DIABETES MELLITUS
DISUSUN OLEH :
P07220218016
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala
yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai
normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin
baik secara absolut maupun relatif (RISKESDAS, 2013).
2. Klasifikasi Appendisitis
1) Diabetes tipe 1 (diabetes tergantung insulin)
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi karena kerusakan sel β
(beta) (WHO, 2014). Canadian Diabetes Association (CDA tahun 2013) juga
menambahkan bahwa rusaknya sel β pankreas karena proses autoimun. Diabetes tipe 1
rentan terhadap ketoasidosis, memiliki insidensi lebih sedikit dibandingkan diabetes tipe
2.
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014). Seringkali diabetes tipe
2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah komplikasi muncul sehingga
tinggi insidensinya sekitar 90% dari penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar
merupakan akibat dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan berat badan dan
kurangnya aktivitas fisik (WHO, 2014).
Diabetes yang tergantung pada insulin diandai dengan penghancuran sel-sel beta
pankreas yang disebabkan oleh :
a Faktor genetik :
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe
I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe
antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses
imun lainnya.
b Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pankreas.
a Usia
c Riwayat keluarga.
Keturunan adalah satu faktor yang berperan dalam diabetes mellitus, bila
kedua orang tua menderita penyakit ini, maka semua anaknya juga menderita
penyakit yang sama.
4. Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat
melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM dikarenakan kadar gula
dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan
berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih
sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa
(PERKENI, 2011).
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa
oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan (Subekti,
2009).
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena
glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup
tinggi (PERKENI, 2011).
Menurut (Corwin, EJ. 2009), Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat
ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak
terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial
(sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul
dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin,
ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi
insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan
berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat
menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam
keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari asam-asam amino dan substansi
lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan
lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan
lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk
samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan
asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi,
nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma
bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi
serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering
merupakan komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan
sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun
demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK). Diabetes tipe II
paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas.
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan
Gambar 5. WOC Diabetes Mellitus
6. Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah
Pemeriksaan glukosa darah
No Pemeriksaan Normal
Keterangan :
d Pemberian obat-obatan
Pemantauan gula darah harus dilakukan secara rutin ,bertujuan untuk mengevaluasi
pemberian obat pada diabetes. Jika dengan melakukan lima pilar diatas mencapai
target,tidak akan terjadi komplikasi.
b) Tujuan
Mencegah infeksi
Membantu penyembuhan luka
c) Peralatan
Bak Instrumen yang berisi
o Pinset Anatomi
o Pinset Chirurgis
o Gunting Debridemand
o Kasa Steril
o Kom: 3 buah
Peralatan lain terdiri dari:
o Sarung tangan
o Gunting Plester
o Plester atau perekat
o Alkohol 70%/ wash bensin
o Desinfektant
o NaCl 0,9%
o Bengkok: 2 buah,1 buah berisi larutan desinfektan
o perban
o Obat luka sesuai kebutuhan
d) Prosedur Pelaksanaan
Tahap pra interaksi
o Melakukan Verifikasi program terapi
o Mencuci tangan
o Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar
Tahap orientasi
o Memberikan salam dan menyapa nama pasien
o Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien
o Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan.
Tahap kerja
o Menjaga Privacy
o Mengatur posisi pasien sehingga luka dapat terlihat jelas
o Membuka peralatan
o Memakai sarung tangan
o Membasahi plaster dengan alkohol/wash bensin dan buka dengan
menggunakan pinset
o Membuka balutan lapis terluar
o Membersihkan sekitar luka dan bekas plester
o Membuka balutan lapis dalam
o Menekan tepi luka (sepanjang luka) untuk mengeluarkan pus
o Melakukan debridement
o Membersihkan luka dengan menggunakan cairan NaCl
o Melakukan kompres desinfektant dan tutup dengan kassa
o Memasang plester atau verband
o Merapikan pasien
Tahap Terminasi
o Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan
o Berpamitan dengan klien
o Membereskan alat-alat
o Mencuci tangan
o Mencatat kegiatan dalam lembar/ catatan keperawatan
g Melakukan observasi tingkat kesadaran dan tanda tanda vital
h Menjaga intake cairan elektrolit dan nutrisi jangan sampai terjadi hiperhidrasi
i Mengelola pemberian obat sesuai program
2) Penatalaksanaan Medis
a Terapi dengan Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda dengan
pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari monoterapi untuk terapi
kombinasi yang digunakan dalam mempertahankan kontrol glikemik. Apabila
terapi kombinasi oral gagal dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti
menjadi insulin setiap harinya. Meskipun aturan
pengobatan insulin pada pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien
dewasa, prevalensi lebih tinggi dari faktor-faktor yang meningkatkan risiko
hipoglikemia yang dapat menjadi masalah bagi penderita diabetes pasien lanjut
usia. Alat yang digunakan untuk menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan
menggunakan jarum suntik insulin premixed atau predrawn yang dapat digunakan
dalam terapi insulin. 16 Lama kerja insulin beragam antar individu sehingga
diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Oleh karena itu, jenis insulin dan
frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes
melitus memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian ditambahkan
insulin kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Namun, karena
tidak mudah bagi pasien untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia campuran
tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang ,Idealnya insulin
digunakan sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali
untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan
setelah makan. Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan
sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan
fisiologis.
Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD generasi kedua
yaitu glipizid dan gliburid sebab resorbsi lebih cepat, karena adanya non ionic-
binding dengan albumin sehingga resiko interaksi obat berkurang demikian
juga resiko hiponatremi dan hipoglikemia
lebih rendah. Dosis dimulai dengan dosis rendah. Glipizid lebih dianjurkan
karena metabolitnya tidak aktif sedangkan 18 metabolit gliburid bersifat
aktif.Glipizide dan gliklazid memiliki sistem kerja metabolit yang lebih pendek
atau metabolit tidak aktif yang lebih sesuai digunakan pada pasien diabetes
geriatri. Generasi terbaru sulfoniluera ini selain merangsang pelepasan insulin
dari fungsi sel beta pankreas juga memiliki tambahan efek ekstrapankreatik.
d) Thiazolidinediones
memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik dan dapat meningkatkan efek
insulin dengan mengaktifkan PPAR alpha reseptor. Rosiglitazone telah terbukti
aman dan efektif untuk pasien lanjut usia dan tidak menyebabkan
hipoglekimia. Namun, harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung.
Thiazolidinediones adalah obat yang relatif .
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tatalaksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren pada kaki
diabetik, sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap diri dan
kecendurangan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama,lebih dari 6 juta dari penderita DM tidak menyadari akan terjadinya
resiko kaki diabetik bahkan mereka takut akan terjadinya amputasi (Debra
Clair, Jounal Februari 201)
Akibat produksi insulin yang tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka
kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan
sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan
menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengarui status kesehatan
penderita. Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek , mual
muntah.
3) Pola eliminasi
Kelemahan, susah berjalan dan bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur,tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan sampai
terjadi koma. Adanya luka gangren dan kelemahanotot otot pada tungkai
bawah menyebabkan penderita tidak mampu melakukan aktivitas sehari hari
secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
Istirahat tidak efektif adanya poliuri,nyeri pada kaki yang luka,sehingga klien
mengalami kesulitan tidur
6) Kongnitif persepsi
Pasien dengan gangren cendrung mengalami neuropati/ mati rasa pada luka
sehingga tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami penurunan,
gangguan penglihatan.
8) Peran hubungan
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu dan
menarik diri dari pergaulan.
9) Seksualitas
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka
pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengarui pola ibadah penderita.
g. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah
Pemeriksaan glukosa darah
No Pemeriksaan Normal
3) Intervensi
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah (D.0027) b/d Disfungsi Pankreas, Resistensi
insulin, Gangguan toleransi glukosa darah,
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam, maka status kestabilan
kadar glukosa darah pasien meningkat. (L.05022)
Kriteria hasil :
Pusing pasien menurun
Lelah/lesu pasien menurun
Rasa haus pasien menurun
Kadar glukosa dalam darah pasien membaik (GDS : 70 – 130 mg.dL)
Kadar glukosa dalam urine (0 – 15 mg/dL)
Jumlah urin pasien membaik (400 – 2000 mL/hari)
Intervensi :
1.1 Manajemen Hiperglikemia (I.03115)
Observasi:
o Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
o Identifikasi situsai yang menyebabka kebutuhan insulin meningkat
o Monitor kadar glukosa darah, jika perlu
o Monitor tanda dan gejala hiperglikemia (mis. Poliuria, polidipsia, polifagia)
o Monitor cairan intake dan output
Terapeutik :
o Berikan asupan oral adekuat
o Konsultasi dengan medis jika tanda dan gejala hiperglikemia tetap ada atau
memburuk
o Fasilitas ambulansi jika ada hipotensi ortostatik
Edukasi :
o Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara mandiri
o Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga
o Ajarkan indikasi pentingan pengujian keton urin, jika perlu
o Ajarkan pengelolaan diabetes (mis, pengguanaan insulin, obat oral, monitor
asupan cairan dll)
Kolaborasi :
o Kolaborasi pemberian insulin, jika perlu
o Kolaborasi pemberian cairan IV, jika perlu
o Kolaborasi pemberian kalium, jika perlu
7. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) b/d Hiperglikemia, peningkatan tekanan darah
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 12 jam, maka status perfusi perifer
pasien meningkat. (L.02011)
Kriteria Hasil:
Observasi:
o Periksa sirkulasi perifer
o Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
o Monitor panas, kemerahan, nyeru atau benkak ekstermitas
Terapeutik :
o Hindari pemasangan infus, pengambilan darah dan pengukuran tekanan
pada daerah keterbatasan perfusi
Edukasi:
o Anjurkan berolahraga rutin
o Anjurkan menggunakan obat (Antikoagulan)
10. Resiko infeksi (D.0142) b/d penyakit kronis (diabetes mellitus), ketidakadekuatan
pertahanan tubuh primer (kerusakan integritas kulit)
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam, maka tingkat infeksi pasien
menurun. (L.14137)
Kriteria hasil :
Demam pasien menurun
Kemerahan pasien menurun
Nyeri pasien menurun
Bengkak pasien menurun
Kadar sel darah putih pasien membaik (5-10 x 103/µl)
Kebersihan pasien meningkat
Intervensi :
10.1 Pencegahan infeksi (I.14539)
Observasi:
o Monitor tanda dan gejala infeksilokal dan sistemik
Terapeutik:
o Batasi jumblah pengunjung
o Berikan perawatan kulit
o Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
o Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi:
o Jelaskan tanda dan gejala infeksi
o Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
o Ajarkan cara memeriksa kondisi luka dan luka operasi
o Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi dan cairan
Kolaborasi:
o Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu