Anda di halaman 1dari 28

REFRAT

APPENDICITIS

Penyusun :

Johannes Romandi Nofian Wawin

112019005

Pembimbing :

dr Candra Svaras, SpB

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
PERIODE 23 NOVEMBER 2020 – 30 JANUARI 2021
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN
ANTARIKSA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul:


Appendicitis

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 23 November 2020 – 30 Januari
2021

Disusun oleh:
Johannes Romandi Nofian Wawin
112019005

Telah diterima dan disetujui oleh dr Candra Svaras, SpB

Selaku dokter pembimbing Departemen Bedah Orthopaedi RSAU Dr. Esnawan


Antariksa

Jakarta, 5 Desember 2020


Pembimbing

dr Candra Svaras, SpB

2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UKRIDA
LEMBAR PENILAIAN
Nama  Johannes Romandi Nofian Wawin
NIM  112019005
Tanggal 8 Desember 2020
Judul kasus Appendicitis
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Pengumpulan data          
Analisa masalah          
Penguasaan teori          
Referensi          
Pengambilan keputusan klinis          
Cara penyajian          
Bentuk laporan          
Total  
Nilai %= (Total/35)x100%  
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)
 
Komentar penilai

Nama Penilai
Paraf/Stempel

Dr. Candra Svaras, SpB

PENDAHULUAN

Appendiks disebut juga umbai cacing, istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum.
Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan.

3
Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya.(2)

Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi.(2)

I. Anatomi

Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog
dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin.(2) Appendiks adalah
suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian
awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal
junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat
valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. (1) Appendiks
terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan
pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari
topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik
pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.(3)

Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang


bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5
cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang
mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil. (4,7)

Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Appendiks
mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan
peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup
caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan
elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan

4
submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam
sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan
caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
appendiks.(4)

Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8


yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah
dari medial menuju katup ileosekal. (5)

Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi
lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.(2)

Jenis posisi:

Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontoriun sacri

Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya


retroperitoneal.

Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.

Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.

Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor

Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke atas


ke belakang caecum.(6)

5
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan
arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X.
Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus.(2)

Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari


a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada
infeksi, appendiks akan mengalami gangren.(2)

Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus
besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa
maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Appendiks
terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar
dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal,
maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.

Histologis:

- Tunika mucosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.

- Tunika submucosa : banyak folikel lymphoid.

- Tunika muscularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale


( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.

- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum


viscerale.(6)

II. Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya


dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.(2)

6
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari
sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.(2)

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu


setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit. (5)

III. Definisi

Apendisitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan


akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.(2)

IV. Etiologi

Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan


penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi
jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing
usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat
mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi
(5,8)
penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. Frekuensi obstruksi meningkat
dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus
apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan
sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture. (5)

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi


mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal,

7
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya
apendisits akut.(2)

V. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh


hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.(9)

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian


proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi
sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia
merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi
perforasi.(5)

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami


hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi
menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik
karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan
perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda
setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. (9,10)

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.(9)

8
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. (9)

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.(9)

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai


dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat. (2)

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.(9)

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi


mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus
yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus
tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses
melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis.
Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan
tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus
benar-benar istirahat (bedrest). (4)

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan

9
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut. (2)

VI. Gejala Klinis

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain

1. Nyeri abdominal

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri


dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di
daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri
berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney).
Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya
penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(2)

2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.


3. Nafsu makan menurun.

4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi. (2)

Kelainan patologi Keluhan dan tanda

Peradangan awal Kurang enak ulu hati/daerah pusat,

mungkin kolik

10
Apenditis mukosa nyeri tekan kanan bawah

(rangsaganan automik)

Radang di seluruh nyeri sentral pindah ke kanan bawah,

Ketebalan dinding mual dan muntah

Apendisitis komplet radang rangsangan peritoneum lokal (somatik)

Peritoneum parietale appendiks nyeri pada gerak aktif dan pasif,

defans muskuler lokal

Radang alat/jaringan yang genitalia interna, ureter, m.psoas,


kantung kemih, rektum
Menempel pada appendiks

demam sedang, takikardia,


Perforasi
mulai toksik, leukositosis

Pendindingan (Infiltrat)

demam tinggi, dehidrasi,

11
Tidak berhasil syok, toksik

massa perut kanan bawah, keadaan

Berhasil umum berangsur membaik

demam remiten, keadaan umum toksik,

Abses keluhan dan tanda setempat

Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang
terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis
setelah perforasi. (2)

Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga
terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan. (2)

VII. Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal
sampai 1C.

1. Inspeksi

12
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.

2. Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda


peritonitis lokal yaitu:

 Nyeri tekan di Mc. Burney


 Nyeri lepas

 Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya


rangsangan peritoneum parietal.

Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak


ada, yang ada nyeri pinggang.

Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

 nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)


 nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg)

 nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas


dalam, berjalan, batuk, mengedan.

Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya


penonjolan di perut kanan bawah.(2)

3. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus


paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

13
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.
Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok
dubur. (2)

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang
meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri. (2)

Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada
pinggul / pangkal paha kanan. (11)

Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan). (11)

Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi
samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. (11)
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak
denhgan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. (11)

VIII. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan


kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-
reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan
meningkat.

14
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.

2. Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.


Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

3. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,


terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.

4. Barium enema

Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.


Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis
pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai
metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis. Dimana
akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai
penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.

5. CT-scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat


menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.

6. Laparoscopi

Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan


dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini

15
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.

7. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk


diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendisitis
akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut
pada orang yang tidak dilakukan operasi. Riber et al, pernah meneliti variasi
diagnosis histopatologi appendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya
komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli
bedahnya.
 
Definisi histopatologi apendisitis akut:
Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di
1 lapisan epitel.
2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
Sel granulosit dalam lumen appendiks dengan infiltrasi ke dalam
3 lapisan epitel.
Sel granulosit diatas lapisan serosa appendiks dengan abses
4 apendikuler, 
  dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses
5 mukosa dan
keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi
  periapendisitis.

16
Sistem skor Alvarado 

Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya


berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara  anak,
orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang
dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini
menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar
20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak
dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya
adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring
sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem;
Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor
yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium.
Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat
keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko
meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus,  nyeri tekan di abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan
netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai
nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan
faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999). 

Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:

Gejala dan tanda: Skor

Nyeri berpindah 1

Anoreksia 1

Mual-muntah 1

Nyeri fossa iliaka kanan 2

17
Nyeri lepas 1

Peningkatan suhu > 37,30C 1

Jumlah leukosit > 10x103/L 2

Jumlah neutrofil > 75% 1

__________________________________________________

Total skor: 10

Keterangan Alavarado score :

 Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point


 Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:

1–4 dipertimbangkan appendicitis akut

5–6 possible appendicitis tidak perlu operasi

7–9 appendicitis akut perlu pembedahan

 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

1–4 : observasi

5–6 : antibiotic

7 – 10 : operasi dini

IX. Diagnosis Banding

1. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.

18
2. Limfadenitis mesenterica

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri


perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan
perasaan mual-muntah.

3. Ileitis akut

Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang
anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi
insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.

4. DHF

Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni,


rumple leed (+), hematokrit meningkat.

5. Peradangan pelvis

Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ
ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.

6. Kehamilan ektopik

Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul
nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan
di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.

19
7. Diverticulitis

Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-


kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur
pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala
appendisitis.

8. Batu ureter atau batu ginjal

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan


merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

X. Penatalaksanaan

Appendiktomi
§         Cito  : akut, abses & perforasi
§         Elektif  : kronik
 
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada
appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.

Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi


oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan
granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada
apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus
mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah
sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya. (12)

20
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini
adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi
untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan
ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah
menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka
harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.(12)

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi


ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk
dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit. (2)

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. (13)

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah


apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun
tanpa peritonitis umum. (13)

21
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. (2)

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular
infiltrat :

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring

3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif


terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar
6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses,
dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu
kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.(4,2)

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48
jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi
maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya
diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai
mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.(4)

Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana
nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal,
bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi
sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan
karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase
dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa
drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat
diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik

22
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses
tiap hari penderita di RT. (4)

Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :

 LED
 Jumlah leukosit

 Massa

Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :

1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen


2. Pemeriksaan fisik :

o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh


(diukur rectal dan aksiler)

o Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat

o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi
lebih kecil dibanding semula.

o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal

Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :

1. Bila LED telah menurun kurang dari 40


2. Tidak didapatkan leukositosis

3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak
mengecil lagi.

Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa

23
o Apakah penderita sudah bed rest total
o Pemakaian antibiotik penderita

o Kemungkinan adanya sebab lain.

d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan.

e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan
terapi adalah drainase.(4)
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi
Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada
kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang
dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).

Lapisan  kulit yang dibuka pada Appendektomi :


  1.          Cutis                                          6.    MOI
  2.          Sub cutis                                   7.    M. Transversus
  3.          Fascia Scarfa                            8.    Fascia transversalis
  4.          Fascia Camfer                           9.    Pre Peritoneum
  5.          Aponeurosis MOE                   10.   Peritoneum

XI. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa


perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan
berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(2)

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis


generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

 nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.

24
 Nadi semakin cepat.

 Defance Muskular yang menyeluruh

 Bising usus berkurang

 Perut distended

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :

1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess

3. Intra peritoneal abses lokal.(4)

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga


abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.(14)

XII. Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan


morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila
appendiks tidak diangkat.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendik/Epidemiologi.html
2. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Jakarta.

3. http://www.medicinenet.com/appendicitis/

25
4. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran
UNAIR. Surabaya.

5. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent


edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an
Enigma Electronic Publication.

6. Kartika, Dina, 2005. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta.

7. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines.

http://www.patholoyoutlines.com

8. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa


Appendisitis Akut. Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara.http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.
9. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.

10. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com

11. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American
Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science
Center, Temple, Texas .http://www.aafg.org

12. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.

13. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara.
Jakarta.

14. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
National Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004.
www.digestive.niddk.nih.gov

26
27
28

Anda mungkin juga menyukai