Disusun oleh :
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
seseorang. Dalam Al-Quran Allas Swt menjelaskan bahwa jika ajal seseorang
sudah datang maka, tidak ada seorang pun yang dapat mengulurnya.
petunjuk dan bimbingan yang terbaik dan berbeda dengan petunjuk umat-umat
yang lainnya, meliputi perlakuan atau aturan yang dianut umat kebanyakan.
hal yang memperhatikan sang mayat, yang kelak bermanfaat baginya baik ketika
berada di dalam kubur maupun saat tiba hari Kiamat. Termasuk memberi tuntunan,
mengurus jenazah ini merupakan potret aturan yang paling sempurna bagi sang
untuk bertemu dengan Rabbnya dengan kondisi yang paling baik lagi afdhal. Bukan
hanya itu, keluarga dan orang-orang terdekat sang mayat pun disiapkan sebagai
barisan orang-orang yang memuji Allah Swt dan memintakan ampunan serta
Salah satu dari bentuk mu‟āmalah adalah ta‟ziah. Ta‟ziah berasal dari kata
al-azza yang berarti sabar. Makna ta‟ziah yang sesungguhnya adalah untuk
apapun asal dapat menghibur dan meringankan kesedihan keluarga orang yang
meninggal dunia.
pula bagi anggota masyarakat untuk membantu keluarga yang dapat musibah
terjadi dimasyarakat terkait tradisi memberikan upah kepada para pelayat yang
hadir untuk berta‟ziah dijadikan sebagai amal jariah yang pahalanya ditujukan
merupakan bid‟ah akan tetapi tidak diharamkan (makruh). Tradisi tersebut bisa
menjadi haram apabila bertujuan untuk meratapi kesedihan secara berlebihan, atau
Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Dalam struktur organisasinya, NU memiliki suatu Lembaga Bahtsul Masail (LBM), yang
berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama. Di sinilah posisi penting dari LBM, yakni
untuk menjawab berbagai permasalahan keagamaan. Munculnya lembaga ini karena adanya
kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam paktis („amali) bagi kehidupan sehari-hari yang
mendorong para Ulama dan Intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul
masail.
Menanggapi setiap pelaksanaan tradisi upacara kematian, dalam Ahkam Al- Fuqaha hasil
Bahtsul Masail NU meyatakan bahwa setiap tradisi kematian yang dilaksanakan dengan tujuan
hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak
melaksanakan akan dibenci bahkan akan dianggap beda. Maka tradisi tersebut termasuk bid‟ah
yang tercela tetapi tidak sampai haram (makruh). Sebuah adat tradisi yang dikatakan baik harus
diteruskan selama tidak bertentangan dengan syari’at. Banyaknya tradisi yang masih dilakukan
dalam suatu masyarakat di desa memang perlu mendapatkan perhatian yang lebih khusus lagi,
agar pelaksanaan dari tradisi tersebut tidak menyimpang dari syari’at.
Tradisi ini dianggap sebagai sedekah yang dilakukan oleh keluarga si mayit yang pahala
dari sedekah tersebut ditujukan kepada mayit. Beliau pula berpendapat sedekah yang diniatkan
untuk mayit dapat bermanfaat untuknya dan pahala dari sedekah tersebut juga akan sampai.
Karena orang yang sudah meninggal itu seperti sedang tenggelam di lautan, mereka
mengharapkan pertolongan kiriman doa dan pahala yang dikirimkan oleh keluarga mereka yang
masih hidup.
segala ibadah baik wajib maupun sunah yang diperuntukan untuk mayit, maka hal tersebut
sampai kepadanya. Dalam kitab Syarah Al-Mukhtar menurut madzhab ahli sunnah wal jamaah,
apabila seseorang menjadikan pahala kebaikan baik sholatnya atau pun yang lainnya untuk si
mayit maka amalan- amalan tersebut akan sampai kepada mayit.
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikutip dari pendapat Ibnu Qayyim Al-Jawziyah
yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah
memerdekakan budak, sedekah, doa, dan haji.
Tradisi NU dalam memberi jamuan makan atau memberikan upah kepada para pelayat
yang datang tidaklah sesuatu yang wajib. Dalam Ahkam Al-Fuqaha hasil Bahtsul Masa‟il NU
menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh,
sedangkan hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu. Orang yang tidak
mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan atau upah
kepada pelayat, apalagi sampai berhutang atau mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang
lain, menambahkan bahwa perlu ada klarifikasi pada masyarakat, bahwa dengan adanya tradisi
tersebut bukan menjadikan tradisi itu merupakan suatu ibadah yang wajib dilaksanakan, di sini
perlu ada penekanan bahwa itu hanyalah sebuah tradisi, yang tidak harus dilaksanakan oleh
keluarga yang berkabung. Hakikatnya kewajiban masyarakat adalah membantu meringankan
beban kesedihan keluarga yang ditinggalkan, memberi bantuan dalam apapun bentuknya.
Artinya: “Memberi kabar kepada kami Amr bin Muhammad bin Abdillah al- abid,
memberi kabar kepada kami Abu Bakar al-Ismail Abu Ya‟la, berhadits kepada kami
Muhammad bin Shabah al-Dulabi, berhadits kepada kami Ibrahim bin Sa‟ad, berhadits
kepada kami ayahku dari Qasim bin Muhammad dari sayyidah Aisyah r.a beliau berkata:
Rasulullah Saw bersabda: barang siapa yang melakukan suatu perbuatan (agama) yang
tidak ada perintah di dalamnya, paka perbuatan itu tertolak.’’ (HR. Baihaqi)
2. Bahwa manusia ketika ia telah meninggal hanya akan mendapatkan pahala atas perbuatan
yang mereka kerjakan sendiri. Allah Swt berfirman:
3. Ruh manusia, apabila terpisah dari jasad akan kembali kepada Allah SAW. Apakan ruh
dapat menerima kiriman atau tidak, sebenarnya tiada yang mengetahui urusan ruh selain
Allah Swt.
4. Semua amal manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dari siksa neraka dan tidak pula
dapat memasukkannya ke dalam surga selain karena rahmat Allah SWT. Karena itu yang
ditunggu orang yang sudah meninggal adalah rahmat, ampunan, dan ridha Allah SWT.
5. Apabila kita ingin menyampaikan kiriman pahala amal orang yang sudah meninggal,
perlu kita bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah kita memiliki bukti bahwa
amal kita pasti diterima Allah, lalu kita kirimkan kepada orang lain, sementara para nabi
dan para shalihin apabila telah melakukan amal kebaikan, mereka tidak merasa sudah
diterima.
Pada hakikatnya orang yang sudah meninggal hanya membutuhkan doa, bukan
kiriman pahala amal perbuatan yang diniatkan untuknya, si mayit masuk syurga atau
tidak tergantung amal perbuatannya sewaktu masih hidup, demikian yang dikatakan
Endang Herdiana. Beliau pun menambahkan bahwa tradisi tersebut hanyalah suatu
kebiasaan yang apabila tidak dilaksanakan akan dibicarakan oleh tetangga atau bahkan
dianggap berbeda aliran. Ini merupakan pemikiran yang salah dimasyarakat, dengan
tradisi semacam ini mereka beranggapan bahwa tradisi tersebut wajib dilakukan, tidak
menjadi masalah apabila si mayit memiliki keluarga yang mampu untuk melakukan
tradisi ini, tetapi bagi keluarga mayit yang masih hidup apabila mereka memiliki
ekonomi yang tidak mampu, tradisi tersebut hanya akan menambah beban duka yang
dirasakan keluarga mayit.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Pandangan Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat
http://www.muhammadiyah.or.i
http://www.fatwatarjih.com/2011/12/upacara-tahlilan.html
Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi
Al-Kubra, (Makkah Al-Mukarramah: Maktabah Daar al-Bas, 1994), Juz. 10,
hal. 119.