Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia di ciptakan di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling
sempurna. Ia memiliki akal yang tidak dimiliki oleh makluk hidup lainnya.
Maka sejatinya manusia bersikap sebagaimana sewajarnya manusia bersikap
atau berperilaku, terkadang manusia dalam bersikap maupun berperilaku ia
seakan-akan serupa dengan makhluk lainnya.
Untuk itu dalam makalah ini penulis membahas tentang manusia menurut
para filusuf era modern, agar kita sebagai manusia bisa berfikir apa yang
sebenarnya ada di dalam diri manusia itu sendiri dan agar kita lebih
mengetahui tujuan manusia untuk hidup. Tentunya para filusuf mempunyai
pandangan yang berbeda-beda mengenai manusia, guna kita sebagai manusia
mampu menelaah dan meneliti bagaimana hakikat manusia yang
seseungguhnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian manusia ?
2. Bagaimana pendapat para filusuf modern tentang Manusia ?

C. Tujuan
1. Agar kita lebih mengetahui mengenai pengertian manusia.
2. Agar kita lebih mengetahui pendapat para filusuf modern tentang
Manusia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Manusia
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam pikiran adalah
berbagai macam pendapat. Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah
hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof.
Yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik karena suka
mengkomunikasikan dan menafsirkan bahasa simbol-simbol. Ada juga yang
menilai manusia sebagai homo feber, dimana manusia adalah hewan yang
melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.

Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969: 7) mengatakan bahwa


manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak
hanya berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan
menghadapi soal, menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah
diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu
dengan dirinya sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri.
Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi
alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak
dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat
terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya. Lebih lanjut Drijarkara
mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus
situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah
oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia
selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia.
Dengan ini dia menyejarah.

Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia


merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk
hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia
harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia
dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan
mengungguli mahluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber
hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan
menciptakannya.
Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens
(mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri
khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan

2
kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga
digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang
menganggap permainan sebagai ritus suci.
B. Manusia menurut Pandangan Rene Descartes
Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas etika di dalam
filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari
filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia
dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup.
“For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be
determined by reason” (The Philosophy of René Descartes – 2, 2002).
Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika
manusia ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir
hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatu yang benar.
Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the
Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind
with a view to forming true and sound judgements about whatever comes
before it” (Descartes’ Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang
untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang
dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang
artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
Dari pemikiran Descartes.
Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku
ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi
keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh
ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu
positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti
Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes
berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri
agar hasilnya benar-benar logis.
Cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini
dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi
seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang
sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa
saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada). Kalau terdapat suatu kebenaran
yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang
sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu
pengetahuan. Dan Descartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berfikir.
Maka,Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan,ada. Itulah
kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku.

3
Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri
pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau
epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang
pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada
sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran,
sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari
filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di
dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on
First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi
tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail.
1. Akhir hidup manusia itu dapat ditentukan oleh apa yang manusia itu
lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup manusia).
2. Descartes sudah secara tersirat menyadari bahwa memang ada suatu
kepastian selain kepastian “cogito, ergos um” itu (I think therefore I
am), yaitu kebenaran mutlak yang bukan dibuat oleh manusia, tetapi
dapat dirasakan oleh manusia di dalam hatinya yang tentunya bukan
lagi ditinjau dari apa yang dianggap benar oleh dirinya sendiri tetapi
sudah melibatkan seorang Oknum yang berasal dari luar dirinya,
dimana oleh Oknum inilah kebenaran ini dinyatakan dalam pribadi
manusia sehingga memahami apa yang disebut sebagai kebenaran
yang benar-benar benar. Kesadaran akan adanya Oknum,
sesungguhnya bukan hal pembuktian yang dapat dilakukan oleh rasio
manusia karena untuk menerima sesuatu sebagai suatu kebenaran
mutlak dalam diri seseorang perlu ada kesadaran serta pengalaman
yang terkadang tidak dapat didefinisikan secara logis (iman) sampai
akhirnya kita bisa mengakui secara sadar mengenai eksistensi dari
sebuah kebenaran yang mutlak dan kebenaran ini yang menjadi
pedoman bagi hidup manusia dalam bertindak, berkata-kata dan
berpikir.
3. Descartes memegang prinsip bahwa dia cenderung memegang sesuatu
hal yang diragukan sama yakinnya ketika dia memegang sesuatu yang
sudah pasti (Descartes, 1983, p. 26). Hal ini dilakukan, karena
Descartes meyakini bahwa keragu-raguan merupakan awal untuk
memperoleh suatu kepastian. Dia berpikir bahwa kepastian akan
diperoleh ketika keragu-raguan secara perlahan dapat terjawab.
4. Descartes mengatakan untuk selalu berusaha mengalahkan diri
sendiri, dan bukannya nasib; mengubah keinginan-keinginan sendiri,
dan bukannya merombak tatanan dunia; serta membiasakan diri untuk
meyakini bahwa tidak ada satupun yang ada di bawah kekuasaan kita
sepenuhnya kecuali pikiran kita (Descartes, 1983, p. 27).

4
5. Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada
sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah
kebenaran,
C. Manusia menurut Pandangan John Locke

Locke dilahirkan tahun 1632 di Wrington, Inggris. Dia memperoleh


pendidikan di Universitas Oxford, peroleh gelar sarjana muda tahun 1656 dan
gelar sarjana penuh tahun 1658. Selaku remaja dia tertarik sangat pada ilmu
pengetahuan dan di umur tiga puluh enam tahun dia terpilih jadi anggota
“Royal Society.” Dia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal Robert Boyle
dan kemudian hampir sepanjang hidupnya jadi teman dekat Isaac Newton.
Kepada bidang kedokteran pun dia tertarik dan meraih gelar sarjana muda di
bidang itu meskipun cuma sekali-sekali saja berpraktek.

John Locke hidup setengah abad lebih muda daripada Hobbes dan kuliah
di Universitas yang sama dengan Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan
bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik.
Locke mendapat pengaruh dari semangat libe ralisme yang sedang bergelora
di Eropa pada waktu itu dan bahwa Locke mempunyai ika tan karier dan
politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan,
sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan
raja. Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara
satu dengan lainnya.

Akan tetapi berbeda dari Hobbes, dalam bukunya Two Treaties of


Gobernment, Lock menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin
memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya.
Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar
prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu
melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi
alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes.

Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola


pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal
yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan
antara sesama. Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian
muncul, menurut Locke, karena beberapa hal.

Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan
terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal
yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi,
sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau.

5
Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada
pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak
mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi. Oleh karena kondisi
alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah
menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga
menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh
menuju kondisi aman secara penuh.

Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya
itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi
kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian
kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak
yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan
antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya
menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.

Pandangan dan Pemikiran John Locke

“ Ketika manusia lahir, pikiran manusia seperti kertas kosong yang menunggu
untuk ditulisi oleh pengalaman di dunia selama hidupnya.”

John Locke mengeluarkan beberapa pernyataan , yaitu :

Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong
yang di sebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan selama
perjalanan hidup melalui pengalamannya. Filsafat ini secara epistimologis
mengukuhkan aliran empirisme yang melawan aliran pemikiran rasionalisme.
Pandanganya mengarah pada esensialisme ilmiah, yaitu bahwa tanpa pikiran
yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak
ada.

Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong
yang disebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan selama
perjalanan hidupnya melalui pengalamannya. Semua pengetahuan manusia
diturunkan dari ide yang disajikan pikirannya setelah melalui pengalaman
yang dialaminya. Ide dalam pikirannya itu memiliki dua tingkatan, yaitu
tingkatan yang sederhana dan tingkatan yang kompleks.

D. Manusia Menurut Pandangan Immanuel Kant


Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di
antara manusia. Immanuel Kant membahas tentang manusia dilihat dari segi
Etika. Etika merupakan sesuatu yang pasti dan akan dipakai dimana pun itu
tempatnya. Karena dalam pengkajian etika sendiri adalah merupakan bagian

6
dari perilaku manusia dari segi baik-buruknya atau benar-salahnya tindakan
manusia sebagai manusia. Dengan demikian, objek material etika adalah
tingkah laku manusia atau tindakan manusia sebagai manusia, sedangkan
objek formalnya adalah segi baik-buruknya atau benar-salahnya tindakan
tersebut berdasarkan norma moral. Sehingga dapat dijadikan pegangan
hidupmanusia baik itu kelompok masyarakat maupun individu dalam
mengatur tingkah lakunya.
Dalam ruang lingkup filsafat etika, Immanuel Kant termasuk pada filsafat
aliran etika deontologis. Etika deontologis adalah teori filsafat moral yang
mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras
dengan prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Atau dalam artian tindakan
itu dianggap benar apabila itu adalah kehendak baik. Karena bagi Kant tidak
hal yang lebih baik secara mutlak kecuali “kehendak baik”. Baik tersebut
dalam artian kehendak yang “baik” pada dirinya, dan tidak tergantung pada
yang lain. Menurut teori etika deontologi mengatakan bahwa betul salahnya
suatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu,
melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang ataupun wajib. Jadi
ketika kita akan melakukan sesuatu tindakan yang buruk, kita tidak perlu
memikirkan apakah akibat dari tindakan tersebut. Karena tindakan itu akan
dinilai moral, ketika tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan kewajiban
untuk bersikap baik.
Dengan dasar demikian, etika deontologi sangat menekankan pentingnya
motivasi dan kemauan baik dari parapelaku. Sebagaimana yang diungkapkan
Immanuel Kant bahwa kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya terlepas
dari akibat yang ditimbulkannya. Wujud dari kehendak baik itu sendiri adalah
bahwa seseorang tersebut telah mau menjalankan kewajiban. Hal tersebut
menegaskan bahwa untung atau tidak nya, dalam kaitan ini tidak
dipermasalahkan, karena pada dasarnya ada sesuatu dorongan dari dalam hati.
Artinya, bahwa seseorang yang telah melakukan tindakan untuk memenuhi
kewajiban sebagai hukum moral di batinnya yang diyakini sebagai hal yang
wajib ditaati dan dilakukannya, maka tindakan tersebut telah mencapai
moralitas. Dengan demikian menurut Kant kewajiban adalah suatu keharusan
tindakan yang hormat terhadap hukum. Tidak peduli apakah itu membuat kita
nyaman atau tidak, senang atau tidak senang, cocok atau tidak, pokoknya itu
wajib bagi kita. Lebih jelasnya adalah tanpa pamrih, dan tanpa syarat.
Satunya-satunya kebaikan di dunia ini adalah kemauan yang baik. Yaitu
kemauan yang mau mengikuti hukum moral. Membuang jauh-jauh sifat
pamrih, mengharapkan sesuatu.
Menurut Kant, ketika manusia meninggalkan pamrih-pamrihnya, maka
kehendak baik di dunia ini akan terwujud dalam pelaksanaan kewajiban. Kant

7
kewajiban dan tindakan yang dilakukan demi kewajiban. Untuk
tindakan yang sesuai dengan kewajiban baginya tidak berharga secara
moral, sedangkan tindakan yang dilakukan demi kewajiban itu bernilai
moral. Menurut beliau, semakin sedikit pamrih kita untuk menunaikan
kewajiban, maka semakin tinggilah nilai moral tindakan kita. Sebuah
tindakan moralyang luhur adalah tindakan yang dilakukan demi kewajiban.
Dalam hal ini pandangan Kant kerap disebut rigorisme moral. Artinya ia
melakukan tindakan tersebut demi sebuah kewajiban, dan menolak dorongan
hati, belas kasih sebagai tindakan moral. Istilahdeontology dipakai pertama
kali oleh C.D. Broad dalam Bukunya Five Types of Ethical Theory.
E. Manusia menurut Pandangan G. W. F. Hegel
Menurut pandangan Hegel manusia tau akan dirinya apabila dia menyadari
sepenuhnya. Dengan menemukan diri manusia akan semakin nyata akan
dirinya dan eksistensinya obyektif. Disini pekerjaan menjadi fungsi penting
untuk mengetahui dirinya. Menurut Hegel manusia sebagai makhluk yang
mencapai realitasnya apabila ia mengobyektifkan diri dan itu berarti ia dapat
memandang dan memahami diri sendiri maupun secara sosial. Pekerjaan itu
tindakan yang merealisasikann atau menyatakan manusia, karena didalamnya
manusia melahirkan didalamnya hanya secara potensial ada padanya kedalam
kenyataan obyektif sehingga ia dan orang lain dapat memandang dan
memahami dirinya. Menurut pandangan Hegel pekerjaan membawa manusia
menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Disini pekerjaan menjadi fungsi
penting untuk mengetahui dirinya.
Tujuan menyeluruh Hegel adalah menunjukan sifat sosial mendalam dari
individu modern yang bisa “at-home-in-the-world” (merasa nyaman hidup di
dunia). Ilustrasi lanjutannya pemikiran Hegel tentang pemikiran kritis
Hubungan Internasional kontemporer dapat dilihat dalam kontek pemahaman
Helegian tentang masyarakat sipil dan pembangkitan sistemik atas kekayaan
dan kemiskinan. Tidak seperti bacaan liberal tentang kebaikan “free-market”
(pasar bebas) kapitalis, konseptualisasi Hegel tentang masyarakat sipil adalah
sebagai wilayah “egoisme universal”. Disini, menurut Hegel, masing-masing
orang mencari kepentingan sendiri melalui pertukaran dalam pasar. Sistem ini
memberikan penyangkalan yang kuat bagi pemahaman ekonomistik atas
pasar. Partisipasi dalam pembagian sosial atas tenaga kerja, dan pemaknaan
yang terbentuk secara sosial serta kebutuhan yang di wadahi dalam produksi
dan komunikasi, bagi Hegel, adalah intrinsik bagi realisasi diri dan nilai
sosial. Namun demikian, karena hubungan pertukaran kapitalis membuat
hubungan tergantung pada pertukaran (tenaga di tukar upah), maka kegagalan
dalam pertukaran itu berarti pasar bisa menghasilkan kekayaan sekaligus
kemiskinan, sehingga perlu peran negara dalam menciptakan lingkungan

8
yang memfasilitasi hubungan yang optimal. Lebih tajam lagi, konsep
nonekonomistik sangat mendalam Hegel tentang kemiskinan bukan suatu
kondisi “kurangnya” (pendapatan, pekerjaan, teknologi, atau pendidikan yang
menjadi jangkar bagi wacana modernisasi neokolonial tenntang
“pembangunan” di berbagai bagian dunia sebagai perwujudan dari
“kekurangan”), mendesak sikap kritis lebih radikal untuk menekankan
kembali tidak hanya apa yang di sebut Adam Smith sebagai “Boundary
Question” atau pertanyaan batas (antara Negara dan Pasar), tetapi juga pada
problem lebih rumit berupaya memikirkan kembali “batas-batas” tentang
masyarakat sipil.
Akhirnya, “dialektika tuan/budak” dari The Phenmenology of Spirit, tak di
ragukan lagi, menjadi kontribusi paling terkenal Hegel bagi wacana kritis
yang terkait reasionalitas mendalam dan ko-konstruksi bagi self, menawarkan
sumber paling kuat bagi Hubungan Internasional kontemporer yang kritis.
Bagi Hegel, kebebasan mensyaratkan perpindahan dari berbagai bentuk (lebih
rendah) dari kesadaran (secara keseluruhan eksternal / objektif atau secara
keseluruhan subjektif/internal) menuju tahap lebih tinggi dari self-
consciousness atau kesadaran diri. Perpindahan ini hanya mungkin melalui
dialektika saling pengakuan; pengakuan atas self yang di berikan oleh other,
yang pada gilirannya di akui sebagai self (other) yang berbeda. Kekuatan dari
formulasi ini mendapat perimbangan atas aspek-aspek fenomenologis dalam
konteks perbudakan. Dalam Bab 4 tentang “On Lordship and Bondage” dari
buku The Phenomenology of Spirit, Hegel menelusuri penjungkirbalikan
hubungan feodal antara “Lord” (tuan) dan “Boundage” (hamba), saat orang
yang “dihambakan” pada tuan berarti realisasi yang lambat atas harga diri:
dalam mengubah bahan mentah menjadi objek-objek yang bisa di gunakan
tuannya melalui pengeluaran energi dan tenaga kerja, para hamba itu
“menyerahkan dirinya” sebagai sosok independen; sementara “sang tuan”
yang sangat tergantung pada tenaga si hamba, ternyata mengajukan cangkang
kosong atas klaimnya sebagai penguasa. Kebutuhan atas seseorang “self”
terhadap pihak lain “other” dibuat sangat jelas, lebih-lebih karena narasi
sejarah purposif Hegel sebagai aktaualisasi kebebasan bergantung kepada
kesadaran diri duflikatif negatif ini. Namun demikian, dalam konteks sejarah
dunia, itu mendasari pembenaran kuat bagi perjuangan anti kolonial oleh
kaum yang terpinggirkan, tersingkirkan, dan tak terwakili dalam hubungan
internasional. Hal itu juga memungkinkan pembacaan kritis atas klaim
kososng tentang penguasaan yang hanya di dasarkan pada akumulasi
kekayaan dalam dunia yang semakin tidak merata ini.

9
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Jadi berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat


manusia adalah sistem filsafat yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi
manusia. Pandangan para filusuf modern yang berbeda-beda tentang manusia
pada hakikatnya merujuk untuk membuat manusia mengenali dirinya atau
berusaha untuk mencari jati diri manusia tersebut.

Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal
budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo
faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan
menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo
ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri
khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi
lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu
memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap
permainan sebagai ritus suci.

10
DAFTAR PUSTAKA

Drijarkara, N. 1969. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Penerbit Jajasan Kanisius.


Hidayati, Febriyani. Hakekat Manusia Menurut John Locke. 25 Juni 2015.
[http://febriyaeby.blogspot.com/2015/06/john-locke-tabula-rasa.html]
Indriyani, Eneng. Persoalan Manusia Menurut Immanuel Kant. 30 Desember
2016. [http://nengindriyani.blogspot.com/2016/12/persoalan-manusia-
menurut-immanuel-kant.html]
Pamungkas, Muthmainnah. Filsafat Manusia: Pemikiran Hegel dan Karl Max. 11
Mei 2015. [http://bhiemuth.blogspot.com/2015/05/filsafat-manusia-
pemikiran-hegel-dan.html]
Riko, Fandrian. Filsafat Manusia Menurut Rene Descartes. 24 Maret 2014.
[http://rvandrian.weblog.esaunggul.ac.id/2014/03/24/filsafat-manusia-
menurut-rene-descartes/]

11

Anda mungkin juga menyukai