Anda di halaman 1dari 3

Menyoal Eksistensialisme: Søren Kierkegaard dalam

Pemaknaan Hidup

Nicholas Sinagahttp://antinomi.org

Dalam hidupnya individu pernah merasa dirinya sedang dilanda “krisis eksistensi”. Mempertanyakan
makna hidup yang selama ini ia jalani. Apakah hidup yang ia jalani sudah berada di jalan yang benar
ataukah malah sebaliknya. Tidak jarang dari kita seolah-olah lari dari situasi ini dengan larut dalam gosip,
pergi ke kafe, membaca komik, dan hal-hal keseharian lain. Bagi Martin Heidegger inilah yang disebut das
Man – cara berada individu yang tergerus arus massa tanpa keberanian mengambil sikap yang berbeda –
padahal di momen krisis itulah manusia memikirkan dirinya sebagai yang ada serta menjadi pribadi yang
otentik. Lantas apa itu manusia (baca: pengada) yang otentik? Pertanyaan inilah yang berusaha dijawab
oleh Kierkegaard lewat filsafat Eksistensialisme. Namun pertama-tama ada baiknya kita mengenal filsafat
Hegel karena sosok Hegel lah yang mempengaruhi cara pandang Kierkegaard dalam karya-karyanya.

Kritik terhadap Hegel


Phänomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh) Hegel dengan optimis yakin bahwa seluruh realitas
dapat dijelaskan secara rasional. Sebagaimana yang dijelaskan oleh T. Hidya Tjaya:

HEGEL INGIN MEMBANGUN SEBUAH SISTEM FILSAFAT YANG LENGKAP. DENGAN


FILSAFAT INI, IA BERMAKSUD MENCIPTAKAN KERANGKA KONSEPTUAL, SEHINGGA
MASA LALU DAN MASA DEPAN DAPAT DIPAHAMI SECARA FILOSOFIS. BAHKAN
PERASAAN, RASA CEMAS, DAN PENDERITAAN DAPAT DIPAHAMI LEWAT KERANGKA
FILSAFAT YANG DICITA-CITAKAN HEGEL. TUGAS UTAMA FILSAFATNYA ADALAH
MENJELASKAN STRUKTUR RASIONAL INTERNAL DAN TUJUAN PROSES PERJALANAN
TOTAL SEGALA SESUATU. HAL INI DIMUNGKINKAN OLEH ADANNYA KESADARAN
MANUSIA YANG MAMPU MENGENAL DAN MENYADARI DIRINYA SENDIRI DALAM
PERISTIWA-PERISTIWA SEJARAH, ATAU YANG DISEBUT ROH (SPIRIT-GEIST).  [1]

Cara pandang Hegel membuat Kierkegaard tertawa. Boleh jadi Hegel tampaknya sangat ambisius dalam
sistemnya. Dengan kerangka objektivitas (yang umum), ia yakin dapat menjawab segala pergolakan yang
muncul dalam hidup manusia. Hegel memandang bahwa realitas objektif ini suatu saat akan final (mutlak
dan absolut) lewat pengalaman sejarah atau yang disebutnya sebagai Roh.

Sudut pandang inilah yang ditentang oleh Kierkegaard. Realitas objektif tidak akan pernah final. Ia akan
terus mengada dan terus berproses. Kalau Rasio dapat membuat sistematis dan mengatur segala bentuk
kehidupan, maka cara hidup yang rasional sudah dapat ditemukan dalam sistem filsafat Hegel. Dengan
kata lain, orang tidak perlu memilih karena sudah ada “perintah rasional yang harus ditaati oleh setiap
individu. Pemuliaan Rasio dan Logika dalam filsafat Hegel pada akhirnya justru mengingkari dimensi
hakiki eksistensi manusia, yaitu kebebasan.[2]
Kierkegaard menganggap tidak semua hal dapat dijawab oleh kebenaran objektif. Sebagai contoh, seorang
pemimpin negara yang mesti menentukan untuk mengorbankan putra tunggalnya demi keselamatan
negara, atau seorang pemuda pergi berperang untuk membalas dendam saudaranya akibat terbunuh oleh
tentara musuh namun di satu sisi ia hidup bersama seorang ibu dan dialah satu-satunya penghiburan bagi
ibunya. Situasi-situasi seperti inilah yang tidak dapat dijawab oleh filsafat Hegel.[3] Berangkat dari
ketidakmampuan ini, subjektivitas memperoleh tempatnya.

Kepalsuan dan Kerumunan


Orang yang bermuka dua atau yang disebut Kierkegaard sebagai double life,  adalah individu yang tidak
otentik.[4] Hal ini muncul akibat dari ketidakselarasan antara kehidupan batin dan penampilan publik.
Ketidakselarasan ini dapat dikatakan sebagai kepalsuan. Menipu orang lain karena apa yang sebenarnya
terjadi ditutupi dan tidak terlihat bagi banyak orang. Sayangnya hal ini dilakukan oleh sebagian besar
manusia. Mereka menolak untuk menjadi dirinya sendiri dan beberapa dari mereka tidak sadar atas
ketidakotentikan kehidupan yang mereka jalani. Sama halnya ketika suami merasa muak atau sudah tidak
nyaman lagi hidup dengan istrinya namun ia tidak ingin hubungan pernikahan yang sudah mereka
perjuangkan pupus begitu saja. Akibatnya hubungan mereka penuh dengan kepalsuan. Politisi yang
mengampanyekan visi dan misinya yang dirasa sangat membela kepentingan rakyatnya dan memberikan
citra sebaik mungkin sampai-sampai elektabilitasnya muncul di papan teratas nyatanya hanya menebar
kepalsuan. Tidak jarang politisi yang terpilih membuat undang-undang yang hanya menguntungkan satu
pihak dan yang paling buruk melakukan tindakan korupsi. Inilah ketidakotentikan yang disebut
Kierkegaard.

Menjadi otentik bukanlah perkara mudah yang dapat dilakukan begitu saja. Apalagi ketika ia hidup dalam
kerumunan. Gagasan kerumunan sudah jelas bertolak belakang dengan diri sendiri atau pribadi. Apabila
melihat seorang caleg berkampanye di suatu daerah, tentu saja ia akan menggerakan massanya untuk
mendukung aktivitasnya.  Massa inilah yang disebut kerumunan. Individu-individu yang tergabung hingga
membentuk kelompok. Identitas individu ini melebur dalam kelompoknya hingga membentuk massa
dengan sifat anonimitasnya.[5]

Orang cenderung takut tidak diterima oleh kerumunannya (atau masyarakat), karena ia berpikir bahwa
dengan diterimanya dia dalam kelompoknya ia merasa hadir dan hidupnya bermakna (terpenuhi).
[6] Momen ketika dihadapi oleh situasi eksistensial orang tidak mau merenungi persoalannya secara
pribadi melainkan memilih untuk curhat kepada orang lain atau mengalihkan perhatiannya. Inilah yang
keliru. Bagaimanapun juga yang konkret adalah sang individu.

Untuk menjadi yang otentik bukan hanya masalah pilihan untuk menghindari kepalsuan dan keluar dari
kerumunan. Namun individu juga harus memiliki keteguhan hati. Memilih untuk menjadi otentik adalah
masalah yang serius. Hanya dengan hidup secara otentiklah kita bisa melalui pilihan-pilihan penting yang
menentukan hidup kita. Maka hidup yang kita jalani mesti dilakukan secara sungguh-sungguh. Kehidupan
yang kita jalani adalah perjuangan, kita adalah pejuang maka jangan hidup hanya untuk sekedar hidup aja
melainkan carilah makna hidup dalam momen eksistensial kita.

Menengok Subjektivitas
Ada yang menarik dari tulisan Donny Garhal Adian dalam ulasannya dalam Irigaray’s
Vaginasophia tentang subjektivitas:

SUBJEKTIVITAS DALAM KOSAKATA FILSAFAT BARAT SUNGGUH SEBUAH MANTRA


SUCI RASIONALITAS. PADAHAL, SAYA TERMASUK ORANG YANG PERCAYA BAHWA
SUBJEKTIVITAS TIDAK LAHIR DARI RASIONALITAS. SUBJEKTIVITAS ADALAH NAMA
LAIN DARI PENAKLUKAN. PENEGASAN DIRI DI HADAPAN OBJEK ADALAH SEBUAH
INVASI DIAM-DIAM. OBJEK DIBISUKAN DARI SEGALA TUTURAN PRIBADI TENTANG
DIRINYA. IA TIDAK DIMUSNAHKAN. HANYA DIBISUKAN. SEBAB ITULAH BUKTI
KEMENANGAN SEJATI SUBJEKTIVITAS DI HADAPAN YANG LIYAN. [7]

Donny Garhal Adian memberikan kesan mendalam tentang subjektivitas seolah-olah ia adalah Napoleon
tokoh liberator yang membebaskan bangsa Prancis dari kutukan sistem feodal. Lantas siapa sejatinya
subjektivitas?

Filsafat modern memang berporos pada kesadaran dan subjektivitas. Setelah kata termasyhur yang
digaungkan oleh Rene Descartes yakni, Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Kata cogito lebih
tepat dipahami sebagai “saya menyadari”. Oleh karenanya, pernyataan Cogito ergo sum harusnya
dimengerti sebagai “saya menyadari maka saya ada”. Kata “menyadari” sangat penting di sini karena
selanjutnya Descartes tiba pada kesimpulan bahwa “aku” sebagai “yang sadar” dan bahwa “yang sadar”
atau kesadaran itu adalah “aku” yang secara langsung mengenal diri sendiri. Ini yang disebut imanentisme
Descartes, yaitu bahwa “aku” secara langsung mengenal diriku sendiri. Descartes menyimpulkan bahwa
kesadaran adalah dimensi hakiki dari subjektivitas. [8] Disatu sisi, Kierkegaard agaknya memiliki
pandangan lain tentang subjektivitas, ia merumuskan, “aku memilih maka saya ada”. Orang sungguh
mengada tidak akan lari dari pilihan-pilihan yang harus dibuatnya, dan dari keputusan-keputusan yang
harus diambilnya. Hanya dengan memilih dan mengambil keputusan orang akan menjadi manusia yang
otentik. [9] Penekanan subjektivitas ini hanya masuk pada lingkup kebenaran moral dan religius.
Kebenaran ini menawarkan cara bagaimana sebaiknya manusia menyelami hidupnya. Sebagai contoh,
ketika individu di hadapi oleh situasi memutuskan pilihan dilematis, ia pasti terlebih dahulu termangu
dalam keraguan. Individu harus memilih satu pilihan dan menyingkirkan pilihan lain dan perasaan takut
kalau ternyata ia membuat kesalahan fatal. Situasi ini adalah penderitaan bagi kita tapi di sanalah kita
sungguh-sungguh mengada.

Keterlemparan manusia dalam dunia memang tragedi dan itu adalah keniscayaan, mengingat ia hanyalah
sintesis antara temporalitas dan yang abadi. Mewujudkan kehidupan yang bermakna tentu bukan perkara
mudah. Itu siksaan. Oleh karenanya kita kerap kali terombang-ambing dalam kepalsuan tanpa komitmen
dan tanpa hasrat. Mungkin manusia lebih senang memilih jalan hidup seperti ini. Namun hal inilah yang
ditentang Kierkegaard. Kebenaran adalah subjektivitas. Hanya dengan mengambil keputusan dan
berorientasi terhadap masa depan yang dapat menjadikan kita sebagai manusia yang sejati.

Anda mungkin juga menyukai