SKRIPSI
DYAN ANDRIAWAN
09320150191
MAKASSAR
2020
HALAMAN PENGESAHAN
DYAN ANDRIAWAN
093 2015 0191
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Ir. Nur Asmiani, S.T., M.T., IPP Ir. Habibie Anwar, S.T., M.T., IPP
Nip. 109 10 1031 Nips. 109 09 0892
Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Pertambangan
Universitas Muslim Indonesia
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
segala nikmat yang tak bertepi dan rahmat yang seluas-luasnya langit dan bumi,
sehingga dengan keridhaan-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagai
manifestasi kecintaan hamba kepada sang khalik sebagai kewajiban yang diwujudkan
dalam bentuk ilmiah.
Penyusunan Skripsi ini sebagai salah satu persyaratan tugas akhir pada Jurusan
Teknik Pertambangan Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia
Makassar, yang berjudul “Analisis Jenis Longsoran Berdasarkan Data Diskontinuitas
Desa Bontolerung Kecamatan Tinggimoncong Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan”.
Selama menempuh pendidikan hingga penyusunan Skripsi ini, penulis banyak
menemukan kendala-kendala namun berkat dukungan dari berbagai pihak, akhirnya
penulisan dapat terselesaikan dengan baik. Olehnya, dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Ir. Firman Nullah Yusuf, ST., MT., IPP. selaku Ketua Jurusan Teknik
Pertambangan FTI UMI yang senantiasa membimbing dan memberikan nasehat
agar kami bisa menjadi orang yang berhasil dan bertanggung jawab atas
amanah orang tua yaitu menyelesaikan studi dengan baik.
2. Ibu Ir. Nur Asmiani, S.T., M.T., IPP. selaku pembimbing I yang telah banyak
memberikan arahan dalam pembuatan Skripsi.
3. Bapak Ir. Habibie Anwar, ST., MT., IPP. selaku pembimbing II yang telah
banyak memberikan arahan dalam pembuatan Skripsi.
4. Ibu Emi Prasetyawati Umar, S. SI., M.T., IPP. Selaku penasehat akademik (PA)
yang selalu memberikan arahan dan masukan.
iii
6. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Teman-Teman Angkatan 2015
Mahasiswa Jurusan Teknik Pertambangan FTI-UMI atas partisipasi dan
kerjasama serta dorongannya yang bersifat positif selama ini.
7. Orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan doa, materi dan moril
yang tak terhingga.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................................v
DAFTAR TABEL..........................................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................................................2
1.4 Batasan Masalah..........................................................................................................................2
1.5 Manfaat Penelitian......................................................................................................................2
1.6 Alat dan Bahan............................................................................................................................3
1.7 Lokasi Kesampaian Daerah.....................................................................................................3
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan.................................................................................................................................25
5.2 Saran.............................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Dimensi bagian dari tiap bench............................................................................5
2.2 Dimensi bagian dari keseluruhan lereng............................................................5
2.3 Faktor Keamanan Sederhana.................................................................................7
2.4 Skema longsoran busur...........................................................................................9
2.5 Kondisi umum longsoran bidang.........................................................................10
2.6 Kondisi Geometri Untuk Longsoran Baji..........................................................11
3.1 Pengukuran Bidang Diskontiuitas........................................................................18
3.2 Pengukuran Geometri Lereng...............................................................................19
3.3 Bagan Alir Penelitian...............................................................................................20
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Klasifikasi Jarak Kekar.........................................................................................14
2.2 Klasifikasi Bobot Total Massa Batuan.............................................................14
4.1 Rencana Anggaran Biaya.....................................................................................21
4.2 Jadwal Kegiatan......................................................................................................21
vii
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lereng
1. Dimensi Lereng
Lereng terdiri dari beberapa bagian. Berikut bagian-bagian dari lereng beserta
definisinya yang merujuk pada Kamus Pertambangan Umum (2003).
a. Bench, undakan yang sengaja dibuat dalam pekerjaan penggalian atau
penambangan bahan galian.
b. Bench Width, Jarak mendatar antara puncak dan kaki jenjang yang berdekatan.
c. Bench Height, Jarak tegak antara dua jenjang.
d. Crest, Batas bagian atas suatu jenjang.
e. Toe, Batas bagian bawah suatu jenjang.
f. Floor, Dasar pada lereng yang relatif mendatar.
g. Bench Face Angle, Sudut muka pada jenjang.
h. Ramp, Jalan angkut pada tambang terbuka.
i. Inter-Ramp Face Angle, Sudut muka antar jenjang.
j. Inter-Ramp Angle, Sudut keseluruhan jenjang yang masih dalam satu tubuh
sebelum dipisahkan oleh ramp.
k. Overall Angle, Sudut keseluruhan pada lereng.
4
Gambar 2.1. Dimensi bagian dari tiap bench
2. Pengukuran Lereng
5
3. Perencanaan Lereng
a. Tinggi Bench
Dalam perancangan lereng, tinggi bench yang umumnya digunakan dari10-18
m. Tinggi bench yang paling sering digunakan ialah 15 m. Kalau membuat tinggi
bench lebih dari 18 m, harus dilakukan pengkajian ulang yang mendetail. Biasanya
bench yang memiliki tinggi lebih 18 m ialah untuk batuan yang keras.
b. Lebar Bench
Bench harus cukup lebar untuk menangkap potensi bebatuan jatuh yang
berbahaya dari bench di atasnya. Bench harus dibuat untuk jangka waktu yang lama
dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti pergerakan lereng dan air tanah.
Dalam menentukan lebar bench, banyak praktisi di Amerika Utara dan
Amerika Selatan menggunakan kriteria hasil modifikasi Ritchie yang dikembangkan
oleh Call & Nicholas Inc. Kriteria asli diterbitkan oleh Ritchie (1963) menyusul
evaluasi bahu jalan raya untuk menangkap runtuhan batuan dari lereng alami maupun
yang telah digali. Persamaan untuk menentukan lebar bench (Call, 1986 dalam Arif
2016).
Lebar bench (m) = 0,2 x tinggi bench (m) + 4,5 m ........................ (2.1)
6
2.2 Prinsip Dasar Analisis Kestabilan Lereng
Kestabilan lereng, baik lereng alami maupun lereng buatan manusia serta
lereng timbunan, dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dinyatakan secara
sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya penggerak yang bertanggung
jawab terhadap kestabilan lereng tersebut. Pada kondisi gaya penahan (terhadap
longsoran) lebih besar dari gaya penggerak, lereng tersebut akan berada dalam
kondisi yang stabil (aman). Namun, apabila gaya penahan lebih kecil dari gaya
penggeraknya, lereng tersebut tidak stabil dan akan terjadi longsoran. Sebenarnya,
longsoran merupakan suatu proses alami yang terjadi untuk mendapatkan kondisi
kestabilan lereng yang baru (keseimbangan baru), di mana gaya penahan lebih besar
dari gaya penggeraknya (Arif, 2016).
Untuk menyatakan tingkat kestabilan suatu lereng, dikenal istilah faktor
keamanan (safety factor). Faktor keamanan diperlukan untuk mengetahui
kemantapan suatu lereng untuk mencegah bahaya longsoran pada waktu-waktu yang
akan datang (Arif, 2016).
Dari Gambar 2.3 dapat dilihat bahwa gaya yang bekerja pada lereng adalah gaya
berat, kemudian dihasilkan gaya penggerak dan gaya penahan. Untuk menjaga agar
benda di lereng tidak jatuh (failure), diperlukan perhitungan terhadap kemiringan
sesuai dengan faktor keamanan yang diinginkan.
7
Apabila nilai FK untuk suatu lereng > 1,0 (gaya penahan > gaya penggerak)
lereng tersebut berada dalam kondisi stabil. Namun, apabila harga FK < 1,0 (gaya
penahan < gaya penggerak), lereng tersebut berada dalam kondisi tidak stabil dan
mungkin akan terjadi longsoran pada lereng tersebut (Arif, 2016).
Untuk mendapatkan, mengolah, serta mengatur informasi mengenai
kestabilan lereng, pada pembahasan selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai
analisis kestabilan lereng, metode-metode untuk menjaga kestabilan lereng,
pemantauan lereng tersebut, serta studi kasus, baik untuk lereng tambang yang aktif
maupun lereng tambang final (Arif, 2016).
Terzaghi dan Peck (1987) menyatakan bahwa longsoran dapat terjadi pada
hampir setiap kemungkinan, perlahan-lahan ataupun secara tiba-tiba dan dengan atau
tanpa adanya suatu peringatan yang nyata (Baskari, 2008).
Longsoran pada tanah diasumsikan terjadi pada suatu massa tanah yang
homogen dan kontinyu, sehingga bentuk geometri dari longsoran tersebut berupa
busur lingkaran atau paling tidak mendekati. (Baskari, 2008).
Sifat fisik maupun sifat mekanik tanah dianggap sama dan merata di semua
bagian tubuh tanah tersebut. Sedangkan pada batuan keras, untuk batuan yang utuh
(intact) sifatnya juga homogen dan kontinu seperti pada tanah, tetapi karena batuan
utuh tersebut sangat kuat maka umumnya tidak ada masalah mengenai kemantapan
lerengnya. Masalah kemantapan lereng akan muncul apabila batuan keras tersebut
mempunyai bidang-bidang lemah (discontinuities) (Baskari, 2008).
Lereng yang tidak stabil akan mengalami longsoran sampai lereng tersebut
menemukan keseimbangan yang baru dan menjadi stabil. Macam-macam longsoran
yang sering terjadi pada lereng tambang adalah longsoran busur, longsoran bidang,
longsoran baji, dan longsoran guling serta longsoran kombinasi dari keempat jenis
longsoran yang telah disebutkan sebelumnya (longsoran kompleks) (Arif, 2016).
Longsoran jenis ini banyak terjadi pada lereng tanah dan batuan lapuk atau
sangat terkekarkan dan di lereng lereng timbunan. Bentuk bidang gelincir pada
8
longsoran busur, sesuai dengan namanya, akan menyerupai busur bila digambarkan
pada penampang melintang (Arif, 2016).
Kondisi Umum Terjadinya Longsoran Busur banyak terjadi pada lereng
batuan lapuk atau sangat terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Longsoran jenis
ini juga sering terjadi jika ukuran fragmen tanah atau massa batuan sering terjadi
sangat kecil dibandingkan dengan ukuran lereng. Oleh karena itu, lereng yang
tersusun dari material pasir, lanau, atau partikel lain yang ukurannya lebih kecil
memiliki kemungkinan besar untuk mengalami longsoran busur (Arif, 2016).
Longsoran bidang relatif jarang terjadi namun, jika ada kondisi yang
menunjang terjadinya longsoran bidang, longsoran yang terjadi mungkin akan lebih
besar (secara volume) daripada jenis longsoran lain. Longsoran ini disebabkan oleh
adanya struktur geologi yang berkembang, seperti kekar (joint) ataupun patahan yang
dapat menjadi bidang luncur. Oleh karena itu, pengetahuan akan analisis longsoran
bidang sangat diperlukan (Arif, 2016).
Untuk kasus longsoran bidang dengan bidang gelincir tunggal, persyaratan
berikut ini harus terpenuhi (Wyllie, 2004).
o
a. Bidang gelincir mempunyai strike sejajar atau hampir sejajar (maksimal 20 )
dengan strike lereng.
9
b. Jejak bagian bawah bidang lemah yang menjadi bidang gelincir harus muncul
di muka lereng. Dengan kata lain, kemiringan bidang gelincir lebih kecil
daripada kemiringan lereng.
c. Kemiringan bidang gelincir lebih besar daripada sudut geser dalamnya.
d. Harus ada bidang release yang menjadi pembatas di kanan dan kiri blok yang
menggelincir (Arif, 2016).
Gambar 2.5 Kondisi umum longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981)
Gambar 2.6 Kondisi geometri untuk longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981)
Longsoran guling umumnya terjadi pada lereng yang terjal dan pada batuan
yang keras, di mana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom. Longsoran guling
ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang terdapat pada lereng mempunyai
kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng (Arif, 2016).
1. Penyebaran Batuan
Hal ini disebabkan karena sifat fisik dan mekanik suatu jenis batuan akan
berbeda dengan jenis batuan yang lainnya sehingga kekuatannya pun akan berbeda
pula.
4. Iklim
Berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena mempengaruhi perubahan
temperatur. Perubahan temperature yang cepat sekali berubah dalam waktu yang
singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan.
5. Geometri Lereng
Geometri lereng meliputi tinggi lereng dan sudut kemiringan lereng. Lereng
dengan ketinggian yang lebih tinggi mempunyai kestabilan yang lebih kecil
dibandingkan lereng yang lebih rendah. Demikian juga untuk lereng dengan sudut
lereng yang lebih besar mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng
dengan sudut lereng lebih kecil. Kandungan air tanah juga akan mempengaruhi
kestabilan suatu lereng. Lereng dengan muka air tanah yang lebih tinggi akan
mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng dengan muka air tanah
yang lebih rendah.
13
2.6 Metode Scanline
3. Orthogonal Projection
Proyeksi orthogonal titik-titik pada permukaan bola diproyeksikan tegak
lurus pada bidang proyeksi, sehingga hasilnya kebalikan dari equal angle projection,
yaitu lingkaran besar akan semakin renggang ke arah pusat. Stereogram dari proyeksi
ini dikenal dengan Orthographic Net.
4. Polar projection
Dengan proyeksi kutub (polar), baik garis maupun bidang digambarkan
sebagai titik. Bila garis maka proyeksinya adalah proyeksi titik tembus garis tersebut
15
dengan permukaan bola. Polar net ini diperoleh dari equal area projection, sehingga
apabila akan mengembalikan proyeksi kutub yang berupa titik ke dalam bidang
(lingkaran besar) harus digunakan Schmidt Net. Stereogram proyeksi kutub
dinamakan Polar Net atau Billings Net.
16
BAB III
TAHAPAN DAN METODOLOGI PENELITIAN
Dalam melakukan kegiatan penelitian ini, ada beberapa tahapan dan metode
yang dapat dilakukan yaitu:
17
3.2.2 Pengukuran Bidang Diskontinuitas
18
Tahapan Pendahuluan
1. Administrasi
2. Studi Pustaka
3. Penyusunan Proposal
Tahap Pengambilan Data
Proyeksi Streografis
PENYUSUNAN LAPORAN
SKRIPSI
19
BAB IV
HASIL DAN PEBAHASAN
Geometri lereng adalah salah satu aspek yang sangat pentig dalam penentuan
jenis dan arah longsoran pada suatu lereng. Data berupa arah lereng, kemiringan
lereng, arah diskontinuitas, kemiringan bidang diskontinuitas, panjang diskontinuitas
tingkat kekasaran, tingkat pelapukan digunakan dalam pengklasifikasian tersebut.
o o
Arah kemiringan lereng yaitu 65 , N 199 E. Panjang lereng yaitu 20 m.
Berikut adalah gambar kondisi lereng di lapangan dan untuk geometri lereng lebih
jelasnya dapat dilihat pada lampiran A.
20
Tabel 4.1 Pengelompokan bidang diskontinuitas
Interval Frekuensi Presentasi Interval Frekuensi Presentasi
(N…E) (%) (N…W) (%)
0-10 7 7.95 0-10 14 15.91
11-20 4 4.55 11-20 14 15.91
21-30 9 10.23 21-30 2 2.27
31-40 7 7.95 31-40 2 2.27
41-50 8 9.09 41-50 1 1.14
51-60 4 4.55 51-60 2 2.27
61-70 1 1.14 61-70 1 1.14
71-80 4 4.55 71-80 2 2.27
81-90 3 3.41 81-90 3 3.41
14
12
Frekuensi
10 8 9
8 7 7
6 4 4 4
4 3 3
2 2 2 2
2 1 1 1
0
Interval
21
4.3 Proyeksi Stereografis
Untuk longsoran baji, terjadi pada perpotongan antara joint set 1 dan joint set
o o
2 dan menpunyai sudut bidang lemah 38 dengan kemiringan lereng 65 , dimana
o o
joint set 1 memiliki arah N 175 E dan joint set 2 memiliki arah N 223 E sehingga
o
memungkinkan terjadinya potensi longsoran baji dengan arah longsoran N 268 E.
Longsoran baji dapat terjadi jika terdapat dua bidang lemah atau lebih berpotongan
sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng. Persyaratan lainnya yang
harus dipenuhi untuk terjadinya longsoran baji adalah bila sudut yang dibentuk garis
potong kedua bidang lemah tersebut dengan bidang horizontal lebih kecil dari sudut
kemiringan lereng dan sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada
sudut geser dalamnya (Arif, 2016).
22
Gambar 4.4 Potensi Longsoran Baji
23
Gambar 4.5 Potensi Longsoran Bidang
24
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
1. Lereng yang ada di lokasi penelitian sebaiknya dilakukan pengawasan secara
berkala karena lereng tersebut sewaktu-waktu dapat terjadi longsor.
2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut atau kajian mendalam mengenai goteknik
seperti malakukan pengujian sifat fisik dan mekanik di daerah penelitian.
25
DAFTAR PUSTAKA
Andiyani, D.K., Febrijanto, R., Sunaryo, E., Suaryana, N., Vasa, H., dan Jaenuddin,
A., 2014, Kementerian Pekerjaan Umum Badan Penelitian dan
Pengembangan Jalan Dan Jembatan, Rekayasa Lereng. Bandung.
Aprilia, F., Indrawan, I.G.B., Adriansyah, Y., Maryadi, D., 2014, Analisis Tipe
Longsor Dan Kestabilan Lereng Berdasarkan Orientasi Struktur Geologi di
Dinding Utara Tambang Batu Hijau, Sumbawa Barat, Yokyakarta.
Arief, S., 2014, Kestabilan Lereng dalam Operasional Penambangan PT. Vale
Indonesia, Tbk. Sorowako
Arif, I., 2016, Geoteknik Tambang, Penerbit PT. Gramedia pustaka utama, Jakarta.
Atmaja, D. A., 2014, Kajian Klasifikasi Massa Batuan Dan Analisis Stereografis
Terhadap Stabilitas Lereng Pada Operasi Penambangan Tambang Batubara
Air Laya Desa Tanjung Enim Kabupaten Muara Enim, Semarang.
Attewell, P.B., 1993. The role of engineering geology in the design of surface and
underground structures. In: Hudson, J.A. (Ed), Comprehensive Rock
Enginering 1, Pergamon Press, Oxford.
Baskari, T.L., 2008, Kajian Klasifikasi Massa Batuan Terhadap Stabilitas Lereng dan
Penentuan Kekuatan Jangka Panjangnya Pada Operasi Penambangan
Binungan PT. Berau Coal, Kalimantan Timur.
Deere, D.U., dan Deere, D.W., 1968, Uniaxial Compressive Strength (UCS) After 20
Years, Report Manual, Department of the Army, U.S. Corps of Engineers,
Washington DC.
Gurocak, Z., Alemdag, S. and Zaman, M. M., 2008, Rock slope stability and
excavatability assessment of rocks at the Kapikaya dam site, Turkey.
Engineering Geology.
Hirnawan, R.F., dan Zakaria. Z., 2009, Geoteknik dan Geomekanik, Yokyakarta.
Hoek, E., 2007, Practical Rock Engineering. 1st.Canada: Rock Science. Projection.
World Academy of Science, Engineering and Technology, Taiwan.
Hoek, E., and Bray, J. W., 1981. Rock Slope Engineering. 3rd. London: Institute of
Mining and Metallurgy. London.
26
Hoek, E., and Brown E.T., 1980 “Underground Excavations in Rock. London
Institution of Mining and Metallurgy, London.
Priest, S.D. dan Brown, E.T. 1983, Probabilistic stability analysis of variable
rock slopes, Transactions of Institution of Mining and Metallurgy.
Priest, S.D., dan Hudson, J.A., 1976, Discontinuity Spacing in Rock, Int. J. Rock
Mech. Min. Sci. Geomech. Abstr. 13, 135-148.
Ritchie, A.M. 1963, Evaluation of Rockfall and Its Control. Highway Research
Record 17:13-18
Rusydy, I., Sugiyanto, D., Satrio, L., Zulfahriza, Rahman, A., Munandar, I., 2016,
Geological Aspect of Slope Failure and Mitigation Approach in Bireun-
Takengon Main Road, Aceh Province, Indonesia. Aceh International
Journal of Science and Technology.
Terzaghi, K., dan Peck, R., 1987, Mekanika Tanah dalam Praktek Rekaya Jilid 1
(Terjemahan), Erlangga, Jakarta.
Wentworth, C.K. 1922, A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments.
Journal of Geology, Vol. XXX, p. 377-392.
27
Lampiran A Data Bidang Diskontiunitas
28
1