Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

MANAJEMEN JALAN NAPAS


1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Tujuan 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Pengertian Manajemen Jalan Napas 3


2.2 Indikasi Manajemen Jalan Napas 3
2.3 Penilaian Jalan Napas 4
2.4 Tanda Adanya Sumbatan Jalan Napas 5
2.5 Posisi Pasien 6
2.6 Manajemen Jalan Napas tanpa Alat 6
2.7 Manajemen Jalan Napas dengan Alat 9

BAB 3 PENUTUP 18

3.1 Kesimpulan 18

DAFTAR PUSTAKA 19

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manajemen jalan napas adalah prosedur medis yang dilakukan untuk mencegah
obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara
luar. Hal ini dilakukan dengan membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas
yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh
sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi. Manajemen jalan napas
merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus
dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu, hal pertama yang harus dinilai
adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan
oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau
trakea. Gangguan jalan napas dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan
sebagian, dan progresif dan/atau berulang. Kejadian yang berupa kematian- kematian dini
karena masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh kegagalan
mengetahui adanya kebutuhan airway, ketidakmampuan untuk membuka airway, kegagalan
mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru, perubahan letak airway yang
sebelumnya telah dipasang, kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi dan aspirasi isi
lambung ATLS.

Dalam manajemen jalan napas terdapat tiga jenis airway definitif yaitu: pipa
orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan klinis antara
lain adanya apnea, ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara
yang lain, kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus, ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, adanya cedera kepala yang
membutuhkan bantuan nafas (GCS<8), ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang
adekuat. Manajemen jalan napas pra-rumah sakit merupakan komponen utama system
emergency medical service (EMS) di seluruh dunia, yang harus dikendalikan dengan baik
dalam tindakan resusitasi. Pengendalian jalan napas yang tidak baik telah diidentifikasi
menjadi penyebab kecacatan bahkan kematian yang dapat dicegah pada pasien trauma dan
henti jantung. Cara penanganan jalan napas yang efektif harus tercapai sebelum pasien tiba di

1
rumah sakit, hal ini tidak mudah serta beberapa hal masih controversial. Keberhasilan
pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan
dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula
pasien tersebut mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen.
oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara
efektif dan efisien.

1.2 Tujuan

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian dari manajemen jalan napas.


2. Mengetahui indikasi dari manajemen jalan napas.
3. Mengetahui cara melakukan penilaian jalan napas.
4. Mengetahui tanda adanya sumbatan jalan napas.
5. Mengetahui manajemen jalan napas tanpa alat.
6. Mengetahui manajemen jalan napas dengan alat.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Manajemen Jalan Napas

Manajemen jalan napas adalah tindakan yang dikerjakan untuk melapangkan atau
membebaskan jalan napas dengan tetap memperhatikan control servikal, yang bertujuan
untuk membebaskan saluran napas untuk menjamin keluar masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigen dalam tubuh. Manajemen jalan napas
memerlukan penilaian, mempertahankan dan melindungi jalan napas dengan memberikan
oksigenasi dan ventilasi yang efektif. Waktu juga merupakan hal yang penting dalam
melakukan dukungan jalan napas. Tubuh memiliki simpanan oksigen yang terbatas dan cepat
habis dalam satu kali berhenti napas. Orang sehat memiliki saturasi oksigen maksimal 100%
dan akan mulai menurun dan terjadi kerusakan otak dalam lima menit. Pada orang sakit yang
bernapas pada ruangan biasa akan mengalami penurunan saturasi segera setelah henti napas.

Oksigenasi dan ventilasi merupakan tujuan esensial dari manajemen jalan napas.
Ventilasi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pasien dengan napas
spontan dapat terjadi obstruksi jalan napas oleh karena makanan, darah, sekresi mucus,
berlebih, dan obstruksi oleh jaringan sekitarnya akibat berkurangnya tonus faringeal. Pasien
yang sadar dengan obstruksi jalan napas akan tampak distress napas yang lebih jelas, hal ini
mungkin obstruksi akibat benda asing, pembengkakan jaringan akibat akibat infeksi, edema
laring, tumor ataupun spasme laring. Pasien yang tidak sadar meskipun pernapasan spontan
tetap beresiko terjadi aspirasi cairan/bahan dari lambung. Pasien yang tidak sadar harus
dijamin jalan napas tetap lapang dan terjaga, bila perlu dengan pemasangan ventilator
mekanik. Di sini akan dipaparkan mengenai penilaian jalan napas, manajemen jalan napas
tanpa alat dan dengan alat serta indikasi dan tekniknya.

2.2 Indikasi Manajemen Jalan Napas

Keputusan untuk melakukan manajemen jalan napas harus cepat dan sering tanpa
adanya hasil laboratorium, radiologi, atau fungsi paru. Keputusan untuk melakukan dukungan
jalan napas dalam keadaan darurat didasarkan pada pertimbingan klinis dari tanda dan

3
keluhan adanya oksigenasi dan ventilasi yang tidak adekuat. Tanda dari ancaman gagal napas
adalah napas cepat, sesak, sianosis, agitasi dan penggunaan otot bantu napas. Pada kasus
sumbatan jalan napas parsial, pasien akan kelihatan sangat cemas, terdengar wheezing,
stridor, pada kondisi ini harus segera bertindak untuk menghilangkan sumbatan. Bila
sumbatan total kemungkinan tidak akan terdengar suara napas secara menyeluruh. Bila waktu
memungkinkan evaluasi indicator respirasi lainnya dapat dilakukan. Tanda terakhir yang
mengindikasikan perlunya bantuan jalan napas adalah hipoksia dan hiperkarbia. Penyebab
utama dibutuhkannya bantuan jalan napas adalah adanya henti kardiopulmoner, over dosis
obat, reaksi keracunan, sumbatan jalan napas (makanan, muntahan benda asing). Ancaman
gagal ventilasi akibat gagal jantung kongestif, asma berat, pneumonia juga merupakan
indikasi manajemen jalan napas termasuk intubasi endotrakeal. (Russo, 2013; Hamlin, 2009;
Prasenohadi, 2010)

2.3 Penilaian Awal Jalan Napas

Penilaian awal jalan napas dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi yang
ditujukan untuk menentukan apakah jalan napas terbuka dan terlindung dan apakah masih ada
napas yang adekuat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengelolaan jalan napas adalah:

Lihat: lihat gerakan napas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna
mukosa/kulit dan kesadaran. Pasien diamati untuk mendapat tanda objektif seperti sianosis,
frekuensi dan pola napas. Napas yang lambat atau cepat merupakan tanda telah terjadi
gangguan respirasi. Kelelahan otot pernapasan terjadi akibat keterlibatan otot-otot bantu
napas berupa retraksi suprasternal, supraklavikula, atau intercostal. Lihat pengembangan dada
apakah simetris atau asimetris. Cedera dinding dada dapat menyebabkan gerakan paradoksal
dinding dada. Inspeksi dan palpasi bagian tengah wajah dan mandibula harus dilakukan
karena cedera didaerah ini akan mengakibatkan kerusakan jalan napas. Leher harus dilihat
secara seksama apakah ada luka tembus, asimetris, atau pembengkakan yang dapat
menyebabkan gangguan jalan napas. Empisema subkutis menandakan adanya cedera jalan
napas. (Hamlin, 2009; Prasenohadi, 2010)

Dengar: dengarkan aliran udara pernapasan. Perubahan dan atau hilangnya suara merupakan
tanda adanya gangguan jalan napas. Suara normal menandakan jalan napas baik. Stridor
dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi laring atau setinggi trakea.

4
Snoring biasanya akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring. Afoni pada pasien
sadar merupakan tanda buruk, pasien yang membutuhkan napas pendek untuk bicara
menandakan telah terjadi gagal napas. Auskultasi didapatkan suara napas yang jernih dan
sama. Hilangnya suara napas dapat disebabkan oleh pneumotoraks, hemotoraks dan efusi
pleura. Sesak dan mengi menandakan adanya obstruksi jalan napas. (Hirshon, 2006;
Prasenohadi, 2010)

Rasakan: rasakan adanya aliran udara pernapasan dengan menggunakan pipi penolong. Buka
mulut dan lihat jalan napas atas. Hati-hati jangan sampai leher terlalu ekstensi dan memutar.
LIhat dan keluarkan benda yang ada dalam mulut. Kenali apakah ada pembengkakan lidah
atau uvula, sumber perdarahan atau kelainan lain di orofaring. Penggunaan tongue blade akan
sangat menolong. Kemampuan pasien untuk secara spontan mengeluarkan sekresi
menandakan bahwa mekanisme proteksi jalan napas masih baik. Pada pasein tidak sadar
hilangnya gag reflek seringkali berkaitan dengan hilangnya reflex proteksi jalan napas.
(Hirshon, 2006; Prasenohadi, 2010)

2.4 Tanda Adanya Sumbatan Jalan Napas

Sumbatan jalan napas dapat parsial dan total. Sumabtan jalan napas parsial ditandai
dengan adanya stridor, retraksi otot napas di daerah supraklavikula, suprasternal, sela iga dan
epigastrium selama inspirasi. Napas paradoksal (saat inspirasi dinding dada menjadi
cekung/datar buka mengembang). Napas makin berat dan sulit. Ada tanda sianosis yang
merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan napas yang berat. Sedangkan tanda
sumbatan jalan napas total, serupa dengan obstruksu parsial akan tetap gejala lebih hebat dan
stridor menghilang. Retraksi lebih jelas, gerakan paradoksal lebih jelas, kerja otot napas
tambahna meningkat dan makin jelas. Sianosis lebih cepat timbul. Sumbatan total tidak
berbunyi, menyebabkan asfiksia, henti naps dan henti jantung dalam waktu 5-10 menit bila
tidak dikoreksi. Sumbatan parsial berisik dan harus pula segera dikoreksi karena dapat
menyebabkan kerusakan otak, serta dapat menyebabkan henti napas dan henti jantung.
Tanda-tanda adanya sumbatan dapat mendengkur (snoring) berasal dari sumbatan pangkal
lidah. Cara mengatasi, chin lift, jawa thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring,
Pemasangan endobronkial. Seperti berkumur (gargling), ada cairan di daerah hipofaring. Cara
mengatasi dengan finger sweep, pengisapan. Stridor (crowing) sumbatan di plikas vokalis.
Cara mengatasi krikotiroidotomi atau trakeostomi. (PKB IPD, 2016)

5
2.5 Posisi Pasien

Tujuan pertama dari manajemen jalan napas adalah saluran napas yang paten atau
lapang. Ini semua dibutuhkan oleh pasien dengan benda asing pada saluran napas atau pasien
dengan penurunan kesadaran yang disertai dengan penurunan tonus otot faringeal.
Pentingnya posisi yang tepat tidak bias disepelekan. Keberhasilan manajemen jalan napas
ditentukan oleh hal yang sangat mendasar namun sering diabaikan. Menempatkan pasien
dalam posisi sniffing atau lateral decubitus dapat memperbaiki sumbatan jalan napas atas
akibat jaringan lunak yang menempel. Posisi sniffing tercapai dengan fleksi dari tulang leher
sekitar 150 dan ekstensi maksimal dari sendi atlantoocipital. Ekstensi kepala harus dihindari
pada pasien dengan kecurigaan gangguan tulang leher. Posisi ini juga dapat dicapai dengan
maneuver chin-lift dan jaw-thrust. Pada pasien yang gemuk dan payudara yang besar sering
tidak efektif dengan posisi supinasi. Posisi sniffing yang normal pada orang gemuk sering
tidak cukup untuk mengurangi sumbatan jalan napas. Menempatkan ramp atau gulungan di
bawah kepala dan bahu dapat mencapai posisi sniffing. (Russo, 2013)

Gambar 1. Posisi sniffing untuk manajemen jalan napas

2.6 Manajemen Jalan Napas Tanpa Alat

Jalan napas yang lapang/paten merupakan kondisi esensial untuk oksigenasi dan
ventilasi yang adekuat dan merupakan prioritas utama dalam tatalaksan jalan napas. Pasien
sadar akan menggunakan otot jalan napas dan reflek protektif untuk melindungi dari
kemungkinan aspirasi benda asing, cairan lambung, maupun secret. Pada pasien dengan sakit
berat, daya tahan atau kesadaran menurun, mekanisme proteksi jalan napas dapat berkurang

6
bahkan menghilang. Obstruksi jalan napas atas pada pasien yang tidak sadar kebanyakan
disebabkan oleh jatuhnya lidah dan epiglottis ke bagian posterior setinggi faring dan laring.
Sumbatan ini diakibatkan oleh hilangnya tonus otot submandibular yang menopang lidah
secara langsung dan epiglottis secara tidak lansung. (Russo, 2013)

Tindakan yang dilakukan untuk melapangkan/membuka jalan napas adalah maneuver


Chin lift (tindakan mengangkat dagu), maneuver jaw thrust (tindakan mengangkat sudut
rahang bawah), maneuver Head tilt (tindakan menekan dahi). Letakkan pasien pada posisi
terlentang pada alas keras atau selipkan papan kalau pasien di atas kasur. Jika tonus otot
menghilang, lidah akan menyubat faring dan epiglottis akan menyumbat laring. Lidah dan
epiglotis penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Untuk
menghindari hal ini dapat dilakukan tindakan atau maneuver head tilt-chin lift dimana
tindakan ini dilakukan dengan cara satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya
kepaka tengada, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati, sehingga hidung menghadap
ke atas dan epiglotis terbuka. (PKB IPD, 2016)

Jika henti jantung terjadi di luar luar sakit letakkan pasien dalam posisi terlentang,
lakukan maneuver triple airway (kepala tengadah, rahang didorong ke depan, mulut dibuka)
dan kalau rongga mulut ada cairan, lender atau benda asing lainnya, bersihkan dahulu
sebelum memberikan napas bantuan. Pasien tidak sadar hendaknya diletakkan horizontal,
tetapi kalan diperlukan pembersihan jalan napas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi
kepala di bawah untuk mengeluarkan benda asing atau cairan oleh gravitasi. Jangan
meletakkan pasien dalam posisi telungkup karena muka sukar dicapai, menyebabkan
sumbatan mekanis dan mengurangi gerakan dada. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal
atau handuk yang dilipat di bawah bahu mempermudah ekstensi kepala, akan tetapi jangan
sekali-kali meletakkan bantal di bawah kepala pasien yang tidak sadar (dapat menyebabkan
leher fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea. Pada
kasus trauma, pertahankanlah kepala dan leher pada satu garis lurus, ekstensika kepala
sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban ke samping, jangan fleksika
kepala. Jika korban harus dimiringkan untuk membersihkan jalan napas, pertahankan kepala,
leher, dada dalam stu garis lurus, sementara penolong lain memiringkan korban. (Hirshon,
2006)

Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala hanya dilakukan maneuver jaw
thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher. Maneuver jaw thrust dilakukan dengan

7
rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher.
Lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka karena lidah melekat pada rahang bawah. (Russo,
2013; Prasenohadi, 2010)

Untuk memeriksa jalan napas utamanya di daerah mulut dapat dilakukan teknik cross finger
yaitu dengan menggunakan ibu jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan
bawah. Bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan
pembersihan manual engan sapuan jari. Kegagalan membuka jalan napas dengan cara ini
perlu dipikirkan hal lain yaitu sumbatan jalan naps daerah faring atau adanya henti napas.
Bila hal ini terjadi pada pasien tidak sadar lakukan peniupan udara mulut atau bag. Bila dada
tidak mengembang maka kemungkinan ada sumbatan pada jalan napas dan dilakukan
maneuver Heimlich. Manuver Heimlich merupakan metode yang paling efektif untuk
mengatasi obstruksi saluran naps atas akibat makanan atau benda asing yang terperangkap
dalam faring posterior atau glotis. Manuver ini dapat dilakukan dengan posisi penolong
berdiri atau berbaring.

Posisi penolong berdiri biasanya pada pasien masih sadar. Penolong berdiri di
belakang korban dan memeluk pinggang korban dengan kedua belah tangan, kepalan salah
satu tangan digenggam oleh tangan yang lain. Sisi ibu jari kepalan tangan penolong
menghadap abdomen korban diantara umbilicus dan dada. Kepalan tersebut ditekankan
dengan sentakan ke atas yang cepat pada abdomen korban. Penekanan tersebut tidak
memantul dan ketika puncak tekanan perlu diberi waktu untuk menahan 0,5-1 detik dan
setelah itu tekanan dilepas, tindakan ini harus diulang beberapa kali. Naiknya diafragma
secara mendadak menekan paru-paru yang dibatasi oleh dinding rongga dada, meningkatkan
tekanan intratorakal dan memaksa udara serta benda asing keuar dari dalam saluran napas.
Untuk korban yang dalam keadaan tidak sadar, korban berbaring terlentang dan penolong
berlutut melangkahi panggul korban. Penolong menumpukkan kedua belah tangan pada
abdomen korban kemudian melaksanakan prosedur yang sama pada posisi berdiri. (Hirshon,
2006)

8
Gambar 2. Manuver Jaw Thrust

Gambar 3. Manuver Chin Lift

2.7 Manajemen Jalan Napas dengan Alat

Hilangnya tonus otot jalan naps bagian atas menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh ke
belakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan
teknik yang disukai untuk membebaskan jalan napas. Untuk mempertahankan jalan napas
lapang, jalan napas buatan dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk membuat
adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior. Pasien yang sadar
dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan napas buatan bila reflek
laring masih intak. Pemasangan oral airway kadang difasilitiasi dengan penekanan reflek
jalan napas dan kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. (Prasenohadi, 2010)

2.7.1 Oropharyngeal Airway

Beberapa alat sudah tersedia untuk mempertahankan jalan napas. Oropharyngeal


airway (OPA) atau guedel’s airway berbentuk S yang berguna untuk menahan lidah
yang menutup dinding posterior faring sehingga udara dapat mengalir dan penghisapan
dapat dilakukan melalui mulut. Sangat efektif untuk pasien napas spontan tetapi

9
terdapat gangguan reflek batuk. OPA digunakan dengan ukuran yang sesuai. Cara
mengukur dengan meletakkan salah satu ujungnya di ujung mulut dan ujung lainnya
harus mencapai ujung mandibula. OPA pada dewasa umumnya berukuran small (80
mm/ OPA no 3, medium (90 mm/OPA no 4), dan large (100 mmm/OPA no 5). (PKB
IPD, 2016)

2.7.2 Nasopharyngeal Airway

Nasopharyngeal airway (NPA) adalah pipa karet elastic berbentuk seperti


terompet tanpa cuff yang dapat dimasukkan melalui lubang hidung masuk ke dalam
faring. Digunakan pada pasien intoksikasi atau kesadaran menurun yang tidak dapat
menggunakan OPA. Efektif pada keadaan trauma, trismus, atau penghalang lain yang
menyulitkan masuknya OPA. NPA yang sesuai dengan pasien harus diukur mulai dari
ujung hidung hingga telinga dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari OPA. NPA
sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan gangguan perdarahan adanya resiko
epistaksis. Juga tidak digunakan pada pataha tulang basis cranii. Setiap pipa yang
masuk ke hidung harus dilubrikasi. (PKB IPD, 2016)

Gambar 4. Orofaryngeal airway

10
Gambar 5. Teknik pemasangan Orofaryngeal airway

Gambar 6. Nasofaryngeal airway

Gambar 7. Insersi Nasofaryngeal airway

2.7.3 Sungkup Ventilasi

Penggunaan sungkup dapat mengalirkan oksigen dari system napas ke pasien.


Lingkaran sungkup muka disesuaikan dengan bentuk muka pasien. Sungkup muka
dapat disambungkan mesin melalui konektor. Ventilasi yang efektif memerlukan jalan

11
yang bebas dan sungkup muka yang rapat dan tidak bocor. Teknik pemasangan
sungkup yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir bag kempes walaupun klepnya
ditutup. Hal ini menunjukkan adanya kebocoran sekeliling sungkup. Sebaliknya
tekanan sirkuit napas yang tinggi dengan tidak adanya pergerakan dada dan suara
pernapasan menunjukkan adanya obstruksi jalan napas. Bila sungkup muka dipegang
dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk melakukan ventilasi tekanan
positif dengan memompa kantong napas. Sungkup muka dipasang dengan penekanan
pada badan sungkup dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik
mandibular untuk ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada
mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat
terjadi obstruksi jalan napas. Jari kelingking ditempatkan di bawah sudut mandibula
dan digunakan untuk maneuver jaw thrust yang paling penting untuk dapat melakukan
ventilasi pasien. Pada situasi yang sulit diperlukan dua tangan untuk mendapat jaw
thrust yang adekuat dan sungkup muka yang rapat, karena itu diperlukan seorang
asisten untuk memompa kantong. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan oleh
tekanan kuat dari sungkup muka atau efek ball-valve dari jaw thrust. Terkadang sulit
memasang sungkup rapat di muka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya atau
memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat mengatasi kesulitan ini.
Tekanan normal ventilasi jangan sampai melebihi 20 cmH2O untuk mencegah udara
masuk ke lambung. Kebanyakan jalan napas pasien dapat dipertahankan dengan
sungkup muka, OPA, dan NPA. Ventilasi dengan sungkup muka dalam jangka
panjang dapat menimbukan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau
fasial. Bila sungkup muka dan ikatan sungkup digunakan dalam jangka lama maka
posisi harus sering diubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata dan
mata sebaiknya diplester untuk menghindari resiko abrasi kornea. (PKB IPD, 2016)

Gambar 8. Teknik sungkup. Ventilasi dengan satu tangan

12
2.7.4 Intubasi Endotrakeal

Pasien yang dilakukan intubasi endotrakeal secara darurat sering dalam keadaan tidak
berpuasa dan lambung berisi. Bila dilakukan bag ventilation mask dapat menyebabkan
distensi lambung dan dapat terjadi aspirasi. Tidakan intubasi yang umum dilakukan dalam
keadaan darurat disebut rapid sequence intubation (RSI). Untuk mencegah komlikasi
pertamakali pasien diberikan oksigen 100% agar oksigen terpenuhi dalam periode apneu.
Selanjutnya dilakukan induksi dan pemberian pelumpuh otot kerja cepat agar pasien tidak
napas dan paralisis, kemudia pasien diintubasi. RSI ini adalah tindakan standar pada unit
emergensi terutama untuk pasien dengan gagal ventilasi atau oksigenasi, ketidakmampuan
mempertahankan atau melindungi jalan napas, timbulnya gangguan yang disebabkan oleh
penyakit pasien, delivery of treatment, keamanan dan perlindungan pasien. Ada 7 langkah
yang dilakukan dalam tindakan RSI yaitu (PKB IPD, 2016):

Persiapan. Persiapan yang dilakukan adalah mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan


seperti alat penghisap (suction) Oksigen, airway equipment, obat-obatan dan alat monitoring.
Tahapan ini harus dilakukan agar tindakan intubasi dapat berjalan dengan baik. Alat
penghisap (suction) sebelumnya harus dicoba apakah baik dan telah tersedia. Masker oksigen
aliran tinggi dan perangkatnya harus siap. Peralatan untuk manajemen jalan napas sepeti
laringoskop paling tidak tersedia 2 buah dan berfungsi dengan baik dengan berbagai ukuran
blade. Pipa endotrakeal dengan beberapa ukuran harus tersedia. Laki-laki dewasa biasanya
menggunakan pipa endotrakeal ukuran 7,5 atau 8 dan perempuan dewasa 7,0 atau 7,5. Cuff
pipa endotrakeal dikembangkan terlebih dahulu sebelum digunakan, apakah ada kebocoran.
Stylet harus dimasukkan dalam pipa endotrakeal sesuai dengan bentuk jalan napas agar
mudah masuk. Obat-obat yang diperlukan juga tersedia, pasien terpasang infus dengan baik.
Monitoring tekanan darah dan pulse oxymetri harus tersedia untuk setiap pasien. (PKB IPD,
2016)

Preoksigenasi. Sebelum tindakan laringoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal harus


diberikan oksigen karena selama tindakan kemungkinan dapat terjadi penurunan saturasi
oksigen akibat henti napas dan pemberian pelumpuh otot. Waktu yang dibutuhkan terjadinya
desaturasi setelah preoksigenasi tergantung dari lamanya preoksigenasi, umur dan bentuk
badan pasien. Orang dengan obesitas cenderung lebih cepat terjadi desaturasi. Masker
oksigen non-rebreathing dapat memberikan konsentrasi oksigen 70-75%, sedangkan pasien
yang diberikan sungkup mulut dan hidung tanpa memompa kantong akan memberikan

13
oksigen 100%. Jika waktu sudah tidak mencukupi pasien harus segara dilakukan
preoksigenasi kembali dengan oksigen 100%. (Prasenohadi, 2010)

Pretreatment. Selama pemberian pelumpuh otot dan tidakan intubasi dapat terjadi gangguan
seperti peningkatan tekanan intracranial, tekanan intraokuler, tekanan intragaster,
bronkospasme, peningkatan efek simpatetik dan bradikardia. Beberapa obat yang dapat
digunakan untuk mengatasi gangguan tersebut diantaranya lidokain, opioid, atropine, dan
obat defasikulasi. (Prasenohadi, 2010)

Paralisis dan induksi. Pemberian obat induksi intravena secara cepat dan segera diikuti
pemberian pelumpuh otot agar terjadi paralisis total otot-otot motoric. Pasien harus mendapat
obat induksi sebelum mendapat pelumpuh otot. Obat induksi menyebabkan hilangnya
kesadaran sebelum dilakukan paralisis. Paralisis tanpa sedasi dapat menyebabkan gangguan
psikologi. Jika digunakan bersama dengan pelumpuh otot akan meningkatkan relaksasi otot
sehingga intubasi menjadi lebih mudah. Pelumpuh otot tidak memberikan efek analgetik,
sedasi atau amnesia jika digunakan saat melakukan intubasi. Idealnya pelumpuh otot
memiliki onset cepat kerja pendek dan sedikit efek samping. (Prasenohadi, 2010; Reicman,
2013; Danzi, 2006)

Proteksi dan Posisi. Setelah induksi dan pemberian pelumpuh otot pasien menjadi tidak
sadar dan henti napas. Saat ini sebaiknya dilakukan penekanan tulang rawan krikoid
(maneuver Sellick’s) oleh seorang asisten. Perasat ini dipertahankan sampai pipa endotrakeal
terasang pada posisi yang benar dan cuff telah dikembangkan. Jika maneuver ini dilakukan
terlalu dini dapat timbul muntah. Jika timbul muntah tindakan harus dihentikan agar resiko
rupture esophagus tidak terjadi. Keberhasilan tindakan intubasi tergantung dari umur,
anatomi, dan kondisi lainnya. Oleh karena itu posisi pasien harus diperhatikan. Jalan napas
dapat dibagi menjadi 3 aksis yaitu mulut, faring, dan laring. Posisi yang benar dan tepat
dengan memperhatikan aksis tersebut sebelum laringoskopi dan akan memperjelas gambaran
glotis, karena dalam keadaan normal aksis tersebut tidak segaris. (Prasenohadi, 2010)

Placement dengan Proof. Langkah selanjutnya adalah intubasi yang dilakukan jika paralisis
otot sudah sempurna dengan melakukan pencubitan mandibula secara pelan serta memeriksa
kekakuannya. Dengan laringoskop di tang kiri, mulut pasien dibuka dengan tangan kanan.
Laringoskop dimasukkan perlahan ke sisi kanan pasien sambil menggeser lidah ke kiri.
Jangan gunakan gigi sebagai penumpu laringoskop. Jika glotis tidak terlihat, operator atau
asisten dapat melakukan maneuver BURP (backward, upward, rightward, pressure) dengan

14
melakukan penekanan hingga glotis terlihat oleh operator. Setelah glotis terlihat, pipa
endotrakeal dimasukkan hati-hati dengan tangan kanan sampai cuff kira-kira 2-3 cm melewati
pita suara. Laki-laki dewasa sampai 23 cm di ujung mulut sedangkan perempuan 21 cm.
setelah pipa endotrakeal masuk stylet segera dikeluarkan dan cuff dikembangkan hingga tidak
terdengar kebocoran melalui bag-ventilation-mask (BVM). Preoksigenasi yang adekuat akan
memberikan kesempatan operator melakukan beberapa kali intubasi (jika terpaksa) sebelum
terjadi desaturasi oksigen. Monitoring dengan seksama terhadap irama jantung, tekanan
darah, dan saturasi oksigen. Jika setelah beberapa kali tidak berhasil, periksa ulang posisi
pasien, apakah perlu dilakukan perubahan posisi atau mengganti jenis dan ukuran
laringoskop. Jika intubasi yang tidak diinginkan terjadi seperti masuk ke esophagus, maka
pemeriksaan jalan napas harus dilakukan setiap setelah intubasi. Metode yang digunakan
untuk memastikan pipa endotrakeal yaitu pemeriksaan radiologi toraks, pulse oxymetri,
deteksi ETCO2. Foto toraks dapat digunakan untuk menentukan letak pipa endotrakeal.
Kombinasi teknik untuk menentukan letak pipa endotrakeal adalah seperti di bawah ini
(Prasenohadi, 2010):

1. Operator memastikan pipa endotrakeal telah melewati pita suara saar intubasi
2. Auskultasi suara napas menjadi jelas dan sama di kedua lapang paru
3. Tidak ada suara napas setelah melewati epigastrium
4. Amati pergerakan dada selama ventilasi
5. Amati kelembaban pipa endotrakeal

Pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri merupakan standar setelah intubasi.
Saturasi oksigen yang menurun setelah intubasi kemungkinan karena pipa endotrakeal
masuk ke esophagus. Tetapi penurunan ini terjadi belakangan jika pasien dilakukan
preoksigenasi. Meskipun pulse oxymetri penting tapi bukan merupakan indicator utama
keberhasilan pemasangan pipa endotrakeal. Hal ini dapat digunakan untuk menilai letak pipa
endotrakeal yang tepat pada trakea adalah dengan mengukur CO2 ekshalasi serta dengan
perlengkapan aspirasi yaitu bulb aspirasi dan syringe aspirasi.

Manajemen Pasca Intubasi. Setelah pemasangan pipa endotrakeal yang benar, ada beberapa
kondisi yang perlu diperhatikan. Pipa endotrakeal difiksasi dengan plester agar tidak berubah.
Tekanan darah dan tanda vital lainnya harus di pantau secara berkala. Bradikardi setelah
intubasi biasanya disebabkan pipa endotrakeal masuk ke dalam esophagus yang
menyebabkan hipoksia. Hipertensi setelah intubasi mungkin oleh karena sedasi yang kurang

15
kuat. Hipotensi bisa terjadi oleh karena pneumotoraks, penurunan venous return, penyakit
jantung atau obat induksi. Foto toraks dilakukan untuk menilai posisi dan kedalaman pipa
endotrakeal serta keadaan paru pasien. Kedalaman pipa endotrakeal umumnya 2-3 cm di atas
karina. Komplikasi yang sering dijumpai adalah masuknya pipa endotrakeal ke dalam
bronkus utama kanan. (Prasenohadi, 2010)

Gambar 11. Proses intubasi orotrakeal.

16
2.7.5 Intubasi Pasien Sadar

Anestesi local dan sedasi intravena ringan diperlukan bila melakukan intubasi pada
pasien sadar. Tidakan dilakkan dengan hati-hati, agar tidak tejadi reflek dan napas tetap
spontan sehingga glotis, pita suara, dan jalan napas dalam dapat terlihat. Tindaan inii sering
dilakukan pada luka bakar dan anafilaksis dengan peradangan jalan napas progresif atau
pasien dengan trauma leher anterior. Kerugian tindakan ini adalah tidak nyaman, gangguan
jantung dan tekanan intracranial tang meningkat. (Prasenohadi, 2010; Reicman, 2013)

2.7.6 Laryngeal Mask Airway (LMA)

Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan alat bantu untuk memberikan aliran
ventilasi tekanan positif (Pramono, 2016). Alat tersebut telah digunakan sejak tahun 1988.
Pada awalnya dibuat untuk digunakan dalam kamar operasi sebagai metode ventilasi elektif,
hal tersebut merupakan alternatif yang baik untuk bag-valve-mask ventilation, membebaskan
tangan pekerja dengan keuntungan berkurangnya distensi gaster (Bosson, 2016). Laryngeal
Mask Airway adalah alat supra glotis airway, didesain untuk memberikan dan menjamin
tertutupnya bagian dalam laryng untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali
pada mode level (<15 cm H2O) tekanan positif (Hartono, 2017). Pada awalnya digunakan
terutama di kamar operasi, sekarang ini LMA lebih banyak digunakan di tempat emergensi
sebagai suatu alat asesoris yang penting dalam manajemen kesulitan jalan nafas. Laryngeal
mask airway jenis klasik mempunyai kemampuan menjaga jalan napas secara adekuat serta
menyebabkan angka kejadian komplikasi dan morbiditas faringolaringeal yang rendah
(Yustisa, dkk, 2016).

LMA merupakan alat jalan nafas yang baik pada banyak keadaan, termasuk dikamar
operasi, ruang gawat darurat, dan perawatan diluar rumah sakit, karena alat mudah digunakan
dan cepat ditempatkan, bahkan untuk petugas yang tidak berpengalaman. Angka kesuksesan
hampir mencapai 100% di kamar operasi, walaupun alat ini mungkin rendah fungsinya di
situasi emergensi. Alat tersebut menghasilkan distensi gaster yang rendah dibandingkan
dengan bag-valve-mask ventilation, dimana mengurangi namun tidak menghilangkan resiko
aspirasi. Ini mungkin hal yang paling berhubungan pada pasien yang tidak dipuasakan
sebelum dilakukan ventilasi. LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan
medis, terdiri dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga berfungsi sebagai

17
balon yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan sudut sekitar 30°. LMA dapat
dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave, namun demikian juga tersedia
LMA yang disposable (Gomillion, 2008).

Indikasi dan Kontraindikasi

LMA digunakan pada pasien emergensi atau pasien yang sudah teranestesi, tetapi sulit
diintubasi atau tidak memungkinkan untuk dipasang sungkup muka (Pramono, 2016).
Prinsipnya LMA dapat digunakan pada semua pasien yang bila dilakukan anastesi dengan
face mask dapat dilakukan dengan aman (kecuali penderita-penderita yang memiliki kelainan
orofaring). Indikasi pemakaian LMA menurut Setiawaty (2012) dijelaskan sebagai berikut.

1) Alternatif face mask dan intubasi endotrakheal untuk penanganan jalan nafas sulit.
2) Penanganan airway selama anastesi umum pada : rutin ataupun emergency,
radioterapi, CT-Scan/MRI, resusitasi luka bakar, ESWL, adenotonsilektomi,
bronkoskopi dengan fiberoptik fleksibel, resusitasi neonatal.
3) Situasi jalan nafas sulit: terencana, penyelamatan jalan nafas, membantu intubasi
endotrakeal.

Diluar indikasi di atas kondisi-kondisi berikut ini merupakan kontraindikasi


penggunaan LMA:

1) Resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (tidak puasa).

2) Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya


artitis rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan
memasukkan LMA lebih jauh ke hipofaring sulit.

3) Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar.

4) Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya.

5) Kelainan pada orofaring (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan).

6) Ventilasi satu paru.

18
Teknik Insersi LMA
Macam macam teknik insersi LMA
1) Teknik klasik/ standar (Brain original teknik).
2) Inverted/ reverese /teknik rotasi.
3) Lateral approach inflated atau deflated cuff.
Keberhasikan insersi LMA tergantung dari hal hal sebagai berikut
1) Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran pada balon
LMA.
2) Pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan mengahadap keluar
berlawanan arah dengan lubang LMA.
3) Lubrikasi hanya pada sisi belakang dari LMA.
4) Pastikan Anestesi telah adekuat.
5) Posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing
6) Gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum durum terus
turun sampai hipofaring sampai terasa tahanan yang meningkat. Garis hitam
longitudinal seharusnya selalu menghadap ke cephalad (menghadap ke bibir atas
pasien).
7) Kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai.
8) Pastikan pasien dalam anestesi yang dalam selama memposisikan pasien.
9) Obstruksi jalan nafas setelah insersibiasanya disebabkan oleh epiglotis yang terlipat
kebawah atau laryngospasme sementara.
10) Hindari suction pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA sampai
penderita betul betul bangun (Morgan, dkk, 2013)

Gambar 12. Posisi anatomi pemasangan LMA

19
Gambar 13. Teknik Pemasangan LMA

Komplikasi Pemasangan LMA

1) Komplikasi mekanikal (kinerja LMA sebagai alat)


a. Gagal insersi (0,3 - 4%).
b. inefective seal (< 5%).
c. Malposisi 20-35 %.
2) Komplikasi traumatik (kerusakan jaringan sekitar)
a. Tenggorakan lecet (0-70%).
b. Disfagia (4-24 %).
c. Disartria (4-47%).
3) Komplikasi patofisiologis (efek penggunaan LMA pada tubuh)
a. Batuk (<2 %).
b. Muntah.
c. Regurgitasi yang terdeteksi.
d. Regurgitasi klinik (Morgan , 2012).

20
Algoritma Airway Difficult

21
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Manajemen jalan napas adalah tindakan yang dikerjakan untuk melapangkan atau
membebaskan saluran napas dengan tetap memperhatikan control servikal, yang bertujuan
untuk menjamin keluar masuknya udara ke paru-paru secara normal sehingga menjamin
kecukupan oksigen dalam tubuh. Manajemen jalan naps diindikasikan pada pasien yang
mengalami gangguan jalan napas utamanya obstruksi jalan napas. Sebelum melakukan
manajemen jalan napas, perlu dilakukan penilaian terhadap pernapasan pasien dengan cara
melihat, mendengar, dan merasakan pernapasan setiap pasien yang akan dilakukan tindakan.
Posisi pasien sangat penting untuk keberhasilan manajemen jalan napas dan posisi yang
diharapkan disebut posisi sniffing. Adapaun tindakan melapangkan jalan napas dapat
dilakukan dengan tanpa alat dan dengan alat. Tindakan tanpa alat biasanya dilakukan dengan
beberapa maneuver seperti headtilt, chin lift, dan jaw thrust sedangkan dengan alat dapat
menggunakan pipa orofaryngeal, pipa nasofaryngeal, dan pipa endotrakeal.

22
Daftar Pustaka

Pendidikan Kedoktern Berkelanjutan XXIV. 2016. Emergency in Internal Medicine:


Innovation for Future. FK UNUD RSUP Sanglah.

Russo CJ, Kasutto Z. 2013. Basic Airway Management in Reichman EF. Editors. Emergency
Medicine Procedures 2nd ed. New York: Mc Graw Hill education Medicine, p. 40-47

Hamlin MP, Tsai MH. 2009. Airway Managemen in Parsons PE, Heffner JE, editors.
Pulmonary Respiratory Therapy 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, p. 473-483

Hirchon JM. Basic Cardiopulmonary Resusitation in Adults. 2006. In Tintinalli JE, Kelep
GD, Stapczyinski JS, editors. Emergency Medicine A Comprehensive Study guide 6 th
ed. American College of Emergency Physician. New York: McGraw-Hill, p. 66-71

Prasenohadi. Manajemen jalan napas. 2010. In Swidarmoko B, Dwi Santoso A, editors


Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas. Jakarta: Departemen Pulmonologi
dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, p.270-329.

Roman AM. 2006. Noninvasive Airway Management. In Tintinalli JE, Kelen GD,
Stapczyinski JS, editors. Emergency Medicine A Comprehensive Study guide 6th ed.
American College of Emergency Physician. New York: McGraw-Hill, p.102-108

Reicman EF, Cornett J. 2013. Corrnett J. Orotracheal Intubation. In Reichman EF editors.


Emergency Medicine Procedures 2nd ed. New York: McGraw-Hill education
Medicine, p.64-76

Danzi DF, Vissers RJ. 2006. Tracheal Intubation and Mechanical. In Tintinalli JE, Kelen GD,
Stapczyinski JS, editors. Emergency Medicine A Comprehensive Study guide 6th ed.
American College of Emergency Physician. New York: McGraw-Hill, p.108-119

23

Anda mungkin juga menyukai