Lembaga pendidikan kita saat ini belum jadi sebuah ekosistem yang
menumbuhkan semangat belajar otentik. Contoh nyata dari tidak adanya
ekosistem pembelajaran yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai
komunitas moral adalah adanya inkonsistensi kebijakan yang justru
menjauhkan siswa dari proses belajar dan menjauhkan guru dari proses
pengajaran.
Inflasi nilai juga terjadi karena adanya kebijakan kriteria ketuntasan minimal
(KKM). Pemahaman KKM telah jauh melenceng dari maksud semula. KKM
saat ini dipahami sebagai nilai minimal dalam rapor. KKM ditentukan oleh
sekolah. Akibatnya, banyak sekolah-terutama sekolah negeri-berlomba-
lomba meninggikan KKM-nya. Sekolah yang menentukan KKM untuk mata
pelajaran tertentu 7, maka nilai dalam rapor siswa paling rendah adalah 7.
Karena nilai rapor dipakai sebagai syarat masuk PTN jalur undangan, banyak
sekolah berlomba-lomba menaikkan nilai KKM hingga tidak rasional. Bahkan,
ada sekolah yang menentukan sampai 9 sehingga nilai siswa untuk mata
pelajaran tertentu minimal 9.
Kebijakan KKM yang sudah di luar nalar ini diperkuat lagi dengan aturan
bahwa, agar siswa dapat mengikuti UN, semua mata pelajaran harus tuntas.
Artinya, siswa tak akan dapat terverifikasi sebagai peserta UN bila masih ada
nilainya yang di bawah KKM yang ditentukan oleh sekolah. Karena itu, mau
tidak mau, semua guru akan memberikan nilai minimal KKM bagi siswa kelas
akhir agar siswa dapat mengikuti UN. Kalau nilai KKM-nya 9, guru akan tutup
mata memberikan nilai 9 dalam rapor meskipun faktanya kemampuan siswa
tersebut jauh di bawah 9.
Revisi kebijakan