol 1 g i.v k/p, Omeprazol 2 x 40 i.v, syringe midazolam 2 mg/jam dan
fentanyl 30 mcg/jam. Direncanakan evaluasi drain dan laboratorium darah lengkap
Hari Keempat (22/3/19)
Hari keempat perawatan kesadaran pasien E4M6Vt, mode ventilator CPAP-PS 5,
PEEP 5, FiO2 50 - 40% dengan tekanan darah 110 -125/60-80 mmHg dengan laju
nadi 72-90, sinus rhytm, suhu 36 - 37, nilai CVP 10 cmH2O , RR 10-18 kali per
menit SpO2 99, hasil evaluasi AGD arteri: pH 7,32, PCO2 27,6 PO2 145, SpO2 98,
HCO3 24,5, BE -9,7; Na 142 K 4 Cl 118 Mg 1.5 Ca 4,5 Gds : 128
Hasil pewarnaan gram sputum : Batang gram positip (-), Batang gram negatip (4+),
Kokus gram positip (3+), Kokus gram negatip (-), Leukosit (4+), Epitel (2+)
Diagnosa : Sepsis perbaikan, Pnemumonia CAP perbaikan, AKI gr II , Imbalance
elektrolit (hipomagnesemia), DM type 2
Terapi : Diet enteral 500 kcal, Inj meropenem 3 x 1 g, metronidazol 1 x 1500 mg,
Paracetamol 1 g i.v k/p, Omeprazol 2 x 40 i.v, MgSO4 2 gram dalam 1 jam, fentanyl
30 mcg/jam.
Hari Kelima (23/3/19)
Hari kelima perawatan kesadaran pasien E4M6Vt, dengan menggunakan mode
ventilator CPAP-PS 5, PEEP 5, FiO2 40% dengan tekanan darah 110 -130/60-65
mmHg dengan laju nadi 72-90, sinus ritmik, CVP 11 cmH2O, , RR 10-18 kali per
menit SpO2 99 %. Hasil evaluasi AGD arteri Ph 7.3, PCO2 24.1, PO2 131, HCO3
12, BE-11 SpO2 99. Hb 5.9 Hct 18.5 Leukosit 9300 Trombosit 124.000,
Na/K/Cl/Ca/Mg : 145/4.9/111/4.8/ 2.2 Gds : 181
Diagnosa : Sepsis perbaikan, AKI gr II, Anemia, DM type 2
Terapi : Transfusi PRC 2 labu, Diet enteral 500 kcal, Inj meropenem 3 x 1 g,
metronidazol 1 x 1500 mg, Paracetamol 1 g i.v k/p, Omeprazol 2 x 40 i.v, fentanyl
30 mcg/jam, metoclopramid 3x 10 mg
Hari Keenam (24/3/19)
Hari keenam perawatan kesadaran pasien E4M6Vt, dengan menggunakan mode
ventilator CPAP-PS 5 - 0, PEEP 5, FiO2 40 - 45% dengan tekanan darah 110
-135/80-65 mmHg dengan laju nadi 60-80, sinus ritmik, CVP 10 cmH2O RR 8 -18
kali per menit SpO2 99 %, Hasil evaluasi pemeriksaan penunjang DL :
10.2/30.7/16900/286.000, Gds : 180 Na/K/Cl/Ca/Mg : 146/4.5/115/5/ 2.1, AGD
arteri : 7.4/24.6/156/18.1/-6.1/99
Hasil kultur sputum : Kelbsiella pneumonia, sensitif terhadap meropenem,
ertapenem, tigecyclin, amikasin
Hasil pemeriksaan cairan peritoneum/pus : Batang gram positip (-), Batang gram
negatip (1+), Kokus gram positip (-), Kokus gram negatip(-), Leukosit (4+), Epitel(-)
, jamur (-)
Diagnosa : Sepsis perbaikan, AKI gr II, DM type 2
Terapi : Diet enteral 750 kcal, Inj meropenem 3 x 1 g, metronidazol 1 x 1500 mg,
Paracetamol 1 g i.v k/p, Omeprazol 2 x 40 i.v, fentanyl 20 mcg/jam, metoclopramid
3x 10 mg
Hari Ketujuh (25/3/18)
Hari ketujuh perawatan kesadaran pasien E4M6Vt, dengan menggunakan mode
ventilator CPAP-PS 0, PEEP 5, FiO2 40% dengan tekanan darah 130 -110/80-65
mmHg dengan laju nadi 60-80, sinus ritmik, CVP 8 - 10 cmH2O SpO2 99 %,
dilanjutkan dengan T Piece dan extubasi, didapatkan kondisi klinis stabil pasca
extubasi. Hasil evaluasi AGD arteri: pH 7,36 PCO2 31.6 PO2 174.5, SpO2 99,
HCO3 17,5, BE -6 pemeriksaan penunjang Gds : 208 – 198 – 250 Na 140 K 4.1 Mg
1.6 Ca 4,25 ureum 78 kreatinin 0.81
Hasil kultur darah : isolate 1 dan 2 : Tidak terdapat pertumbuhan mikroorganisme
Diagnosa : Sepsis perbaikan, Hipomagnesemia, DM type 2
Terapi : Diet enteral 1000 kcal, Inj meropenem 3 x 1 g, Paracetamol 1 g i.v k/p,
Omeprazol 2 x 40 i.v, metoclopramid 3 x 10 mg, MgSO4 2 gram dalam 1 jam,
syringe insulin 2 – 1 iu/jam, KCL 25 Meq/24 jam. Rencana pindah ruangan

Hari Kedelapan(26/3/19)
Pindah ruangan
PEMBAHASAN
Definisi Sepsis
Menurut Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock tahun 2016, sepsis didefinisikan
sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan oleh respon disregulasi
dari host terhadap infeksi. Sedangkan Syok sepsis adalah bagian dari sepsis yang
terjadi disfungsi sirkulasi dan seluler atau metabolisme yang berkaitan dengan
meningkatknya tingkat mortalitas. Pasien dengan syok sepsis dapat diidentifikasi
dengan gejala klinis sepsis ditandai adanya hipotensi yang membutuhkan vasopressor
untuk mempertahankan MAP>65mmHg dan memiliki kadar serum laktat > 2 mmol /
L (18mg / dL) meskipun sudah dengan resusitasi volume yang adekuat. Pada kondisi
sepsis didapatkan pelepasan sitokin proinflamasi secara sistemik, peningkatan
hormon stress, dan disfungsi otonomik.9
Diagnosa sepsis ditegakkan dengan SOFA score dan adanya sumber infeksi,
namun untuk memudahkan dalam praktik klinis quick SOFA digunakan mengenali
pasien beresiko mengalami sepsis. Quick SOFA atau qSOFA dinilai lebih mudah
dibandingkan SOFA score yang kompleks, membutuhkan banyak data yang
diperlukan untuk mendiagnosis. Nilai qSOFA diatas 2 poin mengindikasikan adanya
disfungsi organ.9,10 Dapat disebut sepsis bila setelah dilakukan penilaian didapatkan
total SOFA score lebih dari 2Skor SOFA dasar harus diasumsikan nol kecuali pasien
diketahui sebelumnya sudah ada disfungsi organ (akut atau kronis) sebelum
timbulnya infeksi. Pasien dengan skor SOFA 2 atau lebih memiliki risiko kematian
keseluruhan sekitar 10% pada populasi rumah sakit umum yang diduga terinfeksi.10

Tabel 1 Sequential Organ Failure Assessment / Sepsis-Related Organ Failure


Assessment (SOFA) dan Quick SOFA
Kriteria qSOFA poin
Laju nafas ≥ 22 kali/menit 1
Perubahan status mental/kesadaran 1
Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg 1

Skor SOFA
Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi
PaO2/FiO2 ≥400 <400 <300 <200 (26.7 <100 (13.3
mmHg (53.3) (53.3) (40) dengan dengan
(KpA) bantuan bantuan
respirasi repirasi
Koagulasi
Platelet ≥150 <150 <100 <50 <20
x103/µL
Liver
Bilirubin <1.2 (20) 1.2-1.9 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0
mg/dL (20-32) (33-101) (102-204) (204)
(μmol/L)
Kardio MAP≥70 MAP Dopamin Dopamin Dopamin
vaskular mmHg <70mmHg <5 atau 5.1-1.5 >15 atau
dobutamin atau epinefrin
(dosis epinefrin >0.1 atau
apapun) ≤0.1 atau norepinefri
norepinefr n >0.1
in ≤0.1
Sistem saraf pusat
Glasgow 15 13-14 10-12 6-9 <6
Comma
Scale (GCS)
Ginjal
Creatinine, <1.2 (110) 1.2-1.9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0 (440)
mg/dL (110-170) (171-199) (30-400)
(μmol/L)
Produksi urin <500 <200
mL/d
FiO2 fraksi oksigen inspirasi; MAP tekanan rata-rata pembuluh arteri; PaO2 tekanan parsial oksigen

Epidemiologi sepsis
Di Amerika Serikat, pada insiden sepsis berat didapatkan 2% pasien yang
dirawat di rumah sakit. Dari seluruh pasien ini, setengah dari jumlahnya dirawat di
Unit Perawatan Intensif (ICU), mewakili 10% dari semua penerimaan ICU. Jumlah
kasus sepsis di Amerika Serikat melebihi 750.000 per tahun dan baru-baru ini
dilaporkan meningkat. 11
Di negara berkembang, sepsis menyumbang 60-80% dari semua kematian.Ini
membunuh lebih dari 6 juta bayi dan anak kecil, dan 100.000 ibu baru setiap
tahunnya. Setiap 4 detik, seseorang di dunia meninggal karena sepsis. Di Indonesia
tingkat penyebaran dari penyakit sepsis diperoleh di rumah sakit Sutomo adalah
penderita yang jatuh dalam keadaan sepsis berat sebesar 27,08%, syok septik sebesar
14,58%, sedangkan 58,33% sisanya hanya jatuh dalam keadaan sepsis.12
Etiologi sepsis
Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70%
(Pseudomonas auriginosa, Klebsiella, Enterobakter, E. Colli, Proteus, Neisseria).
Infeksi bakteri gram positif 20-40% (Staphyllococcus aureus, Streptococcus,
Pneumococcus), infeksi jamur dan virus 2-3% (dengue haemorrhagic fever, herpes
viruses), protozoa (malaria falciparum).12
Pada bakteri gram negatif terdapat suatu lapisan yang berperan penting
dalam proses terjadinya sepsis yaitu lapisan lipopolisakarida (LPS) atau yang
diketahui juga sebagai endotoksin. LPS mengikat protein yang spesifik dalam plasma
yaitu lipopolysaccharide binding protein (LPB). Selanjutnya LPS dan LPB akan
berikatan dengan reseptor pada membran makrofag dan setelah dibantu oleh Toll-
like receptor 4 (TLR 4) makrofag akan teraktivasi.13
Bakteri gram positif tidak mempunyai endotoksin, tetapi dapat
menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yaitu dengan menghasilkan eksotoksin
yang berperan sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen dinding sel
yang merangsang sel. Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman,
misalkan α-hemolisin (S. aureus), E.coli hemolisin (E. coli) dapat merusak integritas
membran sel imun secara langsung.13

Tabel 2. Patogen penyebab sepsis di ICU

Infection or Site Pathogens


Pneumonia
Community acquired
(non immunocomppromised
host) Streptococcus pneumonia
  Haemophillus influenza
  Moraxella catarrhalis
  Mycoplasma pneumonia
  Chlamydia pneumonia
Methicillin-resistant
Staphylococcus
  aureus (MRSA)
  Influenza virus
Health care-associated MRSA
  Pseudomonas aeruginosa
  Klebsiella pneumonia
  Acinetobacter species
  L. pneumophilla

Infeksi intra abdomen/Peritonitis


Primary or spontaneous Enterobacteriaceae
  S. pneumoniae
  Enterococus species
  Anaerobic bacteria (rare)
Secondary (bowel perforation) Enterobacteriaceae
  Bacteroides species
  Enterococus species
  P. aeruginosa(uncommon)
Tertiary (bowel surgery,
hospitalized on antibiotics) P. aeruginosa
  MRSA
  Acinetobacter species
  Candida species
Pneumonia
Pneumonia adalah keradangan parenkim paru di mana asinus terisi dengan
cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam
interstitium. Secara klinis, pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut
parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk dalam
definisi pneumonia. Sementara peradangan paru yang disebabkan oleh non-
mikroorganisme seperti bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, dan obat-obatan
disebut pneumonitis. 14
Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologis:14
1. CAP (Pneumonia komunitas)
2. HAP / VAP (Pneumonia nosokomial)
3. Pneumonia Aspirasi
4. Pneumonia pada penderita immunocompromised
Pneumonia komunitas (CAP) adalah peradangan akut pada parenkim paru
yang didapat di masyarakat. Pneumonia komunitas merupakan penyakit yang sering
terjadi dan bersifat serius, berhubungan dengan angka kesakitan dan angka kematian,
khususnya usia lanjut dan pasien dengan komorbid. Pneumonia komunitas
merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak terjadi dan juga penyebab
kematian dan kesakitan terbanyak di dunia. Infeksi saluran napas bawah termasuk
penumonia komunitas menduduki urutan ke-3 dari 30 penyebab kematian di dunia. 14
Pneumonia nosokomial merupakan penyebab kedua tersering dari infeksi
yang didapat di rumah sakit dan merupakan penyebab utama kematian diantara
infeksi tersebut. Pneumonia nosokomial terdiri dari 2 kelompok, yaitu: Hospital
Acquired Pneumonia (HAP) dan Ventilator-associated Pneumonia (VAP). HAP
adalah pneumonia yang didiagnosis 48 jam atau lebih setelah masuk rumah sakit dan
disingkirkan inkubasi saat masuk rumah sakit. Yang membedakan definisinya
dengan VAP, HAP terjadi pada pasien yang tidak diintubasi. VAP adalah pneumonia
yang didiagnosis 48-72 jam atau lebih setelah intubasi endotrakea dan ditandai
dengan adanya infiltrat baru atau progresif, infeksi sitemik, perubahan karakteristik
sputum dan perburukan oksigenasi. Menurut definisi CDC terbaru, VAP dibagi
menjadi Possible VAP dan Probable VAP.14

Infeksi Intrabdominal
Infeksi intraabdominal didefenisikan secara luas sebagai peradangan
peritoneal yang merupakan respon terhadap mikroorganisme yang menghasilkan
purulensi di rongga peritoneum. Infeksi intra abdominal diklasifikasikan menjadi 2
yaitu15 :
1. Uncomplicated abdominal infection
Peradangan intramural pada saluran gastrointestinal tanpa gangguan
anatomis. Lebih mudah untuk diobati tetapi jika pengobatannya terlambat atau
infeksi melibatkan mikroba nosocomial resiko perkembangan menjadi infeksi intra
abdominal complicated menjadi lebih besar.15
2. Complicated abdominal infection/peritonitis
Infeksi perut yang meluas melampaui organ sumber kedalam ruang
peritoneal, menyebabkan peradangan peritoneal dan berhubungan dengan peritonitis
local atau difus .peritonitis local sering bermanisfestasi sebagai abses , sedangkan
peritonitis difus dikategorikan sebagai peritonitis primer, sekunder, tersier ). 15
Peritonitis primer merupakan infeksi rongga peritoneal secara tidak
langsung yang berhubungan dengan kelainan intraabdominal lain. Kasus terbanyak
yaitu karena infeksi bakteri, ini juga lebih dikenal dengan sponataneous bacterial
peritonitis (SBP). Peritonitis sekunder terjadi dari invasi sepsis pada rongga
peritoneal dari traktus gastrointestinal (perforasi, gagal anastomosis, atau gangren)
atau karena trauma penetrasi, khususnya ketika benda asing masuk ke rongga
peritoneal. Infeksi intraabdominal sekunder biasanya karena keluarnya
mikroorganisme gastrointestinal atau genitourinari ke dalam rongga peritoneal
karena hilangnya integritas baries mukosa (perforasi). Contohnya meliputi;
apendiksitis, divertikulitis, cholesistitis, luka tusuk usus, perforasi gaster dan ruptur
abses hepar. Peritonitis tersier merupakan tahap lanjut pada peritonitis ketika
teradapat manifestasi klinis peritonitis dan gejala sistemik sepsis tetap ada setelah
terapi dari peritonitis sekunder dan tidak ada mikroorganisme atau patogen virulensi
rendah seperti enterococi dan fungi yang diisolasi dari eksudat peritoneum.15
Infeksi intra abdomen merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
cukup tinggi di rumah sakit. Oleh sebab itu diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat
sangat diperlukan untuk memanajemen kasus kasus infeksi intra abdomen.
Tatalaksana infeksi abdomen diawali optimalisasi hemodinamik, resusitasi cairan,
keputusan tepat untuk pengendalian source control untuk menghentikan kontaminasi,
pemberian antibiotik sitemik yang adekuat, dan penanganan yang tepat terhadap
komplikasi yang menyertai.15

Abses Hepar
Abses hepar merupakan koleksi dari material pus yang berada di parenkim
hati yang disebabkan oleh bakteri, parasit, jamur ataupun infeksi campuran. Ada dua
jenis yang abses hepar yang paling sering mucul yaitu amoebic liver abscess dan
pyogenic liver abscess. Amoebiasis merupakan infeksi yang sering ada pada negara
negara berkembang dikarenakan fasilitas sanitasi yang buruk. Hal ini terjadi sekitar
10% dari populasi. Amoebic liver abscess menyerang sekitar 3-9% penduduk asia.
Penyakit ini biasanya muncul dengan gejala akut abdomen yang membutuhkan
operasi ekspolasi laparotomi. Ruptur spontan dari abses hepar sering dijumpai dan
memerlukan diagnosis dan manajemen yang cepat dan tepat. Keterlambatan
diagnosis dan manajemen akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Angka kejadian pyogenic liver abscess bervariasi anatara 8-22 pasien per 1
juta penduduk. Gejala klinis yang muncul biasanya tidak spesifik seperti demam,
nyeri perut, mual dan muntah. Penyebabnya biasanya multi bakterial seperti
Escherichia coli, Enterobacteriaceae, anaerobes, Klebsiella pneumoniae dan flora
gastrointestinal yang lain.
Patofisiologi sepsis
Patofisiologi sepsis dimulai dari komponen membran luar organisme gram
negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif
(misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen
parasit lainnya. Umumnya, respons imun terhadap infeksi akan mengoptimalkan
kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan
sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Sinyal mediator ini terjadi melalui sebuah
reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit,
nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan sehingga terjadi produksi sitokin pro-inflamasi,
tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1) (LaRose, 2013). TNF-α
dan interleukin 1 (IL-1) yang pertama kali dilepaskan akan memulai beberapa
kaskade. Disisi lain terlepasnya IL-1 dan TNF-α (atau adanya endotoksin atau
eksotoksin) menyebabkan pembelahan nuclear factor-kB (NF-kB) inhibitor. NF-kB
akan memicu produksi messenger ibonucleic acid (mRNA), yang akan menginduksi
produksi sitokin proinfl amasi lain (Gambar 1). IL-6, IL-8, dan interferon gamma
(IFN-γ).17
TNF-α dan IL-1 akan memicu produksi toxic downstream mediators,
termasuk prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2.
Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran
kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel
dan neutrofil.Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut
melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan
oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan
cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi
sehingga terjadi syok sepsis (LaRose, 2013). NO dapat mengganggu adhesi leukosit,
agregasi trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular.
Peningkatan NO meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun
vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang
membahayakan dan refrakter sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ
dan kematian. 17
TNF-α dan IL-1 akan terlepas dalam jumlah besar dalam 1 jam pasca-insult
dan menyebabkan reaksi lokal dan sistemik. TNF-α dan IL-1 berperan terhadap
demam dan pelepasan hormon stres norepinefrin, vasopresin, aktivasi sistem renin-
angiotensinaldosteron). Interleukin proinfl masi mempunyai fungsi lain terhadap
jaringan atau bekerja melalui mediator sekunder untuk mengaktifkan kaskade
koagulasi dan kaskade komplemen serta pelepasan NO, platelet-activating factor,
prostaglandin, dan leukotrien. Sejumlah polipeptida proinfl amasi ditemukan dalam
kaskade komplemen. Protein komplemen C3a dan C5a akan menyebabkan pelepasan
sitokin tambahan, menyebabkan vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler. Prostaglandin dan leukotriene menyebabkan kerusakan endotelial sehingga
akan terjadi MODS.17
AKI pada pasien sepsis
AKI pada pasien sepsis merupakan gangguan fungsi dan kerusakan organ akut pada
ginjal yang disebabkan oleh sepsis. Menurut (Kidney Disease Improving Global
Outcomes) KDIGO, AKI adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
mendadak yang meliputi, namun tidak terbatas pada Acute Renal Failure (ARF). Hal
tersebut merupakan suatu sindrom klinis yang luas yang mencakup berbagai etiologi,
termasuk penyakit ginjal tertentu (misalnya nefritis interstisial akut, penyakit ginjal
glomerulus akut dan vaskulitis); kondisi tidak spesifik (misalnya iskemia, cedera
toksik); serta patologi ekstrarenal (misalnya, azotemia prerenal, dan akut nefropati
obstruktif postrenal). Sepsis merupakan penyebab AKI yang terbanyak pada pasien
yang sakit kritis. AKI terjadi pada sekitar 22 – 45 % pasien sepsis, dengan tingkat
mortalitas sekitar 41%. 19,20
Pada tahun 2004, Acute Dialysis Quality Initiative mempublikasikan
klasifikasi RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss and End stage renal disease) untuk
menggambarkan spektrum gangguan fungsi ginjal akut secara luas. Pembagian 5
stadium perubahan akut fungsi ginjal ini merubah paradigma penggunaan istilah
ARF menjadi AKI. Istilah AKI dianggaplebih baik dalam menggambarkan
perubahan fungsi ginjal dari yang kecil sampai kebutuhan terhadap terapi
penggantian ginjal. Menurut kriteria RIFLE, AKI didefinisikan sebagai peningkatan
serum creatinin ≥ 50% dari nilai awal dan atau penurunan GFR ≥ 25% dan atau
penurunan produksi urin kurang dari 0.5 cc/khbb dalam 6 jam atau lebih yang terjadi
dalam kurun waktu kurang dari 7 hari.20
Setelah munculnya klasifikasi RIFLE, beberapa penelitian tentang AKI mulai
berkembang pesat. Penelitian pada 9210 pasien yang dilakukan oleh Chertow et al
(2005) menunjukkan peningkatan serum creatinin ≥ 0.3 mg/dl berhubungan dengan
peningkatan mortalitas pasien AKI. Hal ini memicu AKI Network mengeluarkan
klasifikasi AKI menjadi 3 stadium pada tahun 2007. Pada tahun 2012, KDIGO
mengeluarkan panduan untuk tentang AKI yang mengkolaborasikan dua kriteria AKI
sebelumnya.19,20
Tabel 3. Klasifikasi AKI
Kriteria kadar serum kreatinin dan GFR
KATEGORI RIFLE AKIN KDIGO Kriteria UO
(1) Risk > 1,5 kali nilai >0,3 mg/dL l,5-l,9x Nilai <0,5
dasar atau GFR atau kenaikan dasar atau mL/kgBB/jam
>25% nilai >150%-200% peningkatan selama 6-12
dasar (l,5-2xlipat) >03 jam
nilai dasar mg/dL(>26,5/
μmol/L)
(2) Injury >2,0 kali nilai >200-300% 2,0-2,9x nilai <0,5
dasar atau GFR (>2-3xlipat) dasar mL/kgBB/jam,
>50% nilai nilai dasar >12 jam
dasar
(3) Failure >3,0 kali nilai >300% 3x nilai dasar <0,3
dasar atau >4 (>3xlipat) nilai atau mL/kgBB/jam,
mg/ dL dengan dasar atau >4,0 peningkatan >24 jam atau
kenaikan akut mg/dL dengan serum kreatinin anuria >12 jam
>0,5 mg/dL peningkatan sampai >4,0
atau GFR>75% akut minimal mg/dL(>353,6
nilai dasar 0,5 mg/dL /μmol/L) atau
inisiasi terapi
pengganti
ginjal
Loss Penurunan
fungsi ginjal
menetap
selama lebih
dari 4 minggu
End stage Penurunan
fungsi ginjal
menetap
selama lebih
dari 3 bulan
Keterangan: GFR = glomerular filtration rate; UO=urine output

Tatalaksana pada Sepsis dan syok sepsis

Sepsis merupakan sutau kondisi yang menyebabkan mortalitas dan


morbiditas yang tinggi, sehingga dibutuhkan suatu penanganan secara cepat dan
holistik. Surviving Service Campaign (SSC) 2016 menerbitkan suatu tatalaksana
internasional terhadap manajemen sepsis dan syok sepsis. Tata laksana yang
dianjurkan dimulai dengan pemberian resusitasi cairan, terapi antibiotik, kontrol
sumber infeksi, penggunaan vasopresin, inotropik, dan kortikosteroid untuk
menopang hemodinamik, dan jika diperlukan, dapat dilakukan transfusi darah.
Pemasangan ventilator dapat digunakan jika pasien mengalami Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). 2

Pada tahun 2018, SSC membuat pembaharuan mengenai bundle tatalaksana


sepsis dan syok sepsis yang pada SSC 2016 managemen awal dilakukan dalam 3 jam
dan 6 jam pertama, tetapi pada pembaharuan SSC 2018, manajemen awal dilakukan
dalam 1 jam pertama pasien terdiagnosis sepsis. Hour-1 surviving Sepsis Campaign
Bundle of Care, terdiri dari:2,18
1. Mengukur kadar laktat. Apabila hasil ukur kadar awal laktat >2mmol/L, maka
direkomendasikan untuk mengukur ulang,
2. Melakukan kultur darah sebelum diberikan antibiotik spektrum luas,
3. Memberikan antibiotik spektrum luas,
4. Memulai pemberian kristaloid 30ml/kgBB pada kondisi hipotensi atau kadar
laktat ≥4mmol/L.
5. Memberikan vasopressor jika pasien tetap hipotensi selama atau setelah
resusitasi cairan untuk mempertahankan MAP ≥65mmHg2,18.
Dalam litertatur lain disebutkan prinsip dalam terapi syok sepsis adalah
terapi infeksi, resusitasi kardiovaskular dan modulasi respon host.2,5,18
1. Mengatasi infeksi/penyebab penyakit
a. Pengendalian sumber infeksi/source control5
Setelah diagnosis sepsis ditegakkan dan pengendalian sumber infeksi dipastikan
diperlukan, maka mulai dipertimbangkan tindakan pengendalian sumber infeksi yang
akan dilakukan. Upaya pengendalian sumber infeksi dapat dilakukan tindakan yaitu
drainase cairan yang terinfeksi, debridement jaringan yang terinfeksi dan
menghilangkan alat yang terinfeksi.5
b. Antibiotik yang adekuat
Terapi antibiotik awal secara empirik, adekuat dan tepat, akan meningkatkan angka
harapan hidup. Pemilihan dan dosis antibiotik yang tidak tepat serta keterlambatan
pemberian akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
2. Resusitasi kardiovaskular
a. Ventilasi
Pasien syok septik harus diberikan oksigenasi yang cukup untuk mengoreksi
hipoksemia (baik disebabkan oleh penurunan kardiak output ataupun penyakit paru
paru). Pada kasus kasus yang berat dibutuhkan intubasi endotrakeal dengan bantuan
ventilasi mekanin5
b. Infus cairan
Pasien dengan sepsis dan syok sepsis terjadi perfusi yang tidak adekuat. Perfusi
jaringan yang rendah dan mudah mengarah ke hipoksia jaringan global, ditandai
dengan meningkatnya kadar laktat. Maka pemberian resusitasi cairan yang adekuat
harus dimulai dengan segera. Pemberian cairan yang direkomendasikan oleg SSC
2016 adalah 30 cc/kgg. Pemberian dapat dilakukan dalam 30 menit pertama.
Resusitasi cairan adalah salah satu prinsip dasar untuk pengelolaan sepsis. Namun,
ada bukti yang muncul bahwa jenis dan jumlah cairan mempengaruhi outcome.
Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa hypervolemia memiliki pengaruh
yang merugikan pada pasien, termasuk komplikasi kardiopulmoner, insufisiensi
anastomosis, dan kematian. Beberapa studi terbaru merekomendasikan evaluasi
pemeberian cairan menggunakan dynamic assessment of fluid responsiveness untuk
menghindari pemeberian cairan yang berlebihan.2,5,18
b. Pemberian Vasopressor dan inotropik
Tujuan akhir dari terapi hemodinamik pada sepsis dan syok septik adalah
mengembalikan perfusi jaringan efektif dan memperbaiki metabolisme sel.
Kefektifian terapi vasopresor dinilai dengan tercapainya terget tekanan darah yang
cukup untuk memperbaiki perfusi jaringan. Menurut surviving sepsis campign 2016
vasopresor yang digunakan pada pasien sepsis adalah norepinefrin, vasopressin,
epinefrin. Disarankan menggunakan dobutamin pada pasien yang tampak hipopefusi
persisten walaupun sudah diberikan loading cairan yang adekuat dan vasopresor.
Dobutamin sering juga digunakan untuk menangani syok sepsis sebagai agen
inotropik yang dapat meningkatkan cardiac output, stroke indek dan oksigen delivery
(DO2). 2,5,18
3. Immunomodulasi
Beberapa penelitian klinis menilai obat obatan yang menghambat efek sitokin
proinflamasi seperti TNF alfa dan IL-1 belum menunjukkan hasil yang baik. Hal ini
mungkin disebabkan oleh dual efek dari sitokin yang bisa menguntungkan dan bisa
juga berbahaya. Data terbaru membuktikan adanya konsep relative adrenal
insufficiency, sehingga direkomendasikan pemberian 200 mg hidrokortisan dalam 24
jam pada pasien syok sepsis.5
4. Support nutrisi

Tidak direkomendasikan pemberian nutrisi parenteral saja atau kombinasi dengan
nutrisi enteral lebih awal (lebih baik memulai nutrisi enteral lebih awal)

Pemberian trophic feeding (10-20 kkal/jam atau hingga 500 kkal/hari) untuk fase
awal sepsis, ditingkatkan sesuai toleransi setelah 24-48 jam hingga >80% target
energi dalam satu minggu pertama dengan pemberian 1.2-2 g protein/kg/hari.

Manajemen glukosa dengan target atas ≤180 mg/dl daripada target atas ≤110
mg/dL2,5,18

5. Support organ
Syok septik merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang tidak hanya dibutuhkan
managemen dari infeksinya tetapi juga membutuhkan monitoring intensif untuk
support multiorgan, khususnya ginjal/AKI. Oleh sebab itu diperlukan manajemen
yang baik terhadap AKI dan faktor lain yang memeperberat AKI pada syok sepsis
(seperti agen nefrotoksik, hipovolumia, respon jantung yang jelek dan diabetik
nefropati). Beberapa literatur menyebutkan langkah langkah untuk manajemen AKI
sebagai berikut 19,21
Gambar 1. Manajemen AKI
Derajat AKI
Resiko derajat 1 derajat 2 derajat 3
tinggi
Menghentikan segala agen nefrotoksik jika dimungkinkan
Memastikan status volume dan tekanan perfusi
Pikirkan pemantauan hemodinamik fungsional
Pemantauan serum kreatinin dan urine output
Menghindari hiperglikemi
Pikirkan prosedur alternatif hingga rediokontras
Prosedur diagostik non-invasif
Pikirkan prosedur diagnostik invasif
Cek untuk perubahan pada dosis obat
Pikirkan terapi pengganti ginjal (RRT)
Pikirkan pemindahan ke ICU
Hindari kateter subklavia jika memungkinkan

DAFTAR PUSTAKA
1. Hidayati, Arifin H, Raveinal. 2016. Kajian Penggunaan Antibiotik pada Pasien
Sepsis dengan Gangguan Ginjal (Study of Antibiotic Using on Septic Patients
with Kidney Disorder). Jurnal Sains Farmasi dan Klinik 2(2), 129-137 : Padang.
2. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M, Ferrer R, dkk.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of sepsis and
septic shock: 2016. Intensive care medicine. 2017; Volume 43, Issue 3, pp 304–
377
3. Global Sepsis Alliance, 2018. Toolkits. [Online] Available at: https://www.
world-sepsis-day.org/toolkits
4. Rhee, C. et al., 2017. Incidence and trends of sepsis in US hospitals using clinical
vs claim data, 2009-2014. Jama, 319(13), pp. 1241-1249.
5. Vincent, Jean Louis. Textbook of critical care Ed 7th . Septic shock. 2017. Page
843. Elsevier Philadelphia
6. Sartelli et al. World Journal of Emergency Surgery (2017) 12:29. DOI
10.1186/s13017-017-0141-6
7. Javier A. Neyra, MD1, Xilong Li, PhD, MS2, Fabrizio Canepa-Escaro.
Cumulative Fluid Balance and Mortality in Septic Patients with or without Acute
Kidney Injury and Chronic Kidney Disease. Crit Care Med. 2016 October ;
44(10): 1891–1900. doi:10.1097/CCM.0000000000001835
8. Dional Setiawan1, Harnavi Harun2, Syaiful Azmi2, Drajad Priyono2. Biomarker
Acute Kidney Injury (AKI) pada Sepsis. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;
7(Supplement 2)
9. Singer, M., Deutschman, C. S. & Seymour, C. W., 2016. The Third International
Consensus Definition for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). Jama, 315(8), pp.
801-810.
10. Glover, G. & Shankar-Hari, M., 2017. Sepsis. Dalam: D. Sprigings & J.
Chambers, penyunt. Acute Medicine: Ap Practical Guide to the Management of
Medical Emergencies. s.l.:s.n., pp. 223-232.
11. Finfer SR, Vincent JL. 2013. Severe Sepsis and Septic Shock. The New England
Journal of Medicine: 2013.
12. Tambajong RN, Lalenoh DC, Kumaat L. 2015. Profil Penderita Sepsis di ICU
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Desember 2014 – November
2015. Manado
13. LaRosa SP. Cleveland Clinic Disease Management Project: Sepsis [internet].
[Updated 2013; cited 2018 Oct 22]. Diakses dari:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/Infectiou
s-disease/sepsis.
14. Tim Kelompok Kerja Pneumonia. 2014. Pneumonia Komunitas : Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
Jakarta, p.3-35.
15. Merlino, JI. Nosocomial infection adversely affect the outcomes of patients with
Serious abdominal infection. 2011.
16. Dhanapal P. V., Banurekha R.* Clinical profile of liver abscess in a tertiary
referral hospital. International Surgery Journal | June 2017 | Vol 4 | Issue 6 Page
2025
17. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet].
[updated 2013; cited 2018 Sep 22]. Available
from:http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/inf
ectious-disease/sepsis/
18. Levy, M.M., Evans, L.E., dan Rhodes, A., 2018. Intensive Care Med 44(925).
19. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Acute Kidney Injury
Work Group. 2012. KDIGO Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury.
Kidney inter., Suppl 2: 1–138.
20. Bellomo, Rinaldo; Keluum, John; Ronco, Caludio; Wald, Ron. 2017. Acute
Kidney Injury in SEPSIS. Intensive care Med (2017) 43:816-628
21. Prowle, JR Sepsis-Associated AKI. Clin J Am Soc Nephrol 13: 339–342, 2018.
doi: https://doi.org/10.2215/CJN.07310717

Anda mungkin juga menyukai