Di Susun Oleh :
(17.11.1001.1011.170)
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Alasan Pemilihan Judul..............................................................................1
B. Rumusan Dan Pembatasan Masalah.........................................................2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan...................................................................................... 2
E. Metode Penulisan........................................................................................ 3
F. Sistematika Penulisan................................................................................ 3
BAB IV PENUTUP......................................................................................................... 41
A. Kesimpulan................................................................................................... 41
B. Saran............................................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 43
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dan media elektronik menunjukkan bahwa seringnya terjadi kejahatan
pencurian dengan berbagai jenisnya.
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
2
2. Memberikan wawasan dan Pengetahuan khususnya kepada penulis
dan para aktivitas akademik pada umumnya mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan unsur delik pencurian .
E. Metode Penulisan
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Yang berisikan alasan pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penulisan serta metode penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Memuat uraian dasar-dasar teori dan konsep-konsep yang
berhubungan dengan materi tema tugas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini memuat uraian pembahasan atau analisis tentang
masalah yang telah dirumuskan dan pemecahan masalah tersebut.
BAB IV PENUTUP
Meliputi kesimpulan dan saran.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kriminologi
1. Pengertiani Kriminologi
4
proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas
pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang
ilmu utama yaitu :
1. Sosiologi Hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan
diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu
perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Di sini menyelidiki
sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor- faktor apa
yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum
pidana).
2. Etiologi Hukum
Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab
dari kejahatan. Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan
kajian yang paling utama.
3. Penology
Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi
Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha
pengendalian kejahatan baik resperesif maupun preventif.
5
diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh
para anggota masyarakat.
6
difokuskan pada mempelajari kejahatan. Sedangkan kriminologi dalam
arti luas difokuskan pada kriminologi mempelajari penology dan
metode-metode yang berkaitan dengan masalah kejahatan .
1. Higiene Kriminil
Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan
kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah
terjadinya kejahatan.
2. Politik Kriminil
Usaha penanggulangan kejahatan di mana suatu kejahatan
telah terjadi. Di sini dilihat sebab-sebab seorang melakukan
kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha ynag
dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka
lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.
3. Kriminalistik (police scientific)
yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik
kejahatan dan pengusutan kejahatan.
8
2. Fungsi Kriminologi
9
uang”, dimana hukum pidana pada dasarnya menciptakan kejahatan
(kejahatan formal) dan rumusan kejahatan yang dimuat dalam hukum
pidana itulah yang menjadi kajian pokok kriminologi. Disamping itu
hukum pidana sebagai suatu disiplin yang bersifat normatif atau
abstrak, di lain pihak kriminologi yang bersifat normatif yang bersifat
faktual. Maka sebagaimana yang dikemukakan oleh Vrij bahwa
Kriminologi menyandarkan hukum pidana kepada kenyataan. Bahkan
karena cara pandang kriminologi yang lebih luas terhadap kejahatan
ketimbang hukum pidana, dapat dikatakan bahwa kriminologi itu
membuat bijak berlakunya hukum pidana.
10
Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui, bahwa
kejahatan pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal
dimana yang dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini
adalah perbuatan yang diartikan “mengambil".
1. Perbuatan Manusia
11
batin pelaku. Bentuk suatu tindak pidana dengan unsur objektif antara
lain terdapat pada tindak pidana yang berbentuk kelakuan.
Maka akibat yang terjadi dari perbuatan tidak penting artinya dari
rentetan akibat yang timbul dari kelakuan tidak ada yang menjadi inti
tindak pidana, kecuali yang telah dirumuskan dalam istilah yang telah
dipakai untuk merumuskan kelakuan tersebut. Misalnya kelakuan dalam
tindak pidana “pencurian” yang diatur dalam Pasal 362 KUHP,
dirumuskan dengan istilah “mengambil barang” yang merupakan inti
dari delik tersebut. Adapun akibat dari kelakuan yang kecurian menjadi
miskin atau yang kecurian uang tidak dapat belanja, hal itu tidak
termasuk dalam rumusan tindak pidana pencurian.
2. Delik Materil
3. Delik Formil
12
delik formil yang dilarang dengan tegas adalah perbuatannya, yang
disebut unsur subjektif adalah:
13
yang cacat atau pertumbuhannya terganggu karena penyakit yang
dinyatakan oleh seorang dokter ahli penyakit jiwa.
Adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa si
pembuat dengan perbuatannya. Adapun yang menetapkan adanya
hubungan kausal antara keadaan jiwa yang demikian itu dengan
perbuatan tersangka adalah Hakim.
14
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah ”.
Barang siapa.
Mengambil barang sesuatu.
Barang kepunyaan orang lain.
Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
Untuk diketahui bahwa Pasal 362 KUHP itu terdiri 4 unsur seperti
tersebut di atas, tanpa menitik beratkan pada satu unsur. Tiap-tiap
unsur mengandung arti yuridis untuk dipakai menentukan atas suatu
perbuatan.
15
D. Teori Pembuktian
16
1. Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk
mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau itu ( op
somming van bewijsmiddelen );
2. Penguraian cara bagaimana alat -alat bukti itu dipergunakan
(bewijsvoering);
3. Kekuatan pembuktian dari masing -masing alat bukti itu
(bewijskracht der bewijsmiddelen ).
1. Conviction-In Time
17
terdakwa telah cukup terbukti dengan alat – alat bukti yang lengkap,
selama hakim yang tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
2. Conviction-Raisonee
18
3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
19
Sistem pembuktian menurut undang -undang secara positif lebih
dekat kepada prinsip “penghukuman berdasarkan hukum”. Artinya
penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan
di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang -undang
yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan
dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar -benar terbukti
berdasarkan cara dan alat – alat bukti yang sah menurut undang -undang.
20
sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan
hakim.
Misalnya, ditinjau dari segi cara dengan alat – alat bukti yang sah
menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, hakim
tidak yakin akan kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa
tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim bener-benar yakin
terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang
didakwakan.
21
keuntungan pribadi, dengan suatu imbalan materi, dapat dengan mudah
membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum atau alasan
hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
22
tahap penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian, tahap
penuntutan di kejaksaan, tahap pemeriksaan perkara tingkat pertama di
pengadilan negeri, tahap upaya hukum di pengadilan tinggi serta
mahkamah agung, kemudian tahap eksekusi oleh eksekutor jaksa
penuntut umum. Dengan demikian, pembuktian dalam perkara pidana
menyangkut beberapa isntitusi, yakni kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan.
23
Bila merujuk pada Pasal 1 butir 14, Pasal 17, berikut penjelasannya
dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, ada berbagai istilah yang kedengarannya
sama, tetapi secara prinsip berbeda, yakni istilah bukti permulaan,
bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup. Sayangnya KUHAP
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terkait perbedaan ketiga
istilah tersebut.
24
Berikutnya mengenai istilah bukti permulaan yang cukup,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 KUHAP adalah bewijs minimum
atau minimum bukti yang diperlukan untuk memproses seseorang dalam
perkara pidana, yakni dua alat bukti. Hal ini pun masih menimbulkan
perdebatan terkait dua alat bukti, yaitu apakah dua alat bukti tersebut
secara kualitatif atau kuantitatif. Bila diurutkan berdasarkan Pasal 184
KUHAP, ada lima alat bukti dalam perkara pidana, yang masing –
masingnya adalah: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat;
(d) keterangan terdakwa; (e) petunjuk. 31
Secara kualitatif dua alat bukti tersebut adalah harus ada keterangan
saksi dan keterangan ahli atau keterangan saksi dan surat atau
keterangan ahli dan surat dan seterusnya. Tegasnya, dua alat bukti yang
dimaksud secara kualitatif adalah dua dari lima alat bukti yang ada
dalam Pasal 184 KUHAP. Sementara itu, secara kuantitatif, dua orang
saksi sudah dihitung sebagai dua alat bukti. Dalam tataran praktis, dua
alat bukti yang dimaksud adalah secara kualitatif, kecuali perihal
keterangan saksi, dua alat bukti yang dimaksud dapat secara kualitatif
ataupun kuantitatif. Hal ini akan diulas lebih lanjut dalam pembahasan
alat bukti keterangan saksi.
25
bukti bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Artinya,
barang bukti yang cukup di sini selain merujuk pada minimum dua alat
bukti atas tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan terhadap
tersangka atau terdakwa, juga merujuk pada minimum dua alat bukti
atas kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak
pidana.
Dalam perkara pidana tidak ada hierarki alat bukti. Oleh karena itu,
dalam penyebutan alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP
tidak menggunakan angka 1 sampai dengan angka 5, melainkan
menggunakan huruf a sampai huruf e untuk menghindari kesan adanya
hierarki dalam alat bukti.
Alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 Undang - Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Ulasan berikut ini terkait alat bukti yang sah menurut KUHAP
1. Keterangan Saksi
26
Sementara itu, Pasal 1 angka 27 KUHAP yang menyatakan:
27
Sementara itu, Pasal 116 ayat (3) menyatakan:
2. Keterangan Ahli
28
diperoleh berdasarkan pengalamannya. Keahlian tersebut juga bisa
berkaitan dengan jabatan dan bidang pengabdiannya. Karena
berdasarkan KUHAP, tidak ada persyaratan kualifikasi seorang ahli
harus memenuhi jenjang akademik tertentu.
3. Surat
29
Jenis surat yang dapat diterima sebagai alat bukti dicantumkan
dalam Pasal 187 KUHAP. Surat tersebut dibuat atas sumpah jabatan
atau dikuatkan dengan sumpah. Jenis surat yang dimaksud adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya.
Sebagai contoh, akta perjanjian yang dibuat oleh para pihak di
hadapan notaris. Demikian pula akta yang dibuat oleh pejabat umum
seperti lurah, camat dan lain sebagainya. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, suatu akta autentik dijadikan alat bukti pada perkara
perdata bersifat mengikat hakim, kecuali jika ada bukti sebaliknya,
namun hal tersebut berbeda dengan perkara pidana. Dalam perkara
pidana, tidak ada satu alat pun yang mengikat hakim perihal
kekuatan pembuktian. Hakim pidana harus selalu memikirkan apa ia
yakin akan kesalahan terdakwa.
Jika ada suatu akta autentik yang diajukan dalam perkara pidana,
hakim untuk mempunyai keyakinan tentang ketiadaan kesalahan
terdakwa, tidak memerlukan bukti berlawanan, seperti halnya
dengan hakim perdata. Hal yang dikemukakan oleh Prodjodikoro
dapat dipahami. Hal ini mengingat pembuktian dalam perkara pidana
di Indonesia menganut pembuktian bebas. Artinya, hakim bebas
untuk meyakini atau tidak meyakini alat -alat bukti yang sah.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan. Contohnya untuk membuktikan adanya perkawinan, ada
akta kematian dan untuk membuktikan tempat tinggal seseorang ada
kartu tanda penduduk (KTP).
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan
30
yang diminta secara resmi dari padanya. Berdasarkan permintaan
korban atau permintaan aparat penegak hukum untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan ataupun persidangan.
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Surat jenis ini hanya
mengandung nilai pembuktian apabila surat tersebut ada
hubungannya dengan alat bukti yang lain.
4. Petunjuk
31
berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi dan
berdasarkan pengamatan hakim yang diperoleh dari keterangan saksi,
surat atau keterangan terdakwa.
32
berdasarkan subjektivitas seorang ahli, kendatipun keterangan ahli
haruslah disampaikan objektif.
33
Setiap petunjuk belum tentu mempunyai kekuatan pembuktian yang
sama. Kekuatan pembuktiannya terletak pada hubungan banyak atau
tidaknya perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai petunjuk tersebut
dengan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa. Penilaian
terhadap alat bukti petunjuk tidak dilakukan oleh undang – undang,
melainkan diamanatkan kepada hakim, yang harus menilai dengan arif,
bijaksana, penuh kecermatan dan keseksamaan.
5. Keterangan Terdakwa
34
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan
untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya. Pemeriksaan terhadap terdakwa juga sudah
dimulai pada tahap penyidikan dan dituangkan dalam berita acara
pemeriksaan.
35
Kendatipun deteksi kebohongan dapat memberikan penilaian
terhadap keterangan seorang tersangka atau terdakwa, hasil deteksi
tersebut tidaklah dapat dijadikan bukti di depan sidang pengadilan.
Hanya keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan yang akan
menjadi alat bukti. Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti yang
sempurna harus disertai keterangan yang jelas tentang keadaan –
keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana dilakukan olehnya.
Keterangan tersebut, semua atau sebagian, harus cocok dengan
keterangan korban atau dengan alat -alat bukti lainnya.
36
BAB III
1. Faktor ekonomi
Hampir setiap tahun harga kebutuhan pokok terus meningkat,
sedangkan pendapatan tiap individu belum tentu mampu untuk
mencukupi peningkatan tersebut. Sehingga hal tersebut mengakibatkan
alasan bagi seseorang untuk melakukan tindak pidana pencurian.
Kondisi perekonomian inilah yang membuat seseorang dengan terpaksa
melakukan pencurian. Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari
keluarganya, seseorang melakukan pencurian tersebut tanpa pikir
panjang.
2. Faktor Lingkungan
Dalam kehidupan keseharian seseorang tidak akan terlepas dari
lingkungan yang ada disekitarnya. Selain faktor ekonomi, faktor
lingkungan merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh atas
terjadinya tindak pencurian. Seseorang yang hidup/tinggal di dalam
lingkungan yang mendukung untuk dilakukannya pencurian, maka di
suatu waktu ia juga akan melakukan tindak pencurian tersebut. Banyak
hal yang membuat lingkungan menjadi faktor penyebab terjadinya suatu
tindak kejahatan (pencurian). Misalnya kebutuhan dalam pergaulan
dengan teman sebaya, kontrol dari lingkungan yang kurang dan
pergaulan dengan seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai pencuri.
37
3. Faktor Pendidikan
Faktor pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong seseorang
untuk melakukan suatu tindak pidana pencurian. Hal itu disebabkan
oleh tingkat pengetahuan mereka yang kurang terhadap hal-hal seperti
aturan yang dalam cara hidup bermasyarakat. “tingkat pendidikan
dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang
berbuat jahat (mencuri), pendidikan merupakan sarana bagi seseorang
untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dan dengan
melakukan suatu perbuatan apakah perbuatan tersebut memiliki suatu
manfaat tertentu atau malah membuat masalah/kerugian tertentu.”
38
B. Bagaimana Pembuktian Unsur Maksud Mem iliki Kepunyaan
Orang Lain, Pada Barang Bukti yang Tidak Bertuan
1. Perbuatan Mengambil
39
keyakinan hakim tersebut dapat di pastikan apakah seseorang memang
bersalah melakukan tindak pidana tersebut sebagaimana di sebut dalam
pasal 183 KUHAP :
40
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
41
2. Bagaimana Pembuktian Unsur Maksud Mem iliki Kepunyaan Orang
Lain, Pada Barang Bukti yang Tidak Bertuan
B. Saran
42
DAFTAR PUSTAKA
Andi, Sofyan dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu
Pengantar, Jakarta: Prenadamedia.
43