Anda di halaman 1dari 4

Mewujudkan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter

merupakan salah satu visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Sayangnya, ekosistem moral pendidikan kita belum terbangun karena
penumbuhan budi pekerti belum menyentuh pembentukan kultur sekolah
sebagai komunitas moral.

Gebrakan awal Mendikbud Anies Baswedan merevisi regulasi bermasalah,


salah satunya penghapusan fungsi ujian nasional (UN) sebagai syarat
kelulusan. Kebijakan UN sebagai syarat kelulusan telah melahirkan berbagai
macam kecurangan, baik individual maupun sifatnya terstruktur dan
sistematis. Langkah ini patut diapresiasi.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti


merupakan langkah kedua untuk memperkuat regulasi pembentukan karakter
di lingkungan pendidikan. Minimnya kemampuan dan minat baca anak
Indonesia ditanggapi dengan ajakan untuk membaca 15 menit sebelum
memulai pelajaran. Untuk menumbuhkan rasa cinta Tanah Air, insan
pendidikan (guru-siswa) diajak menggemakan lagu wajib nasional di ruang-
ruang kelas dan melakukan upacara bendera. Orangtua pun diminta
mengantar anak pada hari pertama masuk sekolah.

Apa yang diperteguh melalui Permendikbud No 23/2015 sesungguhnya


sudah banyak dilakukan. Bahkan, di banyak sekolah, praksis-praksis baik itu
sudah lebih maju dan lebih kaya. Namun, di banyak sekolah kita, praksis
pembentukan karakter yang memperkuat lembaga pendidikan sebagai
komunitas moral belum banyak berkembang. Yang banyak dilakukan masih
bersifat kulit luar, seperti upacara bendera, 5S (senyum, salam, sapa, sopan,
santun), menyanyikan lagu nasional, atau praksis ritual keagamaan.

Apabila kita berbicara tentang lembaga pendidikan sebagai komunitas moral,


yang jadi fokus adalah pembentukan roh moral individu sebagai pembelajar.
Artinya, bagaimana lembaga pendidikan mampu menumbuhkan karakter
individu sebagai pembelajar sepanjang hayat secara otentik, pembelajar yang
memiliki visi moral dalam hidupnya. Upacara setiap minggu tidak akan
berarti, kebiasaan 5S akan tanpa makna bila individu tidak tumbuh sebagai
pembelajar.
Inkonsistensi kebijakan

Lembaga pendidikan kita saat ini belum jadi sebuah ekosistem yang
menumbuhkan semangat belajar otentik. Contoh nyata dari tidak adanya
ekosistem pembelajaran yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai
komunitas moral adalah adanya inkonsistensi kebijakan yang justru
menjauhkan siswa dari proses belajar dan menjauhkan guru dari proses
pengajaran.

Inkonsistensi pertama, di satu sisi Mendikbud telah mencabut fungsi UN


sebagai syarat kelulusan, tetapi tetap mempertahankannya sebagai syarat
masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kebijakan ini akan tetap
mempertahankan UN sebagai high-stakes testing sehingga potensi
kecurangan dan manipulasi nilai tetap akan terjadi. Akibatnya, pembelajaran
akan berubah menjadi drilling dan sibuk melatih siswa mengerjakan soal
begitu kisi-kisi UN dikeluarkan pemerintah. Belajar menjadi kering, teknis, dan
tanpa jiwa.

Inkonsistensi kedua, di satu sisi guru diberi kewenangan memberikan


penilaian otentik pada rapor siswa, tetapi di lain pihak nilai rapor dipakai
sebagai syarat kualifikasi jalur masuk perguruan tinggi negeri (PTN) tanpa tes
yang kuotanya sangat besar, yaitu 50 persen. Akibatnya, konflik kepentingan.
Banyak sekolah menginflasi nilai siswanya agar siswa tersebut dapat masuk
PTN tanpa tes. Logikanya sederhana, tak ada sekolah yang tak ingin anak-
anaknya tidak lolos dalam jalur undangan PTN.

Inflasi nilai juga terjadi karena adanya kebijakan kriteria ketuntasan minimal
(KKM). Pemahaman KKM telah jauh melenceng dari maksud semula. KKM
saat ini dipahami sebagai nilai minimal dalam rapor. KKM ditentukan oleh
sekolah. Akibatnya, banyak sekolah-terutama sekolah negeri-berlomba-
lomba meninggikan KKM-nya. Sekolah yang menentukan KKM untuk mata
pelajaran tertentu 7, maka nilai dalam rapor siswa paling rendah adalah 7.
Karena nilai rapor dipakai sebagai syarat masuk PTN jalur undangan, banyak
sekolah berlomba-lomba menaikkan nilai KKM hingga tidak rasional. Bahkan,
ada sekolah yang menentukan sampai 9 sehingga nilai siswa untuk mata
pelajaran tertentu minimal 9.

Kebijakan KKM yang sudah di luar nalar ini diperkuat lagi dengan aturan
bahwa, agar siswa dapat mengikuti UN, semua mata pelajaran harus tuntas.
Artinya, siswa tak akan dapat terverifikasi sebagai peserta UN bila masih ada
nilainya yang di bawah KKM yang ditentukan oleh sekolah. Karena itu, mau
tidak mau, semua guru akan memberikan nilai minimal KKM bagi siswa kelas
akhir agar siswa dapat mengikuti UN. Kalau nilai KKM-nya 9, guru akan tutup
mata memberikan nilai 9 dalam rapor meskipun faktanya kemampuan siswa
tersebut jauh di bawah 9.

Bagaimana bila siswa dalam kenyataan sehari-hari kemampuannya


sesungguhnya tidak layak dapat 9? Pemerintah menganjurkan kebijakan
remedial. Kebijakan ini sesungguhnya baik karena remedial adalah berupa
pengayaan pada materi yang kurang. Namun, faktanya, guru sekadar
memberi penugasan-penugasan atau pengerjaan ulang soal- soal ulangan
yang pernah diberikan guru.

Kebijakan remedial kontraproduktif. Faktanya, justru para siswa semakin


malas. Belum ulangan sudah bertanya kepada guru kapan remedial. Yang
menjengkelkan bagi guru, sudah tidak belajar, malas, saat diminta remedial
siswa tidak datang atau tidak mengerjakan dengan baik. Namun, akhirnya
guru harus memberi nilai minimal KKM. Bila nilai di bawah KKM, siswa
tersebut tidak boleh mengikuti UN. Guru berada dalam tekanan kepala
sekolah bila memberikan nilai di bawah KKM, apalagi untuk siswa kelas III.

Revisi kebijakan

Rantai kebijakan pendidikan, mulai dari remedial, KKM, syarat rapor


semester I, II, III untuk seleksi masuk PTN jalur undangan tanpa tes, dan
syarat nilai UN, dan kriteria penilaian sikap, telah membuat lembaga
pendidikan kita gagal membentuk semangat pembelajar. Bahkan, ekosistem
moral pembelajar tidak terbentuk karena masing-masing kebijakan ini sama
sekali tidak mendorong proses pengajaran dan pembelajaran yang otentik.

Kemdikbud harus berani merombak dan merevisi kebijakan pendidikan yang


inkoheren dalam rangka melahirkan sekolah sebagai komunitas moral yang
fokus pada penumbuhan semangat pembelajar yang otentik. Caranya adalah
dengan menghapuskan konsep KKM, merevisi kriteria penilaian sikap,
menghilangkan kebijakan jalur seleksi masuk PTN undangan tanpa tes
dengan kuota 50 persen, dan melepaskan UN sebagai syarat untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya dan merevisi penilaian sikap.

Mewujudkan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter hanya


mungkin bila Kemdikbud berani merevisi berbagai kebijakan pendidikan yang
kontraproduktif bagi lahirnya ekosistem moral pendidikan yang bermakna. 

Anda mungkin juga menyukai