Anda di halaman 1dari 43

Covid-19

dalam Perspektif
Governance
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. (Pasal 1 ayat [1]).
2. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. Penerbitan ciptaan; b.
Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. Penerjemahan ciptaan;
d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g.
Pengumuman ciptaan; h. Komunikasi ciptaan; dan i. Penyewaan ciptaan.
(Pasal 9 ayat [1]).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 113 ayat
[3]).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (Pasal 113 ayat [4]).
Editor:Editor:
RidhoRidho Al-Hamdi
Al-Hamdi
Muhammad
Muhammad Eko Atmojo
Eko Atmojo

Covid-19
Covid-19
dalam
dalamPerspektif
Perspektif
Governance
Governance

Penulis:
Penulis:
Muhammad
Muhammad Eko Atmojo
Eko Atmojo || Muchamad
|| Muchamad Zaenuri
Zaenuri || Ridho
|| Ridho Al-Hamdi
Al-Hamdi || ||
SuswantaSuswanta
|| Sakir ||||Sakir
Awang|| Awang Darumurti
Darumurti || David
|| David Efendi
Efendi || ||
Dian EkaDian Eka Rahmawati
Rahmawati || Muhammad
|| Muhammad Iqbal Iqbal || Helen
|| Helen DianDian Fridayani
Fridayani || ||
Ahmad Habibullah || Gerry Katon
Ahmad Habibullah || Gerry Katon Mahendra || Mahendra ||
Vindhi Putri Pratiwi || Muhammad Qur’anul Kariem ||
Vindhi Putri Pratiwi || Muhammad Qur’anul Kariem ||
Machendra Setya Atmaja || Nuruddin Al Akbar
Machendra Setya Atmaja || Nuruddin Al Akbar
Covid-19 dalam Perspektif Governance

xviii + 424 ; 16 x 24 cm.


ISBN : 978-623-261-075-0

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun juga tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan I, Agustus 2020

Penulis : Muhammad Eko Atmojo, Muchamad Zaenuri, Ridho Al-Hamdi,


Suswanta, Sakir, Awang Darumurti, David Efendi,
Dian Eka Rahmawati, Muhammad Iqbal, Helen Dian Fridayani,
Ahmad Habibullah, Gerry Katon Mahendra, Vindhi Putri Pratiwi,
Muhammad Qur’anul Kariem, Machendra Setya Atmaja,
Nuruddin Al Akbar
Editor : Ridho Al-Hamdi
Muhammad Eko Atmojo
Desain Sampul : Ityan Jauhar
Layout : M. Hakim

Pertama kali diterbitkan oleh:


Program Studi Ilmu Pemerintahan dan
Laboratorium Ilmu Pemerintahan (Lab IP)
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Gedung E2 Lt. 1 Kampus UMY Terpadu
Jl. Brawijaya, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183
Telp. (+62 274) 387656 Ext. 121, Fax. (+62 274) 387646
Email: ip_umy@umy.ac.id

Bekerjasama dengan:
Penerbit Samudra Biru (Anggota IKAPI)
Jln. Jomblangan Gg. Ontoseno B.15 RT 12/30
Banguntapan Bantul DI Yogyakarta
Email: admin@samudrabiru.co.id
Website: www.samudrabiru.co.id
WA/Call: 0812-2607-5872
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................ v


SAMBUTAN KAPRODI IP UMY................................................ vii
DAFTAR ISI .................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ............................................................... xiii
PENDAHULUAN
Covid-19 dalam Perspektif Governance: Sebuah Kajian Awal
dari Ilmu Pemerintahan ................................................................ 2
Ridho Al-Hamdi, Muhammad Eko Atmojo
BAB 1
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENANGANAN
COVID-19
Bagaimana Pemerintah Daerah Menghadapi Covid-19?
Belajar dari Pengalaman Kota Tegal ........................................... 10
Ridho Al-Hamdi, Alim Bubu Swarga
Peran Pemerintah Daerah dan Partisipasi Masyarakat dalam
Menekan Angka Positif Covid-19 di Indonesia: Studi Kasus di
DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur .................................... 33
Helen Dian Fridayani
Analisis dan Saran Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 ... 62
Gerry Katon Mahendra

ix
BAB 2
KEBIJAKAN SOSIAL EKONOMI
Pro-Kontra Kebijakan New Normal sebagai Langkah Pemulihan
Perekonomian .............................................................................. 88
Muhammad Eko Atmojo
Membangun Ketahanan Berbasis Modal Sosial Bonding
Kreativitas Desa di Kabupaten Sleman Menghadapi Pandemi
Covid-19 .................................................................................... 110
Suswanta
Bagaimana Membuat Birokrasi Efektif ? Studi Kebijakan PSBB
Pemerintah Daerah dalam Penanganan Covid-19 ..................... 133
Muhammad Qur’anul Kariem
Dampak Covid-19 terhadap Tren Mobilitas di Yogyakarta ...... 154
Vindhi Putri Pratiwi, Abitassha Az Zahra,
Resky Eka Rachmadani
BAB 3
GERAKAN KOMUNIKASI MELALUI MEDIA SOSIAL
DAN CIVIL SOCIETY
Aktivitas Komunikasi Pemerintah DIY melalui Twitter pada
Masa Pandemi Covid-19 ........................................................... 172
Dian Eka Rahmawati, Vindhi Putri Pratiwi
Gerakan Digital Era Covid-19 di Indonesia: Sinisme Netizen
terhadap Kebijakan Pemerintah? ............................................... 196
Muhammad Iqbal1, Nurul Arifah2
Citra dan Komunikasi Publik di Tengah Pandemi: Studi Kasus
Muhammadiyah Covid-19 Command Center .......................... 220
Machendra Setya Atmaja, David Efendi

x
BAB 4
COLLABORATIVE GOVERNANCE DAN PELAYANAN PUBLIK
Melawan Covid-19: Masif Kolaboratif ! .................................... 245
Awang Darumurti
Akuntabilitas Dana Penanganan Covid-19 Berbasis Partisipasi
Publik ........................................................................................ 266
Sakir, Riska Sarofah, Alim Bubu Swarga, Muhammad Yusuf
Tata Kelola Kolaborasi Penanggulangan Bencana non-Alam
Covid 19: Meningkatkan Kapasitas, Mengurangi Risiko........... 291
Muchamad Zaenuri
Pelayanan Publik pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia .. 331
Akhmad Habibullah
BAB 5
KAPITALISME DAN EKONOMI POLITIK
Mendisiplinkan Subjek Revolusioner di Era Pandemi: Analisis
Awal ........................................................................................... 348
Nuruddin Al Akbar, David Efendi
Pandemi Covid-19 dan Ketahanan Lingkungan Hidup:
Tinjauan Ekologi Politik............................................................ 383
David Efendi
BIOGRAFI PENULIS ................................................................. 414

xi
Mendisiplinkan Subjek Revolusioner di
Era Pandemi: Analisis Awal

Nuruddin Al Akbar1, David Efendi2


1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
Universitas Gadjah Mada
2
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
E-mail: nunurddin.alakbar@gmail.com

ABSTRAK

S tudi ini bertujuan mendiskusikan satu mode governance yang


dirancang oleh tatanan kapitalistik global untuk membendung
potensi revolusioner dari fenomena pendemi corona (Covid-19).
Studi ini dibangun atas argumen bahwasanya pandemi corona saat ini
memicu krisis kapitalisme dengan menyerang pada logika gerak yang
menjadi fondasi bagi kapitalisme (baik di level produksi dan konsumsi
masyarakat). Budaya diam tersebut melahirkan satu subyek politik baru
yang menyimpan potensi revolusioner yakni kaum rebahan. Alasannya
karena aktivitas rebahan semakin mengokohkan budaya diam dan pada
saat yang sama memberi ruang bagi bermunculannya aneka pemikiran
kritis dan radikal sebagai konsekuensi dari tersedianya waktu luang untuk

348
merefleksikan diri dan realitas di sekelilingnya. Menariknya pada saat
yang sama kaum rebahan ini menjadi semacam “beban” yang menguras
energi dari tatanan kapitalistik tersebut akibat beban hidup yang harus
ditanggung para kapitalis dan negara kapitalistik untuk menyokong
aktivitas rebahan mereka di rumah demi menjaga situasi pandemi tidak
semakin memburuk. Guna membendung potensi revolusioner aktivitas
rebahan tersebut termasuk menghapus eksistensinya maka dibutuhkan
satu mode governance khusus. Studi ini mencoba membuat pemetaan
awal terkait dengan mode governance yang dibuat tatanan kapitalistik
saat ini untuk mempertahankan eksistensinya. Setidaknya ada empat
kategori besar strategi governing yang berhasil diidentifikasi yakni: 1.)
Teknikalisasi pandemi; 2.) Gendering pendemi; 3.) Bonapartisme;
4.) Kanalisasi Hasrat. Studi ini berargumen bahwa tanpa melakukan
pembongkaran terhadap mode governance tersebut dan kemudian
melampauinya dengan memperkokoh imajinasi revolusioner maka
potensi transfomatif dari kaum rebahan dapat direduksi sedemikian
rupa.
Kata Kunci: Kapitalisme, New Normal, Kaum Rebahan

A. PENDAHULUAN
António Guterres (2020), yang berposisi sebagai sekretaris
jendral PBB, menulis sebuah artikel menarik yang diterbitkan dalam
The New York Times. Melalui tulisannya Gueterres membicarakan
apa yang diistilahkan sebagai the the new normal/ the new normal.
Kondisi the new normal yang dibayangkan oleh Guetteres adalah
kondisi dimana tata dunia saat ini mestilah dirombak sedemikian
rupa agar mencapai satu kondisi realitas yang lebih ideal. Ideal di
sini merujuk pada kondisi dimana tata dunia baru tersebut akan
lebih peduli terhadap kondisi lingkungan dan juga lebih egaliter.
Imaji Guetteres tentang the new normal tersebut tidaklah berlebihan.
Dimana temuan-temuan sains mutakhir sampai pada kesimpulan
bahwasanya tata dunia saat ini bertanggung jawab terhadap munculnya
pandemi Korona (Orjollet, 2020). Dimana kerusakan alam yang

349
dipicu oleh ekspoitasi berlebihan manusia menyebabkan habibat
alamiah dari virus terganggu dan kemudian justru “merembes” dari
habibat aslinya ke wilayah yang dihuni oleh manusia (Carrington,
2020). Guetteres tidak berhenti menyoroti Korona saja tetapi juga
global warming yang juga diakibatkan oleh aktivitas manusia yang
eksploitatif sehingga merusak keseimbangan bumi ini. Dengan
kata lain Guetteres ingin membangun sebuah argumen bahwasanya
tata dunia saat ini sangat rapuh. Disebut rapuh karena bukannya
memastikan survivalitas manusia dalam jangka panjang tetapi justru
berciri risk society dimana berbagai macam pandemi dan ancaman
bencana alam lainnya terus membayang-bayangi kehidupan umat
manusia secara global. Sehingga bagi Guetteres solusi paling
rasional untuk memastikan survivalitas manusia adalah memastikan
terciptanya tata dunia baru yang lebih tangguh. Ketangguhan ini
salah satunya justru didapatkan dengan membangun satu relasi baru
yang lebih harmonis dengan lingkungan.
Gagasan Guetteres tersebut juga disuarakan oleh sejumlah
tokoh publik dan akademisi, salah satunya adalah Vandana Shiva.
Shiva (2006) sendiri terkenal sebagai seorang akademisi ekofeminis
yang menekankan antara harmonisasi antara manusia dam alam.
Menurut Shiva tata dunia saat ini bersifat “toxic” (beracun) dan mesti
diganti untuk memastikan kasus semacam pandemi Korona ini tidak
berulang (Shiva, 2020). Shiva mencoba menguatkan argumennya
dengan menyatakan pola-pola eksploitatif terhadap alam yang
muncul akibat logika kapitalistik yang mewabah di seluruh dunia
inilah yang sejak lama telah menghasilkan banyak patologi dan
mengancam eksistensi umat manusia itu sendiri. Virus Korona di
mata Shiva adalah bentuk mutakhir patologi yang muncul akibat
sistem dunia yang “toxic” tersebut namun dalam skala yang lebih luas
dan mematikan (terkait dengan survivalitas manusia sebagai spesies).
Baik Guetteres maupun Shiva mendefinisikan the new normal
sebagai tata dunia baru yang sama sekali berbeda dengan tata dunia
kapitalistik saat ini. Dengan kata lain imaji tentang the new normal

350
yang mereka bangun adalah imaji yang revolusioner karena sifatnya
yang “subversif ” terhadap tatanan yang dominan saat ini (Becker,
2013). Imaji revolusioner tentang the new normal tersebut menjadi
ancaman tambahan bagi tatanan kapitalistik yang saat ini tengah
bergulat menghadapi krisis akut akibat “pukulan telak” dari pandemi
Korona (Davies, 2020). Virus Korona mampu melumpuhkan
baik sektor produksi maupun konsumsi yang menjadi penyangga
kapitalisme (Mason, 2020). Maka dapat dikatakan pandemi saat ini
menjadi momen genting bagi tatanan kapitalistik yang membutuhkan
penanganan khusus agar momen genting yang menimpanya tersebut
tidak semakin menguat dari waktu ke waktu. Eskpresi demikian
diungkapkan oleh Wolfgang Streeck dan Luce (2020).
Imaji revolusioner tentang the new normal tidak dapat diremehkan
begitu saja. Sebab selain disuarakan oleh akademisi maupun tokoh publik
terkemuka semacam Shiva dan Guetteres, tetapi daya pikat dari ide yang
mereka gaungkan tersebut diperkuat dari sejumlah realitas empiris yang
dapat disaksikan oleh publik global (Monks, 2020). Sebagai contoh di
Jakarta, warga dikejutkan dengan udara yang bersih dan pemandangan
alam yang indah kota Jakarta (Fathoni, 2020). Suatu kondisi yang tidak
pernah disaksikan sebelumnya (Fajar & Wisuda, 2020). Begitu juga
warga Eropa yang melihat bahwa dengan adanya pembatasan gerak
warga sebagai efek pandemi Korona ternyata justru berpengaruh pada
perbaikan ekosistem (Amos, 2020). Maka tidak heran jika terlihat ikan
berenang dengan bebas di sungai-sungai setelah sebelumnya fenomena
semacam ini tidak pernah terlihat (Driantama, 2020). Dengan kata lain
retorika Shiva tentang sistem yang “beracun” mendapatkan pembenaran
secara empiris. Ketika sistem yang “beracun” tersebut dipaksa untuk
mengentikan atau setidaknya mengendurkan cengkramannya ternyata
berpengaruh terhadap memudarnya “racun” yang “mengkontaminasi”
dunia saat ini (Amri & Damuri, 2020).
Lebih jauh, proses “detoksifikasi” dunia ini tidak hanya
berefek pada perbaikan lingkungan saja. Pikiran dan tubuh manusia
dapat dikatakan juga mulai mengalami “detoksifikasi” dari “racun”

351
kapitalisme. Jika mengacu pada data yang diungkapkan oleh
Ade Indriani Zuchri yang menjabat sebagai ketua umum SHI
dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Kader Hijau
Muhammadiyah misalnya ditemukan satu realitas menarik bahwa
perilaku konsumsi masyarakat mengalami perubahan. Dimana jika
sebelumnya konsumsi mengikuti tren pasar namun saat ini trennya
berubah menjadi minimalis. Barang-barang dan jasa yang tergolong
pokok saja yang akan dikonsumsi sementara barang-barang dan
jasa yang tergolong sekunder bahkan tersier mulai berhenti untuk
dikonsumsi. Artinya budaya konsumtif dapat ditekan sedemikan
rupa akibat pengaruh pandemi Korona ini. Dengan kata lain pada
situasi “jeda” atau “abnormal” ini saja sudah memperlihatkan aneka
perubahan positif yang dihasilkan ketika tatanan kapitalisme
melemah. Suatu realitas yang sebelumnya dibayangkan “tidak
mungkin” dalam kerangka “normal” saat ini ternyata dapat terjadi.
Sekali lagi dapat dikatakan perkembangan ini dapat semakin
memperkuat penerimaan publik terhadap imaji revolusioner tentang
the new normal yang dibayangkan akan menghasilkan “a whole new
world” yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Di tengah-tengah penguatan imaji revolusioner tentang the new
normal tersebut, satu perkembangan yang tidak diduga muncul. Saat
ini pembicaraan tentang the new normal baik di tanah air maupun
dunia internasional didominasi oleh makna baru sang sama sekali
berbeda dengan apa yang diimajinasikan oleh Guetteres ataupun
Shiva. Dalam konteks ini muncul ide the new normal memiliki
arti yang “konservatif ”, dimana membayangkan lestarinya tatanan
kapitalistik namun dengan beberapa penyesuaian tertentu (Keogh,
2020). Dalam konteks Indonesia definisi the new normal yang
“konservatif ” ini misalnya dapat ditelisik dari ucapan Presiden yang
menyatakan the new normal sebagai kondisi dimana kita “berdamai
dengan Korona”. Maksud dari “berdamai” ini kemudian coba
dijelaskan secara lebih detail oleh banyak pejabat publik yang lain.
Pada dasarnya penjelasan dari “berdamai dengan korona” ini adalah

352
upaya negara untuk mendorong kembalinya aktivitas publik yang
sebelumnya mengalami kemerosotan akibat menyebarknya virus
Korona. Akan tetapi penyelenggaraan aktivitas publik ini mestilah
disertai dengan menegakkan protokol kesehatan seperti dengan
mengenakan masker atau menjaga jarak sehingga diharapkan dapat
meminimalisir potensi penyebaran virus Korona.
Menariknya menurut pengakuan Achmad Yurianto, yang
menjabat sebagai juru bicara Gugus Tugas Covid-19, the new normal
tersebut dikatakan adalah “resep” dari WHO. Dimana dikatakan
oleh Yurianto bahwa menurut WHO virus Korona tidak akan
dengan cepat hilang walaupun secara kurva sudah memperlihatkan
penurunan dari jumlah pasien Korona. Berbasis pada penjelasan
WHO inilah yang kemudian mendorong ide the the new normal ini
diadopsi sebagai fondasi kebijakan negara. Kebijakan the new normal
sendiri beroreintasi pada upaya memperimbangkan (secara cepat)
untuk kembali “menormalisasi” keadaan walau “dengan catatan”
yakni dengan adanya “perubahan budaya” menjadi “budaya sehat”.
Sebenarnya jika merujuk pada penjelasan WHO akan
didapatkan tekanan yang berbeda tentang apa yang disebut sebagai
the new normal. Dapat dikatakan WHO menggunakan logika
medis sebagai landasan dari pendefinisian the new normal. Dimana
the new normal ini mengacu pada kehati-hatian yang mesti tetap
dipertahankan suatu negara bahkan jika situasi di negara tersebut
secara medis telah memperlihatkan kondisi yang positif ditandai
dengan penurunan jumlah pasien Korona. Dengan kata lain filosofi
dari the new normal ala WHO ialah kewaspadaan, dimana meskipun
nampaknya virus telah berhasil “diredam” tidak ada jaminan bahwa
upaya tersebut berhasil 100%. Berdasarkan prinsip kewaspadaan inilah
menurut WHO perlulah seluruh negara terus mempertimbangkan
potensi uncertaincy dari pandemi ini dengan menggalakkan strategi
antisipatif. The new normal adalah bentuk antisipasi tersebut dimana
protokol kesehatan yang ketat mesti terus dipertahankan sehingga
penyebaran virus dapat terus dimininalisir.

353
Bahasa medis WHO tentang the new normal, yang menekankan
pada kewaspadaan terus menerus karena sifat uncertaincy dari pandemi
tersebut yang masih besar, inilah yang nampaknya coba ditafsir ulang
sedemikian rupa oleh tatanan kapitalistik. Tafsir ulang ala kapitalisme
inilah yang memuncukan kesan baru bahwa ide the new normal justru
menjadi semacam legitimasi saintifik untuk menegaskan bahwa situasi
abnormal telah usai dan dunia mesti kembali ke situasi normal dengan
catatan minor. Dengan kata lain sifat uncertaincy dari pandemi justru
disingkirkan dan diganti dengan imaji tentang certaincy. Imaji tentang
certaincy ini bermakna ketika suatu negara telah mematuhi protokol
kesehatan yang dimaknai sebagai rajin cuci tangan, memakai masker,
dan menerapkan social distancing maka ancaman Korona sudah dapat
“dikendalikan” sedemikian rupa. Implikasi dari imaji semacam ini
ialah melegitimasi negara di dunia untuk segera “menormalisasi”
kehidupan seperti sediakala. Menurut data, sejumlah negara di Asia
dan Eropa seperti Vietnam, Selandia Baru, dan Jerman sudah memulai
menjalankan kebijakan the new normal tersebut. Di Vietnam misalnya,
negara yang dianggap sukses melakukan perang terhadap Korona, sudah
berangsur-angsur melonggarkan pembatasan berbagai aktivitas publik
dengan catatan warga yang beraktivitas mesti mengenakan masker atau
semacam topi khusus untuk melindungi wajah pemakaianya.
Studi ini berargumen bahwa upaya untuk menyebarkan wacana
tentang the new normal yang cenderung bercorak “konservatif ”
ini merupakan salah satu eksperimentasi mutakhir dari tatanan
kapitalisme untuk terus mempertahankan eksistensinya (Luce,
2020). Dengan adanya wacana the new normal yang “konservatif ’ ini
diharapkan dapat mengikis imajinasi revolusioner tentang tata dunia
baru yang beyond kapitalisme. Pada saat yang sama kelumpuhan
kapitalisme akibat “macetnya” arus produksi dan konsumsi dapat
kembali dibangun (Mason, 2020). Dengan kata lain wacana the new
normal ini dapat dikatakan adalah sebuah bagian dari mode governance
baru yang dibangun oleh tatanan kapitalisme untuk mencegah krisis
kapitalisme semakin menghebat. Bahkan diharapkan bisa memutar

354
balik bandul sejarah ke belakang. Kembali ke old normal dengan
bungkus yang baru dan bukannya menuju satu gerak progresivisme
sejarah menuju satu tatanan baru yang non kapitalistik. Satu tatanan
yang sekiranya justru memberi ruang lebih luas dan sekaligus
mempercepat upaya “detoksifikasi” dunia ini yang tengah berjalan
seriring dengan melambatnya kapitalisme.
Argumen ini tidaklah berlebihan dimana dapat dengan
mudah filosofi mendasar dari kebijakan the new normal ini bisa
dilihat dari statamen para pejabat publik. Ambil contoh Achmad
Yurianto secara tegas mendefiniskan the new normal sebagai kondisi
dimana “Kita harus tetap produktif dan aman dari Covid-19, ini yang
disebut normal yang baru”. Begitu pula penjelasan Presiden yang
menyatakan bahwa hakikat dari the new normal adalah kondisi
dimana “kita kembalikan produktivitas kita dengan optimisme karena kita
tetap menerapkan berbagai mekanisme pencegahan”. Begitu pula dengan
statemen dari perdana menteri Italia yang berargumen bahwa the new
normal sebagai suatu kebijakan yang tidak bisa ditunda lagi karena telat
sedikit saja dapat menyebabkan mengakibatkan struktur ekonomi dan
sosial saat ini akan mengalami kerusakan. Statemen dari para pejabat
publik baik di Indoensia maupun di Italia tersebut memberikan satu
keterangan penting bahwa the new normal hakikatnya adalah soal
menjaga produktivitas dalam struktur ekonomi saat ini menjadi titik
tekannya. Dengan kata lain tatanan kapitalistik yang sekarat inilah yang
paling diuntungkan dengan ide tersebut demi menopang eksistensinya
yang semakin melemah. Sedangkan pernyataan perdana menteri Italia
bahwa kerusakan juga terjadi pada struktur sosial dapat ditafsir sebagai
kerusakan pada struktur sosial yang dihegemoni oleh logika kapitalistik.
Jika dikaitkan dengan ide Shiva soal tatanan “toxic” maka jika situasi
saat ini jika tidak ditangani dengan segera maka proses “detoksifikasi
alamiah” yang tengah terjadi pada stuktktur sosial kapitalistik pada hari
ini akan makin sulit dibendung ke depannya.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya studi ini beranggapan bawa
ide the new normal yang bercorak “konservatif ” ini bukanlah satu ide

355
tunggal yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari satu strategi
governance besar yang dirancang oleh tatanan Kapitalisme untuk
mempertahakan eksistensinya. Selain juga, tujuan dari mode governance
ini adalah memastikan subyek revolusioner tidak akan muncul dan
mengancam eksistensi tatanan kapitalistik. Subyek revolusioner yang
dimaksud dalam studi ini ialah kaum rebahan revolusioner. Saat ini
bisa dikatakan kaum rebahan belum menjadi subyek yang revolusioner
tetapi dapat dikatakan dalam proses (in making). Proses inilah yang
harus dibendung sekeras mungkin oleh tatanan kapitalisme dengan
mode governance yang mereka bangun tersebut.
Berangkat dari argumen tersebut maka studi ini berupaya untuk
menganalisa ragam strategi yang diproduksi oleh mode governance
yang digunakan oleh tatanan kapitalistik saat ini untuk memastikan
survivalitasnya. Termasuk dalam hal ini coba diidentifikasi pula ide the
new normal yang cenderung “booming” saat ini sejatiya dapat digolongkan
dalam kategori strategi governance seperti apa yang dikembangkan oleh
tatanan kapitalistik saat ini. Harapannya dengan pembongkaran mode
governance ini maka upaya kritis terhadapnya dapat dikembangkan.
Studi ini diharapkan dapat menyumbang satu gagasan baru dalam
diskusi akademik yang berkembang selama ini dalam upaya membaca
pandemi Korona khususnya dengan pendekatan medis. Walau tidak
dipungkiri juga mulai muncul studi-studi serius yang berupaya membaca
Korona berbasis pendekatan ilmu sosial humaniora. Menariknya Isu
tata kelola (governance) menjadi tema penting dalam studi-studi yang
muncul belakangan ini dalam ranah ilmu sosial (Wright, 2020; Mishra,
2020). Pada umumnya studi pada kategori ini merupakan studi yang
berorientasi pada upaya assasessmet terhadap mode governance yang
eksis ini saat ini di berbagai negara yang biasanya disertai dengan upaya
reflektif untuk merancang mode governance alternatif yang sekiranya
lebih resilience terhadap potensi pandemi di masa mendatang. Studi ini
mencoba mengarahkan telaah pada satu mode governance global yang eksis
di masa pandemi dengan satu tujuan khusus yakni menjaga survivalitas
tatanan kapitalistik. Dimana misi utama dari governance ini bukan

356
bagaimana memastikan keselamatan publik global dari pandemi tetapi
mendisiplinkan publik global. Diharapkan studi ini dapat menyumbang
satu debat baru tentang topik governance yang menjadi perhatian
kalangan ilmuwan sosial kontemporer dengan mengarahkannya pada
telaah yang lebih bercorak diskursif sebagai pelengkap dari studi-studi
yang dipengaruhi perspektif administrasi publik (Ewing, 2020; Huang,
et.al, 2020; Kim, 2020).

B. PEMBAHASAN: MENDISIPLINKAN SUBJEK


REVOLUSIONER: TELAAH 4 STRATEGI MODE
GOVERNANCE KAPITALISTIK
Salah seorang pemikir dan aktivis kontemporer terkemuka dunia,
Naomi Klein memberikan kita sebuah kerangka analisis yang menarik
untuk memahami situasi semacam ini. Klein –dalam wawancaranya
dengan Marie Solis- mewanti-wanti kepada kita tentang potensi
munculnya fenomena disaster capitalism pasca terjadinya satu situasi
“abnormal” (Solis, 2020). Fenomena disaster disini dimaknai dengan
diberlakukannya siasat schock doctrine yang berupaya mempergunakan
situasi “abnormal” untuk mengukuhkan posisi elit dan meminggirkan
rakyat dan juga abai terhadap lingkungan hidup (Owen, 2011). Klein
sendiri secara spesifik menyoroti shock doctrine ini dalam konteks
penanganan pandemi Korona di AS. Menurut Klien sejumlah kebijakan
Trump di era pandemi ini menunjukkan bahwa bukan rakyat tetapi
para kapitalislah yang coba dilindungi oleh negara. Sebagai bukti ia
menyorotasi pemberian stimulus oleh Trump pada perusahaan yang
dianggap terdampak Korona (Solis, 2020). Salah satu poin dari kebijakan
stimulus ini adalah keringanan pajak yang menurut Klein akan semakin
memperburuk sistem social security yang ada di AS karena bergantung
pada pajak yang masuk.
Kondisi AS yang memburuk pasca Korona, dimana negara
tersebut menjadi negara non Asia terdampak paling parah akibat
pandemi menunjukkan sisi kebenaran dari argumen Klein tersebut
(Almas, 2020). Pengakuan dari WNI yang tinggal di sana misalnya
menyebut bagi dirinya sangat sulit mencari masker untuk melindungi
357
dirinya. Dengan kata lain rakyat secara umum terlebih yang tidak
berpunya dengan mudah menjadi korban dari virus mematikan tersebut.
Dalam kondisi bekerjanya disaster capitalism seperti itu Klein kemudian
merekomendasikan kooperasi antar rakyat sebagai solusi yang dapat
ditempuh untuk mencegah pandemi semakin tidak terkontrol (Solis,
2020).
Klein (2020) membasiskan agrumennya bahwa kapitalislah
yang diuntungkan dengan adanya kondisi “abnormal” yang kemudian
memanfaatkannya untuk memperkokoh posisinya. Satu hal yang yang
mungkin terluput dari analisis Klein apakah munculnya situasi “abnormal”
sebagaimana munculnya pandemi Korona saat ini- adalah momen yang
dikatakan Klein sebagai “perfect condition” untuk memuluskan ambisi
mereka? Jika merujuk pada analisis Yasraf Amir Pilliang (2020) dan
juga Martin Suryajaya (2020) kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
situasi “abnormal” di sini -khususnya dalam konteks pandemi Korona
saat ini- lebih dimaknai sebagai momen “pertaruhan eksistensial” bagi
rezim kapitalisme untuk tetap survive atau terpelanting dari jalannya
sejarah. Walaupun argumen Klein dapat diterima dalam arti momen
pandemi ini membuat orang tidak bisa sepenuhnya fokus pada kebijakan
pemerintah karena disibukkan dengan aneka problematikanya sendiri.
Terkait dengan pandemi Korona sebagai momen “pertaruhan
eksistensial” bagi Kapitalisme dijelaskan secara menarik oleh Martin
Suryajaya. Menurut Martin (2020) pandemi Korona ini menempatkan
industri pada situasi sulit untuk bertahan. Dalam situasi uncertaincy
yang merupakan musuh dari kapitalisme yang mendasarkan pada
ide kalkulatif maka situasi ini -jika berlangsung dalam waktu lama
dan semakin tidak terprediksikan- akan menghasilkan gelombang
kejatuhan berbagai industri tersebut. Mulai dari industri manufaktur
hingga industri lain yang menysaratkan berkumpulnya warga maupun
juga pegawai (buruh) untuk menopang eksistensinya. Keruntuhan ini
akan berimbas pula pada krisis selanjutnya yakni moneter.
Kapitalisme membutuhkan semacam “rem darurat” untuk
memastikan laju domino ini bisa dihentikan atau diperlambat. Maka
358
upaya negara untuk “memback-up” berbagai perusahaan strategis
merupakan upaya untuk mengerem efek domino tersebut. Negara
berupaya membangun satu situasi yang bersifat “certaincy” di tengah
“badai” uncertaincy. Karena jika bergantung pada mekanisme pasar
semata, dengan mudah industri tersebut akan jatuh dalam waktu cepat.
Dalam konteks ini argumen Martin tentang “negara menjadi sosialis
karena terpaksa” sebenarnya kurang tepat, karena sebagaimana dijelaskan
oleh Klein bahwa langkah-langkah yang dilakukan itu sejatinya demi
kepentingan kapitalis itu sendiri bukan membuat kapitalis di bawah
kooptasi negara (Solis, 2020). Maka ketika kapitalisme butuh “diback-
up” negara dengan cara “di-nasionalisasikan” (atau dalam konteks
Indonesia diberi berbagai kebijakan afirmatif seperti kasus kartu pra-
kerja) misalnya, maka itu adalah salah satu strategi penyelamatan yang
paling rasional untuk menjamin adanya satu titik “certaincy” bagi tatanan
kapitalisme. Pada intinya intervensi negara dalam berbagai bentuknya
dibangun atas filosofi negara sebagai “pembantu” kapitalisme bukan
kapitalisme yang “ditundukkan” oleh negara sebagaimana bayangan
Martin. Dengan kata lain kebijakan negara bukan suatu yang independen
dari kapitalisme tetapi di bawah logika governing kapitalistik yang
dimaksudkan untuk memastikan survivalitas tatanan tersebut.
Satu hal yang juga krusial untuk dibahas di sini ialah target dari
aneka kebijakan tersebut yakni masyarakat yang notabene sedang
melakukan masa “rebahannya” di rumah alias kaum rebahan. Martin
memberikan penjelasan menarik untuk memahami aspek terdalam
dari munculnya aneka kebijakan yang kontroversial tersebut. Dimana
menurut Martin kaum rebahan itu adalah subyek revolusioner dalam
konteks pandemi ini. Alasannya karena justru dengan “kesantaiannya”,
aktivitas kaum rebahan tersebut menjadi setara dengan pemogokan
umum dalam skala yang masif sehingga berdampak besar bagi eksistensi
tatanan kapitalistik tersebut. Maka tatanan kapitalistik mesti mencari
cara agar dapat “mendisiplinkan” kaum revolusioner tersebut yang
menjadi ancaman bagi tatanan kapitalistik tersebut dengan membangun
satu mode governance khusus.

359
Guna memahami sisi revolusioner dari kaum rebahan secara lebih
detail kita dapat melihat pada penjelasan yang dikemukakan oleh Yasraf
tentang Korona dan serangan terhadap budaya gerak. Menurut Yasraf
budaya gerak merupakan fondasi bagi tatanan kapitalisme (Sohn,
2015). Maka tidak heran jika sejak awal kemunculannya kapitalisme
berupaya memicu logika gerak tersebut. Puncak logika gerak ini
termanifestasi di era globalisasi yang mencirikan gerak cepat manusia
(sebagai tenaga kerja) maupun komoditi dari satu lokasi ke lokasi lain
dalam waktu yang sangat cepat hingga Yasraf mengistilahkan sebagai
dunia yang dilipat. Logika gerak cepat yang menjadi ruh era globalisasi
inilah yang secara “disruptif ” diganggu oleh satu “noise” tak terduga
yakni Korona. Yasraf mengemukakan bahwa “noise” ini memberi jalan
lapang bagi kemunculan budaya baru yakni budaya diam. Budaya diam
inilah yang kemudian dinyatakan Martin memiliki spirit revolusioner
karena akan membuat orang menjadi malas untuk bekerja. Kalau mau
ditambahkan, menurut Hassan (2012) budaya ini tidak hanya membuat
malas bekerja (berproduksi menurut ritmik mesin) bahkan membuat
malas untuk mengkonsumsi barang-barang yang notabene bagian
dari mode (konsumsi menurut ritmik mesin). Karena tanpa adanya
ruang yang memadahi untuk “narsis” apalagi di masa pandemi dimana
“narsisme” justru akan mengundang makian- maka konsumsi menjadi
terbatas sifatnya, dan lebih banyak disalurkan untuk kebutuhan yang
esensial saja. Situasi semacam ini tentunya menjadi malapetaka sendiri
bagi kapitalisme yang membutuhkan gerak cepat di sektor produksi dan
konsumsi untuk menopang eksistensinya (Tang, 2017).
Berdasar penjelasan dari Yasraf dan Martin bisa disimpulkan
bahwa Kaum rebahan melakukan aksi revolusionernya dengan cara
unik yakni melalui diam di kamar. Melalui aksi rebahan dapat dikatakan
kaum rebahan juga potensial menjungkirbalikkan struktur sosial yang
ada. Mereka kaum rebahan menjadi “raja-raja kecil” (sebenarnya ini
wajar dalam logika demokrasi karena rakyat adalah pemegang kuasa
tertinggi) yang mesti “dipuaskan” hasratnya –hasrat disini adalah hasrat
konsumsi primer saat melakukan rebahan-. Pada saat yang sama kaum

360
rebahan tersebut tidak bisa dipaksa untuk “bekerja” dalam situasi
semacam ini. Jika tidak “dipuaskan” mereka dengan mudah dapat keluar
rumah dan kemudian membuat situasi uncertaincy semakin akut dan
panjang yang membuat kapitalisme semakin terpuruk. Dalam momen
semacam ini negara dan para kapitalis dituntut untuk menjadi “pelayan”
bagi sang “raja” tersebut jika menginginkan pandemi ini cepat berakhir.
Satu hal lain yang juga perlu ditegaskan bahwasanya kaum rebahan
yang itu secara kuantitatif mengalami peningkatan seiring dengan
makin banyaknya industri mengalami krisis dengan adanya pandemi
korona tersebut. Dalam istilahnya Martin (2020), PHK menjadi tidak
terhindarkan untuk menstabilkan keadaan perusahaan namun di lain
pihak akan memicu melambungnya jumlah kaum lumpenproletariat saat
ini sering diistilakan sebagai kaum prekariat. Lumpenproletariat ini dapat
dikatakan sebagai bagian dari kaum rebahan yang paling membahayakan
dalam situasi semacam ini (Taylor & Young, 2013). Jika “hasrat” mereka
tidak dipenuhi oleh negara dan para kapitalis maka tidak ada hambatan
bagi untuk nekat keluar rumah dan menambah parah situasi pandemi
yang juga merugikan kapitalisme (Ernes, 2020). Lebih jauh, kalangan
lumpenroletariat ini potensial pula untuk berubah menjadi gerakan
revolusioner dalam arti tradisional di ruang publik dengan alasan sudah
tidak ada lagi yang yang bisa ia harapkan dalam menghadapai kesulitan
yang melanda kehidupannya (Salim, 2019). Sehingga apapun yang akan
terjadi dia sudah tidak peduli. Kondisi semacam ini potensial terjadi
sebagaimana kasus seorang teroris yang melakukan aksi bunuh diri
karena sudah sampai “titik nadir” tidak mendapatkan pekerjaan sama
sekali sehinggan semakin tertekan kondisi kejiwannya dan berbuah
pada aksi destruktif.
Mengantisipasi penguatan subyek revolusioner tersebut menjadi
krusial bagi kapitalisme untuk mernacang satu mode governance yang
diharapkan mampu mereduksi budaya diam. Maka dalam hal ini
munculnya rencana kebijakan the new normal atau kebijakan lain yang
potensial muncul di kemudian hari baik di Indonesia dan luar negeri-
adalah bagian dari bekerjanya mode tersebut untuk mendisiplinkan

361
kaum rebahan sebagai subyek revolusioner baru. Melalui mode
governance ala kapitalisme tersebut masyarakat luas berupaya didorong
agar tidak berada pada budaya diam tetapi pada budaya gerak entah di
level konsumi, produksi, atau keduanya sekaligus).
Selain untuk melawan budaya diam, governance yang dirancang
tatanan kapitalisme memiliki tujuan lain yakni mendisiplinkan imaji
revolusioner. Dapat dikatakan tanpa imaji revolusioner, kaum rebahan
memang telah menimbulkan dampak yang destruktif pada tatanan
kapitalisme karena gangguan pada proses produksi dan konsumsi. Akan
tetapi dengan adanya imaji revolusioner maka kaum rebahan akan
menjadi semakin revolusioner karena mereka menghendaki tatanan
baru basca pandemi. Maka agar subyek revolusioner tidak mewujud
akibat berkembangnya imaji revolusioner di tengah kaum rebahan
maka tatanan kapitalis mesti membentuk satu imaji “kontra revolusi”
untuk memastikan tidak ada impian dari kaum rebahan untuk menuju
the new normal yang hakiki. Kaum rebahan mesti dipalingkan kepada
imaji menuju old normal walaupun diklaim atau dilabeli sebagai the
new normal. Dengan kata lain governance kapitalis ini menciptakan apa
yang dalam bahasa Marxis sebagai kesadaran palsu untuk mencegah
kesadaran revolusioner muncul (Croteau & Hoynes, 2003).
Setidaknya ada empat strategi governance yang tengah
dikembangkan tatanan kapitalis global untuk membendung potensi
revolusioner lebih jauh dari kaum rebahan, dan di sisi lain memastikan
budaya gerak dapat ditumbuhkan kembali. Studi ini tidak akan
menjelaskan secara panjang lebar karena sifat dari analisis ini masih
bersifat open ended dan terbuka kemungkinan kategorisasi ini bisa
berubah. Satu strategi governance yang dikembangkan ialah strategi
teknikalisasi. Strategi teknikalisasi ini perlu mendapatkan perhatian
serius karena dapat dikatakan terkait erat dengan munculnya ide the
new normal yang bercorak konservatif yang digaungkan oleh berbagai
negara di dunia. Strategi teknikalisasi sendiri bertumpu pada upaya
membangun wacana bahwasanya masalah pandemi ini sekedar masalah
teknis bukan politis (Wiehe, 2019). Karena dianggap masalah teknis

362
maka tidak perlu dipikirkan soal membuat tatanan baru yang dianggap
lebih menjanjikan dari tatanan kapitalistik saat ini. Dalam narasi tersebut
dikatakan bahwa tatanan kapitalistik saat ini tengah mengembangkan
antivirus/vaksin dan hanya soal waktu saja obat tersebut akan ditemukan.
Sehingga kaum rebahan cukup “bersantai” di rumah saja dan menunggu
dengan “sabar” hingga antivirus/vaksin ditemukan (Harari, 2020).
Dengan narasi semacam ini maka waktu menjadi senjata penting untuk
menegasikan imaji revolusioner. Tidak dibutuhkan perubahan radikal
tatanan yang lebih dibutuhkan adalah menunggu saja hingga tatanan
akan sampai pada temuan vaksin (sikap pasif ).
Menariknya narasi ini menyisakan harga tinggi yang harus
dibayar oleh tatanan kapitalistik yakni membiayasi kaum rebahan agar
“sabar” menunggu temuan vasksin/antivirus. Sementara dengan keadaan
uncertaincy semacam ini dimana virus diketahui telah mengalami
sejumlah mutasi- maka tatanan kapitalisme merasa bahwa diperlukan
skema tambahan yang memungkinkan agar mereka tidak menderita
kerugian yang lebih besar dari waktu ke waktu. The new normal dapat
dikatakan adalah ekstensi (kepanjangan) strategi dari mode governance
berbasis teknikalisasi ini. Dimana selama waktu menunggu mestinya
tidak dihabiskan dengan kepasifan saja tetapi keaktifan bekerja. Guna
menghadapi potensi resistensi dari kaum rebahan maka narasi lain perlu
dibuat bahwasanya dengan mengikuti temuan sains saat ini (protokol
kesehatan) maka tidak perlu terlalu khawatir untuk melakukan
produktivitas seperti biasa. Dengan cara inilah kapitalisme mendapat
keuntungan ganda dimana berhasil menekan imaji revolusioner dan
di saat yang sama dapat mendisiplinkan subyek revolusioner agar mau
untuk mengikuti kembali ritmik gerak kapitalistik (walau dengan ritmik
yang coba untuk dikurangi sedikit secara kecepatan).
Strategi kedua yang dikembangkan ialah strategi gendering
pandemi. Strategi ini berbasis pada wacana bahwasanya yang
problematik saat ini adalah soal leadership (aktor) dan bukannya
sistem. Maka yang coba diredam oleh narasi ini ialah jika masyarakat
merasa tidak puas dengan penanganan pandemi saat ini maka mereka

363
mesti melampiaskan amarahnya pada aktor yang menjabat bukan
pada sistem kapitalistik. Dapat dikatakan narasi semacam ini cukup
mendapatkan respon positif di Indonesia maupun di luar negeri
(Persaud, 2020). Poin penting dari narasi ini ialah berbasis pada
studi komparatif tentang leadership di banyak negara saat pandemi
didapatkan satu satu kesimpulan yang menarik bahwasnya sejumlah
pemimpin perempuan mampu menghasilkan model leadership yang
lebih “mumpuni” dibandingkan dengan kaum laki-laki (lebih khusus
lagi laki-laki seperti Donald Trump). Maka yang perlu dikembangkan
ke depannya adalah bagaimana mengambil inspirasi dari aspek
leadership yang dikembangkan oleh sejumlah pemimpin perempuan
tersebut dan juga memperjuangkan kesetaraan gender yang lebih besar
dalam bidang leaderhsip.
Narasi ini tidak sepenuhnya keliru, sebagaimana dinyatakan
oleh Forbes misalnya bahwa ada nilai-nilai leadership menarik yang
semestinya menjadi inspirasi bersama seperti keberanian untuk
menjunjung tinggi kebenaran –bukan justru menutup-nutupinya-
dan responsif terhadap situasi uncertaincy saat ini (Wittenberg-Cox,
2020). Berbeda misalnya dengan kepempinan ala Trump atau sejumlah
pemimpin laki-laki lainnya yang memiliki tipe leadership buruk karena
cenderung menutup-nutupi informasi dan juga membuat aneka
kebijakan yang justru problematik di masa pandemi (Lewis, 2020).
Akan tetapi sebagaimana dinyatakan oleh Ella Whelan bahwa logika
semacam ini jsutsru potensial mengaburkan dari apa yang krusial hari
ini yakni solidaritas global (Whelan, 2020). Pandangan Ella cukup
beralasan mengingat dengan menitikberatkan pada leadership maka
ada potensi untuk melihat persoalan pandemi hanya pada soal siapa
yang menduduki jabatan pemimpin formal suatu negara. Padahal
dibutuhkan kerja kolektif untuk pengatasi pandemi tersebut. Kritik
Ella tersebut dapat dipertajam dimana ketika hanya menitikberatkan
pada leadership maka imaji yang terbangun pada masyarakat hanyalah
soal ganti pemimpin (elektoralisme) dan bukan penggantian sistem
(revolusi tata dunia).

364
Satu hal yang menarik justru didapat pada studi yang dilakukan
oleh sejumlah eksponen yang tertarik dengan narasi gendering
leadership ini. Studi yang dilakukan Croteau & Paillé misalnya
menegaskan bahwa dalam melihat leadership perempuan ini mesti
dilakukan secara lebih holistik. Keduanya menawarkan pembacaan
yang sifatnya sistemik dimana menruutnya tanpa ada lingkungan
yang kondusif bagi kepemimpnan para perempuan tersebut, yakni
lingkungan yang pro gender maka gerak sang pemimpin perempuan
tidak bisa seefektif yang kita saksikan saat ini (Champoux-Paille, 2020).
Argumen tentang dukungan sistem yang krusial ini menjadi menarik
untuk ditelisik lebih lanjut. Memang tidak bisa dipungkiri Croteau
& Paillé mengartikan lingkungan yang kondusif semata lingkungan
yang lebih memberikan ruang bagi kaum perempuan untuk berkiprah
(logika gender). Tetapi studi lain misalnya Henley & Roy misalnya juga
menggarisbawahi adanya political culture yang relatif kondusif dimana
trust antara rakyat dan pemerintah telah relatif terbangun dengan baik
(Henley & Roy, 2020). Artinya sistem mempengaruhi sejauh mana
gerak sang pemimpin. Bahkan lebih jauh Anna North dalam studinya
menyimpulkan bahwa sistem ideologis yang melingkupi siatu wilayah
dapat menyebabkan seorang pemimpin perempan kesulitan untuk
bergerak dan mernacang kebijakan yang responsif selama pandemi
(North, 2020). North sendiri mencontohkan Lam, yang menjadi
pemimpin Hong Kong. Langkahnya tersendat akibat pengaruh Beijing
yang kuat sehingga membuat ruang geraknya di wilayah administrasi
Hong Kong tidak bisa leluasa. Satu hal yang bisa ditarik dari berbagai
studi tersebut mengungkapkan bahwa problem kruisal tidak hanya
terletak pada soal leadership tapi pada sistem. Sistem yang dimaksud
ialah sistem kapitalisme yang notebene mempengaruhi gerak para
pemimpin dunia saat ini. Maka tidak heran jika Vandana Shiva, yang
juga merupakan ikon ekofeminisme tidak terlalu menyoroti soal
kepempinpinan formal perempuan di suatu negara saat pandemi. Ia
justru menggarisbawahi sistem yang “toxic” sebagai sumber masalah
yang mesti dihadapi bersama (Shiva, 2020). Artinya bukan maknanya

365
Shiva menganggap remeh perempuan tetapi bagaimana kita mesti
menghadapkan padangan kita secara lebih kritis agar menemukan akar
permasalahan, bukan hanya menambal sulam sistem yang problematik.
Strategi ketiga yang teridentifikasi ialah strategi bonapartisme.
Bonapartisme dapat dikatakan sebagai kreasi imaji pesudo-
revolusioner di tengah krisis. Disebut pseudo-revolusioner karena
seakan mengafirmasi pentingnya tata dunia baru yag berbeda
akan tetapi jika diperhatikan secara lebih kritis tata dunia baru
yang dimaksud tidak keluar dari logika kapitalis. Bahkan dalam
derajat tertentu tata dunia yang baru ini merupakan bentuk tatanan
kapitalisme yang lebih “kokoh” dibandingkan dengan yang lama.
Dengan kata lain tatanan yang diimajinasikan ini justru akan berbuah
pada pendisiplinan subyek yang lebih kuat untuk mengikuti ritmik
mesin kapitalistik. Bonapartisme sendiri telah dikaji oleh Marx dan
Engels dengan analisis yang cukup tajam meskipun ada sejumlah
kekurangan di sana sini yang menjadikan teori bonapartisme mereka
menjadi tidak terlalu detail (Dulffer, 1976). Akan tetapi keduanya
memberikan beberapa penjelasan mengenai sifat dari bonapartisme
yang berguna untuk memahami kemucnulan model bonapartisme
ini di era pandemi saat ini. Menurut Marx bonapartisme mencirikan
satu pemerintahan yang personalistik dan sangat kuat mengatasi
kelas sosial yang ada. Pemeritahan ini muncul karena dukungan dari
arus bawah, yang diimajinasikan akan membawa situasi keluar dari
kondisi chaotic. Engels Menambahkan bahwasanya konteks kelahiran
bonapartisme ialah momen dimana tatanan borjuasi tengah mengalami
krisis dimana tidak memungkinkannya lagi untuk mempertahankan
kontrolnya atas negara tetapi kekuatan kelas pekerja belum memiliki
kapasitas untuk menggantikannya. Marx dan Engels berbicara tentang
pemerintahan Napoleon di Perancis yang kemudian mengambil alih
tampuk pemerintahan dan memimpin perancis secara personalistik.
Momen yang sama dapat ditemukan di era pandemi saat ini dimana
kapitalisme mengalami krisis sehingga pengaruhnya kian melemah
dari hari ke hari akibat serangan pandemi Korona. Akan tetapi subyek

366
revolusioner yakni kaum rebahan dapat dikatakan barulah mengalami
proses menjadi dan belum sebenuhnya mengalami radikalisasi dengan
mengadopsi imaji revolusioner.
Momen inilah yang kemudian coba disiasati dengan penciptaan
imaji pseudo-revolusioner dengan harapan ketika kaum rebahan
terperangkap oleh imaji tersbeut dan akan hadir governance baru berbasis
bonapartisme. Bonapartisme dalam konteks pandemi tidaklah lepas
dari logika kapitalisme tetapi merupakan restrukturiasi dari tatanan
kapitalisme yang eksis saat ini ke dalam bentuk baru. Sebagaimana
bonapartisme yang justru menjerumuskan Perancis dalam berbagai
konflik akibat hasrat Bonaparte untuk menjadi penguasa Eropa, dapat
dikatakan tatanan bonapartisme di ala pandemi ini juga memiliki
spirit destruktif yang sama. Imaji the new normal ala Bonapartisme
di masa pandemi ini tidak menjadikan the new normal yang liberalif
sebagai tujuan akhirnya tetapi the new normal yang semakin dicirikan
dengan pendisiplinan masif pada warganya. Jika dahulu Napoleon
yang diposisikan sebagai “sang penyelamat” maka dalam proyek
bonapartisme di masa pandemi ini sosok Napoleon yang dimaksud
ialah Artificial Intellegence yang dianggap memiliki “kebijaksaaan
tinggi” melampaui manusia. Maka tidak berlebihan jika istilah yang
tepat untuk menyebut bonapartisme di era pandemi saat ini sebagai
dataisme (Devivere, 2018). Satu proyek yang sudah diimajinasikan akan
tumbuh seiring dengan revolusi industri 4.0 namun dengan adanya
pandemi maka imaji tentang dataisme ini semakin diwacanakan lebih
intens atas nama solusi permanen menghadapi Korona.
Naomi Klein memberika ulasan menarik tentang imaji dataisme
yang semakin kuat digaungkan di era pademi ini. Menurut Klein
filosofi dari dataisme ini ialah “manusia adalah biohazard sementara
mesin tidak (Klein, 2020)”. Maka sudah merupakan hal natural untuk
memberikan mesin ruang gerak yang lebih besar untuk menjadi “garda
terdepan” peradaban pasca Korona. Dalam posisinya yang baru inilah
berbagai aspek kehidupan manusia perlu dipetakan dan dibantu oleh
mesin sehingga manusia dapat hidup dengan aman. Wacana the new

367
normal yang bereadar saat ini sebenarnya juga disa dipakai sebaagi
pijakan penting untuk menjadi semacam lingkungan yang “subur”
untuk memastikan imaji ini dapat dijalankan. Ketika Korona dianggap
akan sangat sulit dihilangkan walaupun Kurva menurun maka
diperlukan skema ekstra untuk memastikan bahwa situasi pandemi
tetap terkontrol dengan baik. Menariknya banyak kasus pasien Korona
yang tidak meunjukkan gejala apa-apa tetapi dia bisa menulari yang
lain. Adanya realitas semacam ini semakin memberi jalan untuk
melakukan pemantauan maksimal dengan berbasis pada mesin. Lebih
jauh karena the new normal ini dibayangkan tidak memiliki waktu
yang terukur tergantung kapan vaksin bisa ditemukan dan sukses
dipakai sebagai obat melawan Korona- maka surveillence ini dapat
terus diterapkan. Terlebih lagi jika narasi ancaman terhadap virus baru
atau kemungkinan gelombang kedua atau ketiga pandemi dipakai
maka akan semakin mengukuhkan sistem ini secara permanen.
Klein secara kritis menggarisbawahi bahwa di era pra Korona
orang dapat mempertanyakan soal demokratisasi teknologi tetapi
dengan adanya pandemi ini maka pertanyaan tersebut dengan
mudah dpat “dianulir” atas nama kedaruratan. Ketika publik juga
makin “teryakinkan” bahwa hanya dengan teknologi maka the new
normal dapat dijalankan dengan maksimal, maka mereka tidak akan
melakukan banyak resistensi terhadap skema baru ini. Padahal masalah
lama (rpobelm demokratisasi teknologi) tidak kemudian hilang begitu
saja atau bahkan berubah dengan sendirinya pasca Korona terjadi.
Lebih buruknya, ketika manusia dianggap “tidak kompeten” dalam
menangani dirinya sendiri dan mesti peryata pada mesin maka melalui
skema inilah ritmik baru kapitalistik dapat ditanamkan kembali
pada masyarakat walaupun mereka tengah melakukan aksi rebahan.
Dimana atas anjuran mesin mereka akan diarahkan untuk melakukan
berbagai gerak yang pada hakikatnya merupakan sinkronisasi ritmik
manusia dengan ritmik mesin yang dibungkus atas nama “kenetralan”
dan “pengetahuan yang lebih” dari artificial Intellegence.
Terakhir, ialah strategi kanalisasi hasrat. Strategi kanalisasi hasrat

368
ini berbasis pada upaya untuk mengarahkan ritmik kaum rebahan
agar berkesesuaian dengan ritmik kapitalisme. Satu kesan yang ingin
dibangun dalam strategi ini ialah bahwasanya kaum rebahan seakan
memiliki otoritas atas aktivitasnya bukan dikendalikan oleh pihak luar
( Jenkins, 2017). Dalam derajat tertentu memang benar bahwa otoritas
tersebut eksis akan tetapi dalam ruang apa dia eksis itulah yang coba
dibentuk oleh kapitalisme sehingga hasrat tersebut tidaklah “liar”
(Dahl, 2019). Ia mesti mengikuti kanal-kanal yang dibangun oleh
tatanan kapitalistik (Nealon, 1998). Kanal itulah yang dan diharapkan
dapat membendung aliran hasrat agar tidak melampaui kanal yang
dibuat oleh kapitalisme.
Satu bentuk kanalisasi hasrat yang cukup “vulgar” dapat dikatakan
adalah kartu prakerja. Kartu prakerja sendiri diklaim sebagai strategi
negara untuk memastikan citizen yang belum memperoleh pekerjaan
dapat mengikuti sejumlah pelatihan yang bebas dia pilih. Fungsi dari
kartu prakerja adalah sebagai modal yang dipergunakan seseorang untuk
mengasah bakat yang ingin dikembangkannya. Akan tetapi terlihat
bahwasanya pilihan yang ditawarkan ternyata sangatlah terbatas. Studi
yang dilakukan sejumlah peneliti LIPI tentang kartu prakerja misalnya
sampai pada kesimpulan bahwa opsi materi pelatihan yang ditawarkan
sangat bias perkotaan dan bahkan bias milenial (Kusumaningrum,
dkk, 2020). Tidak heran jika materi desain grafis, digital marketing,
fotografi, dan pelatiha konten You Tube yang dijadikan pilihan utama
bagi masyarakat. Sementara misalnya materi pelatihan bertani dan
budidaya perikanan hanya terdapat 3 materi di tengah ribuan materi
lainnya yang beorienasi perkotaan-milenial. Lebih jauh lagi menurut
para peneliti LIPI tersebut, kartu prakerja cenderung problematik
karena hanya menawarkan model pelatihan berbasis online. Padahal
pelatihan online membutuhkan konsumsi kuota internat yang besar
untuk mengakses materi. Padahal kuota internet bukanlah barang
publik yang bisa diakes secara gratis tetapi merupakan barang privat
yang mesti dibeli dengan uang. Dengan kata lain kanalisasi harsat
terjadi berlapis-lapis, dimana seorang dipaksa untuk berkerja dengan

369
ritmik perkotaan dan milenial, di sisi lain seorang dipaksa untuk
mengkonsumsi secara lebih banyak pulsa internet. Tatanan kapitalis
diuntungkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap
produk-produk yang mereka jual. Melalui peningkatan konsumsi
masyarakat terhadap hal-hal non primer juga potensial menguatkan
kembali budaya gerak konsumtif di tengah masyarakat setelah
sebelumnya mengalami penruruan yang sifgifikan sebagai imbas dari
penguatan budaya diam akibat Korona.
Bahkan jika ditelisik secara lebih kritis, ketika negara memaksa
agar modal yang diberikan mesti dibelanjakan oleh kaum rebahan
dalam bentuk pelatihan online sebenarnya merupakan satu proyek
kanalisasi hasrat sejak awal. Jika diklaim bahwa kartu prakerja juga
menjadi satu “solusi” bagi kalangan yang mengalami pemutusan kerja
akibat pandemi maka semestinya mereka diberikan kebebasan dalam
menggunakan modal yang diperolehnya. Menjadi hak individu untuk
memilih menggunakan modal tersebut untuk mengikusi jasa pelatihan
atau untuk skema yang lain (misal sebagai modal usaha). Terkait
dengan fenomena ini Ferguson, seorang akademisi yang memiliki
perhatian terhadap soal kuasa dalam ide pembangunan, menyebutkan
bahwa nalar yang diadopsi kebijakan semacam ini adalah “beri kail
bukan ikan” yang dianggap akan menumbuhkan jiwa enterpreneur
(Callabert, 2016). Namun bagi Ferguson logika semacam ini keliru
dan tidak akan mengarah pada pembentukan jiwa enterprenerur.
Alasannya karena kebebasan yang mestinya menjadi fondasi bagi jiwa
enterpreneur sejak awal dieliminasi. Bagi Ferguson cara yang lebih
rasional adalah masyarakat mestinya diberi “ikan dan bukan kail” yang
diartikan sebagai memberi direct cash transfer tanpa syarat. Harapannya
modal tersebut dapat didayagunakan sedemikan rupa bergantung
pada imaji yang penerima (Sloman, 2019). Tanpa adanya kebebasan
untuk mendayagunakan uang tersebut maka masyarakat hanya akan
terkooptasi oleh imaji eksternal di luar dirinya. Gagasan Ferguson
tersebut sekaligus memberikan argumen teoritik bahwasnya logika
“beri kail bukan ikan” ialah logika kanalisasi hasrat sehingga gerak

370
yang dilakukan masyarakat diizinkan sejauh ia sesuai dengan ritmik
kapitalistik. Ilusi kehendak bebas menjadi krusial dalam strategi ini.

C. KESIMPULAN
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa pandemi Korona
membawa efek positif yakni mewabahnya budaya diam baik dalam level
global maupun nasional. Budaya diam ini bermanfaat baik bagi manusia
itu sendiri, lingkungan, dan juga masa depan dunia pasca pandemi
dengan catatan muncul the new normal yang progresif bukan konservatif
ala kapitalisme-. Sebaliknya bagi kapitalisme ini adalah mimpi buruk
karena mau tidak mau mereka juga mesti mendukung budaya diam dalam
derajat tertentu. Opsi yang tidak mengenakkan namun mesti ditempuh
demi memastikan momen uncertaincy yang ditimbulkan akibat pandemi
Korona segera berakhir. Kemunculan pandemi menjadi semacam mimpi
buruk bagi tatanan global kapitalistik karena kini mereka dituntut untuk
menghidupi pekerjanya –yang sebelumnya mereka ekspoitasi habis-
habisan-. Termasuk juga negara sebelumnya terkena “jerat” kapitalisme
kini disibukkan dengan tuntutan makin nyaring untuk merombak
skema welfare mereka untuk memastikan citizen dapat hidup dengan
nyaman di era pandemi. Dengan kata lain tuntutan bagi demokratisasi
negara meningkat dengan adanya pandemi Korona. Maka dalam
konteks penguatan momen uncertaincy yang sekaligus revolusioner
tersebut dimana melahirkan subyek revolusioner yakni kaum rebahan-
maka Kapitalisme mengandalkan apa yang disebut oleh Naomi Klein
sebagai schock doctrine dalam bentuknya yang beraneka ragam (ragam
strategi governance) untuk melawan budaya diam ini sekaligus mencegah
meluasnya imaji revolusioner yang semakin banyak disuarakan berbagai
kalangan (di awal tulisan telah disebutkan Guetteres dan Shiva sebagai
contohnya). Mode governance yang dirancang oleh kapitalisme dapat
dikatakan potensial membendung momen revolusioner saat ini dengan
membelokkan imajinasi revolusioner menjadi imaji yang konservatif.
Maka selain diperlukan upaya penyingkapan terhadap mode governance
terselubung tersebut diperlukan juga upaya merancang perlawanan

371
balik agar posisi kaum rebahan yang revolusioner dapat dipastikan tetap
eksis bahkan semakin mengalami proses radikalisasi.
Satu hal yang sekiranya menjadi penting untuk dilakukan adalah
memperkuat imaji revolusioner yang telah ada sehingga imaji kontra-
revolusioner yang dikembangkan oleh tatanan kapitalistik dapat
dibendung sedemikian rupa. Narasi di rumah saja misalnya dapat
menjadi pintu masuk untuk memperkuat imaji revolusioner yang telah
muncul. Saat ini narasi di rumah saja memilki makna bahwa dengan
diam di rumah maka anda dapat mencegah penyebaran pandemi
Korona. Narasi ini mesti diperkuat dengan menyatakan bahwa dengan
rebahan maka anda dapat mencegah penyebaran pandemi tetapi juga
mewujudkan dunia yang lebih baik. Narasi-narasi tentang perbaikan
lingkungan, peningkatan kesehatan, dan wacana progresif lain dapat
“dilekatkan” pada narasi besar ini sehingga memberikan satu imaji baru
yang lebih kuat bahwa dengan rebahan anda adalah bagian dari jaringan
pejuang bagi terbentuknya dunia baru yang lebih baik. Sebagaimana
narasi dokter yang bekerja di luar rumah dan diapresiasi masyarakat
sebagai garda terdepan melawan Korona. Narasi yang sifatnya lebih
holistik dapat dikembangkan bahwa dengan semua orang melakukan
aksi rebahan maka dia dapat menjadi garda terdepan dalam menciptakan
the new normal yang liberaratif. Narasi ini juga mesti di support dengan
aspek material sebagaimana yang terjadi dalam narasi soal tenaga
kesehatan sebagai garda terdepan melawan pandemi. Ketika tenaga
kesehatan diposisikan sebagai garda terdepan maka ia butuh berbagai
perlengkapan memadahi untuk memastikan ia menjalankan tugasnya
secara maksimal. Faktanya banyak masyarakat yang ikut menyumbang
juga dalam rangka mendukung tugas para tenaga kesehatan. Dalam
konteks kaum rebahan ini juga perlu dikembangkan narasi lebih kuat
soal jaminan sosial bagi warga yang menjalani aktivitas rebahan di masa
pandemi. Dalam konteks Indonesia misalnya mesti didorong lebih kuat
agar negara menjamin kehidupan warganya selama pandemi. Termasuk
juga dalam hal ini ide progresif semacam UBI perlu terus digaungkan
sehingga harapannya masyarakat luas tidak dengan mudah didikte

372
oleh para kapitalis di bawah bayang-banyang pemotongan gaji hingga
pemecatan. Dengan sebagai upaya memperkuat wacana revolusioner
inilah eksistensi dan kejernihan pikiran kaum rebahan yang merupakan
subyek revolusioner dapat terus dijaga. Tentu saja itu bukan tugas satu
pihak saja tetapi menjadi kerja bersama. Ada sebuah slogan menarik
yang faktanya dapat menarik banyak simpatik dari publik untuk ambil
bagian di dalamnya yakni slogan rakyat menolong rakyat. Maka sebagai
manifestasi lain dari slogan ini ialah mesti didorong agar sesama rakyat,
khususnya kalangan akademisi dan juga aktivis untuk memperkokoh
gaung imaji revolusioner tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Agamben, G. (2020). Giorgio Agamben: “Clarifications”. Retrieved 5
15, 2020, from An und für sich: https://itself.blog/2020/03/17/
giorgio-agamben-clarifications/
Agustin, D. (2020). Italia Akui Ambil Risiko Longgarkan Lockdown.
Retrieved 5 20, 2020, from Republika: https://republika.co.id/
berita/qagqaf377/italia-akui-ambil-risiko-longgarkan-lockdown
Almas, P. (2020). Covid-19 Melonjak, Amerika Latin Berpotensi
seperti Eropa. Retrieved 5 20, 2020, from Republika: https://
republika.co.id/berita/q9xscj396/covid19-melonjak-amerika-
latin-berpotensi-seperti-eropa
Amos, J. (2020). Coronavirus: Lockdowns continue to suppress
European pollution. Retrieved 5 20, 2020, from BBC: https://
www.bbc.com/news/science-environment-52065140
Amri, P., Roesad, K., & Damuri, Y. R. (2020). Covid-19 opportunity
to enhance our environmental commitments. Retrieved 5 20,
2020, from The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/
academia/2020/05/05/covid-19-opportunity-to-enhance-our-
environmental-commitments.html
Becker, C. (2013). Herbert Marcuse and the Subversive Potential of
Art. In C. Becker (Ed.), The Subversive Imagination: The Artist,
Society and Social Responsiblity. Abingdon: Routledge.
373
Callebert, R. (2016). Give a Man a Fish: Reflections on the New Politics
of Distribution. Social Dynamics , 42 (1).
Camroux, D. (2020). Covid-19 and Strongman Rule in the Philippines.
Retrieved 5 20, 2020, from Sciences Po: https://www.sciencespo.
fr/ceri/en/content/covid-19-and-strongman-rule-philippines
Carrington, D. (2020). Halt Destruction of Nature or suffer Even Worse
Pandemics, Say World’s Top Scientists. Retrieved 5 19, 2020,
from The Guardian: https://www.theguardian.com/world/2020/
apr/27/halt-destruction-nature-worse-pandemics-top-scientists
Champoux-Paillé, L., & Croteau, A.-M. (2020). Why Women Leaders
are Excelling During the Coronavirus Pandemic. Retrieved 5
20, 2020, from The Conversation: https://theconversation.com/
why-women-leaders-are-excelling-during-the-coronavirus-
pandemic-138098
Chandler-Wilde, H., & Mintz, L. (2020). The Surprising Health
Benefits of the Coronavirus Lockdown. Retrieved 5 20, 2020,
from The Telegraph: https://www.telegraph.co.uk/health-fitness/
body/surprising-health-benefits-coronavirus-lockdown/
Coleman, W., & Sajed, A. (2013). Fifty Key Thinkers on Globalization.
Abingdon: Routledge.
Croteau, D., & Hoynes, W. (2003). Media/Society: Industries, Images,
and Audiences. California: Pine Forge Press.
Dahl, T. (2019). The Poiesis and Mimesis of Learning. In A.-L. Østern,
& K. N. Knudsen (Eds.), Performative Approaches in Arts
Education: Artful Teaching, Learning and Research. Abingdon:
Routledge.
Davies, J. S. (2011). Challenging Governance Theory: From Networks to
Hegemony. Bristol: The Policy Press.
Davies, W. (2020). The Last Global Crisis Didn’t Change the World.
But this one Could. Retrieved 5 20, 2020, from The Guardian:
https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/mar/24/
coronavirus-crisis-change-world-financial-global-capitalism
374
Dawson, K. (2020). ‘It all feels a little off ’: Caution as post-virus China
reopens. Retrieved 5 20, 2020, from Al Jazeera: https://www.
aljazeera.com/news/2020/04/feels-caution-post-virus-china-
reopens-200420024141095.html
Devivere, B. v. (2018). Meaningful Work: Viktor Frankl’s Legacy for the
21st Century. Cham, Switzerland: Springer.
Driantama, A. (2020). Wabah Corona, Ikan Kecil Hingga Lumba-
Lumba Muncul di Perairan Italia. Retrieved 5 20, 2020,
from National Geographic: https://nationalgeographic.grid.id/
read/132068342/wabah-corona-ikan-kecil-hingga-lumba-
lumba-muncul-di-perairan-italia
Ewing, K. D. (2020). Covid-19: Government by Decree. King’s Law
Journal .
Fachriansyah, R. (2020). Covid-19: Brace for ‘new normal’, govt says.
Retrieved 5 20, 2020, from The Jakarta Post: https://www.
thejakartapost.com/news/2020/05/04/covid-19-brace-for-new-
normal-govt-says.html
Fajar, J., & Wisuda, A. (2020). Setelah 28 Tahun, Kualitas Udara di
Jakarta Membaik. Retrieved 5 20, 2020, from Mongabay: https://
www.mongabay.co.id/2020/04/06/setelah-28-tahun-kualitas-
udara-di-jakarta-membaik/
Fanggidae, V., & Lassa, J. A. (2020). Sailing through a perfect storm of
Covid-19 with universal basic income for Indonesia. Retrieved
5 20, 2020, from The Conversation: https://theconversation.com/
sailing-through-a-perfect-storm-of-covid-19-with-universal-
basic-income-for-indonesia-135321
Fathoni, R. (2020). Menikmati Udara Bersih dan Langit Biru Jakarta.
Retrieved 5 20, 2020, from Kompas: https://kompas.id/baca/
foto/2020/04/02/menikmati-udara-bersih-dan-langit-biru-
jakarta/
Gao, X., & Yu, J. (2020). Public governance mechanism in the prevention
and control of the Covid-19: information, decision-making

375
and execution. Journal of Chinese Governance.
Guterres, A. (2020). A Time to Save the Sick and Rescue the Planet.
Retrieved 5 19, 2020, from The New York Times: https://www.
nytimes.com/2020/04/28/opinion/coronavirus-climate-antonio-
guterres.html
Harari, Y. N. (2020). Yuval Noah Harari: ‘Will coronavirus change our
attitudes to death? Quite the opposite’. Retrieved 5 20, 2020,
from The Guardian: https://www.theguardian.com/books/2020/
apr/20/yuval-noah-harari-will-coronavirus-change-our-
attitudes-to-death-quite-the-opposite
Harris, J. (2020). Why universal basic income could help us fight the
next wave of economic shocks. Retrieved 5 20, 2020, from The
Guardian: https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/
may/03/universal-basic-income-coronavirus-shocks
Hassan, R. (2012). The Age of Distraction: Reading, Writing, and
Politics in a High-Speed Networked Economy. New Brunswick:
Transcaction Publishers.
Henley, J., & Roy, E. A. (2020). Are female leaders more successful at
managing the coronavirus crisis? Retrieved 5 20, 2020, from
The Guardian: https://www.theguardian.com/world/2020/
apr/25/why-do-female-leaders-seem-to-be-more-successful-at-
managing-the-coronavirus-crisis.
Hoselitz. B.F. (1999). Karl Marx on Secular and Social Development: a
Study in the Sociology of Nineteenth-Century Social Science.
In B. Jessop, & C. Malcolm-Brown (Eds.), Karl Marx’s Social
and Political Thought: Critical Assessments. London: Routledge.
Huang, H., Peng, Z., Wu, H., & Xie, Q. (2020). A Big Data Analysis on
the Five Dimensions of Emergency Management Information
in the Early Stage of Covid-19 in China. Journal of Chinese
Governance .
Jenkins, B. (2017). Eros and Economy: Jung, Deleuze, Sexual Difference.
Abingdon: Routledge.

376
Jones, K. (2020).These charts show how Covid-19 has changed consumer
spending around the world. Retrieved 5 20, 2020, from World
Economic Forum: https://www.weforum.org/agenda/2020/05/
coronavirus-covid19-consumers-shopping-goods-economics-
industry/
Kasriel, E. (2020). Coronavirus Lockdown: Can nature help improve
our mood? Retrieved 5 20, 2020, from BBC: https://www.bbc.
com/news/health-52479763
Keogh, B. (2020). Coronavirus weekly: balancing a ‘new normal’
while keeping Covid-19 in check. Retrieved 5 20, 2020, from
The Conversation: https://theconversation.com/coronavirus-
weekly-balancing-a-new-normal-while-keeping-covid-19-in-
check-138577
Kim, P. S. (2020). South Korea’s Fast Response to Coronavirus Disease:
Implications on Public Policy and Public Management Theory.
Public Management Review .
Klein, N. (2020). Coronavirus Capitalism -and How to Beat It.
Retrieved 5 20, 2020, from The Intercept: https://theintercept.
com/2020/03/16/coronavirus-capitalism/
Klein, N. (2020). Screen New Deal. Retrieved 5 20, 2020, from The
Intercept: https://theintercept.com/2020/05/08/andrew-cuomo-
eric-schmidt-coronavirus-tech-shock-doctrine/
Kusumaningrum, D., Aidulsyah, F., & Meilianna, R. (2020). Tiga alasan
mengapa Kartu Prakerja hanya memihak pada masyarakat
perkotaan dan solusinya. Retrieved 5 20, 2020, from The
Conversation: https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-
kartu-prakerja-hanya-memihak-pada-masyarakat-perkotaan-
dan-solusinya-138425
Lacina, L. (2020). Prepare for a ‘new normal’ as lockdown restrictions
ease: Monday’s Covid-19 WHO briefing. Retrieved 5 20,
2020, from World Economic Forum: https://www.weforum.org/
agenda/2020/04/13-april-who-briefing-coronavirus-covid19-

377
lockdown-restrictions-guidance/
Landman, T., & Splendore, L. D. (2020). Pandemic democracy: elections
and Covid-19. Journal of Risk Research .
Leite, H., Hodgkinson, I. R., & Gruber, T. (2020). New development:
‘Healing at a distance’—telemedicine and Covid-19. Public
Money & Management .
Lewis, H. (2020). The Pandemic Has Revealed the Weakness of
Strongmen. Retrieved 5 20, 2020, from The Atlantic: https://www.
theatlantic.com/international/archive/2020/05/new-zealand-
germany-women-leadership-strongmen-coronavirus/611161/
Luce, S. (2020). The Coronavirus Crisis Exposes How Fragile Capitalism
Already Was. Retrieved 5 20, 2020, from Labor Notes: https://
www.labornotes.org/2020/04/coronavirus-crisis-exposes-how-
fragile-capitalism-already-was
MacPhee, J., & Reuland, E. (2007). Introduction: Toward Anarchist
Art Theories. In J. MacPhee, & E. Reuland (Eds.), Realizing
the Impossible: Art Against Authority. Oakland: AK Press.
Mason, P. (2020). Will coronavirus signal the end of capitalism? Retrieved
5 20, 2020, from Al Jazeera: https://www.aljazeera.com/indepth/
opinion/coronavirus-signal-capitalism-200330092216678.html
Mas’udi, W., & Winanti, P. S. (2020). Covid-19: Dari Krisis Kesehatan
ke Krisis Tata Kelola. In W. Mas’udi, & P. S. Winanti (Eds.),
Tata Kelola Penanganan Covid-19 di Indonesia: Kajian Awal.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Merrifield, A. (2002). Metromarxism: A Marxist Tale of the City. New
York: Routledge.
Middleton, R. (1990). Studying Popular Music. Buckingham: Open
University Press.
Mishra, S. S. (2020). Do Street-Level Bureaucrats Exhibit
Transformational Leadership for Influencing Sound
Governance and Citizens’ Satisfaction? International Journal of
Public Administration .
378
Monks, P. (2020). Here’s how lockdowns have improved air quality
around the world. Retrieved 5 20, 2020, from World Economic
Forum: https://www.weforum.org/agenda/2020/04/coronavirus-
lockdowns-air-pollution
Montratama, I., Sinaga, O., & Ramelan, P. (2018). Terorisme Kanan
Indonesia: Dinamika dan Penanggulangannya. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Nealon, J. T. (1998). Alterity Politics: Ethics and Performative Subjectivity.
Durham: Duke University Press.
North, A. (2020). Are women leaders better at fighting coronavirus?
It’s complicated. Retrieved 5 25, 2020, from Vox: https://www.
vox.com/2020/5/21/21263766/coronavirus-women-leaders-
germany-new-zealand-taiwan-merkel
Nygren, K. G., & Olofsson, A. (2020). Managing the Covid-19
pandemic through individual responsibility: the consequences
of a world risk society and enhanced ethopolitics. Journal of
Risk Research .
Orjollet, S. (2020). Humans to blame for spread of coronavirus and
other ‘zoonosis’. Retrieved 5 19, 2020, from The Jakarta Post:
https://www.thejakartapost.com/life/2020/04/21/humans-to-
blame-for-spread-of-coronavirus-and-other-zoonosis-.html
Owen, G. (2011). After the Flood: Disaster Capitalism and the Symbolic
Restructuring of Intellectual Space. Culture and Organization
, 17 (2).
Peckham, R. (2020). Covid-19 and the Anti-Lessons of History. The
Lancet , 395.
Persaud, R. (2020). Why women make better crisis leaders. Retrieved 5
20, 2020, from The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/
academia/2020/05/16/why-women-make-better-crisis-leaders.
html
Pilliang, Y. A. (2020). Virus De-Globalisasi. Retrieved 4 1, 2020, from
Kompas: https://kompas.id/baca/opini/2020/03/30/virus-de-glo-
379
balisasi/?_t=eg7cqZjj3bLYMa8Q6monJFWqXShIBLmqw-
ZM2BnnF97RgeRbARIDZEieob4XSb3H5?_t=ytb5npdaC-
GrOcUZpwXqWhljSifImnlIl1beGVdCQJDa65O1WYjQJZgG-
TOiyz4a2?_t=Tn6VyLn2oXGMrwwU0i8iW8lAdB4zWrzJZ-
JusbPhMuIzaO83wGcAH69A
Sadati, A. K., Lankarani, M. H., & Lankarani, K. B. (2020). Risk Society,
Global Vulnerability and Fragile Resilience; Sociological View
on the Coronavirus Outbreak. Shiraz E Medical Journal.
Salim, N. (2019). Prekaritas Pekerja Migran Jadi Celah Masuk
Radikalisme. Retrieved 5 20, 2020, from ABC News: https://
www.abc.net.au/indonesian/2019-11-12/paparan-radikalisme-
terhadap-kelas-prekariat/11697720
Schwirtz, M., & Cook, L. R. (2020). These N.Y.C. Neighborhoods Have
the Highest Rates of Virus Deaths. Retrieved 5 18, 2020, from
The New York Times: https://www.nytimes.com/2020/05/18/
nyregion/coronavirus-deaths-nyc.html
Shiva, V. (2020). Ecological Reflections on the Coronavirus. Retrieved
5 19, 2020, from Medium: https://medium.com/post-growth-
institute/ecological-reflections-on-the-coronavirus-93d50bbfe9db
Shiva, V. (2006). Staying Alive: Women, Ecology, and Development. In
N. Haenn, & R. Wilk (Eds.), The Environment in Anthropology:
A Reader in Ecology, Culture, and Sustainable Living. New York:
New York University Press.
Sloman, P. (2019). The Idea of a Guaranteed Income and the Politics of
Redistribution in Modern Britain. Oxford: Oxford University
Press.
Sohn, D., Jang, H.-J., & Jung, T. (2015). Understanding the Philosophy
of the Cittaslow slowcity Phenomenon. Cham, Switzerland:
Springer.
Solis, M. (2020). Coronavirus Is the Perfect Disaster for ‘Disaster
Capitalism’. Retrieved 5 18, 2020, from VICE: https://www.
vice.com/en_us/article/5dmqyk/naomi-klein-interview-on-

380
coronavirus-and-disaster-capitalism-shock-doctrine
Song, J. (2014). Living on Your Own: Single Women, Rental Housing, and
Post-Revolutionary Affect in Contemporary South Korea. Albany:
State University of New York Press.
Suryajaya, M. (2020). Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona
Atau Cerita tentang Dua Virus. Retrieved 4 1, 2020, from
Martin Suryajaya.com: https://www.martinsuryajaya.com/post/
membayangkan-ekonomi-dunia-setelah-korona
Tang, K.-L. (2017). Encountering Development in the Age of Global
Capitalism: A Case Study. Singapore: Springer.
Taylor, I., Walton, P., & Young, J. (2013). The New Criminology: For a
Social Theory of Deviance. Abingdon: Routledge.
Timmers, B. (2017). Give a man a fish: reflections on the new politics
of distribution, by James Ferguson. Canadian Journal of
Development Studies .
Vidal, J. (2020). Destroyed Habitat Creates the Perfect Conditions for
Coronavirus to Emerge. Retrieved 5 19, 2020, from Scientific
American: https://www.scientificamerican.com/article/destroyed-
habitat-creates-the-perfect-conditions-for-coronavirus-to-
emerge/
Whelan, E. (2020). No, female leaders are not better at fighting Covid-19.
Retrieved 5 20, 2020, from Spiked: https://www.spiked-online.
com/2020/04/20/no-female-leaders-are-not-better-at-fighting-
covid-19/
Wiehe, E. (2019). Rethinking African Educational Development. In A.
S. Canestrari, & B. A. Marlowe (Eds.), The Wiley International
Handbook of Educational Foundations. River Street, Hoboken:
Wiley & Sons, Inc.

381
Wittenberg-Cox, A. (2020). What Do Countries With The Best
Coronavirus Responses Have In Common? Women Leaders.
Retrieved 5 20, 2020, from Forbes: https://www.forbes.com/
sites/avivahwittenbergcox/2020/04/13/what-do-countries-
with-the-best-coronavirus-reponses-have-in-common-women-
leaders/#5bd316b23dec
Wright, C. (2020). Local Government Fighting Covid-19. The Round
Table .

382

Anda mungkin juga menyukai