Anda di halaman 1dari 2

Lakukan Pekerjaan Yang Kira-kira Diterima Allah

Merespons keinginan Angkasa Pura agar diuraikan arti pelayanan atau


kerja sebagai bagian dari ibadah, Cak Nun menjabarkan pelan-pelan.
Dalam bahasa Arab, pelayanan adalah ‘ibadah’. Rumus dasarnya jelas:
“Dan Tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah”.
Ibadah yang Allah tentukan bentuk dan caranya disebut ibadah Mahdhoh.
Adapun yang manusia mendapatkan kesempatan untuk menciptakan cara
dan konteksnya disebut ibadah Muamalah. “Kalau hidup hanya ibadah
mahdhoh, terus apa sesudah itu. Habis sholat subuh, apakah lalu diam?
Untunglah ada ibadah muamalah.”

Semua kembali kepada konteksnya. Maka, bagaimana jalan keluarnya


sebab manusia tidak boleh hidup kecuali untuk ibadah? Jawabnya: semua
pekerjaan di luar ibadah Mahdhoh direkrut menjadi ibadah. Jadi apapun
saja diniati sebagai ibadah. Caranya? Caranya adalah semua laku diarahkan
ke pekerjaan-pekerjaan yang kira-kira diterima Allah. Dan, agar supaya
diterima Allah maka jangan sampai pekerjaan itu melanggar aturan Allah.
Inilah kunci pertama dari Cak Nun. Niati sebagai ibadah dan tentukan
perbuatan supaya Allah senang.
Syekh Ibnu Athaillah mencoba menjawab kenapa Allah mewajibkan ibadah kepada manusia
dalam Al-Hikam-nya berikut ini:

Artinya, “Allah memaklumi rendahnya semangat hamba-Nya untuk berinteraksi dengan-Nya,


maka dari itu Dia mewajibkan adanya ketaatan untuk mereka sehingga Dia menggiring mereka
kepada-Nya dengan belenggu kewajiban.” Menerangkan hikmah ini, Syekh Syarqawi
mengatakan bahwa manusia cukup berat untuk melakukan ibadah secara sukarela dan
berdasarkan inisiatif sendiri karena kelemahan kemauan dan kemalasan merupakan watak
pembawaan manusia.

Artinya, “(Allah memaklumi rendahnya semangat hamba-Nya untuk berinteraksi dengan-Nya)


maksudnya untuk menghadap-Nya melalui ibadah dan menunaikan hak ketuhanan lainnya
secara sukarela karena adanya kelemahan semangat dan ada kemalasan di dalam diri mereka,”
(Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, [Indonesia, Al-Haramain: 2012 M], juz II, halaman 31).

Menurutnya, seorang wali mendidik dan memberikan aturan bagi anak kecil yang mana itu
berat dan tidak disukai oleh si kecil ketika itu. Tetapi aturan tersebut mengandung manfaat di
kemudian hari bagi si kecil yang akan disadari maslahatnya kelak ketika ia telah dewasa. Dengan
kata lain, maslahat dan manfaat kewajiban ibadah itu akan disadari oleh manusia kelak di
akhirat. Semua maslahat itu berpulang kepada manusia, bukan kepada Allah karena Allah tidak
butuh pada ibadah hamba-Nya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K) TAGS: ibnu athaillah

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/94257/kenapa-harus-ada-kewajiban-ibadah-untuk-
manusia
bahwa sebenarnya dalam setiap pekerjaan itu ada makna ganda. Yaitu,
suatu pekerjaan dilakukan sebagai jalan untuk mencari uang/nafkah, tetapi
juga sekaligus sebagai jalan untuk nyenengke/ngabekti kepada Allah.
Bahkan Mbah Nun mengatakan, “Setiap yang kita putuskan itu berdimensi
banyak, maka isilah dengan niat baik yang banyak.” Pekerjaan dan niat
sangat berhubungan, dan jangan dipisah.
Bahkan berangkat dari pertanyaan Mbah Nun dan obrolannya tadi, sempat
pula saya bertanya-tanya, sebenarnya yang dimaksud pekerjaan itu apa ya.
Wah, maaf, jadi berkembang. Mbah Nun pernah bertanya apakah menjadi
seorang Bupati atau Gubernur itu pekerjaan ataukah pengabdian?
Berdasarkan apakah sesuatu itu disebut pekerjaan? Apakah berdasarkan
kaitannya dengan uang yang diperoleh dari pekerjaan tersebut? Jika iya,
sulitlah kiranya seseorang yang menjabat sebagai bupati disebut,
pekerjaan: bupati; dikarenakan tekanan utama jabatan bupati adalah
pengabdiannya kepada masyarakat. Term pekerjaan tiba-tiba menjadi
tidak fixed dan tidak stabil maknanya dalam pikiran saya. Tetapi, dari
semua itu, saya merasa melalui triple keywords yang sedang kita pelajari,
Mbah Nun telah mengantarkan pada detail di dalamnya: meninjau kembali
pandangan mengenai uang dan pekerjaan. Sebagian detail terkait sudah
teman-teman pahami: uang sebagai akibat, uang sebagai tanda syukur, dll.

Rasulullah bersabda: Sungguh, Allah amat suka jika seorang di antara


kamu bekerja dia tekun dan sungguh-sungguh dalam pekerjaannya.
Maka kriteria untuk menentukan nilai suatu pekerjaan bukan saja dari
hasilnya tapi yang lebih utama adalah dari prosesnya, yaitu kesungguhan
dan ketekunan yang melakukannya.

Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”. (HR.
Thabrani dan Baihaqi)

Anda mungkin juga menyukai