Anda di halaman 1dari 7

1.

Best Friend

Aku Ashton, siswa SMP Indonesia yang saat ini duduk di


bangku kelas 8G adalah Ashton Halmahendra, aku memiliki
seorang sahabat, yaitu Dedy. Dedy adalah sahabatku sejak
kecil, ia memakai kacamata, rambutnya hitam, dan bulu
matanya lentik. Setiap hari aku selalu bersamanya. Kami selalu
bersama, aku dan Dedy menyukai buku, kami mengoleksi buku
berbagai genre, tak heran jika di kamarku dan kamar Dedy
banyak buku yang tersusun mulai di rak buku sampai di kolong
tempat tidurku karena tempat rak buku sudah tidak muat lagi
untuk menyimpan buku.
Suatu hari aku sedang membaca buku dari Dedy, aku sengaja
meminjamnya karena aku sangat tertarik dengan buku
miliknya, aku membaca di kursi di dalam kamar, tiba-tiba kak
Irvan masuk ke kamarku.
“Tok.. tok.. tok, Ashton!” Suara ketukan pintu dan suara Irvan,
kakakku memanggilku dengan menggedor-gedor pintu dengan
sangat keras seperti gempa bumi di depan pintu kamarku,
sedangkan pintuku terkunci rapat. Aku kaget sampai beberapa
buku jatuh dari rak buku, karena rak buku berada di dekat
pintu itu.
“Apaan si, mengganggu saja.” Dengan kesal aku membukakan
pintu di kamarku dan memandang Kak Irvan dengan sedikit
malas memandang rambutnya yang dijambulkan ke atas.
“Disuruh turun oleh ayah,” jawab Kak Irvan singkat sambil
menjewer telingaku dan seketika telingaku berwarna merah,
aku pun teriak dan menendang kakinya.
“Aaduh sakit, aku tidak percaya! Gara-gara kakak buku-buku
pada jatuh semua, cepat beresin,” suruhku ke Kak Irvan sambil
mengacungkan buku-buku yang jatuh di lantai dan menapuk
pipinya dan menjabak rambutnya yang jambul.
“Kuadukan ke ayah kalau kamu tidak mau turun ke bawah.”
Sambil tersenyum kakak mengancamku dan merapikan
rambutnya yang tadi sempat kujambak menjadi berantakan.

1
“Seharusnya Kak Irvan yang kuadukan ke ayah karena tidak
mau bertanggung jawab mengemasi buku yang jatuh karena
gempa melanda kamarku, gempa akibat kakak, huh,” ucapku
sambil melotot di depan wajah Kak Irvan. Aku mengancam dan
menutup pintu kamarku rapat-rapat hingga menguncinya, aku
menduga pasti Kak Irvan yang menyebalkan itu akan
mengetok pintu dan memberesi buku-buku yang jatuh. Aku
pun duduk di kursi dan kembali membaca buku.
“Ton, jangan adukan ke ayah,” teriak Kak Irvan sambil
menendang-nendang pintu dan buku-buku jatuh semua. Aku
mulai kesal dan membukakan pintu kembali.
“Huh, apaan sih? Brisik, tuh liat bukunya jatuh lagi ‘kan.” Aku
menatapnya kesal dan menunjuk beberapa buku yang jatuh
lagi.
“Hehehe, sini kuberesin, adikku yang paling ganteng sedunia.”
Kak Irvan langsung menerobos kamarku begitu saja, ia
langsung masuk dan memberesi buku-buku yang ada di lantai
“Kak Irvan yang pintar.” Aku berdiri di depan pintu dan melihat
kak Irvan sedang memberesi buku.
Setelah mengemasi buku, Kak Irvan mengajakku turun ke
bawah untuk menikmati makan malam di ruang makan, di
ruang makan sudah banyak sekali makanan, dan ada ayah dan
ibu yang lama menungguku dan Kak Irvan,
“Kok lama?” tanya ayah sambil menoleh ke belakang dan
memandangku dan kak Irvan.
“Iya nih yah, gara-gara…” Kak Irvan menutup mulutku dengan
tangannya, sedangkan aku sudah sangat lapar, kugigit tangan
kak Irvan yang menutupi mulutku.
“Gara-gara apa?” tanya ibu.
“Gara-gara mengajarkan Ashton PR dulu yah, ya kan Ton.” Kak
Irvan menjawab dengan tersenyum dan menahan sakit karena
tanganya kugigit.
Aku duduk di samping kak Irvan, aku ingin menjahilinya
dengan menyuruh mengambilkan makanan di meja makan.
“Kak Irvan yang baik hati dan tidak sombong, tolong ambilkan

2
Ashton nasi dong,” pintaku sambil tersenyum dan melirik ke
Kak Irvan.
“Ambil sendiri,” bentaknya sambil makan krupuk, aku pun
menginjak kakinya agar ia mau mengambilkan dia pun mau
mengambilkan nasi.
Setelah beberapa menit makan di ruang makan dengan
keluarga, ayah membicarakan sesuatu, karena sejak kematian
kakek dan meninggalkan nenek sendirian ayah memutuskan
untuk sekeluarga pindah ke Magelang minggu depan untuk
menemani nenek di sana, aku kaget mendengarkan cerita
ayah, aku hanya bisa pasrah tidak dapat usul atau hal lain
apapun karena selama ini aku selalu menuruti perkataan ayah,
tidak pernah membantahnya. Setelah makan aku langsung ke
kamar memikirkan hal itu.
Pagi harinya aku bangun pukul 5.00 dan langsung masuk
kamar mandi mencuci muka, sikat gigi dan mandi, sungguh
segar pagi-pagi mandi. Setelah memakai seragam aku
langsung turun dan menikmati sarapan dengan roti bakar selai
nanas dicampur selai cokelat kesukaanku, sedangkan Irvan,
kakakku, lebih suka roti biasa dengan sedikit mentega dan
juga secangkir susu. Setelah itu pergi ke sekolah.
Sampai di kelas, di sana ada Evan dan teman-temanya sedang
mengobrol sesuatu, aku tak tahu sesuatu itu, mereka hanya
tertawa-tertawa tak jelas, aku meliriknya.
“Kenapa kau?” tanya Evan yang duduk di sebelah Noval sambil
melotot matanya menatapku.
“Emang aku kenapa?” Aku bertanya pada mereka berdua,
memotong Noval dan temannya bercanda.
“Dasar gila!” Dengan melirik ke aku dan suara yang sedikit
serak Evan mengejekku, mungkin aku agak aneh, tapi
entahlah, aku tak peduli sedikit pun dengannya.
“Whatever,” jawabku pelan agar ia tak mendengarkanya.
Aku benci dengan kelas ini, kelas yang sungguh menyebalkan,
aku ingin masuk ke 8F, di sana sangat seru siswanya, di 8G ini
aku sangat sendiri, seolah-olah aku adalah seorang teroris yang

3
membawa bom kemana-mana dan mereka menjauh agar mereka
tak terkena letusan bom tersebut.
“Sudah dari tadi Ton?” Seseorang di depanku, Aku menatapnya dari
ujung kaki hingga ujung kepala dan ternyata itu Dedy yang selalau
bergaya ala artis Hollywood.
“Baru aja Ded,” jawabku singkat sambil tersenyum.
Aku menceritakan jika aku ingin pindah rumah ke Magelang, rumah
nenekku dan sekolah di sana, Dedy dengan wajah cemberut karena
harus pisah denganku, mungkin saat liburan aku akan main ke
Dedy.
Setelah beberapa menit mengobrol dengan Dedy, teman yang
sebangku denganku. Tak lama kemudian, ada Shafira dan teman-
temanya lewat di depan mejaku dan bersenyum-senyum sendiri,
Make-up nya yang tebal membuat wajahnya sangat pucat, seperti
hantu yang nyasar sekolah, mungkin mereka ada tujuan tertentu.
Dia mulai mendekatiku.
“Ashton, kau sudah mengerjakan tugas bahasa Inggris halaman
enam puluh tujuh?” tanyanya sambil membawa buku dan
memegang pulpen seakan ingin mencatat sesuatu.
“Ya? Sudah, kenapa?” jawabku singkat dan memandangnya tajam,
aku sudah menduga ia akan mencontek jawabanku.
“Lihat dong, gak usah pelit,” jawabnya memelas. Aku membuka tas
dan mengeluarkan buku bahasa Inggris.
“Nih,” jawabku singkat sambil memberikan bukuku dan tanpa ragu-
ragu, Shafira mengambil.
“Ashton ganteng deh,” puji Shafira sambil tersenyum, dengan
terpaksa aku membalas senyum.
Beberapa menit kemudian bel masuk kelas berbunyi, aku menoleh
ke kanan dan menatap ke Shafira, Shafira duduk di bangku paling
belakang pojok, dia sedang membicarakan tentang laki-laki aku tau
karena aku dengar ia bicara, aku menghampirinya, kujambak
rambut pirangnya yang panjang itu.
“Ada apa sih Ton, mau ngajak berantem? Ayo di mana?” tanya
Shafira dengan nada sebal, dan berdiri dan mengancam di
asriel sadar bahwa dia memang benar-benar pernah membuatnya
begitu patah
“karma memang tak semanis kurma sayang”
End

4
Senja Hari Ini

Pagi Itu, terlihat seorang gadis cantik berambut panjang


sebahu tengah bersiap siap untuk berangkat sekolah. Dia
adalah Alfi, pelajar kelas 2 SMA yang kini berusia 16 tahun. Dia
adalah siswa yang rajin juga pintar sehingga tak heran jika jam
menunjukan pukul 06.00 tetapi ia sudah siap untuk pergi ke
sekolah. Karena semuanya sudah siap, ia pun memutuskan
untuk berangkat dan berpamitan kepada kedua orangtuanya.
Alfi menjalani semua kegiatan di sekolah dengan lancar hingga
jam pelajaran terakhir selesai. Saat pulang ia tak langsung
pulang ke rumah, melainkan pergi ke sebuah taman. Dia
menikmati semilir angin di taman itu. Saat sedang menikmat
semilir angin dia dikejutkan dengan kedatangan seseorang.
“Dorrr…” ucap Desy sembari menepuk pundak Alfi.
“Desy, apaan sih, ngagetin aja deh,” ucap Alfi.
“Cie kaget, lagian kamu sih ke sini gak ngajak ngajak aku,”
ucap Desy.
“Aku ini lagi pengin sendiri, sekalian buat karya untuk mading,”
jelas Alfi.
“Oh, gitu ya,” ucap Desy mengerti.
Desy adalah sahabat Alfi sedari SD. Jadi, tak heran jika mereka
sangat dekat seperti saudara. Mereka berdua di taman itu
hingga senja datang. Mereka sudah biasa menikmati senja
berdua di taman itu. Saat mau pulang,
“Alfi, kamu kenapa?” Desy bertanya karena tiba tiba Alfi mau
terjatuh.
“Aku gak apa apa kok, cuma kecapean aja deh,” Jawab Alfi.
“Kamu yakin?” tanya Desy tak percaya.
“Aku yakin kok,” jawab Alfi meyakinkan.
“Oke,” ucap Desy percaya.
Semenjak hari itu, Alfi jadi sering pingsan di sekolah. Karena
khawatir, orangtua Alfi membawa Alfi ke rumah sakit.
“Dok, kenapa ya anak saya sering pingsan?” tanya mama Alfi
ke dokter yang memeriksa Alfi.

25
“Begini bu, anak ibu terkena penyakit kanker otak stadium
akhir. Mungkin dia sudah lama sering mengalami gejala gejala
kanker otak, tetapi dia tidak mau berbicara kepada bapak juga
ibu,” jawab dokter.
“Lalu gimana dok?” tanya papa Alfi.
“Kesempatan untuk sembuh memang kecil, tetapi kita tidak
boleh putus semangat. Anak ibu harus tetap menjalani
kemoterapi. Kita berdoa saja, semoga ada mukjizat sehingga
anak ibu bisa sembuh,” ucap dokter.
“Baik dok,” ucap mama papa Alfi.
Alfi yang tadi pingsan, terbangun dan mendengar semua
pembicaraan orangtuanya dengan dokter.
“Ma, pa, Alfi mau meninggal ya?” tanya Alfi.
“Gak sayang, kamu pasti sembuh. Kamu harus kemoterapi.
Mama papa gak mau kamu ngomong gitu,” ucap mama Alfi.
“Alfi gak mau kemoterapi ma, biarin Alfi meninggal ma,” ucap
Alfi sembari menangis.
“Gak sayang, mama sama papa gak mau kehilangan kamu.
Kamu itu anak mama papa satu satunya,” ucap mama Alfi ikut
menangis dan memeluk putri satu satunya itu.
“Ma, kalau mama sayang sama Alfi, turutin kata Alfi,” ucap Alfi.
Mama dan papa Alfi hanya mengangguk menuruti kemauan
anaknya.
Setiap hari Alfi hanya bisa diam di rumah dengan buku
bukunya. Dia hanya bisa menulis karangan karangan indah
yang ia bisa. Semakin hari juga, kondisi Alfi semakin menurun
sehingga tak memungkinkan lagi dia dirawat di rumah. Desy,
sang sahabat yang merindukan sosok seorang Alfi. Tetapi jika
ia menjenguk Alfi, dia tak kuasa melihat kondisi sahabatnya
itu.
Hari ini keadaan Alfi sedikit membaik namun ia harus tetap di
rumah sakit karena belum diizinkan pulang ke rumah. Alfi
mempunyai satu permintaan hari ini, dia ingin menikmati senja
bersama sahabatnya yaitu Desy. Desy pun menuruti kemauan
Alfi. Desy membawa Alfi ke tempat dimana biasanya mereka

26
menikmati senja. Karena masih lemas, Alfi harus
menggunakan kursi roda saat ke taman.
“Desy, makasih ya udah mau jadi sahabatku,” ucap Alfi.
“Gak usah makasih kali, aku juga seneng kok jadi sahabat
kamu,” ucap Desy.
Alfi hanya membalas kata Desy dengan senyuman.
“Desy, senja hari ini indah ya?” tanya Alfi.
“Iy Fi,” jawab Desy sembari tersenyum.
“Des, aku boleh peluk kamu gak?” tanya Alfi lagi.
“ya boleh dong,” jawab Desy.
Dalam pelukan Desy, Alfi berkata
“Makasih Desy, udah temenin aku menikmati senja hari ini.
Aku gak bakal lupain kamu Des. Kamu sahabatku,” ucap Alfi.
“Iya Fi, aku seneng banget kok menemani kamu hari ini,” ucap
Desy sembari menangis.
“Jangan nangis Des, aku gak mau kamu nangis karena aku,”
ucap Alfi.
Desy tak membalas perkataan Alfi, dia masih menangis dalam
pelukan sahabatnya itu.
“Desy, ini senja terindah dan juga senja terakhirku. Makasih
dan selamat tinggal sahabatku,” ucap Alfi sebelum tubuhnya
melemas dan akhirnya meninggal.
“Alfi, tolong jangan tinggalin aku. Alfi bangun. Aku gak mau
jalani hari tanpa kamu Fi. Alfi bangun,” ucap Desy menangis
sejadi jadinya sembari memeluk erat tubuh dingin sahabatnya
itu.
“Alfi, aku bangga punya sahabat kaya kamu. Aku beruntung
diberi sahabat seperti kamu. Aku juga bahagia bisa bersahabat
sama kamu Fi. Alfi, aku janji akan terus ingat kamu. Aku juga
gak akan pernah lupain senja hari ini, dimana senja hari ini
adalah senja juga hari terakhir aku bersamamu. Kamu sahabat
terbaikku Alfi,” ucap Desy di pelukan Alfi yang sudah tak
bernyawa lagi.

27

Anda mungkin juga menyukai