Anda di halaman 1dari 9

BAB III

FAKTOR RISIKO PENULARAN HIV/ AIDS

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa mampu memahami tentang:
1. Faktor risiko penularan HIV/ AIDS
2. Tahapan penyebaran HIV
3. Empat komponen PMTS
4. Tahapan pelaksanaan komunikasi perubahan perilaku
5. Populasi kunci infeksi HIV/AIDS
6. Program Cross Cutting

B. PENDAHULUAN
Penularan HIV baru terjadi jika ada pertukaran cairan tubuh antara orang yang
terinfeksi HIV dengan yang belum terinfeksi. Cara penularan sangat bervariasi, namun
berdasarkan data dari Ditjen PP & PL, (2014) diketahui bahwa persentase faktor risiko
HIV tertinggi terjadi pada tiga perilaku yang berisiko tinggi, yaitu seks komersial yang
tidak terlindungi (57%), berbagi alat suntik dikalangan pengguna NAPZA (4%) dan
lelaki seks dengan lelaki yang tidak terlindungi(15%) (Hubaybah dkk, 2016).

C. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini membahas tentang faktor risiko penularan HIV/AIDS dimana terdiri dari
Tahapan penyebaran HIV, Empat komponen PMTS, Tahapan pelaksanaan komunikasi
perubahan perilaku, Populasi kunci infeksi HIV/AIDS serta bagaimana Program Cross
Cutting.

1
D. STANDAR KOMPETENSI
1. Membantu perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai kesehatan
reproduksinya dengan prinsip pemberdayaan.
2. Berkomunikasi dengan tepat selama memberikan asuhan baik secara lisan, tertulis
atau melalui media elektronik dengan mengutamakan kepentingan pasien dan
keilmuan dalam praktik kebidanan.
3. Mengumpulkan data yang akurat sesuai keadaan klien.
4. Menginterpretasikan data berdasarkan temuan dari anamnesis dan riwayat
pemeriksaaan secara akurat.
5. Menyusun rencana asuhan bersama klien sesuai dengan kondisi yang dialami.
6. Melakukan pendidikan kesehatan dan konseling dalam lingkup kesehatan
reproduksi
7. Melakukan deteksi dini yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi

E. PENYAJIAN
1. Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS
Menurut penelitian di Cina tahun 2012, faktor risiko kejadian HIV/AIDS ditularkan
melalui hubungan homoseksual, heteroseksual dan penggunaan suntik. Penelitian di
Nicaragua 2013, faktor risiko yang berhubungan dengan HIV/AIDS adalah
hubungan heteroseksual, tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS, sikap dan
kesadaran tentang HIV/AIDS, tingkat kemiskinan, tingkat migrasi, jarak tempat
tinggal jauh dari pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Susilowati tentang faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS di RSUP Dr Karyadi
Semarang menyatakan ada pengaruh riwayat pernah menderita menderita PMS,
riwayat dalam keluarga yang HIV/AIDS, serta tingkat pendidikan yang rendah.
(Amelia dkk, 2016)
Penularan HIV baru terjadi jika ada pertukaran cairan tubuh antara orang yang
terinfeksi HIV dengan yang belum terinfeksi. Cara penularan sangat bervariasi,
namun berdasarkan data dari Ditjen PP & PL, (2014) diketahui bahwa persentase
faktor risiko HIV tertinggi terjadi pada tiga perilaku yang berisiko tinggi, yaitu seks
komersial yang tidak terlindungi (57%), berbagi alat suntik dikalangan pengguna

2
NAPZA (4%) dan lelaki seks dengan lelaki yang tidak terlindungi(15%) (Hubaybah
dkk, 2016).
Faktor lain yang menjadi resiko penyebaran HIV diantaranya:
a. Penggunaan obat IV yang menggunakan jarum suntik bersama. Hal ini
dikarenakan penggunaan jarum suntik secara bergantian antara penderita HIV
dan bukan penderita HIV menyebabkan virus HIV akan masuk kedalah tubuh
inangnya melalui jarum suntik yang ditusukkan kedalam tubuh dan akan tertular
melalui pembuluh darah.
b. Senggama yang tidak menggunakan perlindungan. Melalui transmisi cairan
kelamin menyebabkan virus HIV mudah tertular dari penderita ke korban
selanjutnya.
c. Penularan lewat plasenta. Selain melalui darah dan cairan kelamin, HIV
menular antara ibu dan janin melalui aliran darah yang dialirkan melalui
plasenta.
d. Riwayat penyakit menular seksual. Adanya luka pada kelamin penderita IMS
menyebabkan virus HIV mudah masuk kedalam tubuh melalui luka dan
ditularkan melalui cairan kelamin.
e. Gaya hidup homoseksual. Akibat adanya stigma masyarakat tentang
homoseksual menyebakan para gay lebih memilih untuk mencari pasangan seks
yang berada dalam satu komunitasnya. Oleh karena itu, penularan HIV pada
kaum homoseksual lebih besar jumlahnya.
f. Kontak dengan darah terinfeksi. Sama halnya dengan penggunaan jarum suntik
secara bergantian, apabila seorang penderita mendonorkan darahnya pada orang
lain, maka virus HIV akan memasuki sistem peredaran darah dan berkembang
biak pada korbannya yang baru. (Widiarti, dkk. : 2014).
2. Tahap Penyebaran HIV
Tahap penyebaran HIV diawali dengan:
a. Melakukan hubungan seksual secara anal, maupun vagina dengan seseorang
yang mengidap HIV baik dengan lawan jenis (heteroseksual) atau sesama jenis
(hemoseksual).

3
b. Melakukan transfusi darah dan transplantasi organ yang tercemar HIV.
Transfusi darah yang tercemar HIV langsung menular HIV bagi penerima darah
karena virus langsung masuk kedalam sistem peredaran darah penerima.
c. Menggunakan alat/jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tatto)
yang tercemar oleh HIV. Oleh sebab itu pemakaian jarum suntik bersama oleh
para pecandu narkotika akan mempermudah penularan HIV diantara mereka
bila salah satu diantara mereka merupakan mengidap HIV.
d. Pemindahan dari ibu hamil mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya,
melalui proses persalinan dan melalui pemberian ASI. (Rahmawati, 2019)
Adapun perjalanan virus ini dalam tubuh manusia untuk bereplikasi terbagi
dalam 3 fase, yaitu Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut), Fase Infeksi
Laten, dan Fase Infeksi Kronis.
1) Fase Infeksi Akut (sindroma Retroviral Akut)
Merupakan fase dimana HIV melakukan replikasi besar-besaran di dalam
tubuh dan dapat terdeteksi saat minggu ketiga setelah seseorang terinfeksi.
Dengan adanya pembentukan virus dalam jumlah yang sangat banyak ini
menyebabkan seseorang mengalami sindroma infeksi akut yang memiliki
gejala berupa: demam, limfadenopati, bercak pada kulit, faringitis, malaise,
dan mual muntah yang timbul hingga kurang lebih 6 minggu setelah infeksi.
Selain timbulnya berbagai gejala, sel T-CD4 akan mengalami penurunan
jumlah yang sangat signifikan dalam 2-8 minggu pertama dan mengalami
peningkatan kembali akibat respon imun yang sudah mulai aktif
menghasilkan antibodi untuk melawan virus HIV tersebut. Kenaikan
antibodi pada fase ini hingga diatas 500 sel/mm 3 dan akan kembali menurun
beberapa minggu kemudian.
2) Fase Infeksi Laten
Setelah terbentuk renspon imun spesifik dalam tubuh, antibodi akan
memberikan perlawanan terhadap virus HIV sehingga sebagian besar virus
telah hilang dari sirkulasi sistemik. Tetapi, meskipun virus sudah sangat
berkurang jumlahnya dalam darah, ada beberapa virus yang terperangkap
dalam sistem limfatik penderita sehingga virus akan terus bereplikasi dan

4
menyebabkan sistem imun menjadi semakin menurun menjadi 500 sel/mm 3
- 200 sel/mm3. Pada fase ini, apabila saat dilakukan pemeriksaan darah
jumlah virus kurang dari 1000 kopi/ml, maka kemungkinan penyakit AIDS
akan terjadi lebih dari 10 tahun kemudian, namun jika jumlah virus kurang
dari 200 kopi/ml, infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS.
Sedangkan pada pasien dengan jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml
maka penderita kemungkinan akan terkena penyakit AIDS dalam kurun
waktu kurang dari 10 tahun. Fase ini berlangsung selama 8-10 tahun tanpa
adanya gejala pada penderita.
3) Fase Infeksi Kronis
Pada fase ini, didalam sistem limfatik terjadi replikasi virus secara terus-
menerus dan kematian antibodi yang merupakan target utama virus ini untuk
menurunkan kekebalan tubuh inangnya. Fungsi kelenjar limfa sebagai
perangkap virus menjadi semakin menurun atau bahkan hilang dan virus
dicurahkan ke dalam darah. Karena banyaknya antibodi yang mati,
menyebabkan virus ini semakin cepat bereplikasi sehingga sel T-CD4 pun
mengalami penurunan hingga dibawah 200 sel/mm 3. Akibat sistem imun
yang semakin tertekan, penderita akan mengalami berbagai macam infeksi
virus, bakteri, protozoa, dan jamur. Adapun infeksi sekunder yang sering
diderita antara lain: pneumonia yang disebabkan Pneumocytis carinii,
tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat
kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis
esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkus atau paru, serta infeksi
jamur jenis lain misalnya histoplasmosis dan koksidiodomikosis. Kadang-
kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yang dialami penderita yaitu
kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma Kaposi's. (Astari, 2009).
Pada virus HIV, hanya mampu hidup di luar tubuh manusia dalam waktu
yang singkat. Apabila cairan kelamin, darah, ataupun urin terpancar, maka
HIV hanya akan hidup hingga cairan tersebut mengering.
3. Empat Komponen PMTS

5
PMTS (Pencegahan HIV-AIDS melalui Transmisi Seksual) merupakan program
pencegahan HIVAIDS yang dicetuskan oleh Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (KPAN), bertujuan untuk melakukan pencegahan HIV secara
komprehensif, integratif dan efektif pada populasi kunci seperti seks komersial yang
tidak terlindungi, berbagi alat suntik dikalangan pengguna NAPZA dan lelaki seks
dengan lelaki yang tidak terlindungi (Praptoraharjo, dkk. 2016).
Melalui program ini menargetkan 80% populasi kunci terjangkau program yang
efektif dan 60% populasi kunci berperilaku hidup sehat dengan menggunakan
kondom setiap hubungan seks berisiko. Tujuan utamanya adalah menurunkan
prevalensi IMS dengan pemakaian kondom secara konsisten dan pengobatan IMS.
Empat komponen PMTS tersebut yaitu:
a. Peningkatan peran positif pemangku kepentingan, seperti melibatkan pengelola
tempat hiburan, mucikari, kepolisian, satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP)
dalam memberikan edukasi dan menertibkan tempat-tempat prostitusi untuk
menekan angka kejadian penderita HIV/AIDS dan IMS di Indonesia.
b. Komunikasi perubahan perilaku, yaitu dengan menjalin kerjasama dengan
pemangku kepentingan, maka diharapkan para populasi kunci ini akan memiliki
pengetahuan yang lebih dan menyebakan adanya perubahan prilaku pada
masing-masing individu.
c. Manajemen pasokan kondom dan pelicin
d. Penatalaksanaan IMS dan HIV. Pemerintah berupaya untuk menyediakan
fasilitas kesehtan yang dapat diakses oleh para populasi kunci sehingga dapat
memberikan pelayanan pada individu(Hubaybah,dkk : 2014).
4. Tahapan Pelaksanaan Komunikasi Perubahan Perilaku
Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) adalah berbagai macam kegiatan
komunikasi yang direncanakan dan dilakukan secara sistematis untuk memenuhi
kebutuhan wanita pekerja seks agar selalu berperilaku aman. Komunikasi
perubahan perilaku ini berfokus pada pola pikir, nilai-nilai yang dianut dan
perilaku. KPP dilakukan melalui proses interaktif yang melibatkan wanita pekerja
seks untuk mempromosikan, mengembangakan dan memelihara perilaku aman
dalam berhubungan. Tujuan KPP ini yaitu untuk mengubah perilaku wanita pekerja

6
seks secara kolektif baik tingkat individu, kelompok dan komunitas sehingga
kerentanan wanita pekerja seks terhadap HIV akan berkurang. (Hubaybah, 2016).
Oleh sebab itu, sosialisasi harus terintregasi dalam aktifitas pemberdayaan dan
dilakukan secara terus menerus untuk memampukan masyarakat menanggulangi
masalah-masalah secara mandiri dan berkesinambungan. Untuk tercapainya hal
tersebut, tentunya diperlukan strategi komunikasi yang dirancang, dirumuskan, dan
dipilih sebelum pelaksanaan sosialisasi. Mengingat, strategi komunikasi memegang
peranan penting dalam upaya penyampaian informasi saat melakukan sosialisasi.
Pada akhirnya dapat dilihat apakah strategi komunikasi yang digunakan telah tepat
sasaran atau tidak untuk mampu menyampaikan informasi pengetahuan tentang
HIV-AIDS kepada masyarakat. (Hubaybah, 2016).
5. Populasi Kunci Infeksi HIV/AIDS
Populasi kunci sendiri merupakan kelompok populasi yang menentukan
keberhasilan program pencegahan dan pengobatan, sehingga mereka perlu ikut aktif
berperan dalam penanggulangan HIV/AIDS, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Populasi ini adalah:
a. Orang-orang beresiko tetular atau rawan tertular karena perilaku seksual
beresiko yang tidak terlindung, bertukar alat suntik steril.
b. Orang-orang yang rentan adalah orang yang karena pekerja, lingkungan rentan
terhadap penularan HIV, seperti buruh migran, pengungsi dan kalangan mudah
beresiko dan
c. ODHA (orang dengan HIV/AIDS) adalah orang yang sudah terinfeksi HIV.
Menurut perserikatan bangsa-bangsa (PBB), kelompok masyarakat yang
termasuk kedalam populasi kunci diantaranya adalah penasun (pengguna napza
suntik/people who injeck drugs), wanita seks (WPS/sex workers), LSL (men
who have sex whit men), dan transgender.
Berdasarkan permodelan Asean Epidemic Model (AEM) untuk Provinsi Jakarta
tahun 1995 – 2015 terlihat bahwa terjadi perubahan pola penularan atau infeksi
baru. Penularan yang semula terlihat tinggi pada kelompok pengguna NAPZA
suntik (penasun), namun kemudian kelompok penasun ini seperti tetap dan
penularan berpindah ke kelompok Wanita Pekerja Seks (WPS) dan pelanggannya.

7
Kelompok populasi kunci lain seperti Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) dan wanita
risiko rendah ternyata mengalami peningkatan walaupun eskalasinya rendah.
(Hubaybah,dkk. 2014).

6. Program Cross Cutting


Cross Cutting berasal dari bahasa Inggris yang berarti Bersinggungan. Biasanya
digunakan untuk menggambarkan suatu kelompok yang juga merupakan kelompok
spesifik lainnya seperti anak yang mengidap HIV-AIDS. Program dari cross cuting
yaitu rumah cemara. Rumah Cemara adalah sebuah organisasi komunitas yang
bertujuan meningkatkan kualitas hidup Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan
konsumen narkoba di Indonesia. Sasaran kerja Rumah Cemara adalah individu
termarginalkan terutama konsumen NAPZA ilegal yang menyuntikannya maupun
tidak, pengidap HIV atau yang juga dikenal sebagai orang dengan HIV-AIDS
(ODHA), homoseks atau lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), waria,
dan kelompok yang bisa saja bersinggungan (cross-cutting) seperti LSL yang
terinfeksi HIV, mengonsumsi NAPZA, sekaligus menjajakan seks.
Kelompok yang bisa saja bersinggungan tersebut antara lain penjaja seks, anak
belia, wanita, anak-anak, serta kelompok termarginalkan seperti anak jalanan.

F. REFERENSI
1. Amelia dkk, Maria. 2016. Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
HIV/AIDS pada Laki-Laki Umur 25 - 44 Tahun di Kota Dili, Timor Leste. 1(1):39-
46.
2. Astari dkk, Linda. 2009. Viral Load pada Infeksi HIV. 21(1): 31-39.
3. Hubaybah, Fadzlul. 2016. TRANSMISI SEKSUAL (PMTS) DI KALANGAN
WANITA PEKERJA SEKS (WPS) LOKASI GANG LALER KEMAYORAN
JAKARTA PUSAT TAHUN 2014. 4(1):39-53.
4. Koesmayadi, Deradjat Ginandjar. 2016. Rencana Strategi Rumah Cemara. Jakarta
5. Praptoraharjo, dkk. 2016. Kebijakan & Program HIV & AIDS dalam Sistem
Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: INSIST Press.

8
6. Rahmawati, Maidina. 2019. PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI INDONESIA
DALAM ANCAMAN RKUHP. Jakarta Selatan: Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR)

Anda mungkin juga menyukai