Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau penggambaran
dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga kognitif.
Nyeri selalu bersifat subyektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang
sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu tersebut. Melzack dan
Casey menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan interaksi dari tiga sistem (dimensi)
yang berkaitan dengan stimulasi nosiseptif, yaitu sensori-diskriminatif, motivasi-afektif, dan
kognitif-evaluasi. Ketiga sistem ini berkontribusi terhadap subyektifitas nyeri dan
integralisasi faktor psikologis dalam pengalaman nyeri.
Berdasarkan perjalanan waktunya, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan
nyeri kronik. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba sedangkan nyeri kronik adalah nyeri
konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu tertentu.
Nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien-pasien untuk memasuki
tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling umum diberikan untuk
pengobatan terhadap diri sendiri. Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit untuk
ditangani, diobati, atau dikontrol daripada nyeri akut.
Nyeri kronik dapat berdampak pada semua area kehidupan seseorang dan seringkali
berasosiasi dengan masalah-masalah lingkungan sosial. Nyeri kronik dapat memiliki dampak
yang signifikan terhadap keluarga dan rekan-rekan penderita. Nyeri kronik merupakan situasi
yang menurunkan moral, yang mengkonfrontasi penderita tidak hanya dengan stress yang
berasal dari nyeri tetapi juga dengan banyak kesulitan-kesulitan lain yang menyertai yang
mempengaruhi semua aspek kehidupan.
Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Dimensi ini meliputi dimensi
fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan perilaku (behaviour), dan sosial-kultural yang saling
berhubungan, berinteraksi, serta dinamis. Nyeri kronik merupakan suatu problem kesehatan
yang kompleks, kadang dengan etiologi yang belum jelas, dan sering mendapatkan terapi
dengan hasil yang kurang memuaskan bagi pasien. Diperlukan pengetahuan yang mendalam
bagi tenaga kesehatan, pendekatan multidisiplin keilmuan, serta melibatkan pasien, keluarga,
dan lingkungan untuk dapat menangani pasien nyeri kronik secara optimal.
Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada penderita sebagai individu
seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi (Cheville, 2010). Perawatan ini diperlukan
bagi penderita dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan seperti kanker dan penyakit
infeksi HIV AIDS.
Sejak penyakit tersebut didiagnosis dan muncul gejala, sampai pada stadium lanjut bahkan
hingga hari terakhir hidupnya, penderita memerlukan perawatan paliatif agar mencapai
kualitas hidup yang terbaik bagi penderita serta keluarganya (Clinch dan Schipper, 1996).
Pemerintah telah memberikan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang
tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
604/MENKES/SK/IX/1989. Terdapat empat subkomite di dalam Komite Nasional
Penanggulangan Penyakit Kanker yaitu subkomite pencegahan, subkomite deteksi dini,
subkomite terapi, serta subkomite perawatan paliatif dan bebas nyeri (Tejawinata, 2012).
Rehabilitasi merupakan suatu proses untuk membantu seseorang mencapai potensi
fisik, psikologik, sosial, vokasional dan edukasional sepenuhnya yang konsisten dengan
gangguan/impairement fisiologik atau anatomiknya, keterbatasan lingkungannya,
keinginannya, serta rencana hidupnya (Palma dan Payne, 2001).
Perawatan paliatif muncul sebagai dua bagian yang penting dalam penanganan
penderita stadium lanjut atau kronis. Keduanya sama-sama memiliki tujuan sebagai
perawatan yang komprehensif, multidisiplin, untuk mempertahankan fungsi fisik dan
kemandirian penderita. Dengan demikian kualitas hidup penderita dapat diperbaiki dan beban
perawatan bagi para keluarga atau pengasuh penderita dapat dikurangi (Tulaar, 2012).

B. TUJUAN

BAB II
PEMBAHASAN
A. NYERI KRONIK
1. DEFINISI
Definisi nyeri yang paling luas diterima adalah yang diambil dari
International Association for the Study of Pain (IASP), yaitu : pengalaman sensorik
dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan,
baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan
tersebut.
Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang
berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal. Ada yang
berpendapat lama nyeri kronis adalah berlangsung lebih dari 6 bulan.
Pustaka lain menyebutkan bahwa nyeri didefinisikan sebagai nyeri kronik jika:
1. berlangsung melampaui waktu yang diperlukan untuk penyembuhan nyeri akut
atau penyembuhan jaringan
2. jika berhubungan dengan proses patologis kronis
3. nyeri rekuren dalam interval bulan atau tahun

2. KLASIFIKASI NYERI KRONIK


Berdasarkan mekanisme patofisiologinya nyeri kronis terbagi menjadi :
a. Nyeri Nosiseptik
Nyeri nosiseptik timbul sebagai akibat dari aktivasi nosiseptor perifer yang
berlokasi pada jaringan yang mengalami kerusakan dan ditransmisikan ke saraf
pusat melalui jalur sensori neural yang berfungsi secara normal.
Nyeri nosiseptik umumnya berkaitan dengan derajat kerusakan jaringan somatik
atau visceral.
b. Nyeri Neuropatik
Nyeri Neuropatik dihasilkan dari kerusakan atau perubahan strukur dan fungsi
jaringan saraf. Nyeri neuropatik dapat timbul berkaitan dengan proses
somatosensorik yang menyimpang pada saraf tepi atau sistem saraf pusat
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik sering dirujuk sebagai gangguan somatisasi. Penyebabnya
didasari oleh adanya gangguan emosional atau stressor yang sering tidak disadari
pasien. Nyeri psikogenik timbul walaupun tidak ditemukan organ sumber nyeri
yang dapat diidentifikasi.
3. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 10-20% dari populasi dunia menderita nyeri kronik. Penelitian di
Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa 10-11% dari penduduk mempunyai
gejala nyeri kronik di seluruh bagian tubuh yang menetap sedang 20-25% mengalami
nyeri kronik regional dengan perempuan 1,5 kali lebih banyak dari laki-laki.

4. FISIOLOGI NYERI
Pada keadaan normal nyeri bertindak sebagai mekanisme alarm yang
mengindikasikan adanya kerusakan atau potensi kerusakan di dalam tubuh manusia.
Namun pada nyeri kronik terjadi perubahan mekanisme sehingga tidak selalu
mencerminkan proses patologi yang sebenarnya.
Nyeri timbul sebagai respon terhadap stimulasi struktur nosiseptif. Stimulus
dijalarkan melalui sepanjang saraf tepi ke sistem saraf pusat. Sensasi nyeri dan
respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
mekanisme fisiologi reseptor nyeri, struktur anatomi sistem saraf nyeri, keadaan
psikologi, emosional, perilaku, dan motivasi dari masing-masing individu. Variasi
dalam beberapa faktor tersebut dapat memberikan perbedaan persepsi, derajat, tipe
lokasi dan durasi nyeri.
Interaksi yang komplek antara stimulus dari kerusakan jaringan dan
pengalaman subyektif dari nyeri kronis dapat digambarkan dengan proses umum
yang dikenal sebagai transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

B. PEMERIKSAAN DAN GAMBARAN KLINIS


1. PEMERIKSAAN
Penilaian nyeri kronik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian
komprehensif mengenai intensitas nyeri, faktor psikososial yang berhubungan
dengan pengalaman nyeri dan faktor-faktor yang mempengaruhi tidur, aktivitas
kehidupan sehari-hari, keadaan keluarga, dan pekerjaan. Keluhan subyektif
mengenai derajat nyeri merupakan bagian yang penting sebagai penilaian awal dan
untuk evaluasi pada kunjungan berikutnya.
a. Anamnesis
Anamnesis berfokus pada jangka waktu, kronologi, intensitas, lokasi nyeri,
faktor yang memperberat atau memperingan, serta gejala penyerta nyeri. Status
fungsional pasien harus ditetapkan. Reaksi terhadap intervensi diagnostik dan
terapeutik harus diperhatikan, karena hal tersebut bisa menjadi perkiraan respon
pengobatan mendatang.
Riwayat terdahulu mengenai masalah iatrogenik karena prosedur yang tidak
sesuai atau tidak perlu harus digali. Dicari riwayat penyalahgunaan zat kimia
atau perilaku kecanduan karena hal ini merupakan indikator prognosis negatif.
Riwayat sosial, ekonomi, dan kondisi psikologis perlu dicatat karena pasien
sering barhadapan dengan masalah-masalah tersebut.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Harus Lengkap, Berfokus pada sistem neurologi dan
muskuloskeletal. Saraf kranialis harus dinilai. Sensasi protopatik (nyeri, suhu,
sentuhan raba) sensasi propioseptik (tekanan dalam, getaran, posisi) dan sensori
kortikal (two point tactile discrimination, extinction phenamenon) harus didata.
Pola anatomis nyeri dan gangguan sensorik sering memberikan petunjuk tingkat
lesi atau dasar organik yang sesuai dengan keluhan. Contohnya hilangnya sensasi
sentuhan ringan pada tangan dan lengan, tapi tetap mampu mengenali benda dan
melakukan gerakan motorik halus (yang membutuhkan masukan sensorik yang
utuh), memberikan perkiraan bahwa pasien berpura-pura sakit atau somatisasi
yang berlebihan.

2. GAMBARAN KLINIS
The American Medical Association mendefinisikan dan menjabarkan gambaran
nyeri kronik sebagai berikut:
1. Durasi
Menurut literatur lama, istilah nyeri kronik dipakai untuk nyeri yang
berlangsung lebih dari 6 bulan, namun beberapa pendapat terbaru menyatakan
sindrom nyeri kronik dapat didiagnosis lebih awal, 2 sampai 4 minggu setelah
onset nyeri. Evaluasi dan penatalaksanaan dini yang tepat sangat penting.
2. Dramatisasi
Pasien dengan nyeri kronik memperlihatkan perilaku nyeri verbal dan
nonverbal yang tidak lazim. Kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan
nyeri kronik penuh emosi, dibuat-buat, dan berlebihan. Pasien memperlihatkan
postur dan perilaku maladaptatif, merintih, mengerang, terengah-engah atau
meringis.
3. Dilema diagnostik
Pasien cenderung memiliki riwayat telah dievaluasi oleh banyak dokter dan
telah menjalani berbagai pemeriksaan penunjang, meskipun dengan hasil klinis
yang samar-samar, inkonsisten, dan tidak akurat.
4. Obat-obatan
Ketergantungan dan penyalahgunaan obat sering menyertai pasien nyeri kronik.
Pasien mendapat resep dan menkonsumsi secara berlebihan berbagai macam
obat.
5. Ketergantungan
Pasien menjadi tergantung terhadap dokter dan membutuhkan perawatan yang
berlebihan. Mereka menjadi tergantung terhadap pasangan hidup dan keluarga,
serta melepas tanggung sosialnya.
6. Depresi
Hasil tes psikologi menunjukkan depresi, hipokondriasis, dan histeria. Pasien
cenderung tidak bahagia, putus asa, ketakutan, mudah tersinggung, atau
bersikap bermusuhan.
7. Disuse
Imobilisasi yang berkepanjangan dan berlebihan menyebabkan nyeri
muskuloskeletal sekunder. Pemakaian splint dan imobilisasi yang tidak tepat
menyebabkan disfungsi muskuler dan deconditioning sehingga memperburuk
keluhan nyeri pasien.
8. Disfungsi
Pasien menjadi menarik diri dari lingkungan pergaulan, diberhentikan dari
pekerjaan, kehilangan aktivitas rekreasional, menjauhkan diri dari teman dan
keluarga, dan terisolasi. Hal tersebut menyebabkan pasien mengalami masalah
fisik, emosi, sosial, dan ekonomi

C. PENGUKURAN NYERI
Nyeri merupakan pengalaman sebyektif dan kompleks yang melibatkan faktor
sensori, emosi, psikologi, dan sosial. Saat ini nyeri dapat dimasukkan sebagai tanda vital ke
lima selain respiration rate, tekanan darah, heart rate, dan suhu tubuh.
Nyeri dapat dinilai menggunakan berbagai alat ukur. Diantaranya dapat dipakai Self
assessment tools dimensi tunggal atau multidimensi. Apabila nyeri yang diukur dengan sellf
assessment tools tersebut tidak sesuai dengan hasil pemer iksaan fisik, dianjurkan untuk
menggunakan behavioral assessmnet. Pada anak bayi, anak usia dibawah 3 tahun, pasien
dengan gangguan kognitif dapan dipakai skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry,
Consolalility)
Alat ukur dimensi tunggal yang paling sering dipergunakan untuk evaluasi nyeri
diantaranya Visual Analogue Scale, Numerical Rating Scale, Wong Baker Faces Scale.

1.

2.

3.
Gambar 2.9. 1. Visual Analogue Scale, 2. Numerical Rating Scale,
3.Wong Baker Faces Scale.

D. MANAJEMEN NYERI DALAM PERAWATAN PALIATIF


Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada penderita sebagai
individu seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi (Cheville, 2010). Perawatan ini
diperlukan bagi penderita dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan seperti
kanker dan penyakit infeksi HIV AIDS. Sejak penyakit tersebut didiagnosis dan muncul
gejala, sampai pada stadium lanjut bahkan hingga hari terakhir hidupnya, penderita
memerlukan perawatan paliatif agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi penderita
serta keluarganya (Clinch dan Schipper, 1996).
World Health Organization (WHO) memberi batasan perawatan paliatif sebagai
“perawatan total dan aktif pada penderita dengan penyakit yang tidak responsif terhadap
pengobatan atau kuratif”. Perawatan terutama dalam kontrol nyeri dan keluhan yang lain,
masalah psikologis, sosial dan spiritual. Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian
kualitas hidup terbaik yang memungkinkan bagi penderita dan keluarga (Johnston B,
2005; Tulaar 2012; Cheville, 2010). Pada tahun 2002, WHO memberikan batasan baru
untuk perawatan paliatif sebagai “suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup
penderita dan keluarga yang menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang
mengancam jiwa, melalui pencegahan dan pengurangan penderitaan dengan cara
identifikasi dini dan asesmen serta tatalaksana yang tepat untuk nyeri dan masalah lain,
baik fisik, psikososial dan spiritual ” (WHO, 2012).

1. FARMAKOTERAPI
Dalam menentukan terapi medikamentosa yang paling dapat juga merupakan
suatu nyeri neuropatik. Dalam beberapa kasus nyeri tertentu, pasien mencapai derajat
analgesia yang memuaskan dengan pemberian antidepresan. Penggunaan obat opioid
dalam jangka lama bukanlah jalan keluar yang terbaik untuk pengelolaan semua jenis
sindom nyeri.
Konsep analgesia multimodal merupakan pendekatan farmakologi dengan
menggunakan dosis kecil dari beberapa obat berbeda yang saling bersinergi untuk
mencapai perbaikan derajat nyeri yang maksimal dengan efek samping yang minimal
dengan memperhatikan interaksi antar obat dan kondisi pasien
Dalam penatalaksanaan nyeri nosiseptif dikenal beberapa golongan obat,
antara lain golongan non opioid analgetik dan opioid. WHO membuat suatu acuan
untuk pemakaian obat-obatan yang rasional sesuai dengan derajat nyeri yang
dirasakan. Pemakaian pedoman ini terutama untuk menangani masalah nyeri
nosiseptif.
Penggunaan analgetik menurut tahapan analgetik WHO

Seseora
ng dicurigai menderita nyeri neuropatik ketika nyeri dikeluhkan sebagai terbakar,
tertembak, tertusuk-tusuk, tajam, diris-iris, atau sensasi yang aneh. Pada pemeriksaan
fisik kadang tidak ditemukan kerusakan jaringan yang nyata. Analgesik konvensional
sering tidak efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik. Obat yang digunakan untuk
mengatasi nyeri neuropatik disebut analgetik adjuvant karena indikasi utama obat ini
adalah bukan untuk nyeri (antidepresan, antikonvulsan, antihipertensi)
2. REHABILITASI MEDIK DALAM PERAWATAN PALIATIF
a. Terapi Fisik
Fisioterapis menggunakan terapi latihan aktif maupun pasif, teknik manual,
traksi, dan modalitas fisik untuk menangani masalah nyeri dan hubungannya
dengan fleksibilitas, kekuatan, endurance, keseimbangan, kontrol neuromuskuler,
postur, serta mobilitas. Terapi fisik dapat membantu membangun kepercayaan diri
pasien, mengurangi ketakutan untuk bergerak dan kekawatiran terhadap cedera
ulang,
Modalitas adalah agen-agen fisik yang digunakan untuk menghasilkan respon
terapi pada jaringan. Modalitas tersebut antara lain pemakaian panas, dingin, air,
suara, daya listrik, gelombang elektromagnetik (termasuk sinar infra merah, sinar
tampak; shortwave; dan microwave), traksi, manipulasi, dan massage. Modalitas-
modalitas tersebut umumnya digunakan sebagai terapi tambahan, bukan sebagai
intervensi kuratif primer tunggal dalam penatalaksanaan nyeri kronik.
Pemilihan modalitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan mempunyai
pemahaman mengenai modalitas akan membuat kita dapat membuat pemilihan
yang tepat. Bentuk tubuh mempengaruhi pemilihan modalitas karena jaringan
adiposa subkutan berdampak pada dalamnya penetrasi pada banyak modalitas.
Kondisi komorbid juga sebaiknya dipertimbangkan. Sebagai contoh, baik dingin
maupun panas dapat mengakibatkan efek yang buruk terhadap pasien yang
mengalami insufisiensi arterial yang signifikan. Dingin dapat mengakibatkan efek
yang buruk melalui vasokonstriksi arterial, dan panas dapat menyebabkan
komplikasi melalui peningkatan aktivitas metabolik, yang dapat melampaui
peningkatan potensial pada aliran darah dan menghasilkan iskemia. Umur juga
menjadi faktor dalam pemilihan modalitas.
Pada populasi pediatrik, umumnya ultra sonik (US) sebaiknya tidak mendekati
epifise yang masih terbuka. Pada populasi orang lanjut usia, bisa terdapat
komorbiditas yang akan mempengaruhi pemilihan modalitas. Jenis kelamin juga
berperan dalam penggunaan modalitas, karena malformasi janin telah dilaporkan
setelah penggunaan ultra sonik di dekat uterus gravid.
b. Modalitas Thermal
Bentuk modalitas panas dapat diklasifikasikan menurut kedalaman penetrasi
dan bentuk transfer panas. Kedalaman penetrasi dibagi menjadi superfisial dan
dalam. Panas superfisial meliputi hot packs, heating pads, paraffin baths,
Fluidotherapy, whirlpool baths, dan radiant heat. Agen pemanas dalam (atau
diatermi) meliputi US, shortwave, dan microwave. Mekanisme transfer panas
terdiri dari konduksi, konveksi, radiasi, evaporasi, dan konversi.
Konduksi adalah penghantaran energi panas antara dua benda dengan kontak
langsung. Konveksi menggunakan gerakan suatu medium (seperti, air, udara,
darah) untuk menghantarkan energi panas, meskipun transfer yang sebenarnya
dari energi panas tetap dilakukan melalui konduksi. Radiasi adalah radiasi panas
yang dipancarkan dari semua benda yang mempunyai suhu permukaan di atas nol
absolut (-273,15°C atau –459,67°F). Evaporasi melibatkan perubahan bentuk dari
cair menjadi gas, proses yang memerlukan energi panas. Evaporasi sebenarnya
merupakan proses penguapan panas, dan berperan pada modalitas pendingin
seperti vapocoolant sprays. Konversi adalah transformasi energi (seperti, suara,
elektromagnetik) menjadi panas.
Berbagai kondisi yang yang menyebabkan modalitas panas tidak dapat
diberikan adalah diatesis perdarahan, edema akut, jaringan parut yang besar,
gangguan sensasi, keganasan, infeksi, penurunan kognisi atau komunikasi dimana
pelaporan rasa nyeri tidak dapat diberikan
Modalitas dingin pada nyeri kronis diberikan pada kasus nyeri yang berkaitan
dengan spastisitas. Pengaruh terapi dingin pada spastisitas berhubungan dengan
menurunnya aktivitas gamma motor neuron dan selanjutnya berkurangnya
aktivitas serabut aferen serta meningkatnya aktivitas organ tendon golgi.
Aplikasi selama 10-30 menit atau lebih lama dapat menurunkan klonus dan
tahanan terhadap regangan pasif.
c. Hidroterapi
Hidroterapi adalah penggunaan air secara eksternal untuk tatalaksana disfungsi
fisik. Efek terapi didapatkan dengan memanfaatkan sifat air berupa daya apung,
densitas relatif, dan viskositas, suhu, dan agitasi. Daya apung akan membentuk
latihan asistif (saat dilakukan gerakan mengarah ke permukaan air), dan latihan
resistif (saat terjadi gerakan menjauhi permukaan air). Tekanan hidrostatik
membantu sirkulasi dan menurunkan tendensi penumpukan darah pada bagian
bawah tubuh. Densitas relatif memberikan dukungan pada tubuh atau tungkai dan
lengan, sehingga menurunkan stress pada sendi yang menopang berat badan
tubuh. Viskositas air yang rendah, akan membentuk friksi dengan gerakan
berkecepatan rendah. Semakin meningkat kecepatannya, semakin meningkat pula
turbulensi (tekanan positif) dan gaya tarik-menariknya (tekanan negatif). Jika
terdapat friksi yang lebih besar, maka akan membuat gerakan semakin sulit.
Efek termal dari hidroterapi sama dengan efek termal pada aplikasi terapi
panas dan dingin lokal, kecuali efek yang lebih sistemik karena imersi permukaan
tubuh yang lebih luas. Terapi dingin dapat menurunkan detak jantung dan dapat
meningkatkan tekanan darah melalui vasokontriksi perifer. Efek panas dari
hidroterapi dapat menurunkan tekanan darah karena kecendrungan terjadinya
vasodilatasi. Laju nafas dapat meningkat baik oleh terapi panas maupun dingin.
Metode transfer panas ataupun dingin adalah dengan konduksi dan konveksi.
Efek nontermal dari hidroterapi dapat dicapai melalui air yang dipompakan
dari turbin, yang akan mengagitasi air dan membentuk pola masase dan
debridement. Efek fisiologis dari agitasi air ini antara lain adalah meredakan nyeri
dan spasme otot (melalui stimulasi mekanik dari reseptor kulit, yang akan beraksi
sebagai alat atau sebagai stimulasi terhadap syaraf afferent sensoris yang luas,
sehingga akan memblok input nyeri), debridement mekanik, dan memfasilitasi
latihan. Jika hanya menghendaki efek mekanik dari hidroterapi, maka air yang
dibuat pada suhu netral (33-36°C) akan diterima dengan baik.
Indikasi dari hidroterapi antara lain adalah pada tatalaksana luka dan luka
bakar, mobilisasi otot, setelah gips dilepas, rheumatoid arthritis, dan spasme otot.
Kontraindikasi dan preukasi umum sama dengan terapi panas dan dingin, kecuali
hidroterapi dapat digunakan pada kulit luka terbuka dan terinfeksi selama tong
tempat penyimpanan air disterilisasi.
d. Laser dingin tenaga rendah (low-power cold laser)
LASER adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of
Radiation (amplifikasi cahaya yang distimulasi oleh emisi radiasi). Laser dapat
mengeluarkan photon (partikel-partikel energi dari cahaya) yang dapat
berinteraksi dengan molekul biologis untuk menghasilkan reaksi termal atau
kimiawi di dalam tubuh yang diinduksi oleh cahaya. Pada rehabilitasi medis, cold
laser yang sering dipakai dihasilkan oleh gas helium-neon (Laser He-Ne) atau dari
semikonduktor gallium-arsenit (Laser Ga-As).
Efek fisilogis dari cold laser adalah memfasilitasi penyembuhan luka atau
ulkus dengan menstimulasi fibroblast; meningkatkan kekuatan penutupan luka
yang diterapi laser, meningkatkan fagositosis limfosit dengan efek bakterisidal;
meningkatkan akivitas limfosit T dan B; mereduksi edema dengan menurunkan
prostaglandin E2 (PG E2); mereduksi formasi jaringan parut dengan mendorong
terjadinya epitelisasi dengan sedikit materi eksudat dan memperbanyak
pembentukan jaringan kolagen yang teratur; mengurangi nyeri dengan
menurunkan amplitudo potensial aksi dan menurunkan velositas konduksi
sensoris; dan mendorong penyembuhan luka dengan mendorong remodeling
kartilago artikuler dan tulang.
Kontraindikasinya adalah jaringan kanker, stimulasi secara lansung ke mata
(dapat menyebabkan retina terbakar), dan kehamilan pada trimester pertama.
Dosis yang biasa dipakai adalah 0.5-3 J/cm2 untuk kondisi-kondisi yang kronik
sebanyak 3-6 kali tindakan.
e. Elektroterapi
Adalah terapi yang menggunakan arus listrik untuk menstimulasi syaraf atau
otot atau keduanya secara transkutaneus menggunakan elektroda-elektroda
permukaan. Efek fisiologisnya adalah kontraksi kelompok otot yang dapat
meningkatkan lingkup gerak sendi, melatih otot, meningkatkan kekuatan otot;
meningkatkan sirkulasi dengan meredakan nyeri dan spasme otot melalui efek
pompa otot, mengalirkan polipeptida dan neurotransmitter (seperti ß-endorphin,
dopamine, enkefalin, polipeptida vaoaktif intestinal, dan serotonin), menghambat
serabut-serabut nyeri melalui serabut syaraf perifer besar tipe A (teori gate
controldan teori central biasing), penyembuhan luka dan osteogenesis (melalui
remodeling dan regenerasi jaringan), dan untuk menghantarkan ion-ion medikasi
melalui kulit (ionthoporesis).
Indikasi klinisnya adalah tatalaksana nyeri kronik, nyeri neurogenik kronik,
dan nyeri sistemik luas), tatalaksana efusi sendi dan edema intersisial (akut dan
kronik), menangani spasme otot, disuse atropi otot, ulkus kulit dan luka; dan
gangguan sirkulasi (insufisiensi vena, gangguan neurovaskuler).
Kontraindikasi umumnya adalah kerusakan sirkulasi (seperti thrombosis vena
atau arteri dan thrombophlebitis), stimulasi pada sinus karotikus, stimulasi pada
area jantung (terutama pasien yang menggunakan pacemakers), kehamilan,
gangguan kejang, fraktur yang baru, perdarahan aktif, dan keganasan. Pemakaian
harus hat-hati karena dapat menyebabkan luka bakar dan tidak boleh digunakan
pada kulit dengan penurunan sensasi.
f. Traksi tulang belakang
Adalah usaha menarik dengan kekuatan tertentu, yang digunakan pada
vertebra cervical atau lumbal, untuk menghasilkan efek-efek berikut ini: distraksi
sendi vertebrae; mencegah dan menghilangkan adhesi disepanjang dural sleeves,
akar saraf, dan struktur kapsul disekitarnya; mereduksi kompresi dan iritasi pada
akar saraf dan diskus; meningkatkan sirkulasi disepanjang ruang epidural dari
foramen akar saraf; mereduksi nyeri, inflamasi, dan spasme otot. Indikasi klinis
yang paling sering dari traksi tulang belakang adalah untuk meredakan nyeri dan
herniasi diskus, dengan atau tanpa komplikasi kompresi akar saraf.
Traksi cervical atau lumbal merupakan kontraindikasi bagi spondilitis
myelopati, keganasan (lesi litik), osteopenia, infeksi tulang belakang (discitis dan
TB), cedera jaringan lunak akut, deformitas vertebra kongenital, hipertensi atau
penyakit kardiovaskuler, dan pada pasien yang tegang dan tidak dapat rileks.
Kontraindikasi lain untuk traksi cervical adalah instabilitas ligament cervical
(contohnya pada rheumatoid arthritis, Down syndrome, atau pasien dengan
hipermobilitas sendi), subluksasi axial dengan penekanan pada medula spinalis,
insufisiensi arteri vertebrobasiler, aterosklerosis arteri karotis atau arteri
vertebralis, dan whiplash injury akut. Kondisi-kondisi tersebut biasanya terlihat
pada pasien lanjut usia, sehingga traksi tulang belakang harus digunakan dengan
pengawasan ketat pada lansia. Pada traksi lumbal, kontraindikasi lainnya (yang
mengarah pada pengunaan harness dada atau perut) termasuk kehamilan,
kompresi cauda equina, aneurisma aorta, ulkus peptida aktif, hiatus hernia, dan
hernia-hernia lainnya, dan penyakit paru restriktif atau gangguan pernafasan
lainnya.
Parameter-parameter yang perlu diperhatikan adalah posisi traksi, berat beban
yang hendak digunakan, durasi, dan pemberian kontiyu, atau intermittent. Yang
paling penting, pasien harus merasa nyaman dan traksi tersebut tidak boleh
menyebabkan nyeri yang lebih jelek dari sebelumnya.
Traksi tulang belakang biasanya digunakan dalam konjuksi dengan modalitas
lain, seperti relakasasi, contohnya masase dan pemanasan. Pasien-pasien yang
menerima traksi harus diberikan latihan-latihan reedukasi postural untuk
mempertahankan efek dari traksi. Jika gejala yang dirasakan pasien memburuk
atau tidak ada peningkatan penyembuhan setelah dilakukan traksi dalam 6-8 sesi,
traksi tidak boleh dilanjutkan.
g. Terapi Latihan
Terapi latihan adalah aktifitas fisik, sikap tubuh, atau pergerakan tubuh secara
menyeluruh yang dilakukan secara sistematik dan terencana dengan tujuan untuk:
1. mencegah atau memperbaiki impairment
2. meningkatkan, mengembalikan, atau memperbaiki fungsi tubuh
3. mencegah atau menurunkan faktor resiko suatu penyakit, meningkatkan
kebugaran, status kesehatan secara menyeluruh baik fisik maupun mental.
Latihan mobilitas diberikan untuk memelihara atau mengembalikan mobilitas
dari jaringan lunak (otot, jaringan ikat, dan kulit) dan sendi sehingga pasien
dapat melakukan aktivitas normal. Latihan ini dapt dilakukan secara pasif, aktif,
atau akrif assisted.
Latihan mobilitas diberikan kepada penderita nyeri dengan tujuan :
· Mengurangi ketegangan otot dan membuat tubuh terasa lebih relaks.
· Membantu gerakan yang lebih bebas dan lebih mudah.
· Memelihara atau memperluas rentang gerak sendi.
· Membantu mencegah cedera seperti kram otot. (Otot yang kuat dan lentur
dapat menahan beban lebih baik daripada otot yang kuat tapi kaku)
· Membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain tenis,
berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena peregangan
akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas. Latihan ini merupakan cara untuk
memberi tahu otot bahwa sebentar lagi akan digunakan.
· Membantu mempertahankan tingkat kelenturan, sehingga dengan berjalannya
waktu, penderita tidak akan menjadi semakin kaku.

h. Manipulasi
Manipulasi adalah suatu tindakan pasif, gerakan mekanis yang dilakukan pada
sendi tertentu atau pada suatu segmen sendi, untuk mengembalikan lingkup gerak
atau ekstensibilitasnya, dan untuk mengurangi nyeri
Hipotesis yang menerangkan mekanisme manipulasi dalam meredakan nyeri
diantaranya relaksasi mekanis atau relaksasi refleks dari jaringan lunak yang
mengarah pada pemulihan dari lingkup gerak vertebrae, menormalisasi
penonjolan diskus dengan kekuatan menghisap yang diciptakannya atau dengan
stretching ligamentum longitudinal posterior, yang akan mendorong material
diskus secara anterior, menjauhi stuktur-struktur yang peka nyeri, dan mengubah
input proprioseptik yang menuju ke medula spinalis, sehingga menyebabkan
“pintu nyeri” tertutup.

i. Masase
Merupakan stimulasi sistematik dan mekanis dari jaringan lunak pada tubuh
dengan memberikan tekanan ritmik dan stretching untuk tujuan terapeutik. Efek
fisiologis dari masase dapat berupa efek mekanis (yaitu peningkatan arus balik
vena / venous return dan drainase limfatik, penglepasan adhesi dan melembutkan
jaringan parut, dan menghilangkan sekresi) maupun efek refleksif (yaitu
peningkatan sirkulasi melalui refleks vasodilatasi, relaksasi general dan efek
sedatif, peningkatan perspirasi dan sekresi glandula sebacea, dan mengurangi
nyeri yang mungkin dengan pengendalian gerbang atau mengalirkan opiate
endogen aatau neurotransmitter). Ekstremitas yang terbaring dengan santai juga
memiliki efek-efek fisiologis dan dapat mendorong sensasi dari rasa nyaman yang
general.
Kontraindikasinya meliputi segala kondisi inflamasi dari kulit, jaringan lunak,
atau sendi, yang mengarah pada infeksi bakterial (phlebitis, cellulitis, synovitis,
abses, arthritis septis), luka terbuka, luka bakar, penyempitan syaraf (seperti carpal
tunnel syndrome), bursitis, rheumatoid dan gouth arthritis, rheumatic fibrositis,
panniculitis (radang lemak subkutan), arteriosclerosis , thrombosis atau emboli
vena, varicose vena berat, gangguan pembekuan darah (atau sedang menggunakan
antikoagulan), fraktur, dan keganasan.

j. Terapi Okupasi
Okupasi terapi khususnya berfokus pada edukasi pasien mengenai postur yang
sesuai dan ergonomis, aktivitas ekstrimitas yang berkaitan dengan aktivitas
kehidupan sehari – hari, dan memfasilitasi seseorang untuk memilih atau kembali
ke pekerjaan yang sesuai. Terapis okupasional harus dilibatkan sejak awal untuk
mengindentifikasi masalah pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan,
menganalisa dan memberikan saran dalam memodifikasi pekerjaan dan jika perlu
memberikan pelatihan.
k. Psikoterapi
Nyeri yang menetap mempengaruhi komponen emosional pasien serta
seringkali disertai dengan depresi dan/atau kecemasan. Faktor-faktor psikologis
memainkan peranan yang signifikan terhadap nyeri kronik dan dalam masa
transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis
memperlihatkan hubungan yang erat antara nyeri dan status mood.
Depresi dapat meningkatkan gangguan yang terkait-nyeri dan
menyebabkannya menetap. Penelitian mengungkapkan bahwa nyeri dan depresi
merupakan komorbid yang sering dijumpai. Depresi yang meningkat berhubungan
dengan peningkatan kelainan yang terkait-nyeri. Prediktor depresi pada nyeri
kronik diantaranya insentisitas nyeri, luas area yang dikeluhkan, frekuensi nyeri
yang dikeluhkan, dan beberapa faktor yang berhubungan dengan psikososial.
Pasien yang mengalami depresi dapat mengalami derajat nyeri yang lebih tinggi,
kurang aktif, dan mengalami penurunan kapasitas fungsional normal.
Penilaian dan intervensi terapi psikologi difokuskan pada faktor kognitif dan
behavioral yang berhubungan dengan nyeri. Faktor psikologi yang terlibat dalam
perkembangan dan adaptasi menjadi nyeri kronik diantaranya kecemasan,
perasaan tidak bisa ditolong, sifat menghindar, dan perasaan menganggap nyeri
sebagai bencana. Faktor yang dapat memberikan perbaikan dalam nyeri kronik
diantaranya self efficacy, pain coping strategy, kesiapan untuk berubah dan dapat
menerima keadaan sakitnya.
Penggunaan modalitas psikologi sebagai tambahan terhadap intervensi medik
dan terapi fisik dapat meningkatkan efektivitas program penanganan nyeri kronik.
Penanganan psikologi pada nyeri kronik termasuk edukasi psikologi, psikoterapi,
biofeedback, dan latihan relaksasi, dan konseling vokasional. Pendekatan perilaku
kognitif terhadap nyeri kronik sangat tergantung pada pelatihan keterampilan dan
intervensi psikoedukasional. Psikoterapi secara kelompok berhasil meningkatkan
kemampuan pasien dalam rehabilitasi nyeri. Terapi secara individual dan terapi
keluarga merupakan intervensi lain yang sering digunakan pada pasien nyeri
kronik untuk menangani stres psikososial yang mendasari.
Baru – baru ini sebuah argumen yang kuat digunakan untuk melibatkan
anggota keluarga dan orang lain yang signifikan dalam proses evaluasi dan
penanganan.
Teknik psikoterapeutik digunakan dalam mengobati pasien nyeri kronik meliputi
hal-hal:
- Pengetahuan tentang nyeri
- Psikoterapi suportif untuk memberikan semangat pada pasien menjalani strategi
pengobatan.
- Terapi perilaku kognitif, yang berfokus pada kognisi pasien yang maladaptif
bersamaan dengan teknik perilaku, seperti terapi relaksasi dan latihan
ketegasan.
- Terapi perilaku, berdasarkan pada teori perilaku dan teori belajar sosial.
- Terapi interpersonal, yang berfokus pada kehilangan, peran transisi dan
perselisihan, defisit sosial, dan faktor-faktor interpersonal lainnya berdampak
pada berkembangnya depresi.
- Psikoterapi dinamis, dimana hubungan dengan terapist memberikan konteks
yang sifatnya mengoreksi pengalaman emosional.
- Terapi keluarga dan terapi pasangan, yang mana menunjukkan fakta bahwa
nyeri kronis adalah suatu masalah mengganggu akan mempengaruhi
keseluruhan keluarga.
- Terapi kelompok, yang mana dapat bersifat mendidik dan/atau psikoterapeutik.
.

l. Terapi Perilaku Kognitif


Terapi perilaku kognitif (CBT/Cognitive behavioral therapy) berdasar pada teori
bahwa meyakini hal-hal yang irrasional dan sikap yang menyimpang ke arah diri
sendiri, lingkungan, dan depresi yang menetap.
- Studi klinis menunjukkan bahwa CBT merupakan metode pengobatan yang
efektif pada depresi ringan dan sedang serta mengurangi gangguan terkait-
nyeri pada kelainan nyeri.
- Tujuan diberikannya CBT adalah untuk mengurangi depresi dengan cara
menantang sikap dan kepercayaan ini.
- CBT dapat membantu pasien mengenali bahwa respon emosional terhadap
nyeri sangat dipengaruhi oleh pikiran dan bahwa mereka dapat melatih
mengendalikan gangguan yang diproduksi oleh suatu peristiwa hidup tak
terelakkan atau penyakit kronis.
- Beberapa penyelidik merekomendasikan memberikan CBT sedini mungkin
dari perlangsungan penyakit untuk meningkatkan percaya diri pasien dalam
menangani gejala dan dalam kemampuan mereka untuk mengurangi
penggunaan alat bantu kesehatan.

m. Terapi Perilaku
- Terapi perilaku menggunakan manajemen kontingensi atau operant
conditioning untuk membantu pasien memodifikasi nyeri-terkait perilaku.
- Metode ini dapat juga membantu merehabilitasi nyeri pasien dengan terus
meningkatkan kemampuan fungsional mereka.

n. Psikoterapi Interpersonal
Psikoterapi interpersonal (IPT/Interpersonal Therapy), dikembangkan untuk
penatalaksanaan depresi, yang bekerja dengan asumsi bahwa, karena adanya
gejala yang terjadi dalam konteks sosial, menunjukkan sebuah masalah atau
banyak masalah dalam kehidupan interpersonal pasien dapat membantu
menghilangkan gejala.
- IPT untuk berfokus pada:
- Kedukaan (suatu reaksi terhadap kematian orang yang dicintai)
- Peran transisi (menyerah dari peran sosial lama dan menyesuaikan ke bentuk yang
baru)
- Peran perselisihan (kesukaran dalam membangun hubungan dari harapan yang
tidak sesuai)
- Peran defisit (suatu kekurangan hubungan interpersonal)
- Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada pasien nyeri kronik yang memiliki gejala
dan ketidakmampuan menempatkan mereka dalam status transisi peran yang tetap
akibat depresi atau kecemasan.

o. Psikoterapi Psikodinamik
- Psikoterapi psikodinamik meliputi semua intervensi psikoterapeutik yang
membagi dasarnya dalam teori psikodinamik mengenai penyebab kerentanan
terhadap masalah psikologis.
- Bentuk psikoterapi ini paling sering digunakan jangka panjang dan bertujuan
mengurangi gejala dengan segera.

p. Latihan Relaksasi dan Biofeedback


Latihan relaksasi dan biofeedback merupakan metode penanganan perilaku yang
telah berhasil digunakan untuk menangani banyak sindroma nyeri, termasuk
miofasial dan nyeri yang diatur simpatetik. Beberapa teknik relaksasi bisa pada
nyeri kronik, dua yang paling sering yaitu latihan autogenik dan relaksasi otot
progresif.
Terapi relaksasi dapat dikerjakan oleh berbagai tim disiplin keilmuan termasuk
didalamnya psikolog, fisioterapis atau perawat. Teknik yang digunakan
diantaranya latihan respon relaksasi yang dipandu (penggunaan gambar atau suara
sebagai media relaksasi), meditasi, dan hipnosis. Teknik tersebut membantu
pasien untuk dapat berperan aktif untuk dapat menolong dirinya sendiri.

q. Teknik distraksi
Teknik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke stimulus
yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi
retikuler menghambat stimulus nyeri. Saat seseorang menerima input sensori yang
berlebihan maka hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke
otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan). Stimulus yang menyenangkan dari
luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang
dirasakan oleh menjadi berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan
langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang
digunakan dan minat individu dalam stimulasi. Beberapa teknik distraksi antara
lain :
- Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandang
an dan gambar termasuk distraksi visual.
- Distraksi pendengaran
Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta
gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan
musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada
nada dan irama lagu. Pasien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh
mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki.
- Distraksi pernafasan
Pasien bernafas ritmik sambil memandang fokus pada satu objek atau
memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan
hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui
mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati).
Anjurkan pasien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap
gambar yang memberi ketenangan

r. Tindakan Medis Invasif Dan Terapi Radiasi


Tindakan invasif merupakan pilihan terakhir apabila penatalaksanaan non invasif
gagal. Tindakan invasif dalam pengelolaan nyeri kronik antara lain:
- Injeksi sendi dan soft tissue
- Blok saraf dengan obat anestesi atau neurolitik dengan phenol atau alkohol
absolut

Anda mungkin juga menyukai